Siapa yang tidak mengenal batik? Kota Solo atau Surakarta tempat saya tinggal termasuk daerah yang mewarisi batik khas pedalaman yang telah diajarkan secara turun-menurun sejak masa kerajaan. Tentu yang saya maksud di sini adalah batik yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi, bukan kain printing bermotif batik yang dijual dengan harga murah di toko-toko kain.
Perlu diketahui bahwa Batik Solo berbeda dengan Batik Yogya. Sejak Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh kedua belah pihak kerajaan (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta) tahun 1755, sudah ada kesepakatan untuk membagi warisan motif batik Mataram. Batik Solo tetap mempertahankan warna sogan, sementara Batik Yogya mengunggulkan variasi warna putih dalam pewarnaannya. Masing-masing menanamkan filosofi sesuai apa yang hendak ditanamkan ke rakyatnya.
Lalu bagaimana kelangsungan dan perkembangan Batik Solo di Solo sekarang?
Sabtu 20 Mei 2017 lalu, saya bergabung dengan peserta city tour bertajuk Enggar-Enggar Penggalih ing Kutha Sala yang diadakan oleh Paguyuban Putra-Putri Solo. Kegiatan ini berupaya mengajak masyarakat agar semakin mengenali potensi wisata dan batik yang ada di Kota Solo. Perjalanan siang itu diawali dengan kunjungan ke Museum Radya Pustaka yang terletak di kompleks Taman Sriwedari, Jalan Slamet Riyadi. Kami dipandu oleh guide museum yang fasih memperkenalkan sejarah awal terbentuknya Radya Pustaka, siapa yang mendirikan bangunan museum, hingga penjelasan tentang koleksi-koleksi yang ada di sana.
Museum yang didirikan oleh patih KRA Sosrodiningrat IV pada tahun 1890 semula bernama Paheman Radyapustaka yang berlokasi di Kepatihan Surakarta. Dua puluh tiga tahun kemudian, koleksi yang ada di sana dipindahkan ke Loji Kadipolo, bekas kediaman milik warga Belanda yang bernama Johannes Busselaar. Di dalam Museum Radya Pustaka masih tersimpan arca-arca peninggalan kerajaan Hindu-Buddha atau Mataram Kuno yang pernah berkembang di Jawa bagian tengah.
Koleksi wayang, tosan aji, batik motif klasik warisan Keraton Surakarta dan Praja Mangkunegaran, serta porselen peninggalan kepatihan dan keraton ikut dipamerkan di ruang-ruang yang telah ditata lebih rapi dan nyaman dilihat dibandingkan kondisinya beberapa tahun silam. Yang menarik perhatian saya justru canthik atau hiasan ujung kapal berukir Rajamala peninggalan Sri Susuhunan Pakubuwono IV dan koleksi pakaian adat sesuai pangkatnya pada masa kerajaan.
Langenharjan termasuk salah satu busana Jawa yang dipajang di sana. Perpaduan jas terbuka model barat yang tidak dikancingkan itu diberi rompi putih dan dasi kupu-kupu. Cara berbusana yang unik dan terobosan baru di masanya. Busana yang diciptakan oleh KGPAA Mangkunagara IV (pemimpin Praja Mangkunegaran) ketika menghadap Sri Susuhunan Pakubuwono IX (pemimpin Kasunanan Surakarta yang bertahta 1861-1893) di Pesanggrahan Langenharjo tersebut juga diberi pelengkap blangkon tanpa mondhol.
Seusai keliling museum, kami diajak menikmati suasana kota dengan menaiki dua macam bus wisata yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Solo, Bus Tingkat Wisata Werkudara dan Bus Begawan Abiyasa. Bus Tingkat Wisata Werkudara membawa kami mengitari Jalan Slamet Riyadi hingga ke kompleks Stadion Manahan. Peserta cukup antusias duduk di tingkat dua double dekker warna merah yang mulai diperkenalkan oleh pemerintah kota sejak tahun 2012.
Perjalanan menuju tempat berikutnya tidak bisa menggunakan bus tingkat, sehingga kami harus turun dan pindah ke Bus Begawan Abiyasa yang berukuran lebih kecil dan memudahkannya melewati jalan kampung. Salah satu Putri Solo yang bernama Okfied menjelaskan bahwa bus yang kami naiki saat itu sebenarnya kendaraan umum khusus kaum difabel. Sudah tersedia space yang cukup untuk meletakkan kursi roda dan ada pengikatnya di dalam bus.
