Jika ditanya bangunan bersejarah mana di Yogyakarta yang paling berkesan? Saya tak ragu untuk menjawab Pesanggrahan Ambarukmo sebagai cagar budaya paling favorit di Yogyakarta. Selain memiliki arsitektur yang indah dan megah, bekas kedaton atau keraton yang diapit oleh mall dan hotel bertingkat ini sarat dengan sejarah. Sudah tak terhitung berapa kali saya singgah ke dalam setelah tempat tersebut dibuka sebagai Museum Ambarrukmo sejak 28 Mei 2013 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Secara administratif, letak kedaton tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta seperti Mall Ambarukmo Plaza dan Hotel Royal Ambarukmo yang beralamat di Jalan Laksda Adisucipto, Kecamatan Depok. Tak hanya memiliki nilai sebagai salah satu pesanggrahan milik Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat, Pesanggrahan Ambarrukmo juga menjadi saksi dan bagian dari sejarah seorang raja yang pernah berkuasa penuh atas sebuah kerajaan yang kemudian rela melepas jabatan dan memilih untuk menghabiskan masa tuanya bersama keluarga.
Awalnya kompleks yang kini diramaikan oleh bangunan hotel dan permukiman merupakan hutan lebat yang menjadi batas sisi timur wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Sri Sultan Hamengkubuwono II pernah menamainya Kebun Raja Jenu yang berfungsi sebagai tempat persinggahan saat berburu sekaligus menjadi tempat penjemputan tamu penting yang datang dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Sejalan dengan waktu, dibangunlah sebuah pendopo oleh sultan berikutnya agar tamu kehormatan bisa singgah dengan nyaman di sana sebelum melanjutkan perjalanan menuju keraton. Gempa bumi yang sempat melanda Yogyakarta pada tahun 1867 sempat menghancurkan pendopo di sana. Bencana alam yang terjadi waktu itu juga ikut meluluhlantakkan sebagian besar infrastruktur dari kesultanan, termasuk di antaranya Masjid Gede di Kauman, Taman Sari, Loji kecil (sekarang Gedung Agung Yogyakarta), beberapa bangunan penting lainnya, serta Tugu Golong Gilig.
Baca lebih lengkap tentang Tugu Golong Gilig di sini –> De Witte Paal
Pasca gempa, Sri Sultan Hamengkubuwono VI yang memerintah Kesultanan Yogyakarta kala itu (bertahta tahun 1855 hingga 1877) melakukan perbaikan pesanggrahan di Kebun Raja Jenu. Mulai dari itu, namanya diganti menjadi Pesanggrahan Harja Purna. Angka tahun pembangunan pendopo agungnya terukir 1859 seperti terlihat di Sunduk Kili Uleng (balok tumpang pada atap pendopo) bagian barat
Sementaran angka 1897 di Sunduk Kili Uleng bagian timur menandakan tahun selesainya pemugaran pesanggrahan pada masa pemerintahan Gusti Raden Mas Murtejo yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VII di mana beliau menggantikan posisi ayahnya (Sri Sultan Hamengkubuwono VI) yang mangkat pada tahun 1877.
Sri Sultan Hamengkubuwono VII (selanjutnya saya sebut dengan HB VII) dipandang sebagai seorang sultan yang pandai melihat peluang. Bahkan rakyatnya menyebutnya dengan julukan Sultan Sugih atau sultan yang kaya raya. Pada masa pemerintahannya tercatat Yogyakarta pernah mengelola tujuh belas suikerfabriek atau pabrik-pabrik gula. Pundi-pundi emas pun meningkat dengan cepat. Sosok HB VII mengingatkan saya pada KGPAA Mangkunagara IV yang juga memajukan ekonomi Praja Mangkunegaran lewat pembangunan pabrik-pabrik gula miliknya.
Kemajuan ekonomi yang dilakukan oleh HB VII membuahkan hasil perbaikan infrastruktur penting kesultanan yang semula rusak akibat gempa bumi. Beliau membangun kembali tugu imajiner pengganti Tugu Golong Gilig yang patah menjadi tiga bagian menjadi bentuk baru dengan nama Tugu Pal Putih. Lalu membiayai perbaikan Masjid Gede dan kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri.
