Changing Your Perspective in Art Jog

Untuk kali kesepuluh Art Jog kembali digelar di Kota Yogyakarta. Karya-karya seni yang pernah dipamerkan di Art Jog selalu berhasil mengabarkan perkembangan seni di Indonesia, bahkan dunia. Setiap tahun para partisipan yang terlibat terus berkreasi dan menyuguhkan sebuah tema yang berbeda dengan sebelumnya. Sentilan terhadap isu sosial, politik, budaya ikut ditonjolkan dalam karya mereka.

Partisipan Art Jog tahun 2017 masih berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Total ada lebih dari lima puluh artis yang meramaikan Art Jog 10. Banyak di antara mereka merupakan pekerja seni yang sudah punya nama besar di dunia seni rupa kelas internasional. Didukung pula oleh beberapa selebriti tanah air yang berbakat di bidangnya dan namanya telah dikenal oleh banyak orang karena popularitas yang sering diberitakan oleh media.

Art Jog 10 yang digelar mulai 20 Mei-19 Juni 2017 kali ini bertempat di Jogja National Museum di Jalan Ki Amri Yahya, Yogyakarta. Berada di lokasi yang sama seperti tahun lalu membuat pameran memiliki ruang-ruang di gedung yang cukup luas untuk mengekspresikan semua karya partisipan. Instalasi yang dibuat oleh para artis yang meramaikan Art Jog selalu menampilkan ide seni kriya, pahat, lukis, visual, fotografi yang tak pernah basi. Itulah yang menjadi alasan kuat saya mengupayakan waktu luang untuk nonton Art Jog setiap tahun.

Saya pribadi bukan seorang seniman, apalagi lulusan jurusan seni rupa atau sejenisnya. Hanya sebagai penikmat karya yang ditampilkan di sana saja. Ada kalanya beberapa karya kurang saya mengerti apa maksudnya. Untung telah disertai penjelasan singkat di tiap sudut instalasi sehingga memudahkan saya dan pengunjung yang lain mengerti apa yang akan disampaikan oleh para seniman Art Jog. Sesuai tema tahun ini, Art Jog mencoba mengajak para pengunjung untuk mengubah sudut pandang terhadap apapun yang dilihat oleh mata.

Floating Eyes karya Wedhar Riyadi yang sengaja diletakkan di depan bangunan seolah hendak mengawali semuanya dengan jelas. Patung-patung bola mata yang mengapung di kolam buatan dan sebagian disusun bertumpuk seperti totem Minions itu menjadi maskot dari Art Jog 2017 yang bertema “Changing Perspective”. Simbol bahwa interaksi antar manusia tak hanya terjadi di ruang publik saja, pun di media sosial. Teknologi kini seolah sudah menjadi mata yang mengawasi gerak-gerik tiap manusia di dunia.

Male Female by Yuli Prayitno
“Male Female” by Yuli Prayitno di lantai satu Jogja National Museum

Setelah saya membayar tiket masuk sebesar Rp50.000/orang, mbak penjaga loket dengan cekat menjabarkan peraturan-peraturan yang harus ditaati selama menonton pameran. Pengunjung tidak diperkenankan membawa tas ransel atau tas tangan berukuran besar berisi makanan dan minuman. Tripod dan tongsis pun tidak boleh dibawa masuk, alasannya takut mengganggu kenyamanan pengunjung yang lain serta berisiko merusak karya seni di dalam. Tenang, mereka telah menyediakan loker khusus untuk menyimpan barang-barang yang tidak boleh dibawa masuk tersebut.

Pada dasarnya ruang-ruang di Jogja National Museum terbagi antara ruang kanan dan ruang kiri yang masing-masing memamerkan hasil dari beberapa partisipan. Adapun di tengah diletakkan instalasi yang mengundang perhatian, seperti karya dari Yuli Prayitno yang diberi judul Male Female. Dua buah kursi gaya peranakan itu ditempeli pecahan porselen dan ulat sutera. Siapa lelaki, siapa perempuannya, itu yang sengaja diangkat oleh Yuli. Acapkali publik terjebak oleh dogma yang mensyaratkan lelaki dan perempuan mengikuti nilai yang ditetapkan oleh kesepakatan sosial. Padahal bisa berlaku sebaliknya, siapapun bisa menjadi apapun.

Selanjutnya ada ruang Post Jungle yang dikampanyekan oleh Nicholas Saputra dengan artis Angki Purbandono. Post Jungle berkisah tentang persoalan serius yang terjadi di hutan konservasi semacam Tangkahan di Sumatra Utara. Persoalan yang belum dianggap serius oleh masyarakat luar. Lembaran-lembaran scanography print atau skenografi karya Angki yang masing-masing berukuran kurang lebih 300×120 sentimeter digantung dengan apik menutupi dinding. Mereka menjudulinya dengan Lodge Stone, Fat Boy Stone, Stone Age, Stone Flower, dan lainnya.

