Ratapan Stasiun Kudus

Awal perjumpaan saya dengan bekas Stasiun Kudus tidak terlalu mulus. Ada banyak alasan yang diutarakan oleh seorang teman yang sedari siang menjadi pemandu dadakan di Kudus. Saya menyadari bahwa tidak semua orang menyukai kekunoan. Kehampaan bangunan yang telah ditinggalkan puluhan tahun itu telah dipandang remeh. Tak layak menyandang status obyek wisata, kumuh, hingga mistik selalu menjadi alasan jamak.

Pada April 2017 lalu saya tidak pernah menyangka akan memasuki sebuah stasiun tidak aktif peninggalan perusahaan kereta Samarang-Joana Stroomtram Maatschappij atau SJS yang sudah menjelma menjadi sebuah pasar tradisional. Jelang petang lapak-lapak para pedagang sudah tutup sebagian. Tersisa penjual rentengan makanan kecil dan palawija. Andai papan nama bertuliskan “KUDUS +16,47” sudah hilang, mungkin saya tidak akan percaya bahwa bangunan megah itu adalah bekas stasiun kereta yang pernah menghubungkan Semarang dan Juwana puluhan tahun silam.

Nasib Stasiun Kudus yang berlokasi di Jalan Johar, Wergu Wetan, Kudus sebelas dua belas seperti stasiun-stasiun tidak aktif lain di seluruh Pulau Jawa. Maraknya moda transportasi bus dan kendaraan pribadi menjadi alasan utama kereta jalur pendek perlahan ditinggalkan oleh masyarakat. Tercatat stasiun ini sudah berhenti beroperasi sejak tahun 1986, kemudian pada tahun 1997 bangunan mulai difungsikan sebagai Pasar Wergu. 

Samarang-Joana Stroomtram Maatschappij adalah salah satu perusahaan kereta masa Hindia Belanda yang mulai beroperasi pada 28 September 1881. Mereka pernah mengelola jalur kereta sepanjang 417 kilometer beserta stasiun-stasiun dan halte-halte yang menghubungkan Semarang SJS – Demak – Pati – Kudus – Rembang, Kudus – Jepara, sebagian Blora, Grobogan, Bojonegoro, dan sebagian Tuban. Pembangunan bermula dari Stasiun Jurnatan ( Semarang ) – Genuk – Demak – Kudus – Pati – Juwana yang berlangsung tahun 1883 hingga 1884. Selanjutnya, rel kereta dari Stasiun Kudus diteruskan menuju Mayong ( Jepara ) tahun 1887, dan perpanjangan jalur Juwana – Rembang pada tahun 1900.

Stasiun Kudus sendiri awalnya dibangun di dekat Pasar Kliwon pada tahun 1884. Melintasi alun-alun dan pusat perdagangan di tengah kota yang semakin ramai dirasa menganggu aktivitas masyarakat waktu itu, sehingga SJS memutuskan untuk membangun jalur rel baru dan memindahkan stasiun ke daerah Wergu. Stasiun Kudus baru atau ada yang menyebutnya Stasiun Wergu yang dibangun di Wergu mulai beroperasi tahun 1919. Selain melanjutkan jalur utama Semarang – Juwana, di sana juga terdapat jalur kereta percabangan Kudus – Mayong ( Jepara ) – Pecangaan guna mengangkut hasil bumi dan penumpang.

Stasiun Kudus 2019
kondisi Stasiun Kudus tahun 2019

Selang beberapa bulan setelah kedatangan pertama, pemerintah daerah merelokasi Pasar Wergu ke lokasi baru. Ruang demi ruang di bekas Stasiun Kudus bisa saya amati dengan teliti pada kunjungan-kunjungan berikutnya. Kali kedua tahun 2019, saya meminta bantuan teman sesama blogger, Yasir Yafiat untuk mengantar ke sana. Kondisi lahan stasiun sudah berbeda dengan dua tahun silam. Lapak-lapak para pedagang sudah dirobohkan dan dibersihkan, peron terlihat sangat lapang. Pun tidak ada lagi sekat-sekat triplek di antara tiang-tiang besinya. 

