“Buat apa masuk ke sana? Bangunannya sudah kuno nyaris ambruk. Malah ada yang sering kesurupan saat nekat masuk ke dalam,” ucap seorang teman ketika saya mengutarakan niatan masuk ke bekas Pabrik Gula Kalibagor beberapa tahun lalu. Memang fasad luarnya tampak menyeramkan, lumut pekat menempeli seluruh dinding, tanaman rambat dan ilalang sudah menjadi teman setianya. Langitannya pun menggantung tanpa kepastian seperti hati gebetan! Bisa bikin celaka jika tidak segera diatasi.
Ternyata memutuskan mundur sebelum maju perang sangatlah menyesakkan. Terbius oleh kepesimisan teman bukan pencinta bangunan bersejarah adalah sebuah kesalahan besar.
bekas Pabrik Gula Kalibagor, 2017
Juli 2017 lalu saya terkejut melihat wajah baru Pabrik Gula Kalibagor yang berlokasi di Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas sudah mirip sebuah gudang dengan wujud setengah kekinian yang aneh. Oleh pemilik tanahnya yang baru, sebagian bangunan aslinya telah dihancurkan. Cerobong tua yang menjadi nadi sebuah pabrik gula sengaja dirubuhkan pada bulan April 2015 dengan alasan tidak tahu-menahu bahwa PG Kalibagor sudah terdaftar sebagai cagar budaya sejak tahun 2004 melalui UU no.5 tahun 1992 perihal Pelestarian Cagar Budaya.
Jika masih beroperasi seperti sedia kala, PG Kalibagor yang berdiri di atas area 400×200 meter tersebut telah berumur 178 tahun. Suikerfabriek Kalibagor termasuk satu di antara puluhan pabrik gula yang dibangun di tanah Jawa guna memuaskan hasrat cultuurstelsel atau tanam paksa yang dicanangkan oleh Johannes van den Bosch, gubernur jenderal Hindia Belanda pasca Perang Jawa Diponegoro usai tahun 1830.
bekas jalur kereta dari Stasiun Sokaraja – Kalibagor
salah satu rumah dinas pegawai PG Kalibagor
Edward Cooke Jr. (1791-1847) adalah pengusaha berkebangsaan Belanda yang mendirikan PG Kalibagor pada tahun 1839. Bangunan pabriknya kurang lebih memiliki panjang 150 meter, lebar 100 meter, dan tinggi rata-rata 20 meter. Rumah dinas pemilik dan pegawainya dibangun di sisi timur bangunan utama pabrik. Sementara perumahan pegawai rendahan ditempatkan di selatan, tak jauh dari gudang penyimpanan yang berhadapan langsung dengan rel kereta jalur percabangan Stasiun Sokaraja – Kalibagor.
Puluhan tahun silam Serajoedal Stoomtram Maatchappij (SDS) membangun jalur kereta yang menghubungkan Stasiun Maos di Cilacap dengan Stasiun Purwokerto Timur. Selama tiga tahap pembangunan mulai dari 1896 hingga 1917, mereka menarik rute ke arah timur hingga Wonosobo dan membangun halte dan stasiun-stasiun untuk mengangkut penumpang dan barang. Jalur kereta di Kalibagor sendiri merupakan percabangan dari Stasiun Sokaraja.
peta jalur Serajoedal Stoomtram Maatschappij
Stasiun Sokaraja – Stasiun Banjarsari (ada percabangan ke utara menuju Stasiun Purbalingga) – Stasiun Purwareja Klampok – Stasiun Mandiraja – Stasiun Purwonegoro – Stasiun Banjarnegara – Halte Randegan (Kabupaten Banjarnegara) – Stasiun Selokromo – Stasiun Wonosobo.
Dari Kalibagor tidak ada jalur baru yang bisa terhubung dengan (kota) Banyumas. yang saat itu menjadi ibu kota karesidenan. Pemerintah Belanda lebih memilih Staatsspoorwegen (SS) membuat stasiun baru di Kober, Purwokerto Barat yang dibuka tahun 1917, kemudian dikenal dengan Stasiun Purwokerto. Jalur baru dari Stasiun Kroya melewati Stasiun Purwokerto yang dibangun oleh SS tersebut menghubungkan kota-kota di pesisir selatan Jawa bagian tengah dengan Stasiun Chirebon.
