Pesanggrahan Wonocatur yang Terlupakan

Sebagai penerus tahta sebuah kerajaan, raja yang baru sering terbebani oleh bayang-bayang langkah besar pendahulunya. Seperti kisah dari putra kelima Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I yang bernama Raden Mas Sundara. Setelah ayahnya mangkat, Raden Mas Sundara yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono II meneruskan jabatan sebagai penguasa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1792.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, negara baru hasil perpecahan Kasunanan Surakarta Hadinigrat melalui Perjanjian Giyanti yang didirikan tahun 1756 tersebut telah membangun kompleks keraton dan segala fasilitas di dalam tembok istananya dengan begitu megah. Arsitektur dan penataan taman menyerupai kastil di atas air bernama Taman Sari buatannya pun mendapat pujian besar dari pihak Belanda dan tamu-tamunya.

Setelah Sultan Hamengkubuwono II (selanjutnya disingkat HB II) naik tahta, taman-taman baru mulai dibangun di luar tembok istana. Ada sumber mengatakan bahwa HB II babat alas hutan belantara di sebelah barat keraton sekitar tahun 1797 guna mewujudkan pesanggrahan dan taman rekreasi keluarga kerajaan yang baru. Singkatnya di wilayah yang kelak dikenal sebagai Desa Rejowinangun dan Desa Banguntapan, HB II membangun dua taman air yang diberi nama Pesanggrahan Rejowinangun dan Pesanggrahan Wonocatur.

Pesanggrahan Rejowinangun atau sekarang akrab dengan sebutan Pesanggrahan Warungboto terletak di Kecamatan Umbulharjo, Kotamadya Yogyakarta. Jaraknya hanya sekitar empat kilometer dari Keraton Yogyakarta. Jika dua ratus tahun lalu HB II yang mendapat julukan Sinuhun Bangun Topo harus naik perahu mengarungi Sungai Gajah Wong untuk bertapa ke pesanggrahan, kini masyarakat umum sudah bisa mengaksesnya melalui jalur darat. Cerita tentang Pesanggrahan Warungboto bisa dibaca di sini.

Lalu bagaimana dengan nasib Pesanggrahan Wonocatur yang terletak di Wonocatur, Desa Banguntapan, Kabupaten Bantul? Taman air yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari keraton tersebut belum sepopuler Pesanggrahan Warungboto, meskipun keduanya dibangun oleh penguasa yang sama. Saking lamanya terabaikan, taman ini meninggalkan kesan suram dan angker sehingga ditakuti oleh penduduk sekitar. Tidak heran jika banyak warga yang fasih mengenalnya dengan nama Situs Gua Siluman.

Ketika saya berkunjung pertama kali ke Pesanggrahan Wonocatur atau Situs Gua Siluman atau Situs Gua Seluman bulan Maret 2017, kondisi kerusakannya lebih parah dibandingkan dengan kondisi Pesanggrahan Warungboto kala itu. Reruntuhan taman air yang bisa diakses melalui jalur utama menuju Berbah ini menyisakan tembok benteng yang telah ditempeli lumut tebal menghitam. Air kolamnya pun keruh bercampur buangan limbah rumah tangga dari rumah warga sekitar.

Ramainya suasana Pasar Bantengan di sebelah pesanggrahan tidak turut memberikan hawa positif bagi pejalan yang melintas di depannya. Siang itu pun sepi akan kehadiran pengunjung selain saya sendiri. Saya memilih masuk lewat lubang tembok di pinggir jalan raya untuk mengeksplorasi taman peninggalan HB II tersebut. Belum ada penjaga apalagi loket retribusi memudahkan siapapun masuk melalui tembok runtuh sisi luar yang menganga. Kenyataannya lubang ini bukan gerbang utama pesanggrahan, pintu utamanya justru terletak di seberang jalan.

pintu utama Pesanggrahan Wonocatur dengan simbol kesultanan

Keunikan arsitektur Pesanggrahan Wonocatur adalah pintu masuk yang memiliki posisi lebih rendah dari jalan. Jika melewati lubang ini, saya akan bertemu lorong memanjang dengan dua cabang di ujungnya, denahnya seperti huruf T. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan saya untuk turun karena bekas pintu utama pesanggrahan telah menjadi gorong-gorong yang selalu digenangi buangan limbah rumah tangga penduduk sekitar.

Ujung lorong dilengkapi dengan beberapa jendela yang memudahkan sinar matahari menembus ke dalam. Jika meneruskan percabangan sebelah kiri akan bertemu sebuah bilik dengan pembatas berukir sulur-suluran. Nah, di dalam bilik tersebut masih tersisa sebuah kolam segi empat yang menampung sumber mata air pesanggrahan. Sesekali ikan-ikan keluar ke permukaan mencari perhatian seolah memberikan bukti bahwa taman yang dibangun oleh HB II masih berdiri tegak dan menghidupi mereka.

