
Bila ku pergi bersepeda… Bersama, riang gembira… Senangnya hatiku saat bersepeda…
Sepenggal lirik Sepeda dari RAN yang terngiang-ngiang di telinga selama perjalanan #MataRantai bareng Blusukan Solo kali ini. Peserta harus mengayuh sepeda tanpa kenal lelah dari rumah masing-masing melintasi Laweyan menuju Pajang, Makam Haji hingga pemberhentian terakhir di Kartasura. Sisa Keraton Kartasura yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Sukoharjo merupakan bekas kerajaan pendahulu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta sebelum terpecah menjadi dua yang ditandai oleh Perjanjian Giyanti.
Jarak dari Kota Solo atau Surakarta menuju Kartasura hanya sekitar 13 km saja, namun sinar matahari yang cukup terik membuat perjalanan terasa jauh dan melelahkan. Sesekali peserta menyeka keringat yang membasahi pelipis, istirahat sejenak di tengah jalan sembari menikmati area persawahan, sampai bernarsis ria agar perjalanan selama gowes tidak terasa berat. Semua perjuangan ini dilakukan demi Keraton Kartasura. 😉

Sejarah berdirinya dinasti Kartasura diawali dengan pertikaian antara anak-cucu Sultan Agung yang bernama Amangkurat I dengan anaknya yang bernama Raden Mas Rahmat ( kelak Amangkurat II ). Aksi kudeta Amangkurat II dan merebut salah satu selir ayahnya yang terkenal akan kecantikannya bernama Rara Oyi membuat si raja murka dan kemudian memberikan kekuasaan kerajaan Mataram yang terletak di Plered ( daerah bantul ) ke anaknya yang lain bernama Pangeran Puger ( kelak Paku Buwono I ).
Mendapat serangan dari Trunojoyo pada tahun 1677 mengharuskan Amangkurat II dan ayahnya keluar dari Mataram. Dengan bantuan VOC, Amangkurat II berhasil menuntaskan pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1679. Tak selang lama berdirilah sebuah kerajaan baru bernama Kartasura Hadiningrat yang terletak di daerah Wonokarto, sebuah desa yang berdekatan dengan bekas Kesultanan Pajang.
Rasa sakit hati terhadap adiknya membuat Amangkurat II menyerang Mataram di Plered yang diduduki oleh Pangeran Puger dan pertempuran berakhir dengan kekalahan Mataram. Selanjutnya Amangkurat II memimpin Kartasura sebagai kelanjutan dari Mataram di Plered. Amangkurat II berkuasa di Keraton Kartasura hingga mangkat pada tahun 1703.
Pertikaian belum selesai, selanjutnya terjadi perebutan tahta antara Amangkurat III ( anak Amangkurat II ) dengan pamannya, Pangeran Puger yang dibantu VOC. Masa pemerintahan Amangkurat III mulai dari 1703 hingga tahun 1705, singkat dan diwarnai beberapa pertempuran sampai akhirnya dia diasingkan ke Srilanka hingga wafat tahun 1734. Ada sumber yang mengatakan hampir seluruh benda pusaka Mataram yang ada di Kartasura dibawa serta Amangkurat III ke Srilanka, sehingga pada saat Pangeran Puger ( kelak Paku Buwono I ) menduduki Kartasura, nyaris tidak ada benda pusaka Mataram yang tertinggal. Who know?
Kerajaan Kartasura sendiri berakhir pada pemerintahan Paku Buwono II ( anak dari Amangkurat IV; cucu dari Paku Buwono I ) yang ditandai dengan Geger Pecinan pada tahun 1741 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Penyerangan itu berakhir hingga tahun 1743 dan Paku Buwono II kemudian memindahkan kerajaan Kartasura ke tempat baru yang kelak disebut dengan Surakarta. ( dirangkum dari berbagai sumber )
Ada beberapa kandidat calon keraton yang baru yaitu, Talawangi (sekarang Kadipolo – Sriwedari ), Sonosewu ( dusun di Mojolaban, Bekonang ) serta Kedunglumbu, tepian rawa yang terletak di desa Sala. Dengan berbagai pertimbangan dipilihlah Kedunglumbu sebagai wilayah keraton yang baru dan mulai dibangun tahun 1744. Setelah keraton yang baru siap dihuni, Paku Buwono II dan seluruh isi Kartasura melakukan proses perpindahan yang dikenal dengan sebutan boyong kedhaton pada tanggal 17 Februari 1745 yang kelak tanggal tersebut disahkan sebagai hari jadi Kotamadya Surakarta atau Kota Solo.
