Gombong yang terletak di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah belum menjadi sebuah kota kecamatan ramai oleh kedatangan pelancong. Beberapa baru mengenali kemegahan benteng bercat merah yang pernah dijadikan sebagai tempat syuting film The Raid 2, Benteng Van der Wijck. Padahal, Gombong yang diberkahi sebuah benteng dan stasiun yang menghubungkan Vorstenlanden dengan Batavia sudah membuktikan bahwa ada sesuatu yang istimewa dengan daerah tersebut semasa pemerintahan Hindia Belanda. Lantas masih adakah sisa dari pengembangan kota yang telah dilakukan oleh kolonial?

Jelajah pusaka yang diadakan oleh Roemah Martha Tilaar pada 16 Februari 2019 lalu membuka wawasan saya tentang keragaman, toleransi, dan perkembangan budaya peranakan Tionghoa di Gombong. Kegiatan yang dimulai pukul 07.30 tersebut bertujuan untuk mengenalkan potensi wisata sejarah yang dewasa ini masih diremehkan oleh pihak tertentu. Supaya semakin mengenal Gombong dari sudut pandang lokal, pagi itu kami dipandu oleh dua staff Roemah Martha Tilaar yang bernama Sigit Asmodiwongso dan Alona. Mereka berdua membawa kami menelusuri permukiman Tionghoa yang tersebar di Wonokriyo, Kecamatan Gombong.
Pertama-tama kami berjalan ke sebuah bangunan tua yang terletak tidak jauh dari Roemah Martha Tilaar di Jalan Sempor Lama. Sebelum kami dipersilakan masuk oleh pemilik rumah, Sigit menuturkan bahwa rumah Liem Yauw Ka ini semula dimiliki oleh Tan Djoen Sim, pedagang hasil bumi. Namun, malang keluarga Tan Djoem Sim terlibat hutang dan usahanya bangkrut tahun 1940-an. Rumah yang disita itu kemudian dibeli oleh Liem Yauw Ka, seorang Tionghoa totok yang mengawali bisnis di Gombong dengan menjual beras, kacang-kacangan, dan ketela.
Rumah dominan warna hijau ini memiliki arsitektur Tionghoa yang kental. Altar sembahyang leluhur yang diarahkan langsung ke pintu masuk, atap model ngang shan, tiang-tiang kayu berukir, pintu utama berlapis dua, serta memiliki sumur langit atau ruang terbuka di tengah rumah. Meskipun bagian belakang rumahnya sudah dipoles dengan sentuhan modern dan penambahan tembok-tembok baru yang tidak sesuai, saya salut dengan pewarisnya yang masih mau merawat foto-foto leluhurnya dan tidak merubuhkan seluruh bangunan lama menjadi sebuah bangunan modern yang kaku.
Kantor Yayasan AGH (Anugerah Guna Hidup) yang beralamat di Jalan Sempor Lama no 2 menjadi perhentian kami berikutnya. Bekas kantor Tjung Hwa Tjung Hwi ini diperkirakan dibangun tahun 1930-an. Tjung Hwa Tjung Hwi sendiri adalah sebuah organisasi yang pembentukannya diprakarsai oleh Yap Tjwan Bing, seorang anggota BPUPKI sekaligus seorang keturunan Tionghoa yang pernah masuk dalam jajaran anggota DPR RIS (Republik Indonesia Serikat).
Seiring berjalannya waktu, bangunan sisi selatan pernah digunakan sebagai ruang kelas Cung Hwa She Siaw atau sekolah dasar dengan bahasa pengantar Mandarin. Ketika terjadi beberapa pergolakan revolusi, pada tahun 1960-1970 bangunan ini juga sempat beralih fungsi menjadi tempat penampungan warga peranakan Tionghoa yang merasa terusir dan hendak migrasi ke Tiongkok akibat perlakuan anti-Tionghoa setelah beredarnya PP 10 tahun 1959.
Sekarang bangunan sudah berpindah kepemilikan dan digunakan sebagai kantor rumah duka yang membantu masyarakat Gombong dalam menyediakan tempat persemayaman jenazah sebelum mereka dikubur atau dikremasi. Selain itu Yayasan AGH juga menjual kebutuhan upacara kematian seperti peralatan sembahyang dan peti mati. Kami diizinkan melihat seperti apa rupa ragam peti mati yang masih digunakan hingga sekarang, salah satunya adalah peti model cengkeh terbuat dari kayu jati kualitas baik yang harganya bisa mencapai 60 juta rupiah per buahnya.