Pada kesempatan itu pula beliau mendanai pemugaran Pesanggrahan Harja Purna yang kemudian diganti nama menjadi Kedaton Ambarrukmo. Perluasan pendopo dan pembangunan kompleks Ambarrukmo yang dilakukan dari tahun 1895 hingga 1897 diharapkan menjadi sebuah hunian untuk kerabat raja kelak.
Sejak itu, Harja Purna tak lagi dianggap sebagai pesanggrahan atau tempat singgah karena pada masa itu sudah dibangun jalur kereta yang menghubungkan Surakarta dengan Yogyakarta, sehingga tamu-tamu kerajaan bisa langsung turun di Stasiun Tugu tanpa singgah ke sana terlebih dahulu. Peresmian Kedaton Ambarrukmo yang dilakukan oleh HB VII pada tahun 1898 pun diceritakan berlangsung meriah yang dihadiri oleh kalangan elite kerajaan, pejabat Belanda, serta pengusaha perkebunan Eropa.
Di dalam Kedaton Ambarrukmo terdapat ruang-ruang inti rumah adat Jawa selayaknya sebuah keraton versi mini. Alun-alun dan pos jaga prajurit diapit lapangan untuk kandang kuda dan kebun palawija. Pendopo dengan bentuk joglo sinom dengan luas 32 x 32,4 meter disertai tiang-tiang pendopo yang berjumlah total 56 buah berhiaskan ukiran lung-lungan, banyu tetes, dan mega mendung.
Pada bagian Dalem Ageng terdapat empat kamar tidur utama, dua di sisi timur dan dua di sisi barat. Salah satu kamar di sisi timur kelak digunakan oleh HB VII sebagai kamar tidur pribadinya. Lalu Kasatriyan sebagai tempat tinggal putra-putra diposisikan pada Gandhok Kiwa, sementara Keputren sebagai tempat tinggal putri-putri berada di Gandhok Tengen.
Tak ketinggalan dibangun sebuah Bale Kambang yang memiliki dua lantai yang berfungsi sebagai tempat tempat semedi, sekaligus ruang penyambutan tamu agung. Kolam yang mengelilingi bangunan di tengah yang berdiri paling tinggi di antara lainnya serupa dengan sebuah menara pandang untuk melihat kebun buah dan kebun sayur di halaman belakang. Kala itu bentangan hutan dan satwa liar yang masih menghiasi kawasan tersebut semakin memberi gambaran Ambarrukmo sebagai hunian yang mendamaikan pikiran.
Entah apa yang mendasari pemikiran HB VII dalam merencanakan pembangunan tempat tinggal di bekas Kebun Raja Jenu yang seolah mempersiapkan tempat tinggal untuk dirinya sendiri dua puluh tiga tahun kemudian. Pemerintah Belanda kala itu terus mendesak HB VII supaya memilih putra mahkota sebagai penerus tahtanya. Alasannya supaya tahta tidak mengalami kekosongan seperti sultan sebelumnya yang meninggal tanpa memilih putra mahkota.
Malang, berulang kali nasib buruk menimpa calon pengganti HB VII. Putra mahkota pertama adalah Gusti Raden Mas Achadiyat (KGP Adipati Anom Hamengkunegara I) yang meninggal tak selang lama setelah menerima gelar putra mahkota. Berikutnya diserahkan kepada KGP Adipati Juminah yang tak selang lama dicabut gelarnya karena alasan kesehatan. Kemudian Gusti Raden Mas Putro terpilih berikutnya sebagai pengganti kakak-kakaknya pun meninggal dunia akibat sakit keras setelah proses pengangkatannya.
Pada akhirnya atas rujukan pejabat Belanda, salah satu putra HB VII bernama GPH Purubaya atau Purbaya (memiliki nama kecil GRM Sujadi) yang diangkat menjadi sultan berikutnya. Ada rumor yang mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kesengajaan agar GPH Purbaya naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dengan cara menyingkirkan ayah dan saudara-saudaranya yang lain. Kematian putra mahkota-putra mahkota itu masih menjadi misteri hingga sekarang.
