Belajar Arti Kata Pulang dari Kampung Nasi Goreng

Bukan perkara mudah ketika seseorang memutuskan keluar dari tanah rantau lalu memilih masuk kembali ke tempat di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Ada semangat baru yang hendak dikobarkan di sana. Berharap pula bisa menjalani kehidupan baru lebih baik yang memberikan kedamaian bagi keluarganya kelak.

Di sisi lain, muncul ketakutan demi ketakutan yang sesekali membayangi pikiran. Ada hal-hal yang kadang menghalangi langkah demi terwujudnya sebuah perubahan. Namun, tantangan harus dihadapi, bukan dihindari. Semuanya ibarat jalan yang harus dilalui supaya lebih memaknai kehidupan.

Bohong jika saya berkata berhasil melalui proses semacam itu. Sekali lagi bukan perkara mudah melepaskan diri dari zona nyaman. Dari setiap perjalanan saya belajar. Termasuk salah satunya adalah perjalanan dari Desa Wonopringgo beberapa waktu lalu yang memberi pandangan baru tentang arti kata pulang.

pos jaga Pabrik Gula Wonopringgo
bekas pos jaga pabrik gula

Euforia Festival Seribu Piring Nasi Goreng yang diselenggarakan malam sebelumnya masih terasa hangat pagi itu. Kesuksesan festival dan antusias para pengunjung festival menjadi buah bibir warga. Mereka memuji dan sesekali mempertanyakan piring nasi goreng yang tidak sampai ke tangan mereka kepada laki-laki yang berdiri di samping saya. Sosok yang disanjung oleh mereka tak lain adalah Slamet Haryanto, Kepala Desa Wonopringgo yang akrab disapa warganya dengan panggilan Pak Haryanto atau Pak Lurah.

Senyumnya dibiarkan merekah sembari meladeni satu-persatu pertanyaan dari warga Desa Wonopringgo yang melintas di hadapannya. Tak ada ekspresi yang memperlihatkan rasa capek dari usaha kerasnya agar festival kemarin malam berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan Pak Lurah masih terlihat semangat mengajak saya untuk mengenal lebih dekat sejarah dan potensi desa yang tersebar di Desa Wonopringgo.

Keseruan Festival Nasi Goreng –> Festival 1000 Piring Nasi Goreng Wonopringgo

Desa Wonopringgo adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Seperti pernah saya tulis di artikel sebelumnya, desa yang memiliki nama sama dengan kecamatannya ini merupakan bagian dari bekas kompleks Suikerfabriek Wonopringgo atau Pabrik Gula Wonopringgo yang diperkirakan pernah ada pada tahun 1900-an. Meskipun kini bangunan pabriknya sudah tidak berbekas, Wonopringgo masih meninggalkan sisa rumah-rumah tua peninggalan pegawai-pegawai pabriknya.

Kami berdua mengawalinya dengan melihat sumur tua yang menjadi bagian dari sejarah desa. Kisah sumur itu dikaitkan dengan folklor yang diceritakan secara turun-temurun. Alkisah seorang tokoh bernama Syekh Subakir pernah singgah di sebuah hutan bambu yang kelak dikenal dengan nama Wonopringgo. Saat beliau hendak bersalat, tak ditemukan satu pun sumber air untuk wudhu. Tongkat yang dibawanya langsung ditancapkan ke dalam tanah dan seketika dari lubang tersebut keluar air yang melimpah.

Sumber air yang dibendung menjadi sumur itu kemudian dikenal warga Desa Wonopringgo dengan sebutan Sumur Segelam. Di sekitarnya juga ditemukan enam sumber mata air atau belik lain yang masing-masing diberi nama Belik Jolotundo, Sepuhan, Jogobelo, Simeri, Joyosekti, dan Joyokusumo (dikutip dari http://www.desawonopringgo.com).

Hingga saat ini Sumur Segelam yang telah dikelilingi tembok dan diberi atap pelindung dari hujan telah dianggap keramat oleh warga desa. Meskipun permukaan airnya terlihat keruh, pada hari khusus seperti malam Jum’at Kliwon dan malam tertentu, ada beberapa orang yang masih mempercayai khasiat airnya, jelas Pak Lurah.

Sembari melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya, Pak Lurah membagikan sedikit pengalamannya kepada saya dan bercerita bagaimana beliau bisa duduk di kursi kepala desa. Kota Semarang yang pernah menjadi tempatnya memulai usaha dan membesarkan anak-anaknya terpaksa ditinggalkan setelah beliau merasa bisnis yang tengah dijalaninya mengalami kelesuan.