Baca juga: Roemah Martha Tilaar, Heritage Gombong yang Menginspirasi
Yayasan AGH ini juga memiliki letak berdekatan dengan Kelenteng Hok Tek Bio yang beralamat di Jalan Mangga no.16 Gombong. Klenteng dengan dewa utama Hok Tek Ceng Sin atau Dewa Bumi tersebut pertama kali didirikan tahun 1952 dan mengalami perombakan tahun 2003, sehingga bentuk bangunan dan ornamennya terbilang tidak lawas. Sama seperti kelenteng di kota lain, Kelenteng Hok Tek Bio juga disebut sebagai tempat ibadah Tri Dharma (Buddha, Kong Hu Cu, dan Tao) sesuai amanah orde baru.
Dari Yayasan AGH kami kembali berjalan kaki mengarah ke Jalan Yos Sudarso, melewati Pasar Wonokriyo dan deretan pertokoan yang ramai pembeli kala akhir pekan. Kediaman keluarga Tan Pok Khay adalah rumah kedua yang kami kunjungi pagi itu. Rumah yang berlokasi di pinggir jalan raya ini belum terlihat keindahan arsitekturnya jika diamati dari luar. Namun, setelah kami melangkah masuk ke dalam, pilar-pilar kokoh dan tegel berukir yang melapisi lantai ruang depannya seolah menjadi bukti bahwa dulu rumah ini dibangun oleh seorang saudagar.
Langgam rumah Tan Pok Khay yang diperkirakan dibangun tahun 1910 berbeda dengan rumah Liem Yauw Ka. Penataan ruangnya cenderung meniru gaya kolonial. Dikisahkan bahwa anak-anak Tan Pok Khay mengenyam pendidikan sekolah swasta Belanda di Gombong, sehingga mereka terbilang sebagai golongan hollands spreken atau peranakan yang fasih berbahasa Belanda. Kami sempat melihat beberapa foto lama milik keluarga, antara lain potrait anak-anak Tan Pok Khay dan gambar sebuah pesta pernikahan gaya barat salah satu puterinya.
Usai mengulik dua rumah peranakan Tionghoa di Gombong, kami diajak melihat dua pabrik yang letaknya berdekatan. Pertama adalah pabrik Kemenyan cap Obor yang dimiliki oleh Tan Oei Hian (76). Beruntung saat itu hari kerja, maka kami diperkenankan melihat proses awal sampai akhir pembuatan olahan kemenyan yang semua masih dilakukan secara tradisional. Mulai dari perebusan bahan, pencampuran, dan pencetakan hingga berbentuk balok-balok padat yang siap dijual.
Dari pabrik kemenyan cap Obor, saya jadi tahu bahwa kemenyan yang sering digunakan untuk ritual merupakan olahan dari beberapa komponen. Bahan yang mereka pakai adalah getah kemenyan yang diambil dari Sumatera Utara, damar dari Sumatera Selatan, dan bahan lain seperti arang. Hasil komposisi campurannya, kemenyan akan terbagi menjadi tiga rupa, warna putih, warna merah, dan warna hitam. Masing-masing dijual dengan harga Rp30.000/kg, Rp15.000/kg, dan hitam yang termurah.
Pabrik Rokok Sintren yang berlokasi di Jalan Stasiun, Wonokriyo menjadi perhentian berikutnya. Pabrik ini adalah pabrik rokok klembak menyan yang dirintis oleh The Gie Tjoan (Agus Subianto) pada tahun 1950-an. Kini pengelolaan pabrik sudah diwariskan ke anak-anaknya, salah satunya adalah Eddy Hendrawanto yang menyambut kedatangan peserta jelajah. Sayang siang itu tidak ada proses pelintingan yang dikerjakan buruh-buruh sepuh yang kabarnya berumur antara 60-80 tahun karena kami datang di hari libur kerja.
Maka kami hanya bisa berpuas diri melihat ruang kerja tanpa buruh pabrik, dan ruang-ruang penyimpanan bahan baku saja. Sembari berkeliling pabrik, Eddy menjelaskan bahwa rokok Sintren berbeda dengan rokok kretek yang umum menggunakan campuran tembakau dan cengkeh. Rokok Sintren dikenal sebagai rokok klembak menyan. Hal ini disebabkan oleh pemakaian serpihan akar kelembak asal kaki Gunung Sindoro-Sumbing dan serbuk menyan hitam asal Sumatera yang dicampur dengan tembakau kualitas satu sampai tiga dari Muntilan.
Dengan harga jual rokok Sintren Rp2.000/bungkus isi 10 batang, wajar jika banyak orang yang memanfaatkannya sebagai bagian dari sesaji sebuah ritual atau upacara adat. Tiap bulan pabrik ini mampu menghasilkan 4000 bal untuk tiga merk rokok, yaitu Sintren, rokok cap Togog, dan rokok cap Bangjo dengan pemasarannya meliputi Purwokerto, Purbalingga, Kroya, Magelang, hingga Wonosobo.
