Telusur Sisa Pusaka Sokaraja

Masih banyak wisatawan yang keliru menganggap Purwokerto sebagai nama sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, padahal Purwokerto hanya sebatas pusat administratif dari Kabupaten Banyumas. Kenyataannya, jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan ke Purwokerto, Banyumas (kecamatan) pernah ditetapkan sebagai ibu kota Karesidenan Banyumas yang meliputi wilayah Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap.

Bulan Juli 2017 lalu saya menyempatkan diri ikut salah satu rangkaian kegiatan “Jelajah Banjoemas Mrapat” yang diadakan oleh Banjoemas History Heritage Community (BHHC). Dari penjelasan mas Jatmiko selaku koordinator BHHC, saya jadi semakin mengenal siapa Banjoemas atau Banyumas dan sisa masa kejayaannya mulai dari pembagian kadipaten dan onderdistrict, bekas pabrik gula yang pernah memperkaya pundi keuangan Belanda, hingga jalur kereta api yang pernah melintasi wilayah Kabupaten Banyumas.

Jelajah Banjoemas Mrapat BHHC
Jelajah Banjoemas Mrapat bersama BHHC

Sejarah Banyumas cukup panjang jika dirunut satu-persatu. Babad Banyumas mengisahkan wilayah Banyumasan sekarang merupakan bagian dari kerajaan Galuh Purba yang pernah berkuasa pada abad 3 hingga 4 Masehi. Seiring berjalannya waktu, tanah pedalaman subur di lereng Gunung Slamet tersebut menjadi sebuah kadipaten bernama Wirasaba di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang saat Hadiwijaya atau Jaka Tingkir memerintah tahun 1568-1586.

Nama Banjoemas atau Banyumas baru terbentuk setelah Raden Joko Kahiman mengantikan jabatan adipati setelah mertuanya, Adipati Wirasaba IV (Adipati Warga Utama I), pemimpin Kadipaten Wirasaba meninggal dunia. Raden Joko Kahiman dikisahkan tidak serakah. Atas izin Sultan Pajang, beliau membagi wilayah kadipaten menjadi empat bagian dan diserahkan kepada ipar-iparnya.

Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ng. Wirayuda, Merden menjadi bagian Kyai Ng. Wirakusuma, Wirasaba dipegang Kyai Ng. Wargawijaya, dan wilayah Kejawar dikuasai oleh Joko Kahiman. Dari sikap bijaksananya itulah, Joko Kahiman diberi gelar Adipati Marapat. Namun gelar Adipati Warga Utama II juga ikut disematkan.

Perjelajahan kami awali dengan mengeksplorasi Kecamatan Sokaraja yang terletak di antara Purwokerto dan Kecamatan Banyumas. Jika selama ini Sokaraja identik dengan deretan toko oleh-oleh yang acapkali menjadi tujuan wisatawan berburu getuk goreng dan sroto, siapa sangka masih ada beberapa sisa bangunan tua berumur lebih dari seratus tahun yang utuh dan dirawat oleh penghuni barunya. Rumah-rumah tua itu bukti bahwa peradaban Sokaraja berkembang dari bantaran Sungai Serayu yang memudahkan warganya masuk atau keluar dari Mataram di sisi timur maupun Pajajaran di sisi barat.

Seperti strategi politik pemerintah Hindia Belanda umumnya pada masa sebelum Indonesia merdeka, mereka sengaja membangun tembok batas antara bumiputera dan peranakan etnis lain agar mempermudah para pejabat Hindia Belanda dalam mengawasi gerak-gerik orang terpandang dan mengontrol perputaran dagang dan ekonomi yang mereka lakukan.

Jika bumiputera diberi keleluasaan dalam agama seperti jabatan kyai atau pendamping residen dengan jabatan wedono, maka peranakan Tionghoa yang menonjol di daerah tersebut akan diberi jabatan semu sebagai Kapitein der Chinezen pangkat tertinggi yang mempunyai kewenangan khusus. Sementara jabatan Leutenant der Chinezen ditugaskan untuk mengatur komunitas yang lebih kecil.

