Wonogiri adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang bisa ditempuh dengan waktu tempuh sekitar satu jam saja dari kota Solo. Kalau Kota Solo identik dengan wisata budaya dan kuliner maknyus, Wonogiri justru terkenal dengan wisata religinya. Banyaknya goa, sendang ( mata air ), kedung ( air terjun ) yang tersebar di perbukitan dan pegunungan membuat Wonogiri digemari oleh para semedier alias orang-orang yang rajin bersemedi. Mereka menyambangi kota Wonogiri di tanggal tertentu kalender Jawa untuk bersemedi di beberapa petilasan. Mereka bersembahyang supaya entheng rezeki, entheng kekuasaan, sampai entheng jodoh bagi galauer #ehh. Itu hanya pandangan sekilas orang yang belum melihat Wonogiri dari potensi wisatanya.
Menurut saya yang nggak percaya hal mistis macam begituan, Wonogiri adalah sebuah destinasi yang punya banyak wisata alam dengan posisinya yang dikelilingi banyak gunung termasuk Gunung Sewu. Sayangnya potensi wisata di pegunungan karst tersebut belum dikelola secara maksimal oleh pemerintah setempat. Beberapa pengunjung hanya tahu keberadaan wisata waduk Gajahmungkur saja saat melipir ke Wonogiri. Wisata alam indah yang tersebar di pegunungan justru diketahui oleh para semedier untuk kepentingan yang kurang masuk di akal, salah satunya adalah keberadaan air terjun di kecamatan Selogiri.
Selogiri merupakan kecamatan di sebelah utara Wonogiri yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukoharjo. Sejarah Selogiri sendiri tidak jauh dari peran Pangeran Samber Nyawa ( Raden Mas Said ) yang mendirikan kerajaan kecil di bumi Nglaroh ( cikal bakal Wonogiri ) Desa Pule kecamatan Selogiri. Perjuangan Raden Mas Said dalam melawan kolonial Belanda, memperistri Rubiyah ( Matah Ati ) sampai menjadi pemimpin Praja Mangkunegaran yang pertama tidak saya jelaskan panjang lebar disini. Lain waktu saja. 🙂
Minggu lalu ( 12/3/2013 ) saat umat Hindu di Indonesia termasuk sebagian besar warga Pulau Bali merayakan Hari Raya Nyepi, saya dan beberapa teman mencari tempat sepi untuk menyepi dari kegalauan lagu Adele #krik. Dari arah Sukoharjo memasuki Wonogiri kami mengarahkan kendaraan menuju Pasar Krisak, kemudian berjalan ke arah selatan sejauh 7 km sampai ketemu Dusun Melati. Sudah banyak info yang menyebutkan keindahan air terjun yang menurut beberapa info memiliki tujuh buah air terjun dengan letak bertingkat, namun berdekatan satu sama lain.

Jalan setapak yang harus dilewati menuju air terjun pertama cukup mudah dengan adanya trek yang sudah ditata oleh penduduk setempat dengan bagus. Berjalan melewati kandang sapi, hamparan ladang padi dan petani-petaninya, hingga menerobos rerumputan liar membuat perjalanan selama lima belas menit tak terasa membosankan. Sesekali harus melewati jembatan terbuat dari bambu untuk menyeberang sungai kecil di sana.
Air terjun pertama yang kami temui adalah Banyu Anjlok yang memiliki tinggi tidak sampai sepuluh meter. Air terjun ini masuk dalam kategori air terjun musiman di mana saat musim kemarau air yang mengalir tidak sebanyak musim penghujan. Dengan adanya sebuah warung yang terletak persis di samping air terjun, pengunjung bisa melepas lelah sejenak sembari minum es teh atau membeli gorengan serta makanan lain yang tersedia di sana.

Berjalan tidak jauh dari air terjun pertama, pengunjung bisa menemukan air terjun berikutnya yang bernama Kedung Dandang dan Kedung Bunder. Kedua air terjun tersebut terletak di atas Banyu Anjlok. Meskipun tidak setinggi Banyu Anjlok, suasana rimbun pepohonan di sekitar air terjun membuat keduanya selalu ramai oleh kehadiran para anak muda yang bermain air sampai memadu kasih #upss.
Air terjun berikutnya memiliki dua versi nama, versi sopannya yaitu Air Terjun Jorok, versi keduanya adalah Kedung Turuk. Kalau orang yang memahami bahasa Jawa pasti langsung mengerenyitkan dahi sambil geleng-geleng. Bagi yang belum tahu artinya… Ehmm… Kasih tau nggak ya? Hehehe. Air terjun ini dinamai Turuk sejak zaman dulu oleh penduduk setempat dikarenakan oleh bentuk air terjunnya yang menyerupai alat kelamin wanita alias Miss V. Eits, bukan ngomong jorok lho. Kalo nggak percaya, monggo melihatnya langsung. 😀