Selain skenografi bebatuan, proyek Nicholas Saputra dan Angki yang berlangsung pada pertengahan 2016 lalu menampilkan sebuah film dokumenter berdurasi sekitar dua puluh menit yang memperlihatkan kehidupan masyarakat di Tangkahan. Selama ini turis mengenal Tangkahan sebagai konservasi gajah Sumatra, belum peduli dengan masalah sumber makanan gajah-gajah yang semakin menipis karena pembalakan liar dan perkebunan sawit yang meluas. Ironi jalan raya yang masih berlumpur, potensi river tubing sebagai penunjang wisata, hingga kesederhanaan anak-anak di sana diperlihatkan oleh Post Jungle.

Yang tak kalah menarik adalah The Seen and Unseen buatan Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Mereka berdua menciptakan sebuah ruang di mana pengunjung harus merangkak masuk ke pintu masuknya. Di dalam terdapat sebuah kursi dengan latar belakang bulan purnama dan ladang jagung buatan yang bisa dijadikan sebagai spot swafoto. Sebuah film di ruang sebelahnya menjelaskan maksud dari The Seen and Unseen, yang berbicara tentang kehidupan holistik dan perspektif anak-anak ketika melihat malam. Mengajak anak-anak menikmati malam di saat orang tua hanya bisa menatapnya.

Seri Kematian Para Pelantun menjadi karya yang menarik perhatian saya ketika hendak naik ke lantai dua. Lima buah foto Edwin Dolly Roseno Kurniawan mengkritisi bagaimana nasib burung-burung mati di pasar burung. Mereka yang tidak laku akan meninggal dalam kurungan, lalu dibuang oleh penjualnya. Rantai rusak akibat kesombongan, keserakahan, dan rasa ingin memiliki manusia yang kelak mengakibatkan burung-burung itu masuk dalam daftar dilindungi karena hampir punah di alam bebas.

Beranjak ke lantai dua terdapat beberapa instalasi yang nggak kalah keren. Sebut saja Bouganville Serenade dari Betty Susiarjo, Healing Chromosomes (Rose Garden) dan Scrissors buatan Hiromi Tango, Cute and Paste karya Faisal Habibi, Situ Ciburuy; Museum Plan dari Aliansyah Caniago, Fashion as a weapon hasil instalasi Hendra “Blankon” Priyadhani. Diikuti Silent Prayers karya Mulyana Mogus yang menuliskan bahwa “A prayer is hope. A human being may not be able to live without hope, that would transform into a faith and a desire to achieve something and force us to move and make an effort to make what we want come true”.

Penyanyi sekaligus dokter yang akrab disapa dengan Tompi pun turut meramaikan Art Jog 2017. Beberapa foto hitam putihnya menyuarakan ketakutan, perjuangan, dan usaha keras dari yang teraniaya dan terhina di tengah masyarakat supaya mereka mendapatkan kehidupan lebih baik. Di seberang pigura foto-foto Tompi, terdapat dua buah foto dari Agan Harahap yang selalu viral dengan foto gubahannya yang tersebar di dunia maya. Keduanya diberi judul Bounty Hunter dan Old Master yang masing-masing menampilkan wajah seorang cowboy dan Hulk Hogan yang bertelanjang dada memamerkan kekekaran tubuhnya. 🙂

Sementara itu, Suranto “Kenyung” memamerkan On The Way di salah satu ruang di lantai tiga. Batu bata mini berukuran 12x24x5 milimeter itu disusun menjadi sebuah obyek baru yang tampak belum sempurna di mata sosial. Dari karyanya dijabarkan bahwa menggapai harapan terkadang tidak semudah yang dibayangkan, harus terus berusaha supaya harapan itu tercapai.

Anatomy of Desire yang berbahan kulit sapi karya Agus Suwage justru menampilkan kulit adalah sebagai representasi dari luar. Kulit hanyalah bungkus yang selalu mengecoh kita untuk menilai sesuatu dari penampakan kulit luarnya saja. Padahal menurut penjabaran Agus Suwage, pada bagian dalam di sebalik kulit kita akan mendapat banyak sekali pemahaman yang lebih kompleks dan bermakna. Suatu inti yang lebih hakiki dan senantiasa mengandung misteri.