Pada tahun 1929 diluncurkan pula Eendaagsche Express atau kereta ekspres satu hari oleh SS dengan rute Batavia-Surabaya melewati Chirebon-Purwokerto-Kroya-Yogyakarta-Solo Balapan-Madiun. Jalur tersebut berhasil membuat Purwokerto berkembang pesat, tapi tidak untuk (kota) Banyumas.
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, seperti nasib kebanyakan pabrik gula di Jawa, petinggi dan tenaga kerja berkebangsaan Belanda diusir atau memilih keluar dari tanah rantaunya. Masa kejayaan tambang gula yang pernah memupuk pundi keuangan negara Belanda satu-persatu berakhir sad ending. Hanya kuburan pemilik pertama dan kerabatnya saja yang menjadi bukti kecintaan mereka terhadap tanah Jawa. Kisah kerkhof Kalibagor bisa dibaca di sini.
bekas jalur kereta dari perkebunan tebu Kalibagor
nasib rumah dinas PG Kalibagor
Serupa dengan sad endingpabrik gula masa Hindia Belanda lainnya, PG Kalibagor diambil alih dan dioperasikan oleh PT Perkebunan Negara (PTPN IX) hingga dinyatakan pailit tahun 1997 dengan alasan krisis moneter yang melanda tanah air, menyempitnya lahan perkebunan tebu, hingga akibat tak terkendalinya pasokan gula impor yang mengalahkan potensi gula lokal. Tahun 2000 entah bagaimana prosedurnya, seluruh lahan pabrik termasuk rumah-rumah dinas pegawai akhirnya dilelang dan nasib berpindah tangan ke salah satu perusahaan swasta asal Purwokerto hingga sekarang.
Bersama dengan rombongan kegiatan Jelajah Banjoemas Mrapat, Mas Jatmiko selaku koordinator Banjoemas History Heritage Community (BHHC) menjelaskan bahwa cerobong yang terlihat sekarang adalah bikinan baru. Setelah pihak BPCB Jawa Tengah kecolongan akan perlindungan status cagar budaya kompleks PG Kalibagor, mereka memberi pilihan agar pemilik yang baru membangun ulang cerobong seperti bentuk semula. Tentu ukuran dan bahan yang dipakai tidak lagi sama, pun dengan ruh yang terlanjur hilang dari sebuah heritage.
rumah peranakan Tionghoa di Banyumas
Dari PG Kalibagor, kami melanjutkan perjalanan menuju Sudagaran, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas. Terletak di jalan utama penyeberangan Sungai Serayu menuju (kota) Banyumas seakan-akan menegaskan bahwa di sini pernah tumbuh sebagai pusat perdagangan dan tempat tinggal saudagar yang tinggal dekat kompleks Kadipaten Banyumas. Selain memiliki sebuah tempat ibadah Klenteng Boen Tek Bio yang dibangun tahun 1826, daerah Sudagaran juga terdapat rumah-rumah besar milik saudagar peranakan Indo-Eropa dan Tionghoa.
Desa Sudagaran juga terkenal sebagai salah satu sentra pembuatan Batik Banyumasan. Saya sendiri belum mendalami sejarah Batik Banyumasan. Mungkin saja proses pembatikan diperkenalkan oleh peranakan Tionghoa yang sudah lama menetap di sana jika ditilik dari permukiman di Sudagaran. Seperti keberadaan Galeri Batik Hadipriyanto di Jalan Mruyung no.46 yang pertama kali didirikan oleh Kwee Lie Go tahun 1957. Kini perusahaan batik yang diteruskan oleh Slamet Hadi Priyanto sebagai generasi ke-3 masih mempertahankan motif klasik seperti Sekarsurya, Cempaka Mulya, Sidoluhung, dan motif lainnya.
penomoran bekas rumah saudagar di Banyumas
rumah tua yang terbengkalai
Batik Banyumasan
motif batik Banyumasan di Galeri Batik Hadipriyanto
Batik Banyumasan
Ada pula sumber mengatakan batik diperkenalkan oleh Chatarina Carolina van Oosterom, pengusaha batik Indo-Belanda yang terkenal dengan motif Batik Pastroman. Chatarina termasuk peranakan Eropa yang menetap di tanah Hindia Belanda dan meninggal pada tahun 1877. Beliau dikisahkan memberi pengaruh besar terhadap perubahan warna Batik Banyumasan yang awalnya cenderung gelap atau sogan khas batik pedalaman menjadi berani memakai warna-warni yang mencerahkan.
eks Kadipaten Banyumas
Langit sudah mulai gelap ketika saya dan kawan-kawan yang lain tiba di eks kompleks Kadipaten Banyumas di daerah Kejawar. Sekarang bekas kediaman para adipati penerus Raden Joko Kahiman sudah menjadi bagian dari Kantor Kecamatan Banyumas. Replika Pendopo Sipanji dan Sumur Banyu Mas yang terletak di dalamnya memiliki sejarah panjang tentang berdirinya Kadipaten Banyumas yang menurunkan tokoh-tokoh terpandang era dinasti Mataram Islam.