Sayangnya bus yang diresmikan tahun 2014 tersebut belum memenuhi standar sebagai kendaraan umum untuk penumpang disabilitas. Pintu masuk bus belum memiliki tangga khusus bagi pengguna kursi roda, sehingga masih memerlukan bantuan orang lain untuk membawanya masuk. Anak tangga menuju kursi penumpang tanpa blind path juga masih dianggap merepotkan. Tak heran jika tersiar kabar bahwa bus-bus itu masih mangkrak di Terminal Tirtonadi.
Sekian menit kemudian bus yang kami naiki berhenti di depan pintu pagar kediaman seorang maestro Batik Indonesia yang beralamat di Jalan Yos Sudarso 176. Pak Soewarno dan Bu Supiyah selaku pemilik rumah menyambut dan mengajak kami semua masuk ke nDalem Suralayan yang berada di belakang rumah inti. Pendopo tua itu masih memperlihatkan keanggunannya seperti yang pernah saya lihat dua tahun lalu. Patung Bima di sampingnya juga masih berdiri tegak, menatap tajam ke atas berdampingan dengan arca Buddha dan arca lainnya.
Baca lebih lengkap di sini –> Go Tik Swan dan Batik Indonesia.
Rumah yang kami singgahi merupakan tempat tinggal dari (alm) Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro. Beliau adalah keturunan Tionghoa yang peduli dengan seni dan budaya Jawa, sekaligus pencipta Batik Indonesia atas permintaan Bung Karno kala itu. Meski beliau telah tiada, ahli warisnya masih melestarikan motif-motif Batik Indonesia yang pernah dilukisnya. Peninggalan bersejarah yang ada di nDalem Hardjonegaran juga dirawat dengan baik. Sungguh ibarat masuk museum sejarah di dalam sebuah hunian.
Di sela menyaksikan langsung proses pembatikan di dalam nDalem Hardjonegaran, siang itu kawan-kawan dari Paguyuban Putra Putri Solo menginisiasikan sebuah komunitas yang mereka beri nama Komunitas Sinau Batik. Peresmiannya disimbolkan dengan tanda tangan dari Pak Soewarno dan Bu Supiyah sebagai perwakilan Go Tik Swan dan Bangkit Pamungkas sebagai wakil dari Paguyuban Putra Putri Solo. Terbentuknya komunitas yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) tersebut sebagai bukti dari semangat kebangkitan generasi muda Solo Raya untuk berkontribusi dan peduli dengan kelestarian warisan budaya bangsa.
Setelah puas mengelilingi kediaman (alm) Go Tik Swan dan melihat peresmian Sinau Batik, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Laweyan. Salah satu dari dua kampung batik yang ada di Kota Solo ini memiliki sejarah panjang mulai dari masa Kesultanan Pajang hingga Mataram Islam. Kali ini giliran komunitas Laku Lampah yang menjelaskan bagaimana sejarah Laweyan bermula. Mereka bercerita secara singkat dan padat tentang Masjid Laweyan sebagai masjid tertua di Surakarta, lalu siapa dan apa jasa Ki Ageng Henis yang dimakamkan di belakang masjid.
Perlu diketahui bahwa Ki Ageng Henis adalah tokoh yang kelak menurunkan Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram Islam. Ki Ageng Henis pula yang mengenalkan tradisi membatik yang hingga kini menjadi denyut ekonomi Kampung Laweyan. Tak bisa dipungkiri jika Laweyan tumbuh dari masa keemasan bisnis batik. Beragam motif klasik ditorehkan di sana, pun dengan jajaran bangunan berarsitektur indish yang megah turut mewarnai hidup juragan-juragan batik di Laweyan.
Lebih lengkap tentang Laweyan –> Meraba Asa Generasi Baru Laweyan
Rangkaian acara Enggar-Enggar Penggalih ing Kutha Sala berkesempatan mempertemukan kami dengan Alpha Fabela dan istrinya. Beliau adalah penggagas terbentuknya Kampung Batik Laweyan sebagai sebuah kampung wisata. Perjuangannya dimulai dari meyakinkan para juragan rumah batik yang mengalami kemunduran ekonomi pada akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Beliau memberi dorongan supaya tetangganya mau membuka showroom batik yang bisa menarik perhatian turis. Hasil dari tangan dinginnya, Laweyan kembali berdenyut dan bangkit dari mati surinya. Satu-persatu warga di sana mulai berani membuka pintu rumah batiknya terhadap kedatangan wisatawan.

