Tidak semua orang mau mempertahankan suatu kenyamanan tinggal di daerah asalnya. Acapkali ketidakpuasan akan rutinitas lingkungan sering menghantui polah mereka. Anak desa merasa hidupnya begini begitu saja, tidak berkembang jika memutuskan untuk menetap di tanah kelahirannya yang dirasa terlalu sepi permukiman dan hiburan.
Sebaliknya, ada anak kota merasa jenuh dan penat diperbudak oleh polusi suara dan polusi udara. Menyalahkan hal-hal yang sering dianggap remeh di lingkungannya. Namun, tanpa disadari akan memberi dampak berupa luapan emosi yang susah dikontrol. Hidup penuh tekanan hingga depresi bisa jadi ganjarannya. Barangkali saya lah salah satu anak kota itu …

Panci isi oseng-oseng tempe disodorkan oleh seorang ibu berbaju lurik yang hendak masuk Pasar Papringan. Semula saya iseng menawarkan bantuan untuk membawa sebagian bawaan dari rumahnya yang terlihat menggunung. Tanpa memedulikan kawan-kawan saya yang sudah berjalan jauh ke depan, masakan salah satu warga Ngadiprono itu pun tertahan di pelukan. Sesekali saya harus berlari kecil mengikuti langkah cepatnya menghindari rintik hujan.
Betapa mudahnya ia mempercayakan barang dagangannya dibawa oleh saya, orang yang baru dilihatnya pagi itu. Entah gara-gara dress code kemeja lurik yang saya kenakan sehingga beliau menganggap saya sebagai salah satu panitia atau relawan. Mungkin juga tindakannya merupakan hal lumrah di lingkungannya, tetapi terasa tidak biasa bagi saya yang lazim merasakan hidup penuh kecurigaan di kota besar.
Tak selang lama, hamparan pohon bambu menyambut langkah saya. Meskipun hujan ringan membasahi jalan setapak pasar, saya bisa melihat dengan jelas bagaimana rumpun bambu yang menjulang tinggi itu tertata rapi dan masing-masing diberi batas pagar pring. Hutannya sudah memiliki alur yang nyaman dilalui. Jalur pejalan kakinya pun dilapisi susunan batu sungai sehingga tidak terlalu licin dan minim lumpur.
Cukup lama saya memendam rasa ingin tahu terhadap pasar tradisional yang memperkenalkan potensi papringan (bahasa Jawa dari kebun bambu) dan kearifan lokal. Sempat tersiar kabar menyedihkan tentang penutupan sementara Pasar Papringan lama di Dusun Banaran Kelingan, Kandangan setahun yang lalu. Untung beberapa bulan kemudian salah satu penggagasnya yang bernama Singgih S. Kartono mengeluarkan pernyataan lewat media sosialnya bahwa Pasar Papringan akan kembali dibuka di lahan berbeda dengan sebelumnya.
Singkat cerita Pasar Papringan dibangun kembali di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah oleh Spedagi Movement. Jaraknya kurang lebih 11 kilometer dari kota Temanggung atau sekitar tujuh kilometer dari Omah Yudhi di Kandangan, salah satu guesthouse binaan Spedagi Movement. Penataan kompleks Pasar Papringan Ngadiprono yang baru sudah jadi lebih rapi. Makanan tradisional yang dimasak oleh warga setempat disajikan lebih variatif. Alasan itulah yang membuat pasar semakin ramai pengunjung.
