SALATIGA de Schoonste Stad van Midden Java

Membaca runutan cerita sejarah lewat buku bersampul hard cover tebal dan berat di perpustakaan kadang terasa membosankan dan bikin ngantuk. Sering hilang fokus, menguap berulang kali, bahkan tak jarang meninggalkan jejak berupa tetesan air liur di halaman buku #ups.

Andai kata semua menyadari bahwa belajar sejarah itu terasa lebih asyik dengan melihat, meraba, dan mendengar ceritanya langsung di lokasi yang tercatat di buku. Apalagi belajar sambil merasakan aktivitas seperti yang dilakukan di masa lampau, naik kereta uap atau andong misalnya. Lebih seru kan?

suatu hari di Salatiga
suatu hari di Salatiga

Seperti yang pernah dilakukan oleh Blusukan Solo saat #DolanBareng beberapa waktu lalu di Kota Salatiga. Mereka membawa para peserta menikmati suasana Toentangsche-weg ( kini Jalan Jend Sudirman – Salatiga ) dengan menggunakan andong, alat transportasi tradisional yang masih banyak dijumpai di Salatiga.

Kegiatan yang kami lakukan adalah melewati bekas Fort de Hersteller yang sudah berubah menjadi Pasar Raya Salatiga. Kemudian melintasi Solosche-weg atau kompleks pecinan, berhenti di Taman Pancasila, serta memasuki kantor Walikota Salatiga. Semua tempat yang kami lewati penuh dengan cerita sejarah… Yang ironisnya banyak warga Salatiga yang tidak tahu atau mungkin sudah melupakannya. Mari saya bantu ingatkan sedikit cerita tentang masa kejayaan Salatiga.

menikmati Salatiga dengan cara yang berbeda
menikmati Salatiga dengan cara yang berbeda

Puluhan tahun yang lalu, Salatiga telah dianggap sebagai kota poros penting bagi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Alasannya tak lain karena perdikan atau wilayah kerajaan yang telah mandiri sejak ratusan tahun lalu ini terletak di tengah jalur lintas antara Semarang dan Surakarta (Mataram Islam). Semarang memiliki pelabuhan besar untuk menyuplai dan mengirim kebutuhan dari/ ke Pulau Jawa, sedangkan Kerajaan Mataram Islam kala itu masih berada di Kartasura.

Pernah dibangun sebuah benteng sekitar tahun 1746 bernama Fort de Hersteller sebagai bentuk pengawasan dan pertahanan militer VOC terhadap kedua kota tersebut. Sempat terlantar lama, pada tahun 1814 Belanda memutuskan untuk menghancurkan benteng Fort de Hersteller dan memindahkannya di lokasi yang lebih strategis.

Benteng baru yang diberi nama sesuai nama arsiteknya itu disebut Benteng Hock atau Fort Hock. Pasca Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 ), Fort Hock tidak digunakan sebagai benteng pertahanan militer lagi, melainkan sebagai tempat tinggal para tentara militer. Sama fungsi seperti Benteng Willem I di Ambawara yang digunakan sebagai barak militer dan tempat penyimpanan logistik.

bekas Fort Hock yang kini sudah menjadi Satlantas Polres Salatiga sejak tahun 1947
bekas Fort Hock yang kini sudah menjadi Satlantas Polres Salatiga sejak tahun 1947

Lambat laun Salatiga yang berudara sejuk khas pegunungan melepas julukannya sebagai kota militer, perlahan menjadi sebuah kota pemukiman bagi warga Belanda yang hendak menetap lama di Hindia Belanda. Kota ini mulai berbenah.

Kompleks pecinaan mulai ramai, jajaran rumah bergaya kolonial dan gedung perkantoran mulai dibangun, gardu listrik mulai dipasang untuk menerangi seisi kota di malam hari. Sungguh bayangan pemukiman idaman yang tenang dan damai dengan pemandangan Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo, serta Rawa Pening dari kejauhan.

