Masih ingat karya Wendhar Riyadi yang diberi judul Floating Eyes? Karya Wendhar Riyadi, seniman kelahiran Yogyakarta tersebut kembali viral di media sosial beberapa bulan yang lalu. Keunikan tumpukan bola mata Floating Eyes pernah ramai dibicarakan ketika ARTJOG 10 digelar setahun sebelumnya. Namun, kali kedua saya tidak menyaksikan Floating Eyes di Jogja National Museum, melainkan melihatnya lebih dekat di sebuah museum baru di Kota Solo yang bernama Tumurun Private Museum.

Sesuai nama museumnya, Tumurun Private Museum adalah sebuah museum seni milik perorangan yang bersifat pribadi. Museum yang beralamat di Jalan Kebangkitan Nasional No.2, Sriwedari, Solo, Jawa Tengah ini digagas dan dikelola langsung oleh keluarga Lukminto, pemilik perusahaan tekstil PT Sritex. Tumurun sendiri berasal dari bahasa Jawa yang kurang lebih diartikan sebagai warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Sebelum Tumurun Private Museum mengadakan Open House pertama kali pada tanggal 14 April 2018 yang bisa dikunjungi oleh umum, museum hanya bisa dimasuki oleh tamu-tamu naratama pemilik museum saja. Maka dari itu ketika disebar informasi Open House melalui media Instagram, masyarakat Kota Solo langsung antusias untuk antre memasukinya.
Museum tidak memungut biaya tiket masuk alias GRATIS, sehingga kuota pengunjung umum yang awalnya dibuka untuk 300 orang untuk satu hari saja, membeludak menjadi 400-an orang. Pengunjung yang sudah mengantre sejak pagi langsung mendapat nomor antre yang ditukarkan menjadi selembar tiket di meja reservasi. Sementara pengunjung yang datang terlambat dianggap cadangan dan diperbolehkan masuk pada hari berikutnya.
Pembatasan jumlah pengunjung umum dimaksudkan agar pengawasan dan pendampingan berjalan dengan lancar tanpa merugikan pemilik museum dan pengunjung sendiri. Perlu diketahui bahwa koleksi di dalam Tumurun Private Museum bernilai seni tinggi dan sangat mahal harganya. Nggak lucu kalau tanpa pembatasan, lalu pengunjung berdesak-desakan dan berakibat sebuah lukisan di sana jatuh, bahkan sampai rusak, ‘kan? 🙂
Setelah memegang tiket masuk, saya dikelompokkan dan dipanggil oleh panitia sesuai warna dan nomor yang tertera di tiket. Kemudian dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruang tunggu di mana terdapat beberapa koleksi kecil dari pemilik museum. Saya bilang koleksi kecil karena harga belinya lebih rendah dibandingkan dengan koleksi di dalam. Nalar nggak sebuah karya dari Takashi Murakami, seorang seniman asal Jepang, berjudul ‘Korin, Dark Matter’ dipajang di pintu toilet pria!
Mata beralih ke lukisan ‘Merapi’ karya Affandi tahun 1964. Asli! Sebelum saya sibuk mereka-reka harga satu bijinya, pemandu museum dengan toa-nya mulai menjelaskan peraturan dasar memasuki museum. Salah satunya adalah rombongan boleh mengambil gambar, tapi tanpa flash. Rombongan juga tidak diperkenankan melewati batas lihat yang telah ditentukan apalagi menyentuh semua barang koleksi dengan sengaja. Kebetulan rombongan saya ada yang membawa anak balita, mau tidak mau pemandu menyarankan orang tuanya harus mengendong si anak selama berada di dalam museum agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Lalu ada apa di dalam Tumurun Private Museum (selanjutnya saya tulis Museum Tumurun)? Bangunan berlantai dua seluas 1.800 meter persegi ini mengusung konsep galeri seni bergaya modern. Ruangnya terlihat lapang tanpa sekat dengan langitan tinggi dan pencahayaan yang cukup baik. Belum memiliki alur yang jelas dan terkotak-kotak sesuai kategorinya seperti pameran seni semacam ARTJOG, bukan berarti Museum Tumurun terasa membosankan.
Saya mencoba memutari lantai satu museum searah jarum jam dengan harapan bisa melihat seluruh koleksi seni yang sudah dikurasi oleh tim museum dan Iwan Kurniawan Lukminto (anak dari alm H.M. Lukminto). Jika koleksi mereka dijabarkan satu-persatu tentu memerlukan narasi yang sangat panjang. Maka saya hanya akan mengulas beberapa lukisan dan seni kontemporer yang menarik perhatian saja. Sudah pasti, tumpukan bola mata ‘Floating Eyes – Changing Perspectives’ setinggi 7 meter yang diletakkan di tengah ruang jadi primadona museum. Para pengunjung rela antre demi mendapatkan foto cantik berdiri ala ala selebgram dengan latar belakang karya seni Wendhar Riyadi tersebut.
