Eksplorasi Petungkriyono Dalam Sehari

Siapa yang belum kenal dengan Pekalongan? Letaknya yang berada di pesisir utara Provinsi Jawa Tengah telah menjadi jalur penting di Pulau Jawa yang selalu diramaikan oleh kendaraan para pemudik ketika hari raya tiba. Jika Kota Pekalongan sudah mengangkat kampung-kampung batik dan bangunan cagar budaya yang tersebar di tengah kotanya, Kabupaten Pekalongan justru bertekad untuk mengunggulkan potensi wisata alamnya.

Perlu diketahui, Pekalongan terbagi menjadi dua pusat pemerintahan, kotamadya dan kabupaten. Kotamadya Pekalongan yang berpusat di Kota Pekalongan sendiri dengan Wali Kota sebagai pemimpinnya. Sedangkan Kabupaten Pekalongan memiliki pusat pemerintahan di Kecamatan Kajen dengan seorang Bupati sebagai pemimpin tertingginya (H. Asip Kholbihi, SH, M.Si terpilih sebagai Bupati Pekalongan dengan masa jabatan mulai 2016-2021).

Tidak pernah saya sangka sebelumnya jika Kabupaten Pekalongan memiliki bentangan pegunungan yang menyuguhkan pemandangan alam yang keren. Persisnya berada di Kecamatan Petungkriyono, dataran tinggi sisi selatan-tenggara Kabupaten Pekalongan yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara. Dikabarkan bahwa di sana merupakan hutan asri yang memiliki beberapa air terjun cantik, terbentang hamparan persawahan dan perkebunan yang menghanyutkan perasaan. Ah, masa sih?

Petungkriyono
gerbang Petungkriyono

Pagi itu (05 Agustus 2017), saya dan rombongan yang tergabung dalam rangkaian acara Amazing National Petung Explore Kajen Unique – didukung oleh Pemkab Pekalongan -mengawali eksplorasi kawasan Ekowisata Petungkriyono menuju sebuah air terjun yang letaknya persis di pinggir jalan utama (berjarak sekitar sebelas kilometer dari Desa Doro). Curug Sibedug, namanya. Air terjun bercabang dua yang terletak di Desa Kayupuring itu terlihat tidak terlalu deras. Musim penghujan pun sudah lewat, wajar jika debit air di Curug Sibedug berkurang.

Tak jauh dari sana, Petungkriyono seolah mulai menebarkan pesonanya sedikit demi sedikit. Desa Tinalum yang kami lewati memperlihatkan keindahan hamparan persawahan dan sebuah aliran sungai yang cukup instagrammable. Sungai yang diberi nama Kali Anak tersebut telah dimanfaatkan sebagai tenaga pembangkit listrik yang telah dialirkan ke rumah-rumah warga di sekitar sana. Jembatan Sipingit yang berada di atasnya pun menjadi salah satu obyek yang menarik bagi peserta yang sebagian berprofesi sebagai fotografer.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Welo River atau Welo Asri, sebuah wana wisata di Desa Kayupuring yang baru dibentuk sekitar dua tahun yang lalu. Tak hanya memiliki beberapa panggung untuk foto ala-ala saja yang ditawarkan di Welo Asri. Setelah pengunjung membayar tiket masuk sebesar Rp3.000, mereka bisa menikmati pemandangan indah dari sebuah rumah pohon yang letaknya bersebelahan dengan Kedung Gede.

Rumah pohon yang diberi nama Bulu Kangkang sebenarnya berasal dari pohon bulu berukuran besar dan tua dengan bentuk batang bagian bawahnya seperti kaki yang sedang mengangkang. Pohonnya lumayan tinggi, sehingga memerlukan nyali untuk mendaki sampai atas. Menurut informasi dari mas penjaga, buah dari Pohon Bulu sangat disukai oleh Owa Jawa, spesies langka yang hingga kini masih hidup dan berkeliaran bebas di Hutan Petungkriyono.