Ini kali pertama saya dan tujuh kawan saya main ke Pasar Papringan Ngadiprono yang diadakan tiap hari pasar jatuh pada Minggu Wage dan Minggu Pon. Sempat bingung dengan langkah awal yang harus dilakukan sebelum memulai penjelajahan. Ternyata kami wajib menukarkan uang tunai menjadi pring, sebutan mata uang khusus Pasar Papringan. Satu pring sama dengan dua ribu rupiah. Tidak ada batasan mau beli berapa pring. Justru semakin banyak membeli mata uang pring yang terbuat dari potongan pohon bambu tersebut, berarti mendukung pemberdayaan masyarakat lokal. 🙂
Awal penjelajahan pasar, kami berdelapan memisahkan diri menjadi dua kelompok. Sekian menit kemudian, masing-masing berpencar ke segala arah, sibuk mencicipi aneka penganan tradisional yang dijual oleh puluhan warga Ngadiprono di Pasar Papringan. Semua makanan khasnya bikin kalap mata dan perut! Makanan ringan hingga makanan berat yang dijual memiliki rasa yang lezat dan menggugah selera makan. Harganya pun murah meriah, mulai dari 1 pring sampai 2 pring (Rp2.000-4.000) untuk jajanan pasar, 2 pring sampai 4 pring (Rp4.000-8.000) untuk jenis nasi beserta lauknya.
Sego Gono termasuk salah satu makanan khas Temanggung yang tidak boleh dilewatkan ketika main ke Pasar Papringan. Sego Gono biasa disajikan untuk acara ulang tahun atau bancakan. Sego atau nasi dicampur dengan daun lembayung, kacang panjang, buncis, parutan kelapa, dan ikan teri. Seperti penamaannya yang diambil dari kata mergo onone (apa adanya), penjual Sego Gono menawarkan lauk seadanya berupa tempe bacem, tahu bacem, irisan telur, dan peyek kacang.
Adapun yang menjual makanan khas Temanggung bernama Lesah yang memiliki rupa seperti soto, tapi bukan. Lesah Ayam Kampung yang dijual salah satu warga Ngadiprono memakai kuah kaldu ayam yang dicampur santan dan daun kemangi. Makanan ndeso lain seperti Sego Kuning, Kupat Tahu, Gablok Pecel, Lontong Mangut, Sego Jagung Putih, hingga Nasi Merah yang disajikan bersama olahan sayuran dan pepesan pun meramaikan meja-meja di area kuliner Pasar Papringan Ngadiprono.
Jangan terkejut saat mendapati aneka jajanan pasar yang memiliki nama agak menyeramkan. Ndas Borok yang pertama kali menarik perhatian saya. Ndas Borok (bahasa Jawa dari kepala borokan) khas Temanggung adalah kukusan parutan singkong dan kelapa yang di atasnya diberi gula Jawa. Rasanya legit, kenyal dan lengket di bagian gulanya ibarat borok yang menempel bandel di kepala. Yaikkks, tapi enak! Tidak ketinggalan penganan bernama Bajingan terbuat dari singkong yang dipotong kecil lalu direbus dengan santan dan gula merah. Lalu Ketan Gudig, olahan beras ketan dicampur dengan kacang.
Pasar Papringan juga menjajakan Ketupat Sumpil, penganan berbahan dasar beras ketan yang dibungkus bentuk segitiga menggunakan daun bambu. Kipo yang terbuat dari adonan tepung ketan diisi kelapa dan gula. Kemplang Ketan, Meniran, Iwel-iwel, Tiwul, hingga Bal Jendal, bulatan ketela yang digoreng dan permukaannya dilumuri gula bubuk. Semua jajanan pasar tersebut bisa dinikmati di pasar yang buka mulai pukul 6 pagi sampai 12 siang.
Pasar Papringan tidak hanya menjual makanan ndeso serta minuman tradisional seperti jamu dan wedang pring saja, tapi juga menjual hasil tani dan kerajinan terbuat dari bambu. Ada pula aktivitas lain yang bisa dicoba oleh pengunjung. Tersedia pangkas rambut dan jasa pijit dengan pemijit tuna netra yang ongkosnya dibayar memakai mata uang pring. Aliran Kali Progo di dekat Dusun Ngadiprono pun telah dimanfaatkan sebagai medan untuk melakukan aksi green tubing sepanjang 1,5 kilometer selama 30 menit. Tarif perorangnya hanya 15 pring saja. Bikin betah, kan?