Lalu apa kabar Keraton Kartasura sekarang?




Konon Keraton Kartasura dikelilingi oleh tembok Baluwarti dan Srimaganti dengan tebal dua meter dan tinggi mencapai 6 enam meter. Seperti yang terlihat sekarang, hanya tersisa tembok Srimaganti setinggi tiga meter saja dengan kondisi telah rusak dan beberapa bagian telah hancur termakan usia. Bagian dalam benteng seluas 2,5 hektar tersebut sudah berfungsi sebagai rumah masa depan beberapa kerabat keraton Surakarta ( baca : makam ) seperti makam BRAy Sedahmirah, salah satu selir Paku Buwono IX yang terkenal dengan kecantikannya sekaligus penulis kitab Ponconiti. Pemakaian lahan bekas keraton sebagai makam mulai dilakukan sejak masa kepemimpinan Paku Buwono ke-10 ( PB X ) dengan maksud agar tanah bekas keraton tidak didirikan sebuah kerajaan baru oleh pihak musuh atau pemberontak baru, ujar Pak Surya Lesmana selaku juru kunci Keraton Kartasura. “Menjangan ( rusa ) yang dulu dipelihara di kompleks benteng juga sudah dipindahkan ke tempat baru bernama Kandang Menjangan yang sekarang menjadi markas Kopassus,” lanjutnya.
Kartasura kini merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang berkembang sebagai kota satelit, bentuk perluasan bagian barat dari kota Surakarta yang semakin padat. Tak heran posisi keraton yang dulu terletak tidak jauh dari jalan utama yang dibangun Deandels kini sudah tertutup oleh bangunan-bangunan modern di sekitarnya. Untungnya beberapa istilah penamaan bagian dari tata istana seperti Keputren, Gandekan, Alun-Alun masih bertahan dan digunakan sebagai penamaan jalan di wilayah sekitar keraton.


Di dalam benteng masih bisa dilihat peninggalan Paku Buwono X berupa Masjid Hastana dan Bangsal Palereman yang dikelilingi pepohonan rimbun seperti pohon Kleco. Pohon yang penamaannya berasal dari bahasa Jawa kele nan ora eco ( arti : menarik tapi tidak enak ) tersebut termasuk pohon langka dengan getah pohon yang bisa berfungsi sebagai perekat ( payung ) kertas. Bekas petilasan raja yang ditandai oleh dua buah batu besar dengan pohon beringin di sampingnya masih menyisakan aura tersendiri di bagian belakang.
Tak jauh dari petilasan terdapat bekas jebolan tembok akibat peristiwa Geger Pecinan seperti yang saya ceritakan di atas. Peserta harus bersusah payah menerobos semak belukan untuk melihat lebih dekat bekas jebolan yang kini sudah ditutup batu bata baru oleh penduduk sekitar. Setelah selesai mengintari benteng dan beristirahat sejenak untuk makan siang, peserta diberi kesempatan melakukan sesi tanya jawab dengan Pak Surya Lesmana yang memberikan cukup banyak informasi mengenai kerajaan Mataram Islam hingga Kasunanan Surakarta.