Percabangan sebelah kanan tidak memiliki bilik, langsung dihadapkan dengan pintu tembus ke ruang selanjutnya. Sesampainya di ruang tengah, saya tidak bisa menerawang bagaimana bentuk awal dan fungsi ruangnya. Saya hanya melihat ruang terbuka dengan selokan memanjang di tengah yang mengalirkan air dari lorong depan sampai kolam di pekarangan belakang. Sebelum saya bertemu dengan dua buah patung Burung Beri, beberapa kolam berair keruh serupa dengan tambak ikan mewarnai pemandangan ruang tengah.

Selain satu kolam di dalam, Pesanggrahan Wonocatur juga memiliki dua kolam persegi dengan sejumlah undakan yang dindingnya dihiasi oleh patung Burung Beri berukuran besar. Letaknya menempel di tembok kiri dan kanan ruang tengah, saling berhadapan satu sama lain. Satu Burung Beri memiliki sayap terkepak, sedangkan Burung Beri seberangnya memiliki posisi sayap tertutup. Sayangnya saya belum bisa mendeksripsikan secara detail bagaimana rupa burung dan nama bakunya karena sumber data yang terbatas dan bentuk patung yang sudah tidak utuh.

Kali kedua saya berkunjung ke Pesanggrahan Wonocatur bulan Desember 2018, kondisinya sudah lebih baik daripada sebelumnya. Gelontoran dana yang dikucurkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY) membuahkan proses konsolidasi Pesanggrahan Wonocatur tahap awal. Perbaikan bangunan untuk memperkuat konstruksi dan penghambat kerusakan telah mereka laksanakan mulai bulan Maret sampai dengan September 2018.

Kabar baiknya reruntuhan tembok luar sudah diberi plester halus dan membuatnya tampak seperti benteng pertahanan. Terdapat sebuah lubang di tembok menghadap Jalan Berbah yang difungsikan sebagai pintunya. Masuk ke dalam, pelataran balkon yang bisa melihat seluruh area pesanggrahan telah dipoles dengan rupa dan warna mirip seperti Taman Sari. Saya juga tidak kesulitan turun ke lantai dasar karena sudah dibangun anak tangga di sisi kiri dan kanan.

Sesampainya di bawah, saya bertemu dengan seorang juru kunci yang membenarkan proses konsolidasi dari BPCB DIY sehingga Pesanggrahan Wonocatur sudah terlihat lebih bagus. Mereka lebih mengutamakan perbaikan fasad ruang depan dan kolam di dalam dibanding perbaikan gerbang utama dan lorong penghubung yang terletak di bawah jalan raya. Maka dari itu kondisi lorong masih terlihat kumuh tergenangi limbah rumah tangga bercampur air hujan.

Dari cerita pak juru kunci saya mendapat pandangan baru bahwa lorong diduga sebagai aliran air yang digunakan untuk membasuh kaki sebelum memasuki kolam utama. Konon ada pula sebuah kolam besar di depan gerbang utamanya dan kabar buruknya nasib kolam tersebut sudah tertimbun rumah warga. Untuk kolam di dalam ruang depan hingga sekarang pada hari tertentu sering dikunjungi oleh kerabat keraton dan para pencari berkah sebagai media bersemedi.

Dongengnya berlanjut dengan pernyataan bahwa di belakang dua kolam kecil berhiaskan patung Burung Beri itu sebenarnya masih ada sebuah kolam besar berbentuk lingkaran. Airnya disebutkan berasal dari tumpahan kolam-kolam di depannya, jadi ada kemungkinan kolam tersebut merupakan kolam anak-anak. Saya hanya bisa elus dada karena kondisinya sekarang masih tertutup lumpur dan tanaman liar. Entah memerlukan berapa lama lagi supaya kompleks taman air karya HB II tampak megah lagi.

Sebagai satu-satunya pemimpin Kesultanan Yogyakarta yang pernah memerintah tiga periode dalam tempo yang berlainan (1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828), hidup dan sepak terjang politik HB II boleh dibilang sangat dramatis. Jasanya mempertahankan tahta dari keserakahan penerusnya yang berpihak kepada Belanda dan perlawanannya terhadap Inggris di Jawa sudah sepatutnya dipahami oleh generasi muda.