Daerah bernama Kejawar kini dikenal sebagai nama salah satu kampung di Kecamatan Banyumas. Tanah hasil babat alas Raden Joko Kahiman yang diberi nama Banjoemas diresmikan sebagai sebuah kadipaten baru pada 6 April 1582 dan beliau menjabat sebagai adipati pertamanya.
Setelah Pajang runtuh dan muncul dinasti baru Mataram Islam di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati hingga perpecahan Mataram Islam menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, Banyumasan tetap berstatus sebagai kadipaten di bawah kekuasaan mereka yang dikenal dengan wilayah Mancanegara Kilen.
Pemerintah Hindia Belanda baru menguasai Banyumasan setelah terjadi kesepakatan atas perjanjian antara Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan pihak Belanda menyangkut pengaturan Mancanegara Wetan dan Mancanegara Kilen tahun 1830. Pada tanggal 1 November 1830, De Stuler resmi ditunjuk sebagai pejabat residen pertama Banyumas yang mendampingi Raden Adipati Cokronegara, adipati/ bupati Banyumas waktu itu.
Oleh pemerintah Hindia Belanda, (Kota) Banyumas dijadikan ibu kota karesidenan atau menjadi pusat pemerintahan dari kadipaten-kadipaten kecil di sekitarnya. Mereka juga membentuk asisten residen di Ajibarang Purwokerto, Banjarnegara, Purbalingga, dan Cilacap, serta pembagian Onderdistrict Banyumas, Onderdistrict Purwareja-Klampok, dan Onderdistrict Adireja.
Setelah Kadipaten Banyumas ditetapkan sebagai ibu kota Karesidenan Banyumas yang membawahi Kadipaten Banyumas, Kadipaten Purbalingga, Kadipaten Banjarnegara, Kadipaten Cilacap, tata kota mulai dirapikan. Dibangun kompleks gedung Karesidenan Banyumas (kini SMKN 1 Banyumas dan bagian dari Pondok Pesantren Miftahussalam) yang di dalam terdapat kantor, tempat tinggal residen, Landraad atau pengadilan, dan bangunan pendukung lainnya. Bangunan Kadipaten dan tempat tinggal Adipati (Bupati) Banyumas pun diperbarui dengan sentuhan arsitektur Eropa.
Kantor Kecamatan Banyumas bagian belakang
situs Sumur Mas
bekas kediaman Adipati Banyumas
replika Pendopo Sipanji
Gedung Karesidenan Banyumas berarsitektur indish empire rampung dibangun dan mulai ditempati pada tahun 1843 dengan P.J. Overhand sebagai residen pertama yang menghuninya. Fasilitas permukiman pejabat dan warga Belanda ikut meramaikan (kota) Banyumas. Sebut saja alun-alun di depan gedung Karesidenan Banyumas, Societeit Harmonie atau kamar bola (kini SMKN2 Banyumas), Holland Inlander School atau HIS, bank, Rumah Sakit Juliana, hingga perumahan elite. (Sumber: banjoemas.com)
Dengan deretan bangunan megah sebagai pusat pemerintahan dan kebesaran nama Adipati-Adipati Banyumas, ternyata tidak mampu membuat masa kejayaannya bertahan lama. Bahkan jika dilihat sekarang, jalanan di (kota) Banyumas cenderung sepi, hanya dianggap sebuah kecamatan yang sudah tidak punya daya tarik lagi. Penyebab awalnya adalah dibangunnya Stasiun Purwokerto di wilayah Kober, Purwokerto Barat oleh Saatsspoorwegen (SS) tahun 1917 yang memiliki jalur kereta terhubung dengan Batavia.