Selesai berkeliling kota, andong menurunkan saya dan kawan Blusukan Solo yang lain di Taman Pancasila, kemudian berjalan menuju sebuah bangunan tua yang terlihat kumuh dan tak berpenghuni. Saat itu kami hanya bisa berkumpul di halaman depan Gedung Pakuwon dan mendengarkan kisah Perjanjian Salatiga, perjanjian yang memecah Kerajaan Mataram Islam untuk kedua kalinya.

Setelah Surakarta yang saat itu dipimpin Pakubuwono III berbagi wilayah dengan Yogyakarta yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono I lewat Perjanjian Giyanti. Wilayah Surakarta kembali dibagi tiga bagian sama besar untuk Pangeran Samber Nyawa atau Mangkunagara I pada tanggal 17 Maret 1757 melalui Perjanjian Salatiga di kawasan yang sudah berdiri sebuah gedung bernama Pakuwon ini.

Gedung Pakuwon, lokasi Perjanjian Salatiga 1757
Gedung Pakuwon, lokasi Perjanjian Salatiga 1757

Ada sumber yang mengatakan bahwa tempat penandatanganan Perjanjian Salatiga berada di sebuah bangunan yang sekarang menjadi Kantor Walikota Salatiga. Memang keduanya terletak di lokasi yang bersebelahan dan berdekatan dengan kompleks Kepatihan Salatiga.

Belum ada papan petunjuk yang membanggakan momen sejarah penting di lokasi tersebut, sehingga kami hanya berusaha menelaah semua informasi yang didapat dari buku dan kesaksian warga setempat yang menyebutkan bahwa kawasan Gedung Pakuwon adalah lokasi perjanjian yang sesungguhnya.

Kantor Walikota Salatiga yang bergaya neo klasik atau renaissance menjadi tujuan berikutnya. Pak penjaga membukakan pintu baja rumah berbentuk simetris berukuran tinggi dan mempersilakan kami masuk satu-persatu. Di dalam nampak seperti kantor pemerintah pada umumnya. Meja informasi tanpa penjaga, maklum hari Minggu. Lambang Garuda Pancasila bertengger di atas pintu ruang walikota.

Diamati lebih teliti, rumah tersebut masik memiliki lantai marmer yang memancarkan kemewahan. Eternit atau langitan yang tinggi membuat sirkulasi udara mengalir dengan lancar. Teralis pintunya terbuat dari baja dengan daun pintu besar dan lebar. Balkon atapnya dirancang terbuka dengan pemandangan gugusan gunung yang memiliki sebuah kolam untuk berendam. Wow! Tak heran penyair asal Perancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud dikabarkan pernah singgah di rumah tersebut saat beliau melancong ke Hindia Belanda pada tahun 1876.

atap gaya neo klasik dengan sebuah kolam untuk berendam di ujungnya
atap gaya neo klasik dengan sebuah kolam untuk berendam di ujungnya

Awalnya rumah yang dibangun tahun 1850 ini dimiliki seorang pengusaha bernama Baron van Hikkeren, pernah digunakan sebagai markas Kempetai saat masa penjajahan Jepang, hingga akhirnya dibeli oleh Pemerintah Salatiga seharga 300.000 rupiah pada tahun 1950. Kemudian berfungsi sebagai Kantor Walikota hingga sekarang dan dijadikan tempat peletakan replika Prasasti Plumpung, sebuah prasasti yang menjelaskan tentang awal terbentuknya perdikan Salatiga.

Tertulis Sris Astu Swasti Prajabhyah di Prasasti Plumpung yang kurang lebih berarti “semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian” dengan tanggal 24 Juli 750. Tanggal yang tertera di prasasti itulah yang kemudian dijadikan sebagai peringatan hari jadi Kota Salatiga.

Tentu Salatiga tidak hanya mempunyai bangunan dan sejarah yang telah saya sebutkan di atas saja. Masih banyak bangunan yang tersebar di kota yang mungkin punya cerita sama menariknya, baik dari segi arsitektur, keterkaitan dengan masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan, ataupun kejayaan pemiliknya di masa lalu.