Akhir perjalanan jelajah, kami disambut oleh alunan Erhu yang dimainkan oleh pak Giman di Roemah Martha Tilaar. Alat musik gesek asal Tiongkok ini baru dipelajarinya secara otodidak dalam sepuluh tahun terakhir. Namun lagu-lagu yang kami minta mulai dari pop hingga keroncong melantun merdu bagai menyaksikan konser pemusik Erhu internasional. Bahkan pak Giman merakit sendiri Erhu miliknya, membran kotak segienam dari kulit ular, kayu angsana, senar ekor kuda, dan gagang kayu jati sesuai dengan yang diharapkan.
Selain mengenal alat musik tradisional Erhu, pada acara yang sama juga diberi ilmu tentang budaya Imlek dari Auw Ay Lin atau akrab dipanggil tante Ayning ketika kami singgah ke rumahnya. Beliau menjawab dan memberi penjelasan kenapa lampion selalu merah, pun alasan kenapa kue keranjang berbentuk bulat dan memiliki tekstur kenyal. Warna merah memiliki inti supaya mengusir hawa jahat dan mendatangkan kebahagiaan, sedangkan bentuk kue keranjang pelambang kebulatan tekad untuk menghadapi tahun yang baru. Kami juga disuguhi jenang kue keranjang yang telah dikukus bersama kuah santan. Sedap.
Dari jelajah pusaka Roemah Martha Tilaar saya jadi mengenal Gombong dari sisi sejarah pecinannya. Telusur satu wilayah saja saya sudah menemukan banyak cerita menarik, ini belum jelajah wilayah atau kampung lain sarat sejarah di Gombong lho. Dengan kegiatan wisata sejarah seperti yang diadakan Roemah Martha Tilaar, masyarakat Gombong mana yang tidak bangga terhadap Gombong di masa lalu dan kini, kan? 🙂
Bau kemenyan itu mirip sama bau batang kayu Damar ahahhahaha.
Di rumah dulu ada yang punya kayu damar, dan baunya kayak kemenyan. Sekilas orang mikirnya pasti itu kemenyan
Bau kemenyan menenangkan, bahkan minyak sulingannya punya nilai jual tinggi di luar negeri. Sayange masyarakat kita terlanjur sayang karo menyan jadi selalu diidentikkan dengan bau mistis, sajen yang ngunulah hehehe.
Itu rokok sintren jadul abis ya. Keinget sama rokok pucuk khas Palembang. Di sini udah mulai dilupakan, eh ternyata banyak dikirim ke luar negeri. Ke Palembang lagilah, nanti aku ajakin ke sentral pembuatannya 🙂
Baca komentar dari Omndut malah jadi penasaran sama rokok pucuk-nya Palembang. Kalo daku main ke Palembang lagi, plis bawa ke sana ya, om. 😀
Siap, aku juga belom pernah ke sana, cuma tahu kawasannya sih.
Wah di Kebumen Pak. Itu kota masa kecil saya. Coba main ke Pantai Menganti Pak.. bagus bahkan terkenal sbg Selandia Barunya Indonesia..
Wah seru sekali sepertinya. Akan saya agendakan ke Pantai Menganti kalau main ke Kab Kebumen lagi. Terima kasih. 🙂
Wah, ini menarik banget, Halim. Saya baru tau bahan baku kemenyan itu apa saja, dan saya juga tertarik sama peti untuk bayi yang entah mengapa agak mengingatkan saya akan kuburan bayi di Toraja berupa cerukan di pohon tertentu.
Pemilik pabrik (kemenyan dan rokok) yang dikunjungi sewaktu acara terbuka dan ramah, Bama. Sebenarnya banyak yang akan saya tulis tentang pengolahan kemenyan dan lika-liku usaha pemilik rokok klembak, tapi takut terlalu panjang dibaca. Hehehe.
Gombong ini hanya dilewati saja kalau naik kereta api dulu haha. Gak kebayang harus eksplor, apalagi spesifik menyusuri jejak Pecinan di sana. Eh, Kebumen ae durung tahu hahaha.
Kebumen kudu menjawil maz Iqbal Kautsar sik biar semakin memahami seluk beluknya. 🙂
Iya, Mas. Kudune beliau jadi duta wisata haha.
Masih ada yak rokok jadul begitu. Aku pengen beli kemenyannya ko 😀
Kene nitip o, tak tukone. Perlu piro kuintal? 😀
Januari kemarin memaksakan diri untuk mampir ke Gombong. Benteng Van Der Wijck dan Roemah Martha Tilaar memang jadi tujuan utama. Sayang sedang tidak ada kegiatan serupa yang mas Halim ikuti saat itu. Menarik ya mas tentang Gombong ini. Sepertinya belum semua terekspos.