Permintaan residen untuk membangun jalur kereta lanjutan yang menghubungkan Sokaraja dengan (kota) Banyumas tidak mendapat persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda. Alasannya medan menerobos kelokan Sungai Serayu akan membutuhkan dana yang sangat besar dan ditakutkan tidak memberi untung yang besar terhadap jalur perdagangan. Lambat laun keramaian pasar pindah ke wilayah Purwokerto Barat dan mengakibatkan perputaran ekonomi (kota) Banyumas semakin melambat.
interior eks Kadipaten Banyumas
bekas kantor Kadipaten Banyumas
Pada tahun 1937, Purwokerto disahkan sebagai ibu kota gabungan yang baru menggantikan (kota) Banyumas. Pendopo Sipanji yang semula berada di Kadipaten Banyumas diboyong ke kompleks Kadipaten Purwokerto yang baru tanpa melalui Sungai Serayu sebagai simbol penghormatan perpindahan pusat pemerintahan. Satu tahun kemudian, posisi ibu kota karesidenan resmi dicopot dari (kota) Banyumas. Gedung karesidenan dikosongkan oleh J. Ruys sebagai residen Banyumas saat itu, lalu semua pejabat dan keluarganya pun ikut pindah hunian ke kota yang baru.
Sekarang bekas kantor kadipaten difungsikan sebagai Kantor Kecamatan Banyumas, sedangkan bekas gedung karesidenan telah menjadi bagian dari SMKN1 Banyumas dan Pondok Pesantren Miftahussalam. Status Karesidenan Banyumas dihapus setelah Indonesia merdeka, masing-masing kadipaten berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten yang bertanggung jawab langsung ke Gubernur Provinsi Jawa Tengah. Namun pusat admistratif Kabupaten Banyumas tetap ditempatkan di kota Purwokerto.
Bangunan bersejarah lain di (kota) Banyumas masih menunggu kepedulian generasi muda supaya bangga dan mau memperkenalkannya secara luas sebagai cikal bakal berdirinya sebuah karesidenan bernama Banjoemas. Cheers and peace. 😉
Berarti ini sambungan rel kereta yang ada di artikel sebelumnya mas?
Melihat ini kok jadi berharap rel tersebut dihidupkan kembali. Minimal sedikit optimis lah kalau nantinya ada jalur rel berliku di area perbukitan 😀
Nggak kebayang indahnya jalur kereta menerobos lembah Sungai Serayu dan melewati perbukitan yang terbentang dari Banjarnegara sampai Wonosobo. Bahkan dulu perusahaan SDS memiliki loko uap khusus jalur pegunungan dengan ukuran lebih besar daripada loko uap biasa yang kini sudah menjadi salah satu koleksi dari Museum Kereta Api Ambarawa. 🙂
Medan Purwokerto (Barat) yang kini berdiri Stasiun Purwokerto dirasa memiliki kontur datar dan memudahkan SS membentangkan jalur kereta ke arah utara hingga Stasiun Cirebon. Analisisku (kota) Banyumas punya letak terlalu masuk ke pedalaman dan harus melintasi lembah Sungai Serayu beberapa kali agar tercipta jalur kereta terhubung dengan Cirebon. Jadi biayanya bakalan membengkak bikin banyak jembatan kereta jika nekat membentangkan jalur kereta Banyumas-Cirebon. 🙂
Oalah jadi Banyumas sendiri adalah sebuah kecamatan. Lagi mudeng koh😁
Padahal nama Banyumas kan jd nama kabupaten malah ibukotanya purwokerto. Banyumas malah dianak tirikan😢
Mereka tetap menghormati jasa Raden Joko Kahiman sebagai adipati pertama Kadipaten Banjoemas dan berjasa merukunkan empat wilayah yang terbagi di wilayah Banyumasan. Maka dari itu nama Banyumas tetap digunakan sebagai nama karesidenan, dilanjutkan sebagai nama kabupaten. 😀
Hayok kak Idah, Jasmine mulai dikenalin ama cerita karesidenan biar makin bangga jadi anak Banjarnegara yang mempertahankan dan mau berbahasa Banyumasan. 😉
Tetep sih, batiknya yg bikin aku pengen banget ke banyumas :D. Motifnya cantik, warna wrni pula. Untung aja si mbak chatarina itu membawa pengaruh baru ke motif batiknya 😀
Tanpa kreativitas Catharina van Oost mungkin batik Banyumasan tampak seperti batik pedalaman yang kaku warna sogannya, nggak jadi cantik dengan sentuhan gambar flora yah. 😀
Awalnya sempet penasaran kenapa Kabupaten Banyumas itu pusatnya di Purwokerto, sementara ada Kecamatan Banyumas di kabupatennya…
Ternyata pengaruh kehadiran stasiun kereta api begitu besar hingga mampu membuat ibukota karesidenan berpindah..