Seperti Anatomy of Desire, pemaparan dari karya-karya di lantai tiga lebih mendalam dari segi visual. Lukisan dari Budi Kustarto berjudul Samar Terlihat Setangkai Daun, Benda-Benda Menyusun Ruang yang Tak Diam dan Inspirasi mewarnai salah satu ruang yang diisi juga oleh Restlessness of Staring at The Future dari Samsul Arifin. Sungguh, semua artis yang berpartispasi di sana benar-benar berhasil mengubah perspektif terhadap apa yang selama ini dilihat oleh mata.

Tentu masih ada beberapa karya yang sengaja tidak saya jabarkan di sini yang tak kalah menarik untuk dilihat, dipahami, dan dimengerti selama menyaksikan Art Jog 10. Jadi sudahkah kamu nonton Art Jog tahun ini? 😉

41 Comments Add yours

  1. Aku loh belum ke sini hahahhahha. Entah kalau ke sini sendirian takut hilang buahahahahha

    1. Waduhhh buruan disambangi sebelum Art Jog bubar tanggal 19 Juni. Beneran banyak obyek bagus untuk dijepret, Sitam. Yah meski nominal tiketnya lumayan gedi, tapi worthed kok isinya. Lumayanlah bisa menambah wawasan tentang seni hehehe.

  2. mysukmana says:

    wah liat foto2 persepektif mataku jadi lain

    1. Semoga your eyes nggak ikutan mengerenyit, memincing seperti bola mata-bola mata Floating Eyes di Art Jog ya, maz. 😀

  3. winnymarlina says:

    karyanya keren-keren ya halim, kreatif

    1. Pameran seni yang ditunggu banyak orang, Win. Idenya selalu fresh dan kadang jadi panutan untuk pameran-pameran seni yang lain. Akhir tahun akan ada Jogja Biennale, pameran dua tahunan yang pastinya akan seru juga. 🙂

  4. Messa says:

    Belum pernah sama sekali lihat dan dengar Art Jog mas 😁 tapi yg tahun ini gaungnya cukup kedengaran sampai ke kota lain ya 😁 lumayan sering muncul foto2nya di instagram. Btw, bagus2 karyanya. Bikin mikir 😁

    1. Yuk tahun depan disempatin nonton Art Jog. Dijamin nggak nyesel deh udah belain datang dan menikmati karya-karya seni artis Art Jog. 😀

    2. Messa says:

      Siiip 😊

  5. yofangga says:

    Telaten banget ko, nulisi siji-siji maksud karyane 😂😂
    Aku nek dikon nulis liputan ngene pasti bingung. Nyerah disek an 😣

    1. Jan e podo karo ngerunuti sejarah sing tertera di buku kan, Yop. Hahaha. Asal diniati en disenengi, jadi enteng wes nulise. 😛

  6. Bama says:

    Kadang karya seni modern agak susah dimengerti sih maksud dan pesan yang terkandung di dalamnya. Tapi setidaknya pameran-pameran semacam ini bisa memperluas perspektif, bahwa karya seni tidak harus melulu yang gitu-gitu aja. Kalau kita lihat benda-benda yang ada di rumah kita, apapun bisa jadi karya seni, tentunya biasanya disertai dengan makna filosofis yang kuat dan dalam. Foto-fotomu cakep, Halim.

    1. Thank u, Bama. Seperti halnya seni tari kontemporer yang kadang bikin bingung maksudnya, karya seni modern pun mesti menanyakan atau membaca penjabaran dari pembuatnya biar paham penyampaiannya. Hehehe. Ayo, Bama mesti nonton Art Jog sesekali, masa kalah sama Nicholas Saputra. #lahh 😀

    2. Bama says:

      Semoga pas suatu saat nanti balik ke Jogja pas ada festival seni kayak gini. Lha, ujug-ujug kok Nicholas Saputra 🙂

  7. ice_tea says:

    Sekalian melihat seni dari perspektif lain yaa kak hehe

    1. Menambah wawasan tentang seni yang berkembang di Indonesia. Selain memburu foto yang pas untuk dipublikasi di media sosial juga sih hehehe.

  8. Hastira says:

    keren sekali , ah seniman itu sering kali mangaduk2 perasaan, mata dan hati

    1. Itu alasan buat nonton Art Jog setiap tahun sekali. Penyegar raga nggak stuck dengan dogma masyarakat. 😀

  9. dwisusantii says:

    Waaa *angkat topi, Mas Halim bisa review satu-satuu…. Aku aja kalau liat begitu memaknainya sepenangkapku saja, terus kalau baca kadang tulisannya keciiil-keciil.

    Tompi ituu multitallent tenan. Aliran seninya bisa lancarrr mengalir di segala cabang :))

    Terakhir ke Art jog pas di Taman Budaya.