Bekas kantor kawedanan (setingkat kantor pembantu bupati) dan tempat tinggal wedana Sokaraja berada di kompleks kantor Kecamatan Sokaraja. Lokasinya tidak jauh dari pertigaan jembatan anak Sungai Serayu. Kini Pendopo Kawedanan Sokaraja yang telah disematkan nama Pendopo Soeparjo Roestam masih terjaga kekokohan kayu saka guru bertiang enam di tengahnya. Bangunan samping pendopo juga menyisakan kekunoan, meskipun ada beberapa perubahan bentuk yang telah menyesuaikan kebutuhan pejabat kecamatan.

Tak jauh dari eks kantor Kawedanan Sokaraja, terdapat sebuah rumah berlanggam indies empire milik Letnan Tionghoa kedua Sokaraja yang bernama Kho Han Tiong. Enam pilar tingginya belum mengalami perubahan bentuk, pun tiga pintu depan dan jendela-jendela tinggi di sisi kanan kiri rumah utama. Kho Han Tiong (1884-1932) yang menjabat sebagai letnan Tionghoa pada periode tahun 1923 hingga 1932 adalah anak dari Kho Joe Seng (1852-1910). Kho Joe Seng sendiri adalah Kapitan Tionghoa pertama Sokaraja yang punya andil mendirikan dan memimpin Tiong Hwa Hwee Koan di Sokaraja.

Mengutip dari salah satu tulisan di banjoemas.com, Kho Han Tiong pernah mendirikan N.V. Ko Lie, N.V. Hong Lee dan N.V Kho Tjeng Pek serta menjabat sebagai direktur semasa hidupnya. Perusahaan tersebut mengelola ekspor dan impor palawija dan gula pasir, bahkan memiliki lahan cukup luas di Cilacap yang kala itu berfungsi sebagai pelabuhan besar di pesisir selatan.

Yang membanggakan adalah salah satu putranya yang bernama Kho Sin Kie (1912-1947). Profesinya sebagai pemain tennis Tionghoa pertama dari Hindia Belanda memenangkan banyak  kejuaraan tennis taraf internasional seperti Davis Cup. Malang umurnya tidak panjang. Kho Sin Kie yang beristri wanita berkebangsaan Inggris meninggal usia 32 tahun di Royal Northern Hospital London akibat radang paru-paru.

Berbeda dengan rumah Kho Han Tiong yang hanya bisa dilihat dari halaman depannya saja, bekas kediaman Kho Giok Seng yang kini sudah menjadi bagian dari kompleks Gereja Kristen Indonesia Sokaraja bisa kami lihat lebih dekat. Boleh saya bilang bangunannya sangat terawat, cat pintu dan temboknya pun terlihat baru. Kho Giok Seng (1814-1906) adalah ayah dari Kho Song Biauw, seorang Wijkmeester atau setara dengan kepala kampung yang mulai menjabat pada tahun 1909 sampai 1912.

Bagian depan rumah langgam Tionghoa di Jalan Gatot Subroto 34-36, Sokaraja tersebut menggunakan penopang tiang kayu yang masih kokoh dan terawat. Ruang rumah utamanya tidak difungsikan sebagai tempat beribadah karena ada bangunan baru khusus beribadah di halaman belakang. Yang bikin saya klepek-klepek justru pintu kayu dengan dua lapis daun pintu di beranda belakang. Di bawah potrait Kho Giok Seng terdapat ukiran angka 1895 sebagai simbol berdirinya bangunan dan syair aksara Mandarin tertulis di daun pintunya.

Selanjutnya kami berjalan menuju TK-SD Kristen Sokaraja yang beralamat di Jalan Budi Utomo no. 46, Sokaraja. Puluhan tahun silam, sekolah dengan bentuk bangunan kembar tersebut merupakan bekas tempat perkumpulan Tiong Hwa Hwee Kwan Sokaraja. Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) pertama didirikan oleh peranakan Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1900 sebagai bentuk kepedulian mereka supaya anak-anak mereka bisa mendapat pendidikan berbahasa Mandarin dan tidak lupa dengan ajaran leluhurnya asal Tiongkok.