Andai kata nekat dibikin jalur baru dari Kroya langsung Banyumas atau dari Banyumas ditarik ke utara menuju Cirebon, mungkin Purwokerto sekarang hanya jadi sebuah kecamatan, sementara Banyumas jadi ibu kota kabupaten hihihi. Namun nasi sudah menjadi bubur, mau nggak mau mesti disuapin buburnya. 😀
Duhh apa mereka sangka membawa nama Banyumas itu akan meninggalkan kesan nggak kekotaan kah? Sedihhh … Padahal akar budaya Banyumasan ya asalnya dari Banyumas sendiri.
Gak bisa bayangin kalau jalur kereta itu dihidupkan kembali. Jadi inget jalur rel di Kabupaten Jember yang nanjaaaaaaak banget, sampe mau ke puncak kereta seolah-olah nggak jalan. Jadi pengen naik KA Sritanjung deh buat ngulang pengalaman ngeri-ngeri sedap itu. Btw, status Purwokerto ini memang unik ya. Banyak yang mengira ini kota, aku dulu mikirnya Purwokerto dan Banyumas itu semacam Tegal. Kan ada Tegal kota ada kabupaten yang berpusat di Slawi. Sama halnya Pekalongan yang juga ada kota, ada kabupaten yang berpusat di Kajen. Ternyata ibukota Kabupaten Banyumas. Mirip Purwodadi yang rupanya ibukota Kabupaten Grobogan.
Jalur kereta Blora-Cepu dan jalur kereta yang melintasi Tulungagung juga termasuk salah satu lintasan yang punya pemandangan keren. Sayang semua belum diaktifin sebagai rute kereta wisata. Lumayan kan kalau bisa jadi salah satu daya tarik di sana.
Hahaha bener, masih banyak yang salah paham dan menganggap suatu kota ramai sebagai kabupatennnya. Kajen yang terlihat lenggang nggak akan disangka sebagai ibu kota kabupaten, mungkin malah Kedungwuni yang dianggap sebagai pusatnya karena lebih hidup daerahnya. 😀
Ngomong-ngomong kenapa namanya Pendopo Si Panji ya Mas? Hehe.
Ulasan sejarah yang sangat menarik dan lengkap! Daerah barat daya Jawa Tengah memang butuh banyak eksposur soal sejarahnya, yang seperti tulisan ini, sudah membuktikan bahwa daerah itu tak kalah pentingnya dengan kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Dari sini saya bisa mencoba menyimpulkan bahwa daerah Karesidenan Banyumas termasuk lumbung ekonomi yang penting, terutama soal gula, meskipun huru-hara tak berkesudahan akhirnya menyudahi cerita itu, menjadikannya tinggal kenangan. Namun, terus terang melihat bangunan megah di bagian Jawa sebelah sini juga sangat menarik, mengingatkan bahwa ekonomi Hindia Belanda memang sangat jaya, meski kejayaannya juga mengalir ke Eropa, bukan ke rakyat di daerah lumbung ekonomi itu sendiri. Dilihat-lihat, agak ironis, ya.
Ada sumber yang mengatakan penamaan pendopo Si Panji diberikan oleh Tumenggung Yudonegoro II, bupati Banyumas ke-7. Saat beliau menjabat, pusat pemerintahan dari Kejawar pindah ke Banyumas. Pendopo yang dibangunnya tahun 1706 diberi nama salah satu putranya yang bernama Panji Gandasubrata. Semoga nggak salah informasinya hehehe.
Kisah pedalaman Jawa bagian tengah terutama Banyumas punya kaitan erat dengan dinasti Mataram Kuno hingga Majapahit (masih menelaah informasi sejarah bab ini). Maka tak heran mereka pernah berstatus perdikan sebelum Mataram Islam terpecah-belah. Pada akhirnya raja-raja Mataram Islam tetap menaruh rasa hormat kepada para Adipati Banyumas, salah satunya ada yang diangkat menjadi patih (Patih Danureja) di Kesultanan Yogyakarta. Lalu putri dan putra raja dari Kasunanan Surakarta pun pernah meminang anak adipati Banyumas sebagai upaya mempererat hubungan antar mancanegara. 😀
Berarti ini sambungan rel kereta yang ada di artikel sebelumnya mas?