    1. Huum nggak nyangka jepretan Tompi yahud semua. Monokrom yang berbicara banget.

      Masih ada waktu buat mlipir Art Jog malam ini atau besok loh. Yuk cus, mbak Dwi. 😀

  10. Hendi Setiyanto says:

    sebagai seorang yang awam dengan seni modern seperti ini, kesan pertama pasti bingung mengenai makna dari tiap2 karya seni yang dipajang, tapi untunglah ada penjelasannya. menurut saya harga tiketnya mahal (sebagai seorang yang awam).

    1. Harga tiket dua tahun lalu masih sekitar 15ribu. Tiket nggak terlalu mahal hasilnya banyak anak muda cuma numpang swafoto aja, bikin yang mau nonton beneran jadi gerah. Nah, harga naik jadi 50ribu pun masih banyak yang cuma numpang swafoto. Di situ saya merasa bingung sampai mau lepas dan balik baju #halah. Hahaha.

    2. Hendi Setiyanto says:

      Ooh jd salah satunya krna itu tho….ya krna taunya ada objek2 mnarik buat narsis 😂

  11. Astari says:

    Aku udah kesinii koh.
    Apik – apik banget karyanyeee. Cuma yaituuu rasanya sehari kurang buat pepotoan hahaha.

    1. Nahh bener, satu hari bukan waktu yang cukup untuk foto-foto di dalam Art Jog. Semoga tahun depan mereka bikin tiket terusan untuk beberapa kali masuk ya. Biar puasss. Hahaha.

  12. Adi Pradana says:

    Aq belum liat mas, coba nanti pulang kantor tak mampir nikmatin beragam seni yang menaeik di art jog.

    1. Asikk ada yang mau nonton Art Jog di hari terakhir. Kalau nggak kesampaian nonton tahun ini, kudu nunggu tahun depan loh. 😉

  13. wisnutri says:

    sungguh memalukan!
    saya yg (katanya) anak seni rupa aja belum pernah ke artjog mas, kalah euy sama njenengan. isin aku hehe
    yang cukup populer di dunia instagram kaya e karya artjog tahun ini yg patung mata-mata itu ya? banyak di repost foto-foto disitu

    1. Floating Eyes paling mengundang perhatian pengunjung dan punya ruang cukup luas untuk swafoto. Ahha nggak sempat tahun ini, brarti tahun depan kudu sempetin nonton Art Jog, Wisnu. 😀

  14. Yasir Yafiat says:

    Karya-karya yang memukau.

    1. Karya-karya para artisnya kelas dunia semua. Worthed, nggak rugi lah bayar tiket cukup mahal untuk masuk dan nonton Art Jog, Yas. 🙂

    2. Yasir Yafiat says:

      Iya bener koh. Sesuai lah ya dengan pameran yang ditampilkan.

  15. Deddy Huang says:

    kamu detil sekali ya halim sampai ingat nama-nama di dalamnya. aku kadang masuk ke suatu tempat art ini cuma nikmati aja hehe

    1. Dari tahun ke tahun selalu mengamati perkembangan Art Jog, jadi sayang kalau diriku nggak detail menulis beberapa karya menarik di sana. Biar jadi pembanding di tahun berikutnya sih maksudku hehehe.

  16. lost in science says:

    Nice ya. Jogja berkembang ke arah yg lebih berkarakter dengan seni. I am not sure with other place in indonesia. Semakin kehilangan karakternya. CMIIW

    1. Kreativitas Yogyakarta ditampung di wadah yang tepat, percaya diri untuk ditampilkan secara nasional. Mudah-mudahan tetap seperti itu agar Yogyakarta berkembang menjadi kota kreatif yang dilirik negara laian, tak hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya menjual wisata alam dan candinya saja. 🙂

  17. WilliamLesi says:

    Keren ya artikelnya pengalaman nya mengasikan sekali.
    Gan pengen punya domain kah? Aku mau nanya kalau bujet nya cukup pengen beli dimn? Domainnya

    1. Terima kasih sudah berkunjung di blog ini, Will. Mengenai domain dulu saya pernah memilikinya, membeli lewat wordpress langsung. Namun sekarang tidak saya perpanjang supaya tidak ada keterikatan lagi dengan itu. 🙂

    2. WilliamLesi says:

      Oh gitu ya. Tapi kan keren kang kalau punya domain sendiri supaya dilirik juga sama sponsor ya kan?

  18. Aduh aku dr dulu pengen ke sini. Jd artjog diadakan tiap Mei – Juni ya, Oom … :3
    Ajak2in dongggg … :*

    1. Tenang, tahun depan masih ada lagi, om. Catat dan bundari kalendermu di tanggal 4 Mei 2018 buat Art Jog 11. 😉

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.