Sesekali beliau merehatkan pikiran dengan berlibur ke Desa Wonopringgo, tempatnya dibesarkan. Dari situlah muncul dukungan moral dari kawan-kawan sepermainan di sana, beliau pun terdorong untuk kembali ke desa dan mengabdi kepada masyarakat melalui jabatan kepala desa.

Rencana untuk kembali ke desa tidak langsung berjalan dengan mulus. Ada pertentangan dari keluarga yang harus dilunakkan. Meyakinkan dan mempersiapkan segala sesuatu supaya mereka merasa nyaman tinggal di tempat yang baru adalah tantangan awal yang harus beliau hadapi. Pada akhirnya seluruh keluarga mau menerima dan bahu-membahu membantunya supaya desa menjadi lebih baik. Pemilihan kepala desa waktu itu pun berlangsung dengan lancar, Slamet Haryanto terpilih menjadi Kepala Desa Wonopringgo ke-7 dengan masa jabatan mulai tahun 2013 hingga sekarang.

Makam Mbah Mayung menjadi perhentian berikutnya. Dari cerita Pak Lurah, Mbah Mayung dianggap sebagai seorang tokoh desa yang babat alas atau mengawali pembukaan lahan tinggal di Wonopringgo. Belum ada bukti tertulis yang menyebutkan kapan Mbah Mayung dilahirkan dan wafat. Saya hanya bisa menerka bahwa keberadaan Mbah Mayung telah ada jauh sebelum Suikerfabriek Wonopringgo berdiri. Hal itu dibuktikan oleh peta tahun 1914 buatan pemerintah Hindia Belanda yang sudah fasih menyebutkan nama Wonopringgo sebagai nama salah satu wilayah di Pekalongan.

Tak hanya sejarah yang membentuk Desa Wonopringgo saja yang diperkenalkan oleh Pak Lurah. Kerajinan tangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang telah berkembang di sana turut ditunjukkan oleh beliau. Kami sempat singgah ke rumah milik Soetarko, pendiri Starco Handycraft, perusahaan mikro kerajinan tangan yang memanfaatkan limbah batok kelapa. Kreativitas berbahan tempurung kelapa yang dirintisnya sejak tahun 1998 pernah membuahkan ragam bentuk tas, peci, tempat tissue, kap lampu, dan hiasan lain.

Dari tangan dinginnya pula tercipta tas raksasa berukuran 200 sentimeter, lebar 60 sentimeter, dan tinggi 150 sentimeter hasil rakitan ribuan kancing batok kelapa. Karya besar yang kini dipajang di beranda rumahnya tersebut sempat masuk rekor MURI pada tahun 2006. Bahkan Gubernur Jawa Tengah dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah memberikan piala dan beberapa penghargaan terkait produk unggulan UMKM dan pemanfaatan limbah kepada Soetarko beberapa tahun lalu.

Industri batik tulis Pekalongan juga menjadi produk unggulan dari Desa Wonopringgo. Saya diperkenalkan dengan Wahyudin atau akrab disapa Udin di rumah produksinya. Rumah milik Udin tidak hanya menampung pengrajin-pengrajin yang melukis motif batik di atas kain mori saja, melainkan turut menyediakan ruang untuk nyolet, pengelorotan malam hingga penjemuran. Hasil jadi batik tulis produksinya akan diambil oleh para tengkulak dan langganan dari kota.

Dalam usahanya memajukan desa, segala tindakan Pak Lurah tidak serta-merta mendapat respon baik dari seluruh warganya. Adaptasi dan mengenalkan kemampuannya memimpin desa adalah langkah awal supaya lingkungan di sekitar memberikan kepercayaan kepadanya. Transparansi pengelolaan dana desa dibeberkan lewat spanduk yang tertempel di depan kantor kepala desa merupakan salah satu tindakan beliau yang sudah seharusnya ditiru oleh kepala desa-kepala desa di desa yang lain.

Adapun kebijakan-kebijakan pemerintah desa yang dilakukan selama masa kepemimpinannya berupa pelaksanaan agenda-agenda baru dengan harapan semakin mengangkat nama Desa Wonopringgo. Terselenggaranya Festival 1000 Piring Nasi Goreng, pengadaan upacara bendera pertama kali di desa pada tanggal 17 Agustus 2017 lalu, dan piala kemenangan perwakilan Desa Wonopringgo dalam Carnival Wonopringgo selama tiga tahun berturut-turut merupakan terobosan yang tidak pernah dilakukan oleh kepala desa sebelumnya.