Sayangnya pecinta bangunan tua harus berkejar-kejaran dengan waktu. Apalagi akhir-akhir ini Kota Salatiga yang juga dikenal sebagai kota pensiun, mulai dimarakkan penghancuran bangunan tua terlantar yang akan diganti dengan bangunan modern nan kaku bernama ruko dan rukan.

Memang wisata bangunan bersejarah belum menarik perhatian banyak wisatawan yang singgah. Meski sama-sama cagar budaya, mereka kalah saing dengan keberadaan bangunan cagar seperti candi-candi populer, Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang berumur lebih tua.

Lupa bahwa kelak bangunan peninggalan kolonial inipun tinggal reruntuhan yang harus digali, diteliti, dipelajari oleh generasi penerus kita ratusan tahun kemudian. Terlambat untuk menyesali kesalahan yang telah dibuat leluhurnya. Mengutuk kebodohan leluhurnya karena merekalah yang bertanggung jawab akan kebinasaan sebuah peradaban manusia…

Save our heritage. 😉

rumah di Jl Patimura -Salatiga yang terabaikan
rumah di Jl Patimura -Salatiga yang terabaikan

57 Comments Add yours

  1. lazione budy says:

    buku tebal asal bukan buku pelajar saja deh pasti ga ngantuk

    1. Waa buku tebal macam apa ini maksudnya? Bukan yellowpages kan? 😛

  2. Avant Garde says:

    saya pernah baca kalau gedung pakuwon (diperkirakan) bukan tempat penandatanganan perjanjian salatiga, tetapi di gedung lain yang sekarang dibangun gedung itu… 🙂 cmiiw

    1. Memang bukan di gedung yang berdiri sekarang, tapi di kawasan Gedung Pakuwon. Gedung Pakuwon termasuk tipe bangunan 1900-an, bukan 1760-an 🙂

    2. adi pradana says:

      Salatiga, kota kecil yang sarat pengetahuan sejarah kotanya….

  3. Avant Garde says:

    ya begitulah mas hehehe….

    1. Padahal tempat perjanjian Giyanti dibikin tugu prasasti dan penanda yang hingga kini masih ada dan bisa dikunjungi. Eman banget bekas penanda perjanjian Salatiga malah bisa dibilang hilang ya 🙂

    2. Avant Garde says:

      setau aku di sala3 belum ada perda perlindungan cagar budaya mas, gak heran di sala3 lagi marak pembongkaran rumah2 kuno buat dijadiin ruko… -_-

  4. aakkkk ituu kotak posnya keceeee, ya ampunn sukaa benerrran, saya sendiri kayaknya belum pernah mampir salatiga deh, *uhmm apa pernah yah? berpikir keras* suka sama kota-kota yang punya banyak bangunan kunooo

    btw kohal, aku pengen balik ke Penang lagi deh, suka banget sama daerahnya hahahahah banyak bangunan tua juga :3

    1. Hampir seluruh kota yang pernah dihuni oleh kolonial pasti menyisakan deretan bangunan tua gaya Eropa hingga rumah saudagar. Sekarang jadi kecanduan cari lokasi kayak gini hehehe.

      Kalo mau ke Penang kabar kabari yah. Pingin ubleg sana sampe puas juga 🙂

    2. Dita says:

      Ikuuuuuut Penaaaang 😀

    3. Yokkkk… cari tiket murah… eh baru inget kalo pasporku expired, kuperpanjang dulu yes hahaha

  5. Wah tertarik banget pengen ke salatiga, apa lagi baca judulnya bahwa salatiga kota terbersih se jawa tengah

    1. Ayo melipir ke Salatiga kalo pas pulang Indonesia, mbak Yang.
      Pedestrian lebar dan bersih jadi ciri khas kota Salatiga. Kulinernya juga khas dan enak semua 😀