HB VII setuju dengan ajuan pejabat Belanda, beliau langsung memutuskan untuk melepaskan haknya sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta melalui surat tertuju kepada Gubernur Hindia Belanda J.P.G. van Limburg tertanggal 27 October 1920. Beliau juga memutuskan untuk keluar dari tembok keraton dan memutuskan tinggal di Kedaton Ambarrukmo. (Dikutip dari berbagai sumber)
Setelah pengesahan sultan yang baru, Keraton Yogyakarta diisi oleh keluarga Sultan Hamengkubuwono VIII. Akhir Januari 1921, HB VII yang kemudian diberi sebutan Sultan Sepuh boyongan dari Keraton Yogyakarta menaiki kereta kencana Garuda Yaksa menuju Kedaton Ambarrukmo. Langkah lengser dan keluar dari keraton yang tidak pernah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya ini cukup mengejutkan beberapa pihak.
HB VII menghabiskan sisa hidupnya di luar tembok keraton dan tinggal di Ambarrukmo bersama salah satu permaisurinya yang bernama Ratu Kencana (Gusti Kanjeng Ratu Sepuh). HB VII menetap di sana hingga ajal menjemputnya pada tanggal 30 Desember 1921.
Sepanjang hidupnya, mertua dari dua tokoh besar dari Surakarta tersebut memiliki jasa besar bagi perkembangan ekonomi Kesultanan Yogyakarta. Perlu diketahui bahwa raja Kasunanan Surakarta, Sinuhun Paku Buwono X (bertahta 1893-1939) memperistri putri sulung HB VII yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Hemas. HB VII juga menjadi mertua dari KGPAA Mangkunagara VII dari Praja Mangkunegaran yang memperistri salah satu putrinya bernama GKR Timoer.
Setelah tidak dihuni oleh kerabat raja, nasib Kedaton Ambarrukmo yang kemudian disebut sebagai Pesanggrahan Ambarrukmo sempat mengalami masa-masa setengah terabaikan. Pada tahun 1964, sebagian lahan dari kedaton dibangun sebuah hotel yang diberi nama Hotel Ambarrukmo Palace dengan persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dukungan dari Presiden Ir. Soekarno. Pembangunan hotel yang memanfaatkan dana pampasan perang itu mengorbankan kompleks Kasatriyan yang semula berada di posisi Gandhok Kiwa dari Ambarrukmo.
Pada tahun 2004, Hotel Ambarrukmo Palace resmi ditutup karena akan direnovasi dan terjadi pergantian pengelolaan. Pesanggrahan Ambarrukmo yang sempat difungsikan sebagai restoran dan gedung resepsi pun ikut ditutup dan mengalami kerusakan cukup serius di beberapa bagian. Setelah Plaza Ambarrukmo yang dibangun oleh PT. Putera Mataram Mitra Sejahtera dibuka pada tahun 2006, diikuti tampilnya wajah baru Hotel Ambarrukmo Palace menjadi Hotel Royal Ambarrukmo pada tahun 2011, nasib Pesanggrahan Ambarrukmo pun mengalir lebih baik.
- Hotel Royal Ambarrukmo dari Pesanggrahan Ambarrukmo
Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, kini Dalem Ageng Pesanggrahan Ambarrukmo sudah difungsikan sebagai Museum Ambarrukmo. Di dalamnya terdapat penjabaran mengenai isi Perjanjian Giyanti yang memisahkan Mataram Islam menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Lalu jajaran potrait sultan-sultan yang pernah memerintah Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat telah digantung dengan rapi, disertai penjelasan singkat mengenai sejarah Ambarrukmo.
Tak hanya itu saja, bekas empat kamar utama di Dalem Ageng Ambarrukmo telah diisi oleh koleksi wayang, batik tulis, dan keris yang sudah diakui sebagai warisan dunia dari Indonesia oleh UNESCO. Kecuali kamar depan sisi timur yang masih disakralkan oleh pihak keraton karena tempat itu pernah menjadi tempat tidur HB VII. Kondisi Bale Kambang di bagian belakang juga bisa dikunjungi oleh wisatawan yang tertarik untuk melihatnya. Pastinya menuruti peraturan yang telah ditulis di sana, seperti menjaga tutur kata dan melepas alas kaki ketika hendak masuk ke area Bale Kambang.