Meskipun terlihat lancar di luar, perjuangan Pak Lurah masih panjang. Jika Desa Wonopringgo kelak diangkat secara resmi sebagai Kampung Nasi Goreng di Kabupaten Pekalongan, bukan tidak mungkin Pak Lurah harus mulai meyakinkan warga di sana untuk berani membuka pintu rumahnya kepada tamu asing dan menjadikannya sebagai homestay. Strategi pelaksanaan festival nasi goreng tahun depan juga harus dipikirkan secara matang supaya berjalan lebih lancar dan memberikan rasa nyaman bagi pengunjung maupun penduduk Desa Wonopringgo sendiri.

Usai berkeliling desa bersama dengan Pak Haryanto, keesokan harinya saya menyempatkan diri berbincang-bincang dengan ketua Karang Taruna Pringgodani yang bernama Wike Oktaviana. Jika Pak Lurah berperan sebagai generasi tua yang membawa angin segar selama beliau duduk di kursi kepala desa, Wike berusaha menciptakan perubahan bagi generasi muda di Desa Wonopringgo melalui aktivitasnya sebagai ketua karang taruna.

Semangat kerja dan pengalaman dari hasil merantau selama enam tahun di Bandung ditularkan kepada kawan-kawan Karang Taruna Pringgodani setelah dia memutuskan pulang rumah dua tahun lalu. Ada tujuh bidang yang digiatkan oleh muda-mudi karang taruna di bawah kepemimpinan Wike. Agama, olah raga dan seni, hubungan masyarakat, kesejahteraan sosial, pendidikan, hingga lingkungan hidup. Aksi memunggut sampah di sepanjang jalan desa melalui program run clean setiap hari Jum’at merupakan salah satu kegiatan bidang lingkungan hidup.

Tidak terdengar nada penyesalan akan keputusan pulang desa dalam tiap tutur katanya ketika saya menanyakan kenapa dia memilih kembali ke rumah dan memulai segala sesuatunya dari nol. Saat kawan yang lain menggodanya tentang masalah kegagalan asmara, Wike hanya melempar tawa sembari menjawab dengan spontan bahwa dia telah merasakan titik jenuh terhadap kota rantaunya.

Kedekatan dengan orang tua dan suasana rumah yang menghangatkan jiwa adalah hal terpenting dalam fase hidupnya sekarang. “Tanpa kita sadari kampung punya potensi besar di dalamnya. Marilah pemuda-pemudi yang tinggal di daerah tak lagi malu, harus bangga dan mau mengembangkan potensi desanya,” pesan Wike supaya langkahnya bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda di desa.

Pada hari yang sama, saya juga keliling desa bersama dengan Bayu Taufani. Dari obrolan dengan Bayu melalui sosial media lah yang membawa saya ke Desa Wonopringgo. Saya terkejut ketika dia bercerita bahwa Semarang tidak menjadi tempat tinggalnya lagi, desa bernama Wonopringgo justru sudah menjadi rumahnya kini. Tentu bukan hal gampang bagi anak muda seusianya untuk melepaskan kehidupan gemerlap di kota besar lalu memutuskan tinggal di desa yang tidak punya pusat perbelanjaan seperti mall, apalagi kafe-kafe gaul ala perkotaan.

Sudah satu tahun lamanya Bayu harus membiasakan diri untuk menjalani kehidupan di Desa Wonopringgo. Tidak ada niatan untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Diponegoro Semarang dan menyanggupi permintaan orang tuanya membantu pengelolaan website desa menjadi alasan yang diutarakan Bayu setelah saya bertanya tentang jalan yang dipilihnya sekarang. Sebagai seorang blogger yang hingga kini aktif menulis di http://www.papabackpacker.com, memudahkan dia mendesain dan menata tampilan website desa menjadi lebih menarik.

Desawonopringgo(dot)com telah dikelola oleh Bayu secara konsisten, ada tulisan baru setiap bulannya. Di sela kegiatannya yang padat setelah terpilih menjadi juara pertama Duta Wisata Kabupaten Pekalongan periode 2017, Bayu masih menyempatkan up to date mengenai liputan acara yang telah atau akan diselenggarakan di Desa Wonopringgo. Meskipun beberapa potensi desa telah ditampilkan di website desa, masih ada penemuan-penemuan baru yang belum dipublikasikan.