Perjalanan belum selesai… Pak Surya mengajak peserta menelusuri bekas bangunan berusia ratusan tahun yang tersebar di area tembok luar atau Baluwarti. Jangan harap menemukan bangunan megah yang masih terjaga keasliannya. Bangunan yang masih tersisa justru berupa puing-puing dengan beberapa makam memenuhi kompleks tersebut. Gedong Obat yang dahulu digunakan sebagai tempat menyimpan mesiu tersebut memiliki lantai berundak yang sudah penuh dengan batu nisan. Sama halnya dengan Gedong Lancip yang pernah menjadi salah satu lojen/ tempat tinggal kompeni Belanda juga sudah dipenuhi oleh batu nisan.
Sepeda kembali dikayuh menuju Gunung Kunci, sebuah bukit kecil di sebelah selatan yang dikelilingi oleh segaran ( danau buatan ) sebagai bekas tempat rekreasi keluarga raja Keraton Kartasura. Segaran di sekeliling gundukan tanah setinggi 20 meter tersebut kini sudah tidak berfungsi sebagai permandian lagi, kondisinya sudah tertutup oleh tanah dan menjelma menjadi sebuah lapangan.
Gunung Kunci kini terkenal dengan sebuah makam keramat, ada yang mengatakan di situ pernah terkubur seekor kuda yang dikendarai oleh Paku Buwono II tewas saat beliau hendak melarikan ke Ponorogo ketika Geger Pecinan. Persepsi berlebihan makam-makam keramat membuat Gunung Kunci sering disalahfungsikan sebagai tempat semedi bagi semediers. #tepokjidat
Secara keseluruhan bangunan dan puing-puing Keraton Kartasura terletak di wilayah kabupaten Sukoharjo, namun pengelolaan makam masih dipegang oleh pihak Kasunanan Surakarta. Ini hanya sedikit contoh dari peninggalan bersejarah yang terbaikan. Sudah bukan rahasia umum lagi Kasunanan Surakarta mengalami masalah ekonomi yang membuat para abdi dalem terancam tidak digaji, peninggalan bersejarah diperjualbelikan, begitu pula dengan nasib bangunan-bangunan yang dikelolanya.
Andai tempat-tempat bersejarah ini bisa berubah wujud menjadi sebuah tujuan wisata sejarah tentu banyak orang tertarik untuk mengunjunginya. Memang tidak mungkin menggusur makam untuk kemudian dijadikan cagar budaya. Berpikir realistis saja makam tidak akan terlihat menyeramkan jika pengunjung tidak berpikir wingit, mencari pesugihan dan sebagainya. Right?
Yuk kenali kotamu sebelum semua terlambat untuk diatasi. 😉
Harus naik sepeda sejauh itu? ga kebayang capeknya. tapi sama sekali tidak ada kenarsisan di sini 🙂
Narsis tidak seperti biasanya karena peserta keburu capek mengayuh sepeda hehehe
Selalu ngiri sama org2 yang tinggal di daerah yang kaya sejarah dan budaya, bisa jalan2 dan belajar kapan aja dengan biaya murah meriah. Ini cerita ttg Keraton Surakarta ternyata tak sesederhana seperti yg dinarasikan dalam web pariwisatà ya, sejarahnya panjang saling berkelindan. Sampe2 aku inget2 lagi nama2nya. Pb I, Amangkurat I, Hb I hehehe. Great journey, btw 😀
Sejarah kerajaan selalu bikin pusing dan njelimet karena banyak versi yang beredar. Ada sisi yang menyalahkan, ada juga sisi yang mengunggulkan pihak tertentu.
Kalau punya banyak waktu main ke Solo sempetin ke Kartasura juga, bro. Bagi yang suka dengan sejarah dijamin nggak nyesel melipir ke Kartasura 🙂
sering lewat, ratusan kali padahal -_-
Next time lewat lanjut mampir ke keratonnya bro 🙂
kalo di jawa sering males kemana2 deh hehehe *alesan yang dibuat2 😀
Hehe dulu aku ya merasa malas keliling yg deket-deket, merasa tempat indah itu cuma pantai, gunung. Setelah kenal sejarah jadi merembet pingin tahu ini, pingin tahu itu, jadilah kelayapan cari tempat bersejarah 😀
sebenarnya gak males juga, tapi emang kalo di jawa kan sering naik bus.. jadi gak bebas n gak bisa turun sembarangan
Dulu cuman tahu aja kalo di kartosuro ada keraton, tapi gak tahu wujud dan asal usulnya.