Ada dua bangunan utama saling berhadapan di sebelah barat dan timur lahan stasiun. Kanopi stasiun dibangun memanjang sebagai penghubung peron dan kedua bangunan. Besi penyangga kanopi masih terlihat kokoh hingga sekarang. Kaca-kaca kuning di atas tiang-tiang peron juga belum banyak yang pecah. Membuat saya semakin terpukau dengan bangunan berumur 100 tahun tersebut. Sayang jajaran rel kereta di sisi selatan dan mungkin ada beberapa di sisi utara stasiun sudah tidak tampak. Semua sudah tertutup aspal jalan raya dan semak belukar.

Ruangan sebelah timur terlihat seperti bekas ruang tunggu penumpang. Namun dalam ruangan tidak ada kemewahan pada lantai atau dinding seperti ruang VIP di beberapa stasiun besar. Hanya ada sisa bangku permanen semen yang menempel pada dinding luarnya saja. Toilet diletakkan di bangunan terpisah di belakang bangunan timur. Ubin klasik khas stasiun peninggalan masa Hindia Belanda dapat ditemui di sekeliling bangunan utama. Berbeda dengan lantai pelataran peron yang sudah diganti menjadi tegel kekinian warna putih.

Sementara bangunan sisi barat memiliki bilik loket yang berjajar dengan bekas ruang kepala stasiun dan administrasi stasiun. Saat saya mengintip ke dalam, terdapat sebuah tonjolan di antara dinding yang saya duga dulu merupakan bekas lemari besi berukuran besar untuk penyimpanan barang berharga. Pintu-pintu ruangnya masih tertutup rapat dan digembok, sehingga saya tidak bisa mengekplorasi secara menyeluruh. Positifnya, bangunan kuno ini tidak digunakan sebagai tempat berbuat mesum atau malah wadah ajang uji nyali, kan? 😉

Tahun 2020 saya kembali menyambangi bekas Stasiun Kudus bersama beberapa kawan. Akses masuknya masih seperti dulu, melewati pagar seng samping sisi selatan yang terbuka lebar di samping sebuah tenda angkringan milik warga sekitar. Di sana ada setapak yang mudah dilewati ketimbang jalan lainnya. Kami cukup meminta izin dan menyampaikan maksud kedatangan untuk melihat lebih dekat bangunan bersejarah kepada mereka. Restu pun diberikan. Mudah.

Setahun berlalu, bangunan stasiun mati ini masih belum terurus dengan lebih baik. Rumput liar semakin meninggi di sisi selatan. Kondisi peron terlihat sama, tumpukan debu di lantai dan samar bau tumpukan kotoran kalong semakin memberi kesan bahwa bekas Stasiun Kudus masih terlantar. Entah wacana apa yang sudah digembar-gemborkan oleh pihak PT KAI, entah program lanjut apa yang hendak mereka buat demi melestarikan bangunan tua ini, saya kurang paham.

Cheers and peace!

20 Comments Add yours

  1. Zae AbJal says:

    Sepertinya PT. KAI cuma mau ngeprank ya mas.. 😂😂😁

  2. Yang Mayong malah entah bagaimana bangunannya, koh. Pengen ke sana sih sebenarnya.
    Oya, di Rembang, aku naik bus bilangnya berhenti di “stasiun” tapi semacam terminal kecil. Apakah mungkin itu adalah bekas tempat stasiun kereta?

    1. Stasiun Mayong tinggal bekas lahannya aja, karena fasad stasiun yang terbuat dari kayu sudah diboyong ke Mesa Stila, Magelang. Dulu aset seperti ini bisa dibeli swasta, nggak seketat sekarang status heritage bangunan-nya 😀

    2. aku juga pernah kayaknya menemukan di suatu daerah gitu tulisan jalan stasiun, tapi gak ada fasad bekas stasiunnya. wkwkwk.