Saluran irigasi peninggalan masa Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka), sisa pabrik gula Wonopringgo, bekas rel dan jembatan penghubung lori kereta tebu di tengah desa hingga persebaran rumah-rumah tua instagrammable yang sempat kami kunjungi belum dia kulik dan jabarkan secara detail di sana. Padahal hal-hal kecil semacam itulah yang kelak akan menjadi daya tarik sebuah desa. Namun, saya percaya dengan dedikasi dan semangat muda Bayu atau bahkan pemuda-pemudi karang taruna akan menghasilkan tulisan-tulisan baru tentang desa mereka.

Kesederhanaan hidup yang diimbangi dengan pikiran terbuka dan kemauan untuk belajar supaya kelak desa dipenuhi orang-orang yang mampu membangun usaha secara mandiri, tidak terkekang dalam rutinitas menjemukan di pabrik-pabrik adalah harapan yang diutarakan oleh Bayu. Lagi, lagi, keinginan untuk mengubah pola pikir penduduk desa yang terlanjur kaku merupakan tantangan yang cukup berat. Harus ada bentuk pengorbanan dan keikhlasan yang mengiringi.

kesederhanaan hidup di Desa Wonopringgo
kesederhanaan hidup di Desa Wonopringgo

Akhir kata, desa bukanlah tempat yang selalu identik dengan daerah tertinggal. Dari mereka yang pulang dan punya inisiatif membangun tempat kelahiran dan tempat mereka dibesarkan adalah asa di balik kekakuan budaya yang terlanjur keliru. Pengalaman demi pengalaman yang telah didapat dari tanah rantau bisa menjadi terapan supaya lebih mengerti dan menghargai kapasitas yang dimiliki oleh mereka yang masih merasa minder dan malu dengan status kedesaannya.

Dari mereka yang berusaha keras membawa perubahan positif di Desa Wonopringgo, saya belajar banyak tentang arti kata pulang. 😉

31 Comments Add yours

  1. Dan sampai sekarang saya masih gamang kalau harus pulang ke rumah dan mengabdi di tanah kelahiran. Salut untuk orang-orang yang sudah berani mengambil keputusan tanpa rasa bimbang. Membangun kampung halamannya mnejadi lebih baik.

    1. Ayo bikin desamu semakin molek, Sitam. Kupercaya ada waktu yang pas untuk meluangkan waktu dan mendedikasikan hidup di tanah kelahiran. Ntar akan kubikin yell khusus buat dukung dirimu jadi Jepara Satu! Hahaha

  2. Gara says:

    Definisi yang paling awal tentang pulang. Bagi orang urban, mungkin pulang sudah menjadi sesuatu yang samar. Dengan berbagai keterpaksaan, mau tak mau lingkungan urban itulah yang dijadikan arti rumah. Padahal kalau mau dikulik lagi, pulang ya kembali ke tanah kelahiran. Kira-kira begitu, ya. Salam salut buat semua anggota desa Wonopringgo yang punya kecintaan akan rumah yang sangat tinggi. Agaknya bohong jika ada yang bilang desa tinggallah desa tanpa potensi apa pun. Semangat teruslah, mudah-mudahan suatu hari nanti saya bisa ke sana!

    1. Ibarat tidak bisa pindah ke lain hati, seperti terciptanya tradisi mudik di hari raya yang berupaya mengingatkan para perantau agar ingat dengan kampung halamannya. Andai semua perantau berpikiran positif seperti yang kutemui di Desa Wonopringgo, mungkin kesejahteraan akan tercipta di semua desa di Indonesia. Lapangan kerja baru terbentuk di sana, produk unggulan menjadi andalan bagi perputaran ekonomi desa, mimpi-mimpi yang pastinya bisa dijadikan kenyataan. Kelak tak akan ada lagi keluhan dan bujukan untuk kerja di kota lebih besar yang mempengaruhi lunturnya kecintaan mereka terhadap desa, kan, Gar? 😉

  3. Oiya, baru ngeh kalo kata wonopringgo mengandung kata pring yang berarti bambu!

    Keren ih, anak mudanya mulai sadar akan potensi desanya. Dan secara sadar mau kembali dr tanah perantauan, yg menawarkan gemerlap hidup perkotaan.
    Sukses untuk semua warga wonopringgo. Semoga masuk agenda kemenpar festival nasi gorengnya 😀
    Unik loh, baru disini ini.