Meskipun berdiri di lahan semipermanen, Pasar Papringan telah memiliki toilet lengkap dengan keran yang mengalir, bilik menyusui, perpustakaan Mata Air, serta playground yang dilengkapi alat permainan tradisional untuk anak-anak. Jungkat-jungkit, ayunan bambu, engrang adalah jenis dolanan bocah yang ditawarkan di playground. Mereka merangkai instalasi pohon bambu sebagai eksteriornya.
Tong-tong sampah di sana pun terbuat dari anyaman bambu. Jika diperhatikan lagi, semua makanan tidak dibungkus dengan plastik, melainkan menggunakan alas daun pisang. Makanan berkuah memakai mangkok batok kelapa sebagai pengganti kotak sterefoam atau sejenisnya. Bahkan keranjang anyaman bambu yang dijual seharga satu pring sengaja difungsikan sebagai wadah pengganti kantong plastik untuk membawa barang belanjaan.
Boleh saya bilang usaha penggagas dan para relawan Spedagi Movement telah berhasil menciptakan lingkungan desa yang sehat dan meningkatkan ekonomi setempat. Dengan kesuksesan mereka menjalankan revitalisasi sebuah desa, niscaya akan diikuti oleh desa-desa lain yang menginginkan sebuah pembaruan. Mengutip salah satu kalimat yang tertulis di papan program Spedagi Movement di sudut Pasar Papringan, “Pasar Papringan merupakan sebuah upaya untuk memberikan nilai lebih akan kebun bambu dengan memanfaatkannya menjadi pasar produk lokal tanpa merusak kebun bambu itu sendiri.”
Hutan bambu yang gelap, kumuh, bahkan dijadikan tempat pembuangan limbah rumah tangga telah berubah fungsi menjadi sebuah lapangan kerja baru yang signifikan. Muncul harapan para tua, anak desa tidak terbuai dengan iming-iming mendapati kemapanan dan ekonomi lebih di kota besar. Desa yang sudah menyadari potensi desanya kelak akan membuat mereka terdidik menjadi lebih kreatif dan tidak malu lagi dengan status kedesaannya.
Anak kota pun senang dan tersenyum bahagia karena telah mendapatkan sebuah tempat melarikan diri dari kekakuan dan kerasnya lingkungan kota. Punya tempat untuk terlahir kembali menjadi manusia yang masih bisa merasakan bahagia dari sebuah bentuk kesederhanaan. Cheers. 😉
Sebenernya, kalau jajanannya aja sih mirip-mirip sama pasar kangen atau sejenisnya, di Jogja. Tapi karena di kebun pring, ada yang beda. Lebih dingin.
Mengembalikan kejayaan jajanan tradisional juga 😀
Nah sensasi kebun pring itu yang jadi daya tariknya. Sayang wingi ora ketemu ray of light atau sorotan matahari nembus daun bambu sing hits kae. Btw Ndas Borok dijual di yogya juga po? Sisih ndi?
Nek itu emang enggak. Tapi kalo jajanan tradisional gitu pas Pasar Kangen juga ada. Gitu maksudku. hehee~
Tak kiro yogya duwe, soale Solo ra dodol jajanan jenis kui. Mung ono cenil, gatot, tiwul, grontol hahaha.
harus pagi buta kalau kesana biar kebagian makanannya, minggu kemarin sapai macet jalannya
Nyampe sana jam setengah 6-an dan lapak-lapaknya baru mau buka semua hahaha. Seru suasana dan aneka jajanannya. Jadi pingin mbaleni mrono maneh. Suk kancani yo, bro. 😀
Wah, ini mah keren banget. Sebelum direlokasi, konsepnya memang udah jadi tempat wisata kuliner terpadu gini ya, Mas? Menarik nih. Tapi kenapa harus buka Minggu Wage dan Pon ya?
Btw, kebayang kalo mau beli “bajingan” yang jual mbah-mbah.. “mbah, bajingan ya..” *digampar batang bambu.
