Mencari Pahlawan Yang Hilang

Sejarah seolah telah menjadi salah satu pelajaran yang terdengar membosankan ketika saya duduk di bangku sekolah. Adakalanya terkantuk-kantuk saat guru sejarah menjabarkan cerita perang dunia dan sejarah panjang kerajaan Nusantara kurun waktu berabad-abad. Boring… Namun, entah kenapa saya justru antusias menonton siaran TVRI tiap tanggal 30 September yang menayangkan pembantaian Gestapu 1965 setiap tahun.

Nama para panglima terpatri di pikiran. Nama-nama mereka pun diabadikan di berbagai jalan besar di seluruh Indonesia. Nama-nama yang kini menjadi topik perbincangan di media, mereka dibantai oleh siapa? Ahh sudahlah, lupakan sejarah kabur yang sudah berlalu. Pekerja media memiliki peran besar mengenalkan “sosok” penting di negeri ini. Ada menjadi tiada. Yang tidak ada menjadi ada.

Mayor Achmadi
Mayor Achmadi

Sejarah kabur ikut berimbas dengan pengenalan masyarakat tentang siapa pejuang yang berjasa di kotanya sendiri. Bahkan banyak generasi muda Kota Solo, termasuk saya, belum mengetahui tentang peristiwa bersejarah yang pernah terjadi pada masa Revolusi Nasional di antara tahun 1945 – 1949. Sampai akhirnya bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2013 lalu, komunitas Blusukan Solo mengadakan acara bertajuk #BlusukanPahlawan yang mengajak pesertanya untuk lebih mengenal secara dalam tentang peristiwa Serangan Umum (Empat Hari) Surakarta.

Tercatat di sejarah telah terjadi pertempuran selama empat hari di Surakarta (7 – 11 Agustus 1949) di mana tentara Belanda berusaha menguasai Vorstenlanden Surakarta setelah mereka gagal menguasai Yogyakarta. Surakarta dianggap kota penting seolah poros oleh Belanda dengan tujuan melancarkan serangan untuk menguasai Indonesia lagi.

Kurang lebih 11 batalyon ditempatkan berdekatan dengan keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran oleh Belanda. Pasca Proklamasi Republik Indonesia, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran menyatakan bergabung sepenuhnya dengan NKRI serta perjanjian Roem Royen yang mengikat, sehingga mereka tidak leluasa mengerahkan seluruh pasukan keratonnya untuk melindungi wilayah Surakarta.

7 Agustus 1949 menjadi puncak dari kedua serangan yang pernah dilakukan sebelumnya. SWK (Sub Wehr Kreise) 106 Arjuna di bawah pimpinan Mayor Achmadi memimpin pergerakan TNI dan Tentara Pelajar selama empat hari. Dengan persenjataan ala kadarnya, gabungan tentara pelajar yang berusia kurang dari 17 tahun dengan anggota TNI menyusup dan menguasai kampung-kampung di dalam kota.

Mereka berhasil membumihanguskan beberapa markas tentara Belanda dan memblokade batas kota agar tentara Belanda tertahan di markas dan tidak mendapat bantuan lebih besar dari luar kota. Sayangnya pengamanan kota yang dilakukan selama empat hari diwarnai kekerasan sepihak dari Belanda yang mengakibatkan lebih dari dua ratus nyawa melayang.

Banyak penduduk sipil yang meninggal akibat serangan balas dendam tentara Belanda yang sakit hati karena beberapa tentaranya terbunuh. Sampai akhirnya terjadi perundingan yang mengakhiri pertempuran empat hari tersebut pada tanggal 12 Agustus 1949, pihak Republik Indonesia diwakili oleh Letkol Slamet Riyadi dan Kolonel Van Ohl selaku pimpinan tentara Belanda mewakili negaranya.

truk tentara
truk tentara

Ada beberapa titik pemberhentian yang dilalui peserta. Beberapa di antaranya merupakan prasasti/monumen tentang kisah perjuangan serangan umum empat hari Surakarta. Letaknya yang berjauhan satu sama lain tidak membuat peserta harus bersusah payah berjalan kaki apalagi bersepeda seperti kegiatan Blusukan Solo sebelumnya. Truk berwarna hijau milik TNI Angkatan Darat siap mengangkut kurang lebih tiga puluh peserta menuju beberapa titik tersebut. Ya… Truk tentara… Sensasinya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.. Kapan lagi bisa menjadi “tentara” seharian? Kapan lagi dipandang aneh oleh pengendara lain yang melintas di depan truk, seolah dianggap tersangka penggerebekan kios xxx? 😀

 

sensasi naik truk tentara
sensasi naik truk tentara

Truk melaju dari Korem 074 Waras Tramata yang terletak persis di seberang Solo Square Mall menuju Monumen Pasar Nongko. Monumen yang terletak di perempatan jalan menuju Pasar Nangka didirikan persis di lokasi pembantaian penduduk sipil yang pernah dilakukan oleh tentara Belanda. Monumen terbuat dari marmer tebal yang diresmikan sejak tahun 1980 tersebut tertulis kalimat “LEBIH BAIK MATI BERKALANG TANAH DARI PADA HIDUP DIJAJAH” dengan dua puluh enam nama korban pembantaian di dinding baliknya. Tulisan serupa bisa ditemukan di Monumen Patung Pejuang yang terletak di daerah Veteran.