    1. Banyak yang belum sadar dengan potensi desanya masing-masing. Iming-iming kerja di kota dengan gaji besar masih jadi momok generasi muda asal desa. Padahal apapun yang diolah di desa bisa menjadi barang mahal jika dijual di perkotaan. Nah, tinggal pilih jalan hidup, mau terus ikut orang atau mau berusaha mandiri membuaka lapangan kerja sendiri. 😀

  4. Pekalonganku says:

    Aku jadi pengen ngulik desaku,,,sama seklai belum terjamah dan tidak tahu harus nyari sumber siapa

    1. Pastinya masih ada sesepuh atau yang dituakan bisa bersaksi mengenai sejarah desa. Atau bisa mencari data di kantor kelurahan atau kecamatan, kak Nay. Ayo kenalkan potensi desa ke khalayak agar desamu tercinta kelak dikenal banyak orang, syukur berkat upaya tersebut ikut memajukan ekonomi desa. 😉

  5. Hendi Setiyanto says:

    aku juga tinggal di desa tapi aku belum bisa seperti si duta wisata tadi hehehe, kabar baiknya dua tahun ini, desaku Karangsari menjadi pioner penyelenggaraan karnaval kemerdekaan, semoga tahun depan bisa kompak menjadi tingkat kec.punggelan hahaha

    1. Hendi nggak tertarik daftar jadi Duta Wisata Banjarnegara? Masih cukup umur kan? Hehehe. Ada banyak cara mengenalkan desa atau kota tempat tinggal masing-masing, tinggal bagaimana memanfaatkan dan melihat peluang kecil itu supaya jadi terangkat secara nasional. Cemungud! 😉

    2. Hendi Setiyanto says:

      ngeceeeeee, muka boleh muda tapi umura tak bisa tak wkwkwk

    3. Angka di KTP iso diedit sithik, penting rambut putih disembunyiin disik hahaha. Jadi kapan mo nyalon? #teteup 😛

  6. Dwi Susanti says:

    Mas Halim, tulisanmu ini sedikit mengangkat sosok Bayu menjadi inspirasi anak-anak muda di luaran sana. Dia mengabdikan kemampuannya yang dia bisa untuk kemajuan desanya. Salut, salam kenal, *salim.
    Tetep ya, di manapun ketemunya sama saluran irigasi peninggalan Hindia Belanda, pabrik gula, bekas rel dan jembatan penghubung lori kereta tebu dan rumah-rumah tua. Semoga nanti dikasih kesempatan untuk kembali ke sana dan kutunggu tulisannya 🙂

    1. Wonopringgo kaya banget desanya. Dari Bayu lah daku jadi tahu bahwa desanya punya kekayaan yang bisa dikulik lebih dalam lagi. Didukung warga desa yang berpikiran maju, niscaya mereka akan jadi desa yang hebat di masa depan. 🙂

  7. rini says:

    Kadang, masalah utamanya itu kekompakan kalau di desa sini. Dari semua kalangan. Tapi secara tidak langsung mas Bayu lewat tulisan mas Halim menginspirasi. Semoga Desa Wonopringgo semakin maju kedepannya!

    1. Amin… semoga Desa Wonopringgo bisa terus jadi yang terbaik, berkembang,dan tetap menjaga kearifan lokalnya di bawah penanganan orang keren yang beberapa kutulis di atas. 🙂

  8. Terima kasih sharing tulisannya, mas

    Memang perlu keberanian untuk kembali lagi ke kampung halaman dan membangunnya. Sementara saya lebih banyak pulang kampung halaman pas hari raya akhir tahun sekalian ngerayain pergantian tahun… Hehehehe

    1. Tidak gampang memang melepas kenyamanan yang dirasa sudah nyaman dan enggan mengubah pandangan lama menjadi baru. Kelak akan ada waktunya sendiri untuk menyadari kesederhanaan yang ingin dipertahankan di masa depan. 😉

  9. mysukmana says:

    sangat salut sama mas bayu…
    masih belia udah bisa uptodate tentang dimana dia berada
    ini anak bakal sukses mas broo
    btw aku mau dong nasgor nya..nasgor mana nasgor mana?