  6. Dian Rustya says:

    Aku baru tahu kalau isi perjanjian Giyanti ternyata begitu ….. *jreeeeeeng*

    Duh! kalau tahu belajar sejarah bisa begini menyenangkan, mungkin dulu aku bisa dapat nilai sembilan #Eh

    Baca ini, jadi pengin ke Salatiga deh *Pengin aja dulu. Ke sananya kapan-kapan*

    1. Wah kemajuan nih sekarang mbak Dian cuma ketik pingin. Sepertinya selempang miss PHP bisa diganti selempang miss Wacana *ngikik*

    2. Dian Rustya says:

      *Buntel Halim pake karung goni trus buang ke samudra!!!*

  7. Terima kasih sudah menulis tentang Salatiga dengan cerita sejarahnya yang lengkap *terharu* #kangenSalatiga

    1. Sama-sama. Terima kasih juga sudah berkunjung dan meninggalkan jejak. Semoga dalam waktu dekat bisa bernostalgia langsung ke Salatiga 🙂

  8. Agus Ristiono says:

    waao. keren! salut.
    saya yakin 100% pangkat 4, warga Salatiga sendiri belum banyak yang mencermati atau tau (sembari ngaca; malu sendiri).

    1. Salatiga kotanya kecil namun sarat sejarah. Sebenarnya sama seperti kota-kota lain di Indonesia terutama yang pernah punya kerajaan, atau mungkin pernah diduduki Belanda.
      Jadi… kutunggu liputannya tentang daerah asalmu, mas Agus hehehe

  9. yusmei says:

    Bangunannya keren-keren bangeet Lim. Kapan-kapan mau melipir ke sana juga ah, deket banget padahal. Ntar aku nyontek rutenya 😀

    1. Naik bus turun di kawasan Kauman ( deket UKSW ) terus jalan kaki di pedestriannya yang lebar, lanjut naik andong. Dijamin betah tinggal lama di Salatiga, mbak 😀

  10. Beruntung saya menghabiskan masa sekolah sampai kuliah di Salatiga. Sempat merasakan dinginya salatiga (sekarang udah nggak begitu dingin), dan bangunan kuno yang belum jadi cafe dan resort. Bangunan kuno masih banyak lagi, tapi ya itu sudah diratakan dengan tanah, atau dijadikan cafe. Sempat dulu tanya ke pemilik Gedung Pakuwon, ternyata gedung ini status kepemilikannya masih pribadi, dan pemiliknya sudah mulai nggak mampu merawat karena tingginya maintenance cost. Saya yakin, ini alasan kenapa banyak rumah-rumah kuno di Salatiga yang dihancurkan dan dijadikan cafe dan resort. Harusnya pemerintah mengambil alih kepemilikan bangunan-bangunan ini.

    1. Biaya perawatan tinggi memang alasan klasik yang memicu penghancuran bangunan tua. Tapi kalau dibebankan ke pemerintah, ntar merekanya semakin menimbun banyak hutang negara donk hehehe.

      Dijadikan kafe dan resort asalkan tidak mengubah bentuk asli bangunan masih bisa dimaklumi, biar bisa bertahan beberapa tahun atau mungkin puluhan tahun lagi 😉

  11. Yudi Randa says:

    bang halim, andaikata fotonya nggak keren2 kayak di atas, bisa di pastikan yudi akan tertidur di atas keyboard bang 😀

    1. Huahaha terlalu banyak sebutin nama yang susah dan tahun kejadian ya? Maka dari itu yuk melipir langsung ke lokasi biar nggak ngantuk dan ketagihan belajar sejarah, Yud 😀

  12. brad.my.id says:

    Kyaaa aku belum pernah ke Salatiga. Katanya banyak yg lucu ya? #eh

    1. Hahaha katanya sih begitu, apalagi di sekitar sebelah situ #replypenuhkode 😛

  13. Gara says:

    Sejarah yang panjang dan saya tidak rela kalau semua harus berakhir dengan hanya cerita atau foto karena bentuk fisik nyatanya sudah musnah tergilas modernisasi. Haduh, saya juga mesti berkejaran dengan waktu nih supaya bisa menyaksikannya langsung, Mas :hehe.
    Btw, atap gaya neoklasik itu mengingatkan saya pada atap di gedung pemerintahan di Medan dan di satu bangunan di daerah Jatinegara. Tampaknya mereka satu langgam.
    Cerita yang sangat lengkap! Salut dah dengan penggalian informasi yang sangat menyeluruh ini :hehe. Salatiga itu memang memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah negeri ini ya Mas :)).