Sempat baca tulisan-tulisan tentang Pasar Papringan pertama di Kandangan, mereka sudah memperkenalkan makanan tradisional dan dolanan bocah. Dulu mata uangnya dibikin bentuk koin dari bambu, sekarang diganti potongan bambu bercap Pasar Papringan Ngadiprono. Alasan dibuka hanya Minggu Wage dan Pon supaya bisa buka dua kali dalam sebulan. Kalau buka satu bulan sekali ntar kelamaan. 😀
Hahaha kudu ati-ati sebut nama jajanan “bajingan” ya. Ntar malah jadi pergulatan mulut di tengah hutan bambu gara-gara sebut sembarangan dan pakai masuk lambetur*h pula. Hahaha.
cocok jadi Arashiyama versi Indonesia!
Pengagasnya telah memikirkan konservasi kebun bambu. Penanaman bibit bambu dilakukan di hutan bambu Ngadiprono beberapa pekan lalu. Sehingga kelak tanpa keberadaan pasar pun, kebun bambu di Ngadiprono akan tetap asri dan terjaga.
Akhirnya menginjakkan kaki di Pasar Papringan juga koh. Piye perasaanmu; isuk-isuk wes disuguhi makanan tradisional sak mono akehe. Oya koh, pasar di tempat seperti ini jika dilakukan 2 minggu sekali masih aman kok, tidak berdampak buruk (dalam waktu lama) bagi lingkungan; kalau seminggu sekali agak riskan. Itu kenapa pak Singgih memberanikan unk pasar ini tiap dua minggu sekali.
Kalapppplapppp lihat semua makanan kok ketok enak kabeh. Hahaha. Salut banget sama usaha pak Singgih bikin hutan sampah jadi hutan bambu yang enak dilihat dan dikunjungi. Semoga langkahnya bisa jadi inspirasi desa-desa yang lain. Namun jangan gagap ide sehingga masing-masing hutan bambu di desa lain bisa punya kekhasan yang bikin pengunjung pingin balik ke sana lagi. 🙂
Liat kebun bambunya yang rimbun, antusias pedagang pake lurik, senyum bahagia pengunjung, makanan yg unik kok bikin aku bahagia mas…ini event temporer ya mas? biasanya diadain kapan aja…..
Pasar Papringan digelar tiap hari pasar jatuh Minggu Wage dan Minggu Pon. Kalau tidak ingin jalan berdesak-desakan akibat pengunjung yang mbludak, disarankan datang sebelum jam 7 pagi supaya leluasa gerak dan bisa beli jajanan sepuasmu tanpa antre panjang. 😀
Oh jadi Pasar Papringan ini sudah sempet direlokasi? Mungkin hikmahnya jadi lebih tertata. Ada toilet, juga ternyata ada tubingnya jugaa, lagi tahuu *manggut-manggut
Aku penasaran sama alat tukarnya mas. Bentuke ko ngopo :p
Duluu liatnya bentuk koin.
Btw pas baca ndas borok yang dibold ituu aku jadi membayangkan sik ora-ora. Huhuhu. Jebule makanan 😮
Gambar mata uangnya Pasar Papringan ada di sebelah gambar Nasi Gono. Sekarang dibentuk persegi dengan sablon Pasar Papringan Ngadiprono. Maafken kalau terlalu banyak foto di tulisan kali ini trus jadi bingung melototi satu-persatu. Hahahaha.
Konsepnya hampir mirip sama Pasar Karetan ya mas? Semacam tempat wisata (e nyebutnya tempat wisata apa jual – beli ini?) yang diadakan di hari tertentu dan lokasinya di kawasan hutan. Kalau Pasar Karetan di hutan karet, nah ini di alas papringan. *Nais*
Kalau 1 pring = 2 ribu, berati harga-harga disana nilainya “bulat” semua. Nilai 500 rupiah ngga berlaku dong ya?