Meskipun sempat terjadi intrik di dalam keraton yang hingga kini masih menyisakan misteri terkait kematian para pewaris sah Sri Sultan Hamengkubuwono VII, kebangkitan Pesanggrahan Ambarrukmo seolah-olah mendinginkan konflik yang sudah berlalu. Bagian dari sejarah yang tak lagi bisa diabaikan, melainkan dijaga supaya bisa diceritakan ke generasi berikutnya sebagai suatu bentuk kearifan seorang raja yang rela melepaskan kekuasaannya dengan ikhlas demi memuaskan ambisi salah satu putranya.
Cheers and peace. 😉
Ternyata museum to? Beberapa kali lewat sini tapi penasaran bangunan ini kejepit diantara mall dan hotel ambarukmo.
Jadi pesanggrahan itu semacam villa ya?
Banyak yang luput dan mengira Pesanggrahan Ambarrukmo bangunan tua yang wingit lalu enggan masuk, padahal tempate kueren banget!
Pesanggrahan bisa berupa tempat singgah atau villa yang sengaja dibangun agar raja dan kerabatnya bisa beristirahat ketika rekreasi. Untuk Ambarrukmo awalnya dianggap sebagai kedaton karena dihuni oleh Sultan Sepuh (HB VII). Setelah tidak dihuni kerabat raja barulah diistilahkan menjadi pesanggrahan lagi. 🙂
Aku yang orang Jogja malah belum pernah ke sini. Tempatnya sebelah mana we entah aku kayanya belum ngerti mas :p
Ini kok sepertinya semacam perpaduan ala keraton, taman sari (ada kolam-kolamnya juga) dan apa yaa?
bener deh kueren, aku mupeng ke sini 😦
Kejepit bangunan hotel dan mall jadi banyak yang nggak ngeh kalau ada pendopo kuno beserta joglo Jawa yang masih terawat dan apik arsitekturnya. Salah satu tempat bersejarah yang kudu dikunjungi, apalagi mbak Dwi yang KTP DIYogyakarta malah belum pernah ke sana. Duh, apa kata mantan, eh apa kata dunia? 😀
Aku sebagai orang Jogja merasa sangat malu karena aku bahkan nggak tahu ada tempat ini, mas 😦
Syukurlah masih ada orang-orang seperti mas Halim yang lebih peka dengan potensi wisata daerah. Aku suka bangunannya, ada sentuhan langgam arsitektur Eropa klasik khususnya di Bale Kambang.
Misteri kematian 3 putra mahkota itu misterius dan menarik. Apa ada benefit tertentu kalau yang jadi putra mahkota adalah GPH Purbaya?
Konon GHP Purubaya dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai pangeran yang rada nurut dengan mereka. Salah satunya adalah setelah beliau bertahta sebagai Sultan HB VIII, aktivitas kelompok freemason di Yogyakarta yang diselenggarakan di Loji Mataram (sekarang kantor DPRD) meningkat. Cerita yang beredar di masyarakat sih beliau juga bagian dari kelompok tersebut. 🙂
I see. Ternyata Freemason udah ada geliat sejak lama ya.
duh baru tau ada bangunan ini, sebelumnya pernah baca tentang ini tapi aku pikir sudah musnah digantikan mall ambarrukmo, eh malah masiih ada dan terlihat sangat terawat. setahuku, dulunya di atas tanah komplek mall dan hotel ini merupakan tanah keramat dan angker, dulu pas keluar dari bioskopnya amplaz, suasananya agak gimana gitu, di sepanjang lorong sih ada bebarapa lukisan dan foto2 lama yang dipajang tentang keraton dan jogjakarta
Sebenernya malah bukan keramat, tapi bekas keraton yang punya aura membahagiakan. Harusnya sih hehehe. Tapi banyak yang bilang kompleks tersebut memang banyak zat tak tampak. Seperti halnya ada cerita satu kamar di Hotel Ambarrukmo Palace (sebelum ganti nama jadi Royal Ambarrukmo) yang punya kamar khusus untuk Ratu Pantai Selatan bermalam di sana hehehe.