    3. Nasib beberapa lahan stasiun tidak aktif seperti itu. Kalau di Pati ada tanda sebuah taman yang dinamai Taman Stasiun.

  3. Avant Garde says:

    Kudus, tunggu aku ya huhuhu ….

    1. Buruan jalan-jalan susur pantura Jawa Tengah 😛

    2. Avant Garde says:

      Tunggu pandemi kelar mas hehehe

  4. Bama says:

    Sesungguhnya di beberapa daerah mulai terlihat geliat pihak pemerintah dan swasta dalam memfungsikan bangunan-bangunan tua yang selama ini terbengkalai. Ada yang menjadi rumah bagi tempat makan yang enak untuk nongkrong anak muda maupun keluarga, ada yang sebagian ruang-ruangnya menjadi tempat diskusi yang hidup dan tempat seniman-seniman mempertunjukkan bakatnya, ada juga yang menjadi tempat istirahat pelancong darat yang wara-wiri melintasi jalan tol yang memanjang di bagian utara pulau Jawa. Semoga bekas Stasiun Kudus ini bisa dimanfaatkan sebagai ruang yang inspiratif dan menyegarkan.

    1. Peronnya yang luas mengingatkan pada Stasiun Willem II di Ambarara. Ruang publik sebagai tempat diskusi atau tempat pertunjukan adalah ide yang sangat bagus, Bam. Sejauh ini sudah ada bangunan-bangunan kuno yang direvitalisasi di beberapa kota berhasil menjadi pusat perhatian setelah kelompok seniman mengadakan pertunjukan di sana. Mudah-mudahan kondisinya menjadi lebih baik ya.

    2. Bama says:

      Semoga. Nanti di bulan Agustus, kantor pos di Pasar Baru, Jakarta akan dibuka untuk umum setelah menjalani renovasi yang menjadikannya ruang publik layaknya bekas gudang dan perumahan karyawan Perum Peruri di Blok M yang kini jadi salah satu tempat paling inspiratif di Jakarta. Semoga trend seperti ini menular ke daerah lain di Indonesia karena aset-aset bersejarah seperti Stasiun Kudus ini sesungguhnya banyak sekali yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan.

  5. Hastira says:

    sayang banget ya, apdahal ini aset loh yang bisa dikembangkan sbg wisaat edukasi

    1. Terkadang kesederhanaan buah pikir tertutupi oleh banyak kepentingan pihak tertentu dan birokrasi rumit atau gagasan yang terlampau tinggi sehingga pada akhirnya semua hanya masih wacana tanpa realisasi. Hanya bisa menunggu supaya mereka menjadi lebih baik saja. 🙂

  6. kalau diliat dari kemegahan bangunannya, kayanya dulu stasiun Kudus (stasiun wergu) ini masuk ke stasiun besar ya. mungkin kalo saat ini masih aktif akan setara dengan stasiun bojonegoro, cepu, atau jombang.
    menarik banget, koh, ulasane. mungkin next bisa blusukan juga ke jalur-jalur kayak babat-tuban dan jalur yg mati lainnya.

    1. Tuban-Babat ki wes masuk daftar sejak lama, tapi tertunda terus. Penasaran bekas rumah dinas karobekas pabrik-pabrik gula di sana. Sukmben kancani yo, Lan 😀

    2. Okay sip, Koh. Sementara nek aku penasaran sama stasiun Tuban. Dulu pernah diajak sepupu, tapi lintas lewat depan e tok. Itu juga pas cilik.

  7. Alid Abdul says:

    Finally Ko Halim yang pencari artefak kembali ngeblog muehehehehe. Jadi ke Kudus udah habis berapa porsi Lentog?

    1. Kuliner Kudus jelas kudu makan serba sajian daging kebo donk, moso lentog tiap hari. Kan biar dianggap merakyat jadi santap sate kebo, soto kebo, pindang kebo hahaha.

  8. Evi says:

    Lagi kangen Halim terus mampir ke blognya. Mayan jadi nambah info tentang Kudus 👍

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.