Nice share 😀
Bekas keraton Kartasura masih menyisakan bekas-bekas bangunan meski beberapa sudah tidak terawat. Berbeda dengan bekas kerajaan Pajang yang sudah rata dengan tanah 🙂
Asiknya sepedaan :3
Sepedaan lumayan bikin capek tapi jadi lebih meresapi pemandangan selama perjalanan daripada naik kendaraan bermotor 😀
Tapi gue suka sepedaan. Wis suwe ora pit-pitan 😀
Dari foto-foto nya tempat nya serem gitu yaaa…
Serius itu bersepeda sejauh itu?
Iya serius sepedaan 13 km kali dua hehe…
Baru tau tuh buah kleco,
Rasa buahnya nggak manis seperti warnanya, masir dan sepet 🙂
Sukaaaa banget ama foto yang bagian makam itu. Suasananya eerie tapi cantik ❤
Semoga nggak ada penampakan muncul di foto eerie tersebut ya Deb >_<
wah gk nyangka sekeren ini dah
Nggak kalah dengan negara tetangga kok asalkan dikelola dengan baik 🙂
setuju 😀
oalah di perjuala belikan, miris 😦 padahal bersejarah ga di ambil ama pemerintah aja yaa
Yang di lingkup baluwarti keraton Kasunanan Surakarta ada beberapa bangunan yang sudah jadi milik swasta.
Yang di Kartasura masih jadi kompleks pemakaman kerabat keraton, jd masih dikelola oleh pihak keraton kasunanan 🙂
Waaah. Jos gandos mas. Saya baru tahu nih berkat membaca travel report anda 😀
Semoga bermanfaat Hamid.
Magelang juga nggak kalah keren 😉
whaaaaaa,
saya yang orang solo malah belum pernah ke kraton kartasura.
kalau mau ikut blusukan gimana nih caranya???
saya di solo hari sabtu dan minggu niiii,
pengen bergaul sama orang solo lagiii
Blusukan Solo bikin acara dengan tema berbeda tiap satu bulan sekali, bisa cek update acaranya di FB : https://www.facebook.com/blusukansoloindonesia atau Twitter-nya : @blusukansolo 🙂
Makasih udah mampir blog ini dan salam kenal mas 😀
Aku asli kartasura, tapi malah belum pernah ngubek2 sampe sejauh itu sampe sekarang… sudah terlanjur tertanam di kepala… ga boleh main ke lingkungan keraton sejak kecil, apalagi naik ke gunung kunci.. nanti ditemploki sawan ( kesurupan ) faktanya dulu waktu Perkemahan Sabtu – Minggu ( Persami ) SD sekitar tahun 94 di lapangan gunung kunci yang ternyata begas segaran itu banyak temen2 dari sekolah lain yang pada kesurupan
Dikeramatkan pasti meninggalkan “aura” atau sebut saja “zat” yang terus menghuni tempat tersebut. Mungkin dulu temannya kosong pikiran, melamun jadi gampang digodain hehehe. Kalau nggak ada pikiran negatif aman kok masuk ke dalam bekas Keraton Kartasura 😉
saya dulu sering lari lari di lapangan sebelah gunung kunci
Seruu nih, rumah dekat sana kah? Konon lapangan yang sekarang lapangan itu dulu difungsikan sebagai kolam permandian putri Keraton Kartasura. 😉
Aku tinggal di kartasura, tapi sama sekali belum pernah masuk kesitu. Lewat? Sering banget kalau lewat. Gak nyangka dalemnya bagus bgt, aku kira dalem nya cuma kek makam trs tanah kosong. Nyesel sih baru tau sekarang
Monggo disamperi biar nggak penasaran lagi dengan keberadaan Keraton Kartasura, mbak Clara. 🙂