Melewati jalan sempit yang semakin rusak parah dan becek karena musim penghujan tidak membuat kami menyerah berjalan menuju air terjun berikutnya. Nyaris tidak ada jalan yang rata dengan tanah. Pengunjung harus trekking lumayan berat selama lima belas menit di tengah jalan setapak berlumpur menuju air terjun kelima.
Rasa capek dibayar tunai dengan pemandangan indah air terjun Jurang Gandil. Air terjun yang tingginya mungkin sekitar tiga puluh meter tersebut memiliki bentuk yang berundak seperti anak tangga raksasa yang WOW banget. Aliran air yang lumayan deras membuat air terjun ini terlihat semakin mubasir jika tidak berbasah ria di sana.

Selesai dari Jurang Gandil sebenarnya masih ada dua air terjun lagi di atasnya. Dua air terjun di atas Jurang Gandil adalah Kedung Padusan yang menurut cerita warga setempat mempunyai kolam sedalam leher orang dewasa dan air terjun Kedung Ringin yang konon angker ( keduanya sering digunakan untuk semedi ). Karena kondisi jalan setapak yang semakin tidak jelas dan kabur keberadaannya, dengan terpaksa Jurang Gandil menjadi penutup acara Nyepi di Selogiri dan melanjutkan perjalanan menuju pantai “baru”. 🙂
#SaveOurNature
Note : Potensi wisata air terjun di Selogiri belum dikelola oleh pemerintah setempat secara maksimal. Jalan setapak menuju air terjun dan informasi terkait tentang air terjun masih dibuat seadanya oleh penduduk setempat. Memang ada kalanya tempat indah itu cukup disimpan sebagai sebuah kenangan saja mengingat daya rusak manusia yang terkadang tidak bisa dikontrol, namun ada kalanya tempat indah bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi penduduk setempat yang berprofesi sebagai petani di Selogiri bila diarahkan dan dikelola dengan benar. Cheers…
baru tahu kalau ada air terjun jorok … *moco karo ngekek2 dewe …
Nguyu ngakak mboten nopo-nopo… *asal jangan kebawa mimpi* hehehe…. 😀
shock liat nama air terjun Kedung T*r*k, hahahaha *geleng2 kepala*
hihihi…
Ngakak baca air terjun tu to the ruk…
pesan singkat : jangan kebawa mimpi yah…hahaha…. 😀
ah gak, lebih enak secara langsung daripada mimpi 😛
selo = batu, diri = sungai , pas kali
Setahuku bukan Selodiri deh tapi Selogiri, selo= batu, Giri = gunung
hmmm .. nice info .. xixixiiii
Wuakakakakak.. Nama Curugnya bikin ane inget kejadian dikerjain temen. Diajarin bahasa jawa katanya T*ruk itu artinya ketek, ya Ane so soan ngomong jowo pake bahasa t*ruk. Digeplak Ane.. hahaha
Ini harus jabat tangan sukses sama temen yang berhasil ngerjain atau simpati sama yang dikerjain yah? hahaha…
Iyak… makanya sekarang Ane hati2 kalo nemu istilah yang aneh. Takut salah lagi 🙂
siap meluncur, hehhe jadi penasaran
Monggo 😀
heemmmmm…. yang asli pribumi selogiri malah ketinggalan nich.
😀
numpang copas artikelnya gan, tapi udah aku kasih sumbernya dari sini…
kunjungi websiteku juga yaa http://www.wisatapanorama.com/
terima kasih banyak sebelumnya
Monggo, semoga bermanfaat 🙂
Kalau kemari ada angkutan umum nggak Lim? Paling nggak berhenti di mana gitu terus dilanjut naik ojek.
Bisa turun di Pasar Selogiri ( sebelum masuk kota Wonogiri ) lanjut ojek masuk desanya. Sekitar lima belas menitan udah nyampe jalan depan menuju air terjun 🙂
mantap jaya, saya coba blusukan ke sana, hahaha 😀
Mungkin air terjun yang satu itu bisa dikasih kode: Kedung Saru 😀
Kedung Saru… Noted! 😀
Asli selogiri tapi belum pernah kesana miris 😥
Waaa jadi besok pas liburan harus belain mlipir ke air terjun yg ditulis di sini yaa 🙂
baru ngeh kalo ini postingan dua tahun yang lalu 😀
kapan2 bisa mampir kalo mudik ke wonogiri
Hehehe sudah mengenalkan potensi air terjun Melati di Selogiri sejak dua tahun lalu, tapi terakhir ke sana masih aja belum banyak pengunjung dan belum ada papan petunjuk jelas menuju ke sana. Bingung mo bertindak apa lagi. 🙂