    1. Salatiga punya sejarah penting yang sayangnya banyak yang tidak tahu, makanya saya tulis di sini agar mereka terutama warganya tidak lupa dengan sejarah hebatnya apalagi malu dengan kotanya yang kecil dan sepi. 🙂

      Gara, kalo ke Jakarta temeni cari bangunan tua donk hehehe

    2. Gara says:

      Sesungguhnya di balik sepinya kota ada masa lalu yang tak pernah tidur ya Mas :hehe.
      Sip :)). Mohon dikabari kalau berkunjung kemari ya Kak, supaya kita bisa kopdar dan jalan bareng :hehe.

  14. noerazhka says:

    Salatiga banyak ceritanyaaa.. 😀

    1. Ini belum ublek tentang pecinaan nya, Zah… Yuk kapan jalan en survey bareng 😀

  15. Yuda Kaloka says:

    mau nambahin informasi,

    untuk di foto terakhir yang rumah di Jalan Patimura itu juga milik pribadi.

    dan terima kasih sudah menulis tentang kota kecil tempat saya berasal.
    terima kasih (secara tidak langsung) mempromosikannya.

    semoga Salatiga tetap asri. 🙂

    salam Srir Astu Swasti Prajabhyah.

    1. Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan tambahan informasinya, Yuda 🙂
      Salatiga ngangeni…

  16. Rifqy Faiza Rahman says:

    Semakin ke sini (mampir blog ini) saya semakin demam… demam sejarah hahaha. Sangat setuju jika mas Halim ngangkat Salatiga buat lomba ini, aku termasuk salah satu yang terkesan sama kota kecil ini, khususnya jika disuruh tinggal berlama-lama di dekat Kopeng, tak bosan-bosan memandang Gunung Merbabu. Kerasa lebih ayem yo Mas tinggal di kota (walaupun) kecil daripada di kota besar 😀

    1. Kota kecil, banyak bangunan kuno, rumah punya halaman luas, wuihh idaman banget deh hehehe.

  17. monda says:

    jadi menggelegak keinginan ke Salatiga
    iya cagar budaya tak hanya candi, bangunan kolonial pun layak banget tetap dipelihara…,
    seumpama pemilik bangunan tua itu bisa lebih menghidupkannya ya

    Halim sudah pernah ke rumah tua Pondok Cina Depok? bangunan ini direvitalisasib jadi kafe yang dikelilingi mal, malah jadi tenggelam menurutku sih.., mauku sih sekelilingnya itu jangan ada bangunan, supaya bisa dipandang dari jarak jauh, he..he..

    1. Baru denger tentang Pondok Cina Depok nih. Wahh Depok punya potensi wisata sejarah yg keren rupanya… Kemarin udah termehek pas baca tulisan tentang Landhuis Tjimanggis. Bangunan sekeren itu kok terlantar. Ahh sepertinya harus cepet eksplore Depok sebelum semua rata oleh tanah nih. 🙂

    2. Monda says:

      ini link tulisanku tentang Pondok Cina, sorry kalau nyepam, ntar delete aja ya http://wp.me/p2EIrg-vb,

      yang Landhuis Tjimanggis aku baru tau…, coba cari ah, trims ya

  18. mawi wijna says:

    Artikelmu beberapa hari yg lalu kulineran. Sekarang ini malah bangunan-bangunan era kolonial. DOh… PeEr ku banyak ini…

    OK. Fine. Perlu berapa hari kira-kira buat ngubek2 Salatiga Lim? Trus ada saran mesti nginep di mana aku? Eh, jangan di SPBU lho, hehehehe :p

    1. Dua hari ekslore Salatiga cukup kok, sisa hari dilanjutin ke Ambarawa mulai dari Rawa Pening, benteng sampe museum kereta api 😀

      Penginapan ada hotel kost yg letaknya strategis, deket kota ama area kampus ( sopo ngerti arep ngeceng sisan hihi ). Ratenya mulai dari 150rb, Mawi.