Sebuah performing art menjadi sambutan yang diberikan oleh Pak Alpha Fabela di rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai workshop batik Mahkota Laweyan. Semua penonton tertawa dengan aksi lucu yang dibawakan oleh si seniman. Sesekali saya juga menatap gestur tubuhnya dengan serius seolah berusaha mencerna apa maksud dari tariannya. Yah, namanya juga karya seni. Gerakan demi gerakan tangan seniman bertopeng itu berlangsung selama kurang lebih lima belas menit.
Waktu yang terus berjalan mengharuskan kami berpindah menuju tujuan selanjutnya. Kampung Kauman menjadi titik akhir dari city tour yang diadakan oleh Komunitas Sinau Batik dengan arah sosial non profit oriented community tersebut. Senada dengan Kampung Laweyan, Kampung Kauman yang terletak di sebelah barat Masjid Ageng Surakarta telah menjadi sebuah kampung wisata di Kota Solo. Rumah Batik Gunawan Setiawan di Kauman menjadi tempat kami selanjutnya untuk belajar tentang batik yang telah berkembang di Surakarta.
Sejarah awal Kauman sendiri merupakan kampung yang dihuni oleh para kaum atau abdi dalem pamethakan. Letaknya yang berdekatan dengan tembok keraton secara tak langsung memberikan mereka wewenang untuk membuat batik sesuai kebutuhan keraton. Lambat laun Kampung Kauman diidentikkan dengan daerah penghasil Batik Solo kedua setelah Kampung Laweyan. Peningkatan ekonominya pun mengikuti kesuksesan para saudagar batik di Laweyan. Hal itu ditandai dengan berdirinya rumah-rumah megah berasitektur indish di balik tembok tinggi gang-gang kecil Kauman.
Sore itu Pak Gunawan Setiawan sebagai pemilik Batik Gunawan Setiawan turut meramaikan acara workshop batik yang digelar di ruang produksinya. Peserta diajak belajar menyanting sesuai arahan pengrajin batik di sana. Sungguh susah menorehkan canting berisi lilin panas di atas sketsa yang telah digambar di atas kain mori. Beberapa peserta banyak yang menyerah setelah merasakannya sendiri. Memerlukan kesabaran dan keuletan supaya tercipta selembar batik tulis yang berkualitas.
Pertanyaan bagaimana membedakan batik (asli) dengan batik bukan batik dilontarkan oleh salah satu peserta city tour. Pak Gunawan Setiawan pun menjelaskan bahwa batik (asli) digambar dua kali, bagian depan dan belakang kain batik harus ditutup lilin, diwarnai, dan dilorot atau dihilangkan lapisan lilinnya. Jika selembar batik memiliki dua atau lebih warna berarti telah dilakukan proses tadi secara berulang-ulang.
Misalnya, pengrajin akan menutup warna coklat untuk mewarnai kolom kosong dengan warna merah. Setelah diluruhkan lilinnya dan tersisa warna merah dan kosong, dilanjutkan menutup warna merah dengan teknik nyolet untuk mewarnai kolom kosong yang lain untuk diisi warna kuning, dan seterusnya. Rumit, kan? Jadi jangan lagi heran kenapa satu lembar batik (asli) memiliki harga ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah, ya? 😉
Note: Banyak ilmu dan pengalaman baru yang didapat selama kegiatan bersama Komunitas Sinau Batik bentukan Paguyuban Putra Putri Solo. Terima kasih sudah diajak melihat kediaman maestro Batik Indonesia asal Solo, mendengar cerita kehidupan juragan batik di Laweyan lebih dalam, hingga belajar tentang teknik membatik di Kauman. Saya percaya bahwa Batik Solo tidak akan mengalami kemunduran lagi jika ada andil dari anak-anak muda untuk mengenali, melindungi, dan melestarikan warisan dunia yang bernama Batik. Cheers and peace.
ngebatik ini menag penuh perjuangan dalam pembuatannya
Kalau konsentrasi pecah udah deh morat-marit hasilnya hahaha. Mungkin kesabaran itulah yang masih dipertahankan oleh pembatik sepuh, sementara yang muda masih enggan belajar karena menganggapnya susah. 🙂
Jadi pengen beli batik dibuat sarimbit hahahhha.