Tiong Hwa Hwee Koan di Sokaraja mulai dibangun dan diresmikan setelah permintaan 32 penduduk Tionghoa di sana dikabulkan oleh pejabat residen pada tahun 1907. Kho Joe Seng (ayah Kho Han Tiong) yang waktu itu masih menjabat Kapitan Tionghoa ditunjuk sebagai pengayom sekaligus ketuanya. Seperti nasib THHK di kota lain, THHK Sokaraja pun mengalami pergantian nama menjadi TK-SD Kristen Sokaraja pada tahun 1948. Dengan adanya perubahan itu, semua golongan bisa mengenyam pendidikan dasar di sana.

Cerita dari perhentian berikutnya cukup mengejutkan saya siang itu. Pernah ada jalur kereta api yang menghubungkan Purwokerto ke arah timur menuju Banjarnegara dan jalur percabangan ke utara menuju Purbalingga. Rel kereta yang dibangun oleh Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) dari Stasiun Maos, Cilacap ternyata terhubung dengan Sokaraja! Seperti yang bisa dilihat sekarang, jalur kereta antara Stasiun Purwokerto dan Stasiun Sokaraja saja sudah lenyap tidak ada bekasnya.

Pada tahun 1895, perusahaan kereta api swasta Belanda Serajoedal Stoomtram Maatshappij (SDS) memutuskan membuat jalur kereta dari Maos ke Purwokerto (Timur) melewati Sampang dan Patikradja. Dengan biaya sekitar ƒ1.500.000 dan dimandori oleh Ir. C. Groll, tahap pertama pembangunan SDS mengarah ke timur.

Dari Stasiun Purwokerto Timur kemudian melintasi Sokaradja, Bandjarsari, Klampok, Mandiradja, Poerwanegara, lalu berakhir ke Banjarnegara. Pada tahap pembangunan kedua, SDS memperpanjang jalurnya hingga Wonosobo melewati Randengan dan Selokromo. Kemudian dari Bandjarsari membentang ke utara menuju Purbalingga menjadi tahap pembangunan ketiga.

Bukan tanpa alasan yang kuat maskapai kereta api Belanda sudi membangun jalur dengan medan berkelok-kelok menerobos hutan di bantaran Sungai Serayu dan melewati perbukitan di wilayah Wonosobo. Hasil bumi yang melimpah dan komoditi gula yang disalurkan Pabrik Gula Klampok dan Pabrik Gula Kalibagor menjadi penyebabnya. Mereka memerlukan transportasi cepat untuk pengiriman semua palawija, daun teh, gula kristal ke Batavia atau pelabuhan Tanjung Emas di Semarang.

Stasiun Sokaraja
bekas rel Stasiun Sokaraja

Stasiun Sokaraja lokasinya tak jauh dari Pasar Sokaraja, berjarak sekitar 75 meter ke arah timur. Stasiun Sokaraja yang dibangun SDS seharusnya menjadi titik perhentian kereta loko penumpang dan barang yang awalnya menghubungkan Stasiun Purwokerto Timur (kini tidak menjadi stasiun penumpang lagi) menuju Stasiun Klampok (Banjarnegara). Di stasiun juga terdapat jalur percabangan menuju Suikerfabriek Kalibagor guna mengangkut tebu atau gula yang siap dikirim ke penyalur.

Namun sejauh mata memandang, saya hanya melihat bangunan tertutup tembok tambahan dan triplek rumah warga. Plang bertuliskan “Tanah Milik PT Kereta Api Indonesia” yang seolah menegaskan bahwa benar di sana merupakan bangunan Stasiun Sokaraja berada. Bantalan relnya entah raib ke mana. Potongan-potongan rel bajanya sudah dijadikan penopang tembok rumah warga.