Melihat ini kok jadi berharap rel tersebut dihidupkan kembali. Minimal sedikit optimis lah kalau nantinya ada jalur rel berliku di area perbukitan 😀
Nggak kebayang indahnya jalur kereta menerobos lembah Sungai Serayu dan melewati perbukitan yang terbentang dari Banjarnegara sampai Wonosobo. Bahkan dulu perusahaan SDS memiliki loko uap khusus jalur pegunungan dengan ukuran lebih besar daripada loko uap biasa yang kini sudah menjadi salah satu koleksi dari Museum Kereta Api Ambarawa. 🙂
Hoo jadi itu mulanya kenapa Purwokerto jauh lebih maju.
Tapi kenapa yang dipilih Purwokerto, koh?
Medan Purwokerto (Barat) yang kini berdiri Stasiun Purwokerto dirasa memiliki kontur datar dan memudahkan SS membentangkan jalur kereta ke arah utara hingga Stasiun Cirebon. Analisisku (kota) Banyumas punya letak terlalu masuk ke pedalaman dan harus melintasi lembah Sungai Serayu beberapa kali agar tercipta jalur kereta terhubung dengan Cirebon. Jadi biayanya bakalan membengkak bikin banyak jembatan kereta jika nekat membentangkan jalur kereta Banyumas-Cirebon. 🙂
Hmm bisa jadi karena itu. Soalnya kalo naik bis ke Purwokerto tuh lewat Banyumas dulu kan? Pas masuk situ jalannya naik turun
Oalah jadi Banyumas sendiri adalah sebuah kecamatan. Lagi mudeng koh😁
Padahal nama Banyumas kan jd nama kabupaten malah ibukotanya purwokerto. Banyumas malah dianak tirikan😢
Mereka tetap menghormati jasa Raden Joko Kahiman sebagai adipati pertama Kadipaten Banjoemas dan berjasa merukunkan empat wilayah yang terbagi di wilayah Banyumasan. Maka dari itu nama Banyumas tetap digunakan sebagai nama karesidenan, dilanjutkan sebagai nama kabupaten. 😀
Berarti urutannya Karisidenan, Kadipaten, trus Kawedanan ya?
Ting tong. Yen saiki wes diadopsi jadi Provinsi, Kabupaten, trus Kotamadya. Onderdistrict jadi kecamatan, kademangan jadi semacam kelurahan.
Sekarang karisidenan terdiri dr bbrp kabupaten/kota, Kawedanan terdiri dr bbrp kecamatan hehe.
Aku belum kesampaian ke Eks Kadipaten Banyumas ik. Belum jelajah juga. Fufufu. Kakak satu ini emang selalu keren dan tuntas kalau ngomongin jejak. 😉
Hayok kak Idah, Jasmine mulai dikenalin ama cerita karesidenan biar makin bangga jadi anak Banjarnegara yang mempertahankan dan mau berbahasa Banyumasan. 😉
Tetep sih, batiknya yg bikin aku pengen banget ke banyumas :D. Motifnya cantik, warna wrni pula. Untung aja si mbak chatarina itu membawa pengaruh baru ke motif batiknya 😀
Tanpa kreativitas Catharina van Oost mungkin batik Banyumasan tampak seperti batik pedalaman yang kaku warna sogannya, nggak jadi cantik dengan sentuhan gambar flora yah. 😀
Owalaah.. Jadi begitu tah ceritanya..
Awalnya sempet penasaran kenapa Kabupaten Banyumas itu pusatnya di Purwokerto, sementara ada Kecamatan Banyumas di kabupatennya…
Ternyata pengaruh kehadiran stasiun kereta api begitu besar hingga mampu membuat ibukota karesidenan berpindah..
Nice info gan..
Andai kata nekat dibikin jalur baru dari Kroya langsung Banyumas atau dari Banyumas ditarik ke utara menuju Cirebon, mungkin Purwokerto sekarang hanya jadi sebuah kecamatan, sementara Banyumas jadi ibu kota kabupaten hihihi. Namun nasi sudah menjadi bubur, mau nggak mau mesti disuapin buburnya. 😀
Tapi medannya bakal susah kalo via Banyumas..