Kalau di Purowrejo nyebutnya Sego Megono. Dari tampilan fisiknya sih sama. Rasanya kayaknya juga mirip-mirip sedikit itu sama Sego Gono di Temanggung.
Kebalik, Pasar Karetan yang meniru konsepnya Pasar Papringan. Buktinya Pasar Papringan dibangun lebih dulu hahaha.
Nilai tukarnya mulai dari Rp2.000, jadi makanan termurah seperti klethikan dijual satu pring atau dua ribu rupiah satu bungkus. Kalaupun ada harga makanan 500 rupiah, mungkin satu pring akan dapat beberapa biji. 🙂
Nasi Megono-nya Purworejo sama seperti Pekalongan, kah? Karena Pekalongan juga mengenal Nasi Megono yang isinya pakai cacahan gori atau buah nangka muda dicampur parutan kelapa.
Maafkan mata saya mas, kirain itu salah satu suvenir (gantungan kunci) hihihi
“1 pring sampai 2 pring (Rp2.000-4.000) untuk jajanan pasar, 2 pring sampai 4 pring (Rp4.000-8.000) untuk jenis nasi beserta lauknya”
berarti nggak ada konsep uang kembalian kalau beli-beli mas? harga pas nett yaa?
Harga makanan dan barang di sana semua pakai harga pas. Dengan berlakunya sistem sperti itu memudahkan para penjual yang belum tentu semua lancar berhitung. Dan uang pring yang udah dibeli no refundable alias tidak bisa diuangkan kembali. Kalo sisa, disimpan dan digunakan saat kunjungan berikutnya, atau dijadiin oleh-oleh boleh banget. 😀
Siapp digas!
🙂 🙂 🙂
konsep pasarnya bagus yaa. apalagi ada di tengah kebun bambu seperti itu. sayangnya saya belum berkesempatan untuk mengunjunginya..
andai bisa ada setiap saat atau seminggu sekali gitu pasti seru yaa
Mereka kreatif menciptakan lapangan kerja baru yang melibatkan masyarakat lokal dengan menggunakan alam sebagai wadahnya. Mbak Endah pasti betah lama di sana. Spedagi juga mengelola beberapa homestay dengan tema rumah bambu, bisa jadi pilihan menginap. 🙂
Kreatif banget konsepnya.
Kuliner lokalnya juga menggoda.
Unik-unik pula namanya.
Sajian jajanan ndeso yang dijajakan di Pasar Papringan terbilang biasa bagi warga desa, tetapi menarik dan unik bagi wisatawan yang datang dari luar Temanggung. Ayo datang ke Pasar Papringan Ngadiprono agar merasakan sendiri sensasinya. 😀
Sipp joss..
target destinasi selanjutnya ni…
Penasaran sama uang kayu buat beli sama jajanan desa nya.. haha
TFS
Uangnya dibuat dari batang bambu yang ditipiskan dan diberi sablon tulisan Pasar Papringan Ngadiprono. Seruuu banget suasana pasarnya. Wajib ke sana. Hadir dua kali sebulan sehingga nggak bikin bosan pengunjung. 🙂
Betul ms..
Kalau udah masuk kemarau atau Bulan Mei rencana mau ke sana…
Masih jarang eh explore wilayah Semarangan…
Sangat Idem dengan dua paragraf awal..
Terima kasih mas Galih. 😉
ndas borok, namae itu lo unik, tp makanan jawa enak enak, tiwul apalagi
penasaran sama pasar ini, tapi di temanggung kok jauhh kayake yo hehehe.
Kalau next time mlipir ke Solo atau Yogya diusahain extend cutinya biar bisa sekalian mampir ke Temanggung, mbak. 😀 😀
Wah, luarbiasa Bang Halim . . .
Ajarin Saya jadi bocah ilang dong 😊
Hahaha bisa aja loh. Salam kenal yah. 😉
Siap . . .
Ditunggu post terbarunya bang..
makannanya enak2 di pasar papringan 🙂