Tapi masih bingung, mau sarimbitan sama siapa buahahahhaha
Nyicil tuku lembaran batik tulis sik, Sitam. Ffitting e nunggu calon sing pasti. Repot kan yen ukuran badan calon mendadak berubah dan nggak sesuai dengan sarimbitan langsung jadi yang terlanjur dibeli. Hahaha.
kalau dilihat sekilas, style jas yang kerah terbuka tanpa dikancing dan ada pitanya itu terpengaruh budaya eropa khususnya belanda dan di jawa bagian tengah seperti sudah tidak asing lagi, termasuk digunakan oleh bupati2 juga di banjarnegara hingga kini dipakai oleh PNS tiap hari kamis terakhir tiap bulannya. berbanding terbalik dengan jogja yang sepertinya tetap mempertahankan gaya mataramannya hingga kini (kalau saya tidak salah) apa ini ada hubungannya dengan kerajaan mataram yang kurang dekat dengan penjajah saat itu dibanding dengan kasunanan? sekali lagi ini pertanyaan dari seorang awam hehehe
Nahhh, salah kaprahnya beberapa orang menganggap hanya Kesultanan Yogyakarta yang bagian dari Mataram Islam gara-gara Kota Gede terletak di DIY. Padahal Surakarta justru kakaknya Yogyakarta. Otomatis Surakarta juga merupakan bagian dinasti Mataram Islam setelah dinasti Kartasura dipecah jadi tiga hehehe.
Kalau pengaruh kedekatan dengan pemerintah Belanda sih semua kerajaan pasti mengalaminya sesuai kebijakan masing-masing pemimpinnya. Ada yang terlihat halus melawan kolonial, ada pula yang lebih halus melawan kolonial lewat seni budaya, ilmu pengetahuan, dan hal lain. Ini bisa panjang ceritanya. Kudongengin kalau dirimu dolan Solo aja ya. 😀
Untuk Karesidenan Banyumasan sepertinya terkena pengaruh banyak dari Surakarta karena wilayah tersebut pernah menjadi wilayah kekuasaannya. Sama seperti Kedu yang ada bagian kekuasaan dari Surakarta juga. Lalu ada putri atau putra raja yang dinikahkan oleh pejabat di sana. Pada akhirnya budaya dan cara berpakaian priyayi mengikuti peraturan kerajaan yang menaunginya. 🙂
Owww bnykn org taunya ya sebaliknya…pdhl “tua” an kasunanan dulu ya dbding kasultanan 😁
Besok kalo ke Solo kukenalin kamu ke orang tua mereka berdua di Kartasura yah biar kenyataan sejarah nggak melenceng sampai anak cucu. 😀 😀
Ortu? 😞
Wiiih seru bisa jelajah sejarah batik khususnya di kota solo.
Nanti kutagih ya mas guidein blusukan solo biar kenal batik solo. Terutama kampung-kampung batiknya hehe.
Ojo khawatir, pasti kuanter muter-muter cari sisa sejarah di Solo. Laweyan dan Kauman punya khas, apalagi kampung di sekitar keraton dan Mangkunegaran. Sing penting siapkan kaki buat jalan santai yang lama ya hahaha.
Wahahaha. Koyok wingi ya lumayan lho, opo meneh tekan omah aku isih mlaku 😂😂
Batik….ambaning titik…inget waktu SD sekolah saya pernah ada ekstra membatik mas…entah skrg masih ada atau tidak…jika dipikir” karya batik menjadi mahal karena hasil ketekunan yang membatik ya…karena tdk semua bs dengan tekun memberikan titik” malam pada sebuah kain dgn waktu berpuluh” jam smp selesai…
Sepertinya sekolah dasar sekarang jarang memiliki eskul membatik lagi, kecuali penerapan mata pelajaran di sekolah khusus membatik setingkat SMK. Betul banget, batik itu kerajinan tangan yang susah dan kudu telaten. Proses demi proses dikerjakan dengan sabar. Bahkan juragan batik sekarang berprinsip seperti ini: nadyan ora nyugihi nanging nguripi. 🙂
“Karena pengerjaannya yang rumit, anak muda cenderung kurang tertarik untuk menekuni. ” Kira-kira bagaimana dengan masa depan laweyan dan kauman mas? Kukira sih masih aman. Aamiin.
Eh iya sih, kaya menenun, membatik, itu kebanyakan dikerjakan dari ibu-ibu dan simbah-simbah ya mas?
Lama-lama cemas jugaaa 😦
Jogja juga punya kauman yak, tapi bukan kampung batik. Hehe 🙂
Kalau simbok-simbok pembatik di sana cerita ketika mereka umur belasan sudah dibawa ibunya ke rumah juragan batik dan disuruh lihat. Lama-kelamaan mereka menaruh minat untuk membatik, terjadilah regenerasi. Kalau generasi sekarang pilih sekolah, mungkin lanjut nongkrong kekinian ketimbang ikut ibu mereka ke rumah juragan batik hehehe.