    2. mawi wijna says:

      woh… sing mbok saranke kok malah sing aneh2 toh Lim >,<

    3. Terdengar aneh tapi dijamin kesengsem, Wi. Apalagi buat foto-foto, wuihhh kerenn maksi *sebar benih-benih ratjun* 😀

  19. Akarui Cha says:

    Bangunan tuanya cantik tapi dibiarin terlantar. Feeling feeling aku sihhh horor kayake Mas. Hiyyy.

    1. Hehehe horor karena main feeling. Sebenarnya bangunan itu bikin merinding karena membayangkan suasana megah si bangunan di masa lalu yang dibangun dengan dana yang tak sedikit. Kadang juga bikin meringis setelah lihat kondisi sekarang yang jauh dari kata terpelihara. 😉

  20. aggy87 says:

    Limmm apikk tulisan iki! Aku mbien nyang Salatiga 8 thn aja ga tau sedetail ini. Wah ternyata menarik banget yo padahal kotane mung sak emplik ngono. Ayo Lim gali terus sejarah menarik di Jateng dan berburu terus bangunan tua! 🙂

    1. Thank u buat semangatnya Gy. Bentar lagi mau ubleg-ubleg kota-kota di Jawa Tengah yg lain, semoga lancar hehe. Kulinere Salatiga juga nganggeni kan? Yuklah segera cus ke Salatiga 😀

  21. Hendi Setiyanto says:

    Btw banjarnegara jg dikenal sbg kota pensiun, enth knpa sbbnya.
    Tulisan bagus sekelas mas Halim sj blm bsa lolos lomba blog jateng, aplgi aku yg msh bau kencur, kmrn sok2an ikut lomba dan sdh psti gagal haha

    1. Julukan kota pensiun biasanya ditanamkan pada kota atau kabupaten yang terletak di daerah dataran tinggi. Adem, cocok buat tidur seharian hehehe.

      Jgn menyerah ikut lomba meski banyak warna di penyelenggaraannya #kode. Setidaknya jadikan itu sebagai pembuktian tingkat bahan tulisan dan motivasi. Kalo kalah brarti kudu cari mana yg dirasa kurang mengena, kurang lebih seperti itu hehe.

    2. Oh gitu, pantesan Banjarnegara juga dijuluki kota pensiun, emang enak untuk menghabiskan masa tua, selain biaya hidup yang murah dan harga barang yang lumayan terjangkau (berdasarkan pengalaman temanku yang asli Pemalang dan kini menetap di Banjarnegara). Masih tetap nulis tetap semangat biar gagal lagi-gagal lagi haahaha

  22. Ahmad says:

    kapan2 pingin main kesalatiga … mau berlibur kesana

    1. Salatiga berudara sejuk, pas banget untuk melepas penat dari keramaian kota besar. Nggak salah jika banyak yang menyebut Kota Salatiga sebagai kota untuk pensiun dan menghabiskan hari tua di sana. 🙂

  23. Dyah says:

    Waa … jadi pengin jalan ke Salatiga. Dulu sering lewat Salatiga kalau mau ke Semarang dari Solo. Tapi nggak mampir dan nggak cari tahu tentang bangunan-bangunan bersejarahnya. Sayang sekali kalau bangunan kuno malahan dijadikan ruko dan rukan.

    1. Salatiga masih dianggap kota lintas aja, padahal banyak potensi bangunan bersejarah yang bisa diangkat jadi wisata. Main ke Salatiga donk 😀

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.