Nah, di sampingnya terdapat sebuah aliran sungai yang disebut Kedung Gede. Kedung Gede merupakan titik akhir dari pengarungan river tubing yang dikelola oleh operator setempat. Biaya river tubing di sana perorang adalah Rp75.000 dengan urutan rute pengarungan dimulai dari sungai paling atas, Kedung Sipingit, Kedung Sepasung, dan berakhir di Kedung Gede yang memiliki kolam dengan kedalaman 3,5 meter. Fasilitas yang akan didapat oleh pengunjung adalah jaket pengaman, ban untuk pengarungan, jasa pemandu, coffee break, sertifikat, serta dokumentasi kegiatan selama melakukan river tubing.

hutan pinus Petungkriyono
hutan pinus Petungkriyono

Dari Welo Asri, kendaraan yang kami naiki kembali melaju ke lokasi air terjun bernama Curug Bajing yang telah dianggap sebagai primadona dari Petungkriyono. Jaraknya sekitar 35 kilometer jika diukur dari Desa Doro, sedangkan jika ditempuh dari Kajen ya bisa lebih dari itu. Terdengar jauh memang, namun saat melewati jalur pegunungan yang masih belum terlalu ramai kendaraan bermotor sukses menumbuhkan suasana alam yang tenang dan damai sepanjang siang.

Setibanya di sana saya berkesempatan melihatnya dari dekat air terjun terbesar di antara tingkatan-tingkatan airnya. Saya pun setuju dengan anggapan Curug Bajing sebagai daya tarik utama bagi perkembangan wisata alam di Kabupaten Pekalongan, khususnya Petungkriyono. Saya percaya perjalanan jauh dan kelelahan berkendara akan meluap setelah melihatnya secara langsung.

Penamaan Curug Bajing diangkat dari folklor yang sempat berkembang di Desa Tlagapakis. Berkisah tentang sosok penjahat yang dulu sering mengganggu masyarakat, dari situ mereka menyebutnya sebagai ‘bajingan’. Kata yang berkonotasi negatif itu justru menjadi nama sebuah bukit tempatnya bersembunyi. Disusul penemuan sebuah air terjun baru di kaki gunungnya yang kemudian juga dikenal dengan nama Curug Bajing.

Curug Bajing yang terletak di kaki Gunung Bajing itu sudah dibuka untuk umum secara resmi tahun 2013. Sebelumnya hanya warga setempat yang mengetahui keberadaannya dengan akses jalan yang masih belum tertata. Kini sudah dibangun jalan setapak yang nyaman dilalui oleh semua pengunjung, juga terdapat warung-warung yang menjual aneka makanan dan minuman.

Pengunjung cukup membayar tiket masuk Rp5.000 untuk menikmati keindahan alam dan fasilitas yang telah tersedia. Cukup murah, bukan? Air terjun di sana berundak-undak dengan gemericik aliran air yang menenangkan raga. Debit airnya lebih deras dibanding curug yang kami kunjungi sebelumnya, sehingga ada larangan berenang di titik tertentu.

Pengelola juga telah membangun fasilitas gazebo, rest area, mushola, toilet bersih, hingga panggung-panggung khusus untuk foto dengan latar belakang air terjun maupun pemandangan perbukitan. Ada pula penginapan atau semacam homestay yang bisa dipesan melalui salah satu pemilik warung di sana. 🙂

Curug Lawe menjadi obyek terakhir yang kami kunjungi sore itu. Langit sudah mulai menggelap ketika kami tiba di pintu masuk Wana Wisata Curug Lawe. Tak disangka ada sambutan tetabuhan yang meriah dari anak-anak Santri Al Fusha yang asyik berjoged. Mereka datang dari Desa Rowocacing, Kecamatan Kedung Wuni. Di hadapan kami, pemuda-pemuda itu membawakan beberapa jenis tarian yang diiringi musik rampak. Menghilangkan sejenak rasa capek yang menjalari kaki.