Hanya bisa geleng kepala jika mengingat biaya sekitar sebelas miliar rupiah dengan kurs sekarang pada masa itu yang telah digelontorkan sudah tidak ada sisanya lagi hari ini. Akankah ada kesempatan kedua untuk membangun jalur kereta yang sama?

to be continued …

27 Comments Add yours

  1. Bisa dibilang, sejak peraturan pemerintah kapan itu yang menghilangkan sistem kota administratif, aku jadi bingung. Dulu Purwokerto jadi Kota Adminstratif, seperti Jember dan Batu, tapi terus dihilangkan dan cuma jadi ibukota kabupaten Banyumas. Masih sering bingung. Wkwk.

    Semoga KAI kembali mengaktifkan jalur Purwokerto – Wonosobo – Banjarnegara – Purbalingga lagi. 😀

    1. Kadang nama kota itu lebih menonjol daripada nama kabupatennya, seperti Purwodadi yang ternyata juga cuma pusat administratif dari Grobogan, bukan nama kabupatennya. Hahaha.

    2. Dan solo itu tak pikir luas ternyata sempit. Ternyata Karanganyar dan Sukoharjo itu kadang tak itung masih Solo. Wkwkwkw

    3. Yen Daerah Istimewa Solo atau Karesidenan Solo masih diakui oleh Republik Indonesia, Karanganyar dan Sukoharjo, bahkan Klaten sampai Wonogiri dan Sragen ditambah Boyolali dan Gunung Kidul seharusnya masuk dalam wilayah administratifnya Solo, Gallant. Luwih ombo ketimbang DIY asline… *kedip-kedip* 😀

  2. Charis Fuadi says:

    aku pingin banyak tahu dan pingin bisa nulis kaya gini, banyak hal menarik apalagi disekitarku sana

    1. Temanggung akeh potensi wisata sejarah yang bisa diangkat loh. Pahlawan nasional, pecinan, kauman, permukiman Belanda, jalur kereta dan stasiun yang sudah tidak aktif juga bisa diperkenalkan lewat tulisanmu, Charis. 😉

  3. Eko Nurhuda says:

    Menarik, Mas! Jempol.
    Aku udah lama banget nggak lewat Purbalingga-Sokaraja semenjak nggak pernah wira-wiri Pemalang-Jogja lagi. Dulu tahunya Sokaraja ya sentra oleh-oleh gethuk goreng dan sroto, hahaha. Terus di satu sudut Purwokerto dibuat takjub sama deretan rumah-rumah dan bangunan gaya Indisch. Cuma nggak pernah khusus datang ke sana buat eksplore karena emang nggak banyak tahu ceritanya. Kalau ada event serupa ini lagi tahun ini, mau banget ikutan aku.

    Btw, aku masih bingung kedudukan Kawedanan itu sama gak sih dengan Onderdistrict? Setelah Residen kan Bupati, nah Wedana ini di bawah Bupati kan ya? Terus Onderdistrict ini apa? Atau khusus di Jawa aja pake istilah Kawedanan?

    1. Banyumasan menjadi wilayah di Jawa bagian tengah yang dikuasai oleh pemerintah Belanda paling akhir. Letaknya yang di pedalaman menyusahkan akses mereka. Kurang lebih urutan tingkat jabatan yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada masa Hindia Belanda seperti ini:
      Residen – Afdeeling/ Kadipaten – Onderafdeling/ Kawedanan – Onderdistrict/ Kademangan.

      Pembagian yang pakai bahasa Belanda biasanya dipimpin orang Belanda, sebaliknya semacam Kawedanan yang setingkat pembantu bupati dipimpin wedono, seorang bumiputera terpilih. Nah, Onderdistrict sendiri setingkat kecamatan yang dipimpin asisten residen orang Belanda. 🙂

    2. Eko Nurhuda says:

      Oh, I see. Jadi sebutan itu tergantung siapa pejabatnya ya. Katakanlah daerah yang pemerintahan sepenuhnya dikuasai Belanda, maka pejabat-pejabatnya orang Belanda sampai tingkat Onderistrict. Oke, makasih banyak, Mas.