1. aku baru tau di situ ada muesum, padahal pernah nginep di hotel sbelahnya amplaz -_-
2. selain HB VIII, aku juga suka baca verita HB VII ini, Beliau rela turun tahta padahal belum mangkat
3. aku super kepo sama cerita perjanjian giyanti, perjanjian salatiga,dan perjanjian politik 1813.
4. terimakasih ulasannya, bakal ke sini pas bener2 stay di jogja entar
5. salam kenal, wassalamualaikum
Letaknya agak menjorok masuk jadi banyak yang nggak perhatian kalau di sana ada rumah joglo kuno yang sudah jadi sebuah museum. Untuk kisah Perjanjian Giyanti, Perjanjian Salatiga semuanya menarik untuk diintip dan dipahami loh. Prasasti Perjanjian Giyanti masih ada di daerah Karanganyar disertai sebuah pohon beringin sebagai penanda lokasi penandatanganannya kala itu. Sebaliknya, Perjanjian Salatiga sudah tidak ada prasasti mengenai letaknya.
Kalau main ke Yogyakarta, monggo disempatkan mampir ke Pesanggrahan Ambarrukmo. Salam kenal juga, mas Ikrom. Terima kasih sudah mampir di tulisan ini. 🙂
Daku pernah lewat sini, tapi nggak ngeh kalau itu pesanggrahan. Mau ajak anak-anak ah ke sini, mumpung masih libur sekolah 🙂
Wajib banget buat mbak Injul mampir dan masuk ke Pesanggrahan Ambarrukmo. Salah satu tempat yang mengedukasi anak-anak di tengah gemerlapnya mall dan hotel berbintang banyak di Kabupaten Sleman, DIY. 😀
Aku lupa dulu ada teman facebook yang mengulas tentang ambarukmo. Dia ngasih sketsa dan ulasan cukup lengkap. Ntar aku coba cari lagi hahahahhah
Ambarrukmo selalu dikaitkan ama cerita mistiknya, sementara sejarah keratonnya sering kali dikaburkan. Kalau nemu ulasannya plis di-tag yah 🙂
Masih ada abdi dalemnya gak sih, Kak? Kadang penasaran kaya gimana orang-orang abdi dalem gitu, dari adatnya sampe pakaian mereka bikin penasaran jadinya.
Di Ambarrukmo sekarang sudah tidak ada abdi dalemnya karena setelah HB VII meninggal dunia dan tempat tersebut ditinggalkan oleh kerabatnya, Ambarrukmo sudah tidak dianggap sebuah kedaton lagi. Setelah kemerdekaan, tempat ini baru dibangun hotel dan status bekas kedatonnya jadi pesanggrahan saja. 🙂
Jogja banget, pengen kesana. belum pernah saya.
Asyik kok tempatnya, apalagi suka dengan heritage dan arsitektur rumah Jawa. Yuk sempetin ke Pesanggrahan Ambarrukmo. 🙂
tiap detil foto bangunannya emang bikin kita kayak ikut ke dalam cerita.
Megah banget keraton mini yang dinamakan Ambarrukmo ini, koh Deddy. Kalau ke Yogya wajib mlipir ke pesanggrahan ini, sekalian mlipir masuk ke mall di sebelahnya juga bisa hahaha.
Hiks kita batal jumpa ya di Yogya 😦
Dan aku gak sempat juga ke Ambarrukmo ini. Hanya liat saja dari dalam bus >.<
Next time diagendakan hari khusus mlipir Solo-Yogya sendiri tanpa acara ngeramein festival biar puas jalannya, Yan. 😀
Yogya banyak bangunan dan obyek keren yang bisa diekplorasi, Solo pun demikian asalkan jalan bareng guide spesial hahaha.
Iya SEPAKAT pake banget. Sungguh melelahkan acara yang kemarin itu. Badan ngilu semua rasanya. Tunggu aku di Solooo 🙂
Auto kesini dari Twitter, bisa masuk kah sebagai pengunjung umum?
thanks share infonya.. keren banget dan bkin penasaran.
Pesanggrahan ini sudah dibuka sebagai museum dan bisa dimasuki oleh siapa saja. Tidak ada tiket untuk masuk ke Ambarukmo, cukup mengisi buku tamu saja. 🙂