Dalam pengelolaannya, Wana Wisata Curug Lawe sudah mulai memberdayakan para pemuda dari karang taruna Desa Kasimpar. Mereka membangun panggung-panggung untuk menarik perhatian pengunjung yang gemar swafoto. Mungkin akan jadi hal yang akan terlihat biasa bagi wisatawan yang sudah terlalu sering berkunjung ke tempat serupa. Eits, tunggu dulu. Wana wisata ini memiliki satu keunikan yang terdengar tidak biasa, yakni adanya motor trail yang bisa digunakan sebagai ojek menuju Curug Lawe.

Wana Wisata Curug Lawe
Wana Wisata Curug Lawe

Curug Lawe sebenarnya berjarak sekitar dua sampai lima kilometer dari pintu masuk dengan melewati jalan perbukitan yang belum beraspal mulus. Padahal mobil dan kendaraan pribadi tidak diperkenankan masuk sampai area wana wisata. Mau tidak mau jasa ojek dibutuhkan oleh mereka yang enggan capek berjalan jauh naik turun bukit. Salah satu pemuda karang taruna di sana menyebutkan nominal Rp45.000 sebagai harga jasa angkut pergi pulang ke Curug Lawe yang memiliki beberapa tingkat grojogan.

Harga yang tidak mahal jika melihat medan dan usaha yang dilakukan oleh karang taruna setempat. Menurut informasi yang ada, Curug Lawe memiliki tingkatan-tingkatan air terjun dengan letak saling berjauhan satu sama lain. Tinggal pilih, mau jalan kaki selama lebih dari satu jam atau menyewa jasa ojek yang memakan waktu tempuh sekitar 15-20 menit untuk satu kali jalan. Semua kembali ke keinginan dan keperluan masing-masing individu. 🙂

Gimana? Masih belum penasaran dengan keindahan dari Petungkriyono?

Yuk buruan main ke Petungkriyono! 😉

39 Comments Add yours

  1. Charis Fuadi says:

    owalah, daerah pekalongan yang ada pinusnya itu ini to…. jarang tahu kalau bukan orang pekalongan, biasanya hanya lewat jalur panturanya saja

    1. Pekalongan arah Banjarnegara dikelilingi perbukitan dan udaranya dingin. Pede nggak bawa jaket, eh meriang deh badan sepulang dari sama hahaha.

  2. daerah petungkriyono ini berapa jam dari kota pekalongan sih mas? surganya curug ya banyak banget wkwkwk

    1. Dari Pekalongan sampai Petungkriyono kalau orang lokal bawa kendaraan sendiri sekitar dua jam. Tapi kalau menggantungkan kendaraan umum roda empat menuju curug-curug nya bisa lebih dari dua setengah jam. 😀

  3. Curugnya buanyak ahahhaha.
    Kalau di sana enaknya makan yang hanget-hanget mas 😀

    1. Yang sempat dikunjungi kemarin baru sedikit, menurut pemandunya ada puluhan curug yang masih virgin dan semoga nggak diramaikan oleh anak MTMA. 😀

  4. Hendi Setiyanto says:

    tetangga yang berasa asing nih, Petungkriyono…sedingin Dieng ga sih?

    1. Kalau di Curug Bajing dan Curug Muncar di atasnya sih dingin jelang sore. Ntah kalau malam hari bisa dinginnya dengan Dieng atau udara pegunungan pada umumnya. Petungkriyono beneran ujung Pekalongan, malah bisa jadi lebih deket ditempuh dari sisi Banjarnegara kih. Kemarin sempet lihat papan arah ke Gumelem, lahh jadi tetanggaan ama Gumelem donk hahaha.

    2. Hendi Setiyanto says:

      kalau bahasanya apa masih ngapak?