Di samping kirinya terdapat beberapa lukisan kanvas seniman luar negeri. Seperti karya Geraldine Javier (kelahiran 1970) dari Filipina berjudul ‘New Cloud Forming’ yang mengambarkan hamparan bunga-bungaan dengan warna cenderung monokrom. ‘Sheperd Series’ yang dilukis tahun 2002 oleh Zhang Linhai (1963) dari China justru menampilkan ladang bunga yang mengelilingi pusaran sekelompok manusia berbaju putih.
Sampai di sini saya bingung dengan maksud lukisan karena tidak diberi keterangan mengenai inspirasi yang mendasari si pelukis. Pengunjung harus berimajinasi sendiri atau meminta bantuan tim kurasi untuk menerjemahkannya. Jika ingin tahu garis besar karya, di samping tiap karya seni telah dibubuhi tempelan yang menjelaskan nama pelukis, tahun kelahiran pelukis, judul, dan tahun pembuatannya.
Selain seni lukis karya seniman luar negeri, ada tiga mobil antik merk Dodge dan Mercedes Benz koleksi alm H.M. Lukminto dan beberapa seni kontemporer dari seniman tanah air yang dipajang di Museum Tumurun. ‘Dualism’ karya Mujahidin Nurrahman (1982) memiliki bentuk segi enam memanjang berbahan kayu, plexiglass dan kertas. Lapisan pola kertasnya bisa diamati dari dua arah. Lalu ada judul panjang ‘Tutur Karena – Dan Bentuk Di Atas Karena Sangkutan’ karya Handiwirman Saputra (1975).
Selanjutnya saya terkesima dengan dua buah karya dari Eko Nugroho (1977) tahun 2011 berjudul ‘Life is A Trick’ yang mengambarkan musuh abadi Ultraman bernama Baltan memakai jaket hoodie warna hijau berdiri di depan latar logo mirip Louis Vuitton. Karya lain yang dipajang di Museum Tumurun berjudul ‘Still a Better Place’ yang dibuat tahun 2016 pun masih mengandung unsur komikal, surreal, dan satir yang khas Eko Nugroho banget.
Meskipun karya Eko Nugroho menarik perhatian selama saya memutari museum, tapi lukisan-lukisan dari Eddy Susanto (1975) lah yang menjadi favorit saya. Lukisan ‘Melencolia I’ yang mendaur ulang karya seniman abad reinaisans Jerman, Albrecht Durer, dituangkan pada selembar kanvas ukuran 2 x 3 meter. Jika diamati dengan teliti, seniman grafis Eddy Susanto menyusun deretan aksara Jawa berukuran milimeter untuk mewujudkan ‘Melencolia I’ versinya. Percaya atau tidak, beliau tidak menyusun acak aksaranya, tetapi terdiri dari susunan naskah sastra Babad Tanah Jawi!
Yang lebih WOW lagi, karyanya tahun 2016 berjudul ‘Last Supper’ diwujudkan dalam bentuk lukisan kanvas, meja kayu, dan neon box. Gambar perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-muridnya digambarkan dengan apik oleh Eddy Susanto. Lagi lagi saya tidak menyangka bahwa susunan hanacaraka di lukisan tersebut merupakan susunan rapi dari ramalan Jayabaya yang berisi kode-kode rahasia tentang akhir dunia.
Boleh dibilang karya-karya di lantai dasar terbilang baru, bukan karya yang sudah berumur puluhan tahun. Menurut salah satu tim kurasi yang saya ajak ngobrol, sebenarnya Museum Tumurun memajang karya seniman besar seperti Affandi, Basoeki Abdullah, Antonio Blanco, sampai Raden Saleh. Semua lukisan bernilai tinggi dari para maestro tersebut telah dipamerkan di lantai dua.