Soalnya berbukit-bukit…
beberapa temanku anak (kabupaten) banyumas ga mau dibilang anak banyumas, maunya purwokerto hehehe
Duhh apa mereka sangka membawa nama Banyumas itu akan meninggalkan kesan nggak kekotaan kah? Sedihhh … Padahal akar budaya Banyumasan ya asalnya dari Banyumas sendiri.
ya karena banyumas terkesan kurang maju mas 🙂
informasi yang menarik gan, baru nemuin hal baru tentang banyumas disini, thanks yah
Semoga artikelnya bisa bermanfaat untuk mengetahui lebih banyak sejarah Banyumasan. 🙂
Gak bisa bayangin kalau jalur kereta itu dihidupkan kembali. Jadi inget jalur rel di Kabupaten Jember yang nanjaaaaaaak banget, sampe mau ke puncak kereta seolah-olah nggak jalan. Jadi pengen naik KA Sritanjung deh buat ngulang pengalaman ngeri-ngeri sedap itu. Btw, status Purwokerto ini memang unik ya. Banyak yang mengira ini kota, aku dulu mikirnya Purwokerto dan Banyumas itu semacam Tegal. Kan ada Tegal kota ada kabupaten yang berpusat di Slawi. Sama halnya Pekalongan yang juga ada kota, ada kabupaten yang berpusat di Kajen. Ternyata ibukota Kabupaten Banyumas. Mirip Purwodadi yang rupanya ibukota Kabupaten Grobogan.
Jalur kereta Blora-Cepu dan jalur kereta yang melintasi Tulungagung juga termasuk salah satu lintasan yang punya pemandangan keren. Sayang semua belum diaktifin sebagai rute kereta wisata. Lumayan kan kalau bisa jadi salah satu daya tarik di sana.
Hahaha bener, masih banyak yang salah paham dan menganggap suatu kota ramai sebagai kabupatennnya. Kajen yang terlihat lenggang nggak akan disangka sebagai ibu kota kabupaten, mungkin malah Kedungwuni yang dianggap sebagai pusatnya karena lebih hidup daerahnya. 😀
Ngomong-ngomong kenapa namanya Pendopo Si Panji ya Mas? Hehe.
Ulasan sejarah yang sangat menarik dan lengkap! Daerah barat daya Jawa Tengah memang butuh banyak eksposur soal sejarahnya, yang seperti tulisan ini, sudah membuktikan bahwa daerah itu tak kalah pentingnya dengan kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Dari sini saya bisa mencoba menyimpulkan bahwa daerah Karesidenan Banyumas termasuk lumbung ekonomi yang penting, terutama soal gula, meskipun huru-hara tak berkesudahan akhirnya menyudahi cerita itu, menjadikannya tinggal kenangan. Namun, terus terang melihat bangunan megah di bagian Jawa sebelah sini juga sangat menarik, mengingatkan bahwa ekonomi Hindia Belanda memang sangat jaya, meski kejayaannya juga mengalir ke Eropa, bukan ke rakyat di daerah lumbung ekonomi itu sendiri. Dilihat-lihat, agak ironis, ya.
Ada sumber yang mengatakan penamaan pendopo Si Panji diberikan oleh Tumenggung Yudonegoro II, bupati Banyumas ke-7. Saat beliau menjabat, pusat pemerintahan dari Kejawar pindah ke Banyumas. Pendopo yang dibangunnya tahun 1706 diberi nama salah satu putranya yang bernama Panji Gandasubrata. Semoga nggak salah informasinya hehehe.
Kisah pedalaman Jawa bagian tengah terutama Banyumas punya kaitan erat dengan dinasti Mataram Kuno hingga Majapahit (masih menelaah informasi sejarah bab ini). Maka tak heran mereka pernah berstatus perdikan sebelum Mataram Islam terpecah-belah. Pada akhirnya raja-raja Mataram Islam tetap menaruh rasa hormat kepada para Adipati Banyumas, salah satunya ada yang diangkat menjadi patih (Patih Danureja) di Kesultanan Yogyakarta. Lalu putri dan putra raja dari Kasunanan Surakarta pun pernah meminang anak adipati Banyumas sebagai upaya mempererat hubungan antar mancanegara. 😀
Ah begitu rupanya… nama “Panji” memang sudah terkenal banget ya Mas dalam khasanah Jawa. Oke, ditunggu hasil telaahannya!
salam kenal, setelah mencari kesana-kesini akhirnya saya menemukan artikel tentang kondisi paling aktual tentang pabrik gula Kalibagor
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Mudah-mudahan informasi yang telah saya tulis di sini bisa bermanfaat. 🙂