    3. Wingi pas ketemu beberapa pemuda karang taruna di Curug Lawe, mereka berbahasa Indonesia lancar jadi nggak begitu kelihatan ngapak e. Malah pas di kota Pekalongannya banyak ketemu orang bahasa ngapak. 😀

    4. Hendi Setiyanto says:

      oh iya..aku tadi sempat lihat vlognya si Khoerul, salah satu peserta dari Bogor

  5. Pritahw says:

    krn aku telat sampe curug Lawe, jadi ga tau ada sambutan tari itu, wah sayang banget ya 😦

    1. Kebalikan sepertinya, malah daku kelewatan sesi foto model di Curug Bajing yang diposting di tulisan mbak Prita itu hehehe. Sepetinya durasi explore Petungkriyono kudu diperpanjang, kalau perlu ngecamp di hutan. 😀

  6. Gara says:

    Daerah pegunungan di utara Jawa memang belum banyak diekspos ya Mas. Pernah saya pengalaman menembus Kendal dari utara dan alam pegunungannya memang tak kalah dengan yang sudah dikenal selama ini. Pinus-pinusnya memang jawara. Tinggi-tinggi menghilang di atas sekali. Soal sejuk curug dan aliran sungainya, dengan keadaan alam yang masih sangat terjaga itu, saya pikir saya tak perlu bertanya terlalu banyak, wkwk… kapan-kapan jalan-jalan ke sana ah kalau lagi tersasar di Pekalongan. Terima kasih untuk informasinya!

    1. Banyak orang beranggapan kabupaten yang berhadapan langsung dengan pantai utara identik dengan udara pantai yang panas, padahal beberapa memiliki wilayah dataran tinggi seperti Kabupaten Pekalongan. Dari Petungkriyono naik lagi, trus turun bukit, nyampe deh ke Dieng hahahaha.

      Kendal dan Batang juga punya sisi perbukitan yang asyik ditelusuri. Terutama Batang yang punya kompleks perkebunan teh yang sudah ada sejak Hindia Belanda. Duh, jadi mupeng keliling pantura toh. 😀

  7. Eko Nurhuda says:

    Kita kesiangan keluar dari hotel, dan masih ada seremoni plus makan-makan pula di pendopo Kajen. Jadilah sampe Petungkriyono udah tengah hari. Coba kalau sesuai rundown, jam 9 udah sampe lokasi dan mulai eksplorasi. Waktu yang luaaaaaas banget bikin kita puas ke sana-sini, bahkan kalo perlu sampe ke Curug Lawe yang jauh itu. Apa daya, cuma bisa lihat dari kejauhan pas kita ke Curug Bajing.

    1. Seandainya berangkat sesuai waktu yang ditentukan, mungkin kita bisa eksplor sampai Curug Lawe naik ojek atau jalan kaki. Ahh, mungkin Petungkriyono memang nggak cukup dijelajahi dalam sehari saja. Kudu balik ke sana lagi, kalau perlu buka tenda biar puas hahaha.

  8. Dian Farida says:

    Indah banget ya memang alamnya. lengkap pesonanya. masih banyak banget yang bisa dieksplore

    1. Lain waktu mesti cari waktu khusus untuk explore Petungkriyono lagi. Lalu buka tenda dan bermalam di Curug Bajing atau bobok cakep di hammock di Curug Lawe. Ngarep(dot)com hahaha.

  9. Inayah says:

    maiinn lagi, kita ke curug lawe

    1. Wainii… siap menerima tantangan. Baiklah, mulai sekarang harus giat olahraga dulu nih biar kuat jalan dari gerbang depan sampai ke curug. 😀

  10. Kemaren itu kayaknya masih belom puas deh, rasanya. Satu objek atau spot aja kayaknya ngga habis dieskplor dlm waktu sehari. Jadi bikin penasaran dan pingin balik ke sana. Rafting dan ngecamp jd salah satu list klo kesana lagi

    1. Rafting atau river tubing di sana sepertinya seger banget, mbak Nia. Iya nih, bener harus ngecamp biar puas dan nggak capek akibat lamanya perjalanan juga. Menunggu reunian Kajen Unique ahh. 😀