Sementara ini koleksi istimewa tersebut belum siap dipamerkan ke umum, hanya bisa dilihat oleh tamu naratama dan tamu VVIP pemilik museum saja. Mbak tim kurasi menambahkan bahwa karya-karya di lantai dasar memiliki nilai di bawah 1 miliar rupiah, sedangkan koleksi di lantai atas memiliki harga di atas 1 miliar rupiah. Baiklah! 😀

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana cara mengunjungi Museum Tumurun selain even Open House yang diadakan secara berkala oleh pemilik museum? Pihak Museum Tumurun tidak menutup kemungkinan jika ada pengunjung umum dan anak-anak sekolah yang tertarik belajar tentang seni dan ingin berkunjung ke sana. Tidak dipungut biaya. Caranya cukup melakukan reservasi terlebih dahulu melalui email info@tumurunmuseum.com atau menghubungi narahubung di nomor telepon mereka 0271-7463320.
Informasi lebih lanjut tentang kegiatan yang akan dan sedang berlangsung bisa intip instagram @tumurunprivatemuseum atau website mereka www.tumurunmuseum.com. 😉
Wah, baru tahu saya ada museum keren seperti ini di Solo, karena satu-satunya museum di sana yang pernah saya kunjungi cuma Museum Radya Pustaka yang kondisinya tidak buruk-buruk amat tapi seharusnya bisa lebih dipelihara dan dirawat. Halim, saya suka dengan diksimu di tulisan ini, salah satunya naratama, karena kebetulan kemarin saya juga baru tahu kata ini. Kalau gak salah untuk VVIP padanannya dalam Bahasa Indonesia adalah naratetama. Bicara soal karya yang dipamerkan di Museum Tumurun, kalau dilihat dari foto-fotomu sepertinya saya juga bisa berlama-lama menikmati karya-karya Eddy Susanto. Benar-benar mengagumkan!
Museum Tumurun wajib banget dikunjungi kalau Bama berlibur ke Solo lagi. Tentu harus melakukan reservasi terlebih dahulu agar pihak museum bisa menyiapkan penyambutan dan kurator yang akan mendampingi. Seringnya, si pemilik sendiri yang akan menemani pengunjung keliling museum. Siapa tahu aja waktu Bama berkunjung ke sana diizinkan naik ke lantai dua yang berisi karya luar biasa dari para maestro dunia. 🙂
Betul Bama, padanan untuk VVIP adalah neratetama. Di atas saya sengaja menulis “naratama dan VVIP” agar pembaca yang nggak ngeh bisa cari tahu apa arti naratamanya hehehe.
Jadi ingin kesana, ongkosin bang hehe.
Ayoklah main ke Solo. Nanti kutemani jalan deh. 😀
wah, 1 Miliar…. 😁
Langsung ndredeg pas dengar nominal segitu, mas. Jangan sampai nyenggol apalagi ngejatuhin koleksi di sana deh hahaha.
Kalau dibuka untuk umum, berarti bukan private lagi dong, Koh? *dikeplak*
Tantangan kalau datang ke museum seni begini, kalau nggak ada keterangan penjelasan suka bingung sendiri. Meskipun bisa berimajinasi sendiri, tapi tetep bingung kalau aku, Koh. Beruntung kalau ada kurator gitu.
Museum Tumurun belum membuat katalog seperti galeri seni umumnya yang bisa dipelajari oleh masyarakat umum. Mungkin maksud dari pemilik agar pengunjung menaruh perhatian dengan mendengarkan langsung dari tim kurasi yang mendampingi selama keliling museum. 🙂
Wah, makin komplit nih jejeran museum di Solo. Tks buat sharing ini koh 🙂
Jadi kalau main ke Solo lagi catet tempat ini jadi tempat yang akan dikunjungi yah. Nggak bingung mau ke mana lagi kalau next time main ke Solo, kan? 😉
Yoi koh. Museum ini mashookk jadi wishlist haha
Keren banget dapat kesempatan masuk ke sini. Saya selalu kagum dengan museum pribadi, biasanya barang-barangnya keren dan sangat terawat. Pengin banget ke sini.
Bisa hubungi narahubung yang sudah saya lampirkan di atas untuk mengunjungi Tumurun Private Museum. Pasti betah memandangi koleksi seni bernilai tinggi di sana. 🙂
Artikel angsung di bookmark. Keren banget Solo punya musium pribadi yg karya seninya mencapai milyaran rupiah. Surabaya juga punya, sayangnya masih belum dikembangkan. Semoga Surabaya bisa mencontoh Solo dalam hal ini..
Mantappp. Kalau main ke Solo cobalah bikin perjanjian buat masuk ke Museum Tumurun. Sambutan mereka baik banget 🙂
Thanks. Akan ke sana besok Jumat. Banyak yang booking. Hehe. Tergeser ga jadi pagi, jadinya sore.
Yayy selamat menikmati koleksi di Museum Tumurun yah 😀