Taman air karya HB II yang terabaikan ratusan tahun menjadi pembuktian bahwa tidak ada kuasa yang abadi di dunia ini. Pada akhirnya segala prestasi baik dari seorang pemimpin akan dilupakan ketika pemimpin yang baru mampu melipat dan memperburuk citra sejarah lampau. Sebuah ironi jika lembaran baru yang dirancang tanpa kebenaran justru lebih dipercaya oleh rakyat. 🙂

40 Comments Add yours

  1. Alid Abdul says:

    Aku Maret ke Yogyakarta, anterin ke sini buat foto-foto yang IG-able bhuahahaha

    1. Sregep men to ngeyogyo terus. Ono sing diapeli po? Yo wes suk tak kancani foto pre-wed sisan. 😛

  2. kusnanto says:

    Sungguh hebat dan luar biasa Masa pemerintahana HB II, membangun banyak taman air, sering lewat Pesanggrahan/taman air Warung Boto tapi belum pernah sekalipun mengunjungi nya

    1. Taman-taman yang pernah dibangun oleh sultan-sultan Yogyakarta terabaikan sekian puluh tahun bahkan ada yang terabaikan setelah terkena dampak gempa bumi dahsyat ratus tahun yang lalu. Baru-baru ini satu persatu sudah mendapat perhatian dari pihak berwenang. Monggo dikunjungi mumpung sudah dalam kondisi lebih baik dari sebelumnya. 😉

    2. adi pradana says:

      Mbok melu, tak nyekseni sing foto prewed….

    3. Juan Adrian says:

      Dulu karena mepet ngga jadi kesini, nanti ajak tak kesini lim

    4. Candi-candi udah kelar, kan? Jadi next time kalau ke Yogya lagi, fokus ke pesanggrahan, Ju. 😀

  3. dwisusantii says:

    Aku tau Gua Siluman malah belum lama, pas dikasih tau Mas Mawi pada saat perjalanan mau nyari Nasi Padang. Eh tapi enggak sempat masuk.
    Mas, tulisanmu ini menggambarkan eh sekaligus membandingkan keadaan Warung Boto dan Gua Siluman dari tahun (sebelum direnov dan sesudahnya). Tetep mak jleb banget kalau limbah warga sampai mengalir di sana huhu, setelah direnov semoga warga pun pengunjungnya juga ikut menjaga :))

    Kalau pasanggrahan begini mungkin nggak mas kependem tanah kaya candi? kayanya enggak ya wkwk. Kan dibangunnya udah tahun 1797 sih.

    1. Apaaa? Padahal ini masuk wilayah kekuasaan mbak Dwi loh, Bantul. Hahaha. Tulisan Mawi tentang Gua Siluman malah sudah bertahun-tahun bertengger di peringkat atas mesin pencarian loh. 😀

      Ada kemungkinan sumber mata air ditemukan sangat dalam, sehingga sultan membangunnya dengan meniru konsep Candi Sambisari yang posisi candi berada di bawah permukaan tanah. Sepertinya sih begitu.

  4. liat kondisi awal rasanya miris dan naas karena dijadikan lokasi pembuangan air comberan. syukurlah kini kondisinya sedikit membaik walaupun butuh penanganan lebih lanjut lagi. penasaran itu ikan-ikannya ga ada yang berani mengambil ya? takut kualat?

    1. Ikannya masih kecil-kecil, entah siapa gerangan yang sengaja menempatkan mereka di situ hahaha. Kalau proses rekonstruksi sudah selesai, tempat ini nggak kalah keren dengan taman air lain di Yogyakarta. Jadi ditunggu aja. 🙂

  5. Hastira says:

    wah sayang banget , sedih lihatnya

    1. Untungnya pihak berwenang sudah mulai gerak dan turut melestarikan kelangsungan dari cagar budaya tersebut. Mudah-mudahan diikuti semua cagar yang terabaikan.

  6. Sedihnya ketika Warungboto sudah diperbaiki, tapi sekitarnya belum. Ya mungkin bertahap sih.
    Aku juga baru inget kalau dulu Mataram itu di Kotagede, bukan di Keraton yg sekarang. Eh jadinya yang dibangun itu Tamansari dulu baru Warungboto ya, Koh?

    Berarti jauh ya dari Kotagede ke Tamansari.

    1. Kotagede dijadikan sebagai pusat pemerintahan ketika Panembahan Senopati mengikrarkan dinasti baru, Mataram Islam. Kemudian keraton sempat berpindah-pindah lokasi, Pleret (Bantul), Kartosuro (Sukoharjo), terakhir Surakarta. Setelah perjanjian Giyanti 1755, Sultan Hamengkubuwono I minta cerai dengan Surakarta dan bikin kerajaan baru bernama Yogyakarta yang pusat pemerintahannya di Kota Yogya sekarang. Semoga kuliah singkatnya mudah dimengerti hahaha.Tambahan… sampai tahun 1945/1946, kompleks masjid dan makam Kotagede termasuk dalam wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta, bukan Kesultanan Yogyakarta loh. 😉

      Taman Sari dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I, bersamaan beliau membangun bangunan inti keraton Yogyakarta. Trus setelah anaknya naik tahta, HB II, barulah muncul Warungboto, Situs Gua Seluman, dan mungkin masih ada pesanggrahan lain yang sudah hilang ditelan zaman. 😀

    2. Kalo yg kotagede masih masuk wilayah surakarta, itu kemarin habis “didongengi” waktu ikut foto bareng sama temen-temen di sini.