Sama halnya dengan Monumen Juang ’45 yang terletak di tengah-tengah Villa Park Banjarsari yang menjadi tugu peringatan akan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para pejuang. Berdiri tegak beberapa patung yang menggambarkan sosok tentara, penduduk sipil, pelajar, dan perawat yang telah berkorban pada masa Revolusi Nasional antara tahun 1945 – 1949.

Selain monumen yang bertuliskan korban pembantaian guna menghormati penduduk sipil yang gugur, Solo juga memiliki monumen yang dikhususkan untuk pejuang Tentara Pelajar yang sudah berjasa dalam mengamankan kota Surakarta. Wujud penghormatan tersebut bisa dilihat di Prasasti Monumen Ganesha atau lebih dikenal sebagai Monumen Tentara Pelajar yang terletak di Jalan Tentara Pelajar.

nDalem Patmonegaran
nDalem Patmonegaran

Ada pula sebuah tempat yang tidak dibangun monumen meskipun lokasi tersebut merupakan tempat terjadinya pembantaian. Tempat yang saya maksud adalah nDalem Patmonegaran, Gading, Kecamatan Pasar Kliwon. Bekas kediaman dr. KRT Patmonegara yang dulu digunakan sebagai markas PMI (Palang Merah Indonesia) pernah menjadi satu dari beberapa tempat di mana tentara Belanda menyerang secara liar dan menewaskan 14 petugas PMI dan beberapa penduduk setempat. Saya hanya bisa bergidik membayangkan darah segar mengalir di selokan persis di depan halaman nDalem Patmonegaran.

 

Peserta tidak hanya digiring dari monumen ke monumen yang sebenarnya sering dilewati peserta setiap waktu tanpa tahu sejarah di baliknya saja, kami juga diajak menelusuri jejak perjalanan yang dilakukan oleh Tentara Pelajar dari tengah kota Surakarta menuju sebuah dukuh di desa Plupuh, Karanganyar. Tidak terbayangkan bagaimana para tentara yang tergolong muda belia harus berjalan kaki lebih dari sepuluh kilometer dari kota menuju Dukuh Wonosido yang menjadi tempat Mayor Achmadi menyusun rencana serangan bersama SWK Arjuna 106 tertanggal 3 – 5 Agustus 1949.

Tak jauh dari rumah perundingan telah dibangun sebuah monumen dan balai pertemuan yang diberi nama “Arjuna”. Berdiri dengan gagah pula patung Mayor Achmadi membawa senjata api di tangan kanan dan mengapit buku di tangan kirinya. Ruang pertemuan sekaligus museum sederhana membantu peserta memahami apa saja peranan penting penggerak Tentara Pelajar serta melihat lebih jelas potret Mayor Achmadi (lahir 5 Juni 1927, wafat 2 Januari 1984). Ternyata oh ternyata, beliau memiliki wajah ganteng bak selebriti yang mampu membuat beberapa peserta kelepek-kelepek saat melihatnya. 😉

Mr Suhendro
Mr Suhendro

Sejarah Mayor Achmadi yang dilahirkan di Ngrambe, Jawa Timur seakan telah tersapu oleh angin. Kisah perjuangannya bertolak belakang dengan cerita perjuangan Letkol Slamet Riyadi yang lebih mudah dicari di internet. Sampai akhirnya kami bertemu dengan Bapak Suhendro Sosrosoewarno, salah satu teman seperjuangan Mayor Achmadi. Veteran Tentara Pelajar yang bergelar Kapten pada waktu Serangan Umum Surakarta tersebut bercerita cukup banyak tentang pertempuran serta siapa Mayor Achmadi.

Pak Suhendro masih duduk di bangku sekolah pertama/ SMP saat memimpin Rayon I di daerah Polokarto, Sukoharjo. Sementara Mayor Achmadi masih belum menamatkan bangku sekolah menengah/ SMU saat beliau menjabat sebagai Mayor. Meski lebih muda dari Letkol Slamet Riyadi ( berusia 22 tahun saat terjadi pertempuran), Mayor Achmadi mampu menggerakkan semangat anak buahnya agar selalu memiliki keberanian untuk membela negara. “Pahlawan adalah seseorang yang mengenal kesunyataan, kebenaran atau kenyataan”, ujar Pak Suhendro menutup pembicaraan.


Note : That a hero lies in you, seperti kata tante Mariah Carey. Penafsiran arti “pahlawan” itu kompleks. Anak kecil yang membantu orang tua menyeberang jalan raya bisa disebut pahlawan, seseorang yang diam-diam menyumbang panti asuhan tanpa menyebut nama juga bisa disebut pahlawan. Mau meluangkan waktu untuk mengajar secara sukarela di pelosok desa itu juga seorang pahlawan tanpa tanda jasa.