  11. Dulu itu ya, kupikir Pekalongan itu puanas, daerah pantura yang bikin napas sesak buahaha. Ternyata mblusuk lagi, ada daerah sejuk kayak gini, Aku memang kudet -_-

    1. Hahaha sama, Qy. Baru tahu juga perbatasan Pekalongan sebelah selatan dengan Banjarnegara (Dieng) itu punya dataran tinggi yang wow dingin banget jelang sore. Air terjunnya juga cakep-cakep, beberapa masih belum bisa diakses wisatawan karena mesti gotong royong warga dan pemkab untuk babat alas dulu.

  12. wisnutri says:

    Sempet tahu sama nama daerah Petungkriyono dari blog atau feed IG nya (lupa wkwk) mbak innnayah gitu. Keliatan masih asri banget, ee lha kok pas baca dan liat foto yang “lebih banyak” dari blogger-blogger yang ikut event kemaren jadi pengen kesana haha. Nyesel juga ketinggalan info yang event explore petungkriyono gegara susah sinyal internet 😦 pengen melu jane mas haha

    1. Wah sayang banget, padahal acaranya meski singkat, tapi seru loh. Diajakin explore pegunungan sisi Pekalongan yang masih alami, bisa dibilang belum terlalu ramai. Tak apa, lain waktu colek Blogger Pekalongan minta diantar mereka. 😀

  13. Amir says:

    Foto fotonya keren Bank, punyaku jelek jelek 😦

  14. Amir says:

    Tak kira Masnya fotografer

    1. Tersanjung, mas e… padahal tampang slengekan gini masa dikira fotografer hehehe.
      Nice to meet you, mas Amir. 😀

  15. Misael says:

    Curug, kayak nama sunda, dan emang katanya sih daerah sin dulu berbudaya Sunda 😀

    Ane mah lewat pekalongan pasti daerah hotnya, yang pantura tuh…. hahahha, btw kunjungin blog ane ndan, tadi ane jg dapet dari warung blogger.

    Agak gak nyambung sih soal lift jakarta http://www.twisctre.com/2017/08/cara-pakai-lift-gedung-tinggi-jakarta.html

    1. Hehehe iya nih, penamaan air terjun di Banjarnegara sampai pantura sebelah barat Jawa Tengah selalu disebut “curug”.

      Sisi utara Kabupaten Pekalongan berudara sejuk khas pegunungan, bahkan punya perkebunan kopi yang cukup terkenal. Yuk liburan ke Petungkriyono. 😉

  16. Bara Anggara says:

    Banyak juga yang bisa dieksplore dalam sehari ya..

    curug lawenya bagus euy..

    -Traveler paruh waktu-

    1. Jika membawa kendaraan pribadi bisa mengeksplorasi lebih dari yang sudah saya tuliskan di atas. Karena menggunakan transportasi umum jadi sebisa mungkin berangkat pagi agar bisa selesai mengunjungi beberapa obyek di Petungkriyono sebelum petang. Selamat bertualang, mas Bara. 😉

  17. adi pradana says:

    Penasaran banget aq mas….

    1. Tempatnya masih asri dan jauh dari keramaian. Cocok buat refreshing. 😀

  18. Dyah says:

    Wah, keren banget nih tempatnya. Tapi masih mikir gimana ke sananya dari Jakarta. Btw, ketemu owa Jawa gak?

    1. Kalau dari Jakarta bisa naik kereta turun ke Pekalongan. Lalu lanjut sewa mobil ke Petungkriyono atau menggunakan transportasi umum dari kota menuju kabupaten, tapi agak lama kalau menggunakan moda ini. Sayangnya dulu nggak ketemu langsung dengan Owa Jawa, hanya mendengar suaranya dari kejauhan saja. 🙂

  19. @nurulrahma says:

    MAUUU BANGEEETTT main ke PetungKriyonoooo
    selalu terpukau dan mupeng kalo baca postigan kamu

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.