    1. Nasi goreng banyak dijual di warung-warung nasgor di sepanjang Pekalongan sampai Kajen lo. Buruan mampir ke Wonopringgo biar keturutan makan nasi goreng maknyus se-Pekalongan. 😀

  10. Totoraharjo says:

    cuplikan ceita syek subair tadi aku kok yoo tau macaaaa,, karomah banget kui mas. apik tulisanmu.. informatiff

    1. Matur nuwun sudah berkunjung kemari, mas Toto. Ayo main ke Wonopringgo biar bisa lihat langsung tempat bersejarah yang sudah kutulis di atas. 😉

    2. Totoraharjo says:

      ayukk mainn. aku mau kakkk.
      nawarin jadi gudie opo gaak? hehehe

  11. Aku baru tahu kalo kerajinan dr batok kelapa itu dibuat di Pekalongan. Aku sempat punya dompet kayak gitu soalnya. Ah aku selalu salut ama orang2 yg mau balik ke kampung halaman dan mengabdi. Desa-desa skrg sudah pada mau berkembang dan maju, semakin hari bakal banyak desa yg mau berbenah, jadinya mereka bisa jadi tempat wisata juga.

    1. Kualitas kerajinan batok kelapa di Pekalongan sudah nasional dan dikenal oleh beberapa negara lain. Bahkan ada yang cerita seorang teman pemiliknya cerita kalau beli tas batok kelapa di Bali sekian ratus ribu rupiah, nggak tahunya itu sebenarnya produk dari Pekalongan lalu dijual lagi di kota lain dengan harga lebih mahal tentunya. 😀 😀

      Desa menjadi embrio sebuah kota yang baru jika dibina dan dipimpin oleh orang hebat seperti yang pernah kutemui di Wonopringgo. Mudah-mudahan diikuti oleh desa-desa lain yang mampu menghadirkan generasi pemikir yang hebat dan mau menghargai kreativitas anak mudanya. 🙂

  12. rizkaedmanda says:

    Industri batik pekalongan memang terkenal banget ya, malah katanya batik yg dipakai desainer terkenal mba Dian Pelangi waktu fashion week itu juga dari Pekalongan… hebat ya pekalongan sudah mendunia…

    1. Batik Pekalongan sudah berkembang sejak ratus tahun lalu. Baik motif yang diperkenalkan oleh peranakan Tionghoa, peranakan Arab, dan peranakan Eropa di Pekalongan berhasil membawa batik pesisirnya dikenal dan dikagumi hingga sekarang. Warga asli Pekalongan haruslah bangga dengan warisan tak ternilai yang diturunkan oleh leluhurnya. 😀

  13. annosmile says:

    kalau ada acara kayak gini kabar-kabar dong bro hehehe

    1. Acara terkini Desa Wonopringgo bisa pantau di website desa mereka langsung, Anno. Mereka bikin acara bulanan yang selalu menarik untuk diliput. 😉

  14. Aku baru saja mengunjungi perajin tas batok kelapa di Blitar kemarin. Periode perintisannya lebih awal dari Pak Soetarko, tahun 1995-1996. Pasar pertamanya langsung Bali. Wira-wiri Blitar-Bali. Jadi memang, dari beliau menghasilkan produk jadi tanpa embel-embel merk. Nanti ketika diambil pengepul dan di lokasi toko tujuan di daeran disematkan brand sendiri, biasanya begitu. Kapan-kapan aku cerita ini di blog. Sementara nulis laporannya dulu hahaha.

    Tulisan-tulisan tentang desa seperti ini harus diperbanyak. Setiap desa yang memiliki warisan sejarah atau alam harus bersyukur, karena menjadi modal kuat untuk mengembangkannya. Terutama dari segi wisata. Tapi umumnya setiap desa pasti memiliki warisan budaya/tradisi turun-temurun. Pak Slamet Haryanto harus didukung untuk memoles Wonopringgo perlahan, karena bukan perkara mudah memajukan desa, terutama karena dari segi SDM-nya. Yang diubah adalah pola pikir, dan itu tidak gampang.

    Semoga ini bukan komentar yang datang terlambat, karena postingannya sudah berusia setahun ahahaha.

    1. Wahh menarik nih kisah pengrajin tas batok kelapa di Blitar. Boleh nih kalau main ke Blitar berkunjung ke sana. Ditunggu cerita lengkapnya di blogmu Qy. 😀

      Terima kasih komennya Qy. Semoga komenmu ikut dibaca warga Desa Wonopringgo dan desa-desa yang lain. 😉

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.