Tidak perlulah bersusah payah menjadi orang terkenal dengan harapan namanya akan terus-menerus dibicarakan di media, atau ngotot menerbitkan biografi yang memenuhi rak-rak di toko buku untuk menjadi seorang pahlawan instan … Cheers and Peace.
Happy 2014 ! 😉

29 Comments Add yours

  1. Avant Garde says:

    seruuuuuuuuuuu….

    1. Halim Santoso says:

      Baru kali ini naik truk tentara hehe… Tapi yang paling bikin hati senang adalah saya jadi lebih mengenal pejuang di kota sendiri ^_^

    2. Avant Garde says:

      iyah…. ku pernah ke makam pahlawan lokal kerinci namanya depati parbo, di makamnya dibuat obelisk 🙂

  2. yusmei says:

    Ini yang aku kagak ikuuttt gara2 masuk kerja *gigit2 komputer 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Buat tombo gelo yukk cari jadwal yang pas buat ketemu pak Hendro trus korek informasi lebih banyak tentang Mayor Achmadi 🙂

  3. Ntar nyari di sini juga ah..

    1. Halim Santoso says:

      Kalau sudah ketemu pejuang dari Borneo dishare ya 😉

  4. Alangkah baiknya jika Pahlawan seperti Pak Suhendro itu lebih diperhatikan lagi ya masa tuanya 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Nasib veteran masih belum mendapat perhatian penuh dari negara, sama halnya mantan atlet peraih medali emas yang mewakili tanah air di ajang perlombaan internasional, Titis 🙂

  5. Rohmat says:

    keren ko 😀 koko dulu guru sejarag ya 😛

    1. Halim Santoso says:

      Eh kok tahu sih? Sttt…jangan bilang-bilang ya hahaha

  6. wah, seru kayaknya, itu acara mblusuknya rutin ada gitu? mulai seneng sama wisata historis ini 😀 baru engeh juga kalau di solo ada yang kayak gini 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Blusukan Solo diadakan tiap bulan sekali, bisa cek di FB atau twitternya untuk acara updatenya *wink

    2. lho? apa deh fb page apa twitternya ;D kali – kali nanti lai nyasar ke solo, bisa ikutan 😀

    3. Halim Santoso says:

      Twitter-nya : @blusukan_solo
      FB page-nya : https://www.facebook.com/blusukansoloindonesia
      Semoga membantu 🙂

    4. sip – sip 😀 makasih banyaaak

  7. Muhammad Amirudin says:

    Maaf ndan ane mahasiswa smester ahir ni,,mau nyusun skripsi ttg mayor achmadi,,boleh tanya gak tentang alamat pak Suhendro Sosrosoewarno,, tepatnya dmna ya?

    1. Halim Santoso says:

      Rumah pak Suhendro di sebelah rumah bersalin “Bunda” daerah Panti Sari, Kepatihan. 🙂

    2. Muhammad Amirudin says:

      Oke gan makasih… Terus yg tmpat perundingan sama musium nya gan? Maaf ni ane ngrepotin..?

    3. Halim Santoso says:

      Tempat perundingan dan museum Arjuna ada di desa Plupuh, Karanganyar. Lewatnya ring road Mojosongo ke arah Plupuh / Kaliyoso 🙂

    4. Muhammad Amirudin says:

      Maksut ane alamat lngkapnya pas di dusun wonosido gan..biar gak nyasar.. 😛

    5. Halim Santoso says:

      Nama jalannya Jalan Mayor Achmadi, tapi maap lupa KM berapanya 😀
      Bisa tanya penduduk setempat cari lokasi Balai Pertemuan Arjuna setelah jembatan 🙂

    6. Muhammad Amirudin says:

      Yaudah gan makasih banget,,nanti aku cari sndiri.. Mkasih gan tulisan sangat mmbantu..ane dlu smester awal dtang di presmian di banjarsari lgsung kpngen mbuat skripsi ttg beliau..emang bner diinternet ssah nyari smber ttg beliau..
      Sukses buat karya blognya gan..tlisan yg bagus.. 😀

    7. Halim Santoso says:

      Masama bro… semoga cepat selesai skripsinya. Pak Suhendro gampang dihubungi, semoga bisa dapat informasi banyak dari beliau 🙂

    8. Muhammad Amirudin says:

      Amin gan… Makasih banget infonya.. 😀

  8. Wah inisiatif anak2 blusukan solo ini keren banget. Kami akan mulai mantengin acara2 mereka. Trims infonya ya 🙂 dan salam kenal.

    1. Halim Santoso says:

      Terima kasih sudah mampir di blog ini *seduh kopi*
      Monggo ikut kegiatan anak blusukan solo kalau pas singgah di Solo 🙂

  9. rotyyu says:

    Mantap. Sudah waktunya generasi muda belajar sejarah.

    1. Halim Santoso says:

      Ayo kenali pahlawan dan sejarah di kotamu. Kenalkan secara dini ke generasi yang lebih muda agar nggak gagap sejarah 😉

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.