Iya ya Kota Yogya di mana sih kampung batiknya? Kok cuma kampung Batik Giriloyo di Bantul yang menonjol di DIY karena dekat dengan Imogiri, sehingga banyak yang membutuhkan batik untuk dikenakan para priyayi saat ziarah.
semoga makin banyak yang mengerti batik, lestarikan batik warisan budaya indonesia
Amin. Ini baru Kota Solo yang kebetulan masih memiliki kampung batik yang aktif. Kota-kota pesisir utara Jawa juga memiliki warisan motif batik yang lebih kaya dan harus dilestarikan. 🙂
Ah jadi kangen Laweyan dan masjid tuanya itu…
Siappp menemani kalau tante Ev dan om mau main ke Solo lagi. 😀
ini acara yg 3 hari itu to mas? yang ikut banyak juga ternyata
baru tau kalau ada bis abiyasa khusus difabel, tak kira bis wisata baru dan baru dilaunching kemarin pas acara walking tour
kayaknya kebanyakan sekarang anak muda pada kurang tertarik dg yg namanya batik-membatik mas, taunya asal jadi aja hehe
Peserta city tour-nya lumayan banyak, diikuti media dari Solo Raya juga. Kalau lewat Tirtonadi biasanya akan lihat Bus Begawan Abiyasa berjajar di halaman depannya hehehe.
Yang paling disayangkan adalah ketika anak muda memakai baju dari kain printing bermotif lalu diaku kalau sedang memakai batik. Padahal itu bukan batik. 🙂
Batik memang tak ada matinya,salah satu budaya Indonesia yang harus dilestarikan.Dari dulu pingin banget nyoba mbatik..kudu tlaten banget kayaknya..
Salling follow blog ya mas
Halo Abdul, salam kenal yah. Batik merupakan warisan dunia yang selayaknya dikenal dan dilestarikan Indonesia. Yuk belajar membatik di Solo. 😀
Jadi kamu udah bisa batik belum ko? Ajari aku doms, aku orangnya telaten, kok. 😀
Masih belajar motif-motif batik populer, untuk nyanting kadang tangan masih gemeter takut salah gores. Jadi amannya belajar di workshop rumah batik aja, kak Toms. Hahaha.
Sy masih belum paham bedanya motif2 batik antar kota di pulau jawa. Mungkin harus dikhusukan waktunya untuk jelajah belajar batik seperti ini yaa
Batik pesisir sebelah utara Jawa juga punya kekhasan masing-masing. Pekalongan misalnya punya Batik Jlamprang dan Buketan, Lasem dengan batik tiga negeri dan batik yang menonjolkan legenda Tiongkok. Kudus beda lagi, bunga-bungaan dan sulur-suluran mendominasi dengan warna pastel.
wahhh ko aku jadinya pengen jugaaa wheheh belum pernah lo aku ngebatik gitu, apalagi rame rame gituuu wheheh
Asyik banget bisa lihat langsung pengrajin batik di rumah batik tulis di Solo. Ditambah bisa melakukan sendiri cara membatik melalui workshop yang mereka bikin. Yuklah main ke kampung batik di Solo. 🙂
Selalu salut sama kiprah-kiprah komunitas yang peduli budaya. Semangatnya itu bisa menular.
Btw, penasaran sama performing art-nya itu 😀
Nah itu, kemarin nggak sempat rekam performing art-nya, padahal keren. Next time mau berburu mas penarinya dan akan liput khusus mengenai kiprahnya di dunia seni hehehe.
Batik2 yang di rumah Go Tik Swan itu bener2 keliatan eksklusif bgt sih ya. Cakep! alus banget pengerjaannya. Duh, belum sempet nulis ini…. keburu lupa kontennya 😦
Harga selembar Batik Indonesia karya Go Tik Swan mulai dari harga nyaris satu juta rupiah sampai puluhan juta! Gemeter banget pas pegang selembarnya hahaha. Ayo buruan nulis biar masih membekas kenangan jalan-jalan ke rumah batik di Solo. 😉
waaaa keliatannya menarik bangeeet. kemaren sempet nyari-nyari tempat buat batik di daerah solo yang ‘terbuka’ untuk bahan nulis tapi gak nemu nemu. yang ini harus rombongan atau bisa individu ya mas?
Untuk kampung batik seperti Laweyan dan Kauman bisa langsung ke Batik Mahkota dan Batik Gunawan Setiawan. Bisa datang rombongan maupun individu di hari kerja. Sementara rumah batik Go Tik Swan masih terbuka bagi yang sudah kenal dan sudah izin jauh hari sebelum, karena masih menjadi rumah pribadi. Semoga membantu. 🙂