  4. Sek sek aku hilang orientasi. Berarti Sokaraja ini di timur Purwokerto ya? Karena dilewati jalur kereta ke arah Purbalingga-Banjarnegara.
    Di pelosok macam ini masih nemu aja koh, orang-orang Tionghoa yang bermukim disana. Banyumas ki ncen luas ya😁

    1. Yen dirimu naik bus dari Purwokerto ke arah timur menuju Kebumen mesti ngelewati Sokaraja trus pinggiran eks PG Kalibagor. Yen numpak sepur wes gak lewat sana lagi, tapi dari Stasiun Purwokerto turun ke Stasiun Kroya (Cilacap). Jalur kereta Purwokerto-Wonosobo yang udah nggak bersisa itu seharusnya melewati Klampok (dulu ada PG Klampok) – Banjarnegara – Wonosobo.

      Persebaran Tionghoa di Banyumasan lumayan banyak. Purbalingga, Banjarnegara sampai Cilacap tercatat punya Tiong Hwa Hwee Koan. Luamyanlah bisa jadi perburuan heritage berikutnya. Hahaha.

    2. Plosokan Sidareja Cilacap jare yo masih ada perkampungan Tionghoa mas.

    3. Setelah Imlek daku ada rencana melipir ke Cilacap, menggenapi kisah Karesidenan Banyumas. 😀 Yuk cuss numpak spoor langsung dari Solo ke Cilacap..

  5. Darma says:

    Poerwakarta emang terkenal bgt ya..
    Saya jadi belajar sejarah tentang kota yg satu ini tapi lebih byk jejak tiongkok dan peninggalannya ya..
    Namanya susah2 euy

    1. Kebetulan sepanjang acara membahas sisa bangunan tua yang masih terawat dan bangunan-bangunan itu berkaitan dengan saudagar Tionghoa Sokaraja di masa lalu. Ada kompleks Kauman dan kisah pahlawan asal Sokaraja, Soeparjo Roestam yang sebenarnya menarik dibahas juga. Namun waktu penjelajahan terbatas, sehingga hanya fokus di beberapa titik saja. 🙂

  6. Sek mas, sek mas,
    Kui bekas baja rel nempel jadi tembok rumah orang, atau gimana? Kok kayaknya dipotong sekitar 70cm-an ya. Terus menyatu di tembok rumah/bangunan.

    1. Pengamatanku sih relnya sengaja dipotong-potong terus ditempel sembarangan semacam aksesoris hahaha. Mungkin itu sisa potongan baja yang nggak sempat mereka lebur atau dijual kiloan. 😛

  7. jonathanbayu says:

    Purwokerto purwakarta, aku sering ketuker2 dua nama kota ini.
    Aku baca tulisan ini jadi seperti lagi dituntun sm guide loh, lengkap dan jelas, berasa lg di tkp.

    1. Ejaan Belanda di peta lama kadang lebih sesat lagi kalau nggak teliti, Purwareja dengan Purworejo, Purbalingga dengan Probolinggo yang ejaan jadoelnya beda tipis semua hahaha.

      Thank you, Jo. Heritage di Indonesia kaya, menarik dan nggak ada habisnya dikulik satu-persatu. 😀

  8. Hendi Setiyanto says:

    wkwkwkwk banyak yang mengira purworejo-klampok itu di kabupaten purworejo ga jauh dari jogja padahal itu salah satu nama kecamatan di Banjarnegara

    1. Jadi pingin ngulik lebih dalam tentang Purwareja Klampok deh. Biar kecamatan kecil jadi wow karena sadar potensi wisata sejarah di sana. Kancani yuk, Hen. 😉

    2. Hendi Setiyanto says:

      kapan ke cilapopnya?

    3. Rencanaku akhir minggu bulan depan melipir Cilacap. Melu? Nti lanjut melipir Banjarnegara, Purwareja-Klampok sekalian seru koyoe. Hahaha. 😀

  9. Azizin says:

    semoga itu aturan menjadi yg terbaik untk kesejahteraan masyarakat purwokerto dan sekitar

  10. Avant Garde says:

    next aku sempatin ke Sokaraja mas 🙂 makasih infonya

    1. Seharian ublek pusaka di Sokaraja terdengar asyik. kan? 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.