      Nah berarti waktu membangun Tamansari itu keraton sudah di tempat sekarang atau masih di luar itu?

  7. basirun says:

    mantep jane,,,, buata ne okeh pisan

    1. Kekokohan bangunannya membuat pondasi beberapa bagian taman air seperti Pesanggrahan Wonocatur masih bertahan hingga kini. 🙂

  8. Selalu jatuh cinta dengan Yogyakarta, selalu bikin kangen. Setiap ngelihat ada tulisan baru soal tempat-tempat keren di Yogyakarta, selalu merasa ada banyak hal yang bisa di-explore. 😀

    1. Bangunan-bangunan peninggalan keraton di Jawa punya kisah menarik dengan keunikannya masing-masing. Sudah pernah ke Pesanggrahan Ambarukmo? Bisa sekalian berkunjung ke sana kalau sedang liburan ke Yogya.

    2. Aku belum pernah ke Pesanggrahan Ambarukmo. Boleh nanti mampir ke sana kalau lagi di Jogja. 😊

  9. Inayah says:

    sebuah kesimpulan yang merasuk jiwa…

  10. Inayah says:

    jadi orang dulu itu kenapa suka bikin taman air ya? apakah dulu Indonesia gerah banget?

    1. Pertama jelas karena sumber mata air mudah ditemukan di tanah Jawa yang memiliki gunung-gunung api. Lalu taman air yang dikelilingi benteng sengaja dibangun sebagai lambang gunung dan laut sebagai tempat raja mengasingkan diri dan bertapa supaya lebih dekat dengan-Nya. Begitu penjelasan singkatnya. 😀

  11. Ibadah Mimpi says:

    Wahhh tempatnya mantep nih mas bro

    1. Obyek wisata sejarah di Yogyakarta yang bisa dikunjungi sekalian main ke Kotagede dan sekitarnya. 🙂

    2. Ibadah Mimpi says:

      okee siap mas bro

  12. Kira-kira masih banyakkah situs-situs bersejarah peninggalan kesultanan yang terlupakan/terabaikan di Yogyakarta?

    1. Ada pesanggrahan milik Kesultanan Yogyakarta di daerah Kaliurang yang infonya sedikit. Ini lagi mencari tahu lokasinya. Barangkali Qyqy tahu? Hehehe.

    2. Nah itu saya belum tahu 😀

  13. Dian says:

    Eh, trus sekarang tambak2 ikannya piye Lim?

    Awal2 mrono suwepi banget ya?

    1. Kali kedua kemarin sudah disambut pak juru kunci yang mau cerita tentang pemugaran. Berbeda sama pertama kali ke sana kek nggak ada yang peduli ada orang menyusup ke dalam. Hahaha. Kabar baik tambak ikan e uwes hilang, mungkin mereka sudah dimasak jadi ikan goreng. 😛

  14. Avant Garde says:

    seneng kalo liat birokrasi kayak bpcb yang pelan2 memugar benda cagar budaya kayak gini, meski gak bisa semuanya, yg jadi pertanyaan kenapa catnya coklat tua yah, sesuai dengan reka ulang waktu dibikin pertama yah, kalo misal dicat putih kan cakep gitu mas 🙂

    1. Solo dan Yogya masih menyisakan banyak pesanggrahan milik kasunanan dan kasultanan yang seharusnya sudah selayaknya diperhatikan seperti halnya BPCB memberi perhatian ke candi-candi. Cat coklatnya sepertinya menyamakan Taman Sari Kraton yang udah hits duluan hihihi. Entah atas dasar pertimbangan apa memilih warna jenis itu, masih kupertanyakan juga.

  15. Avant Garde says:

    biar gak gampang kotor kayaknya wkwkw #ngasal

  16. dodo says:

    jadi ada referensi tempat buat nanti liburan di jogja

    1. Semoga bermanfaat ulasan salah satu tempat bersejarah di Yogya ini. 😉

  17. Bara Anggara says:

    sayang yah lorong2nya masih digenangi limbah rumah tangga.. semoga bisa dipugar 100% dan menjadi tempat wisata yang layak ditambah dengan cerita2nya,, seru..

    -Traveler Paruh Waktu

  18. Rudi Chandra says:

    Baru tau tentang tempat ini.
    Ternyata Jogja punya banyak banget tempat yang sangat menarik.

    1. Yogya punya tempat-tempat bersejarah yang sayangnya kurang diangkat, sebabnya cuma satu, turis lebih suka wisata alam ketimbang wisata sejarah. 🙂

      Mari berkunjung ke Pesanggrahan Wonocatur.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.