Homestay, oh Homestay

Ketika sedang melakukan suatu perjalanan keluar dari kota asalnya lebih dari satu hari, mau tidak mau setiap pejalan akan memikirkan di mana tempat mereka untuk menginap. Kalau cari irit, nebeng ke rumah kerabat atau teman dekat yang kebetulan tinggal di kota tujuan bisa jadi salah satu pilihan tempat untuk bermalam.

Sebaliknya, jika menginginkan privasi dan kekhusyukan sebuah perjalanan, ada ragam penginapan yang bisa dipilih sesuai dengan budget yang direncanakan dan fasilitas yang diinginkan. Nah, muncul persoalan ketika hendak piknik ke sebuah desa yang terpencil dengan lokasi jauh dari pusat kota. Tidak ada sanak saudara di sana dan daerah tersebut tidak memiliki penginapan semacam hotel apalagi losmen.

homestay di pujon kidul malang
well-come 🙂

Pernah suatu hari di bulan Ramadan, saya dan seorang kawan memutuskan untuk menginap di sebuah masjid di Desa Kapan, Timor Tengah Selatan, Pulau Timor sebelum melanjutkan perjalanan ke Hutan Fatumnasi keesokan harinya. Beruntung ada kebaikan yang kami terima pada malam itu. Seorang warga memberi tawaran untuk kami menginap dan sahur bersama di rumahnya. Dengan penegasan, rumahnya sederhana, tempat tidur seadanya. Tentu tidak ada masalah bagi kami ketimbang menggigil kedinginan di pelataran masjid.

Dari pengalaman menumpang di Desa Kapan, saya belajar untuk mengakrabkan diri dengan pemilik rumah yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Meski sesekali muncul kecanggungan dan rasa sungkan, keramahan dan keterbukaan dari tuan rumah yang tidak mengharapkan imbalan tersebut belum pernah saya alami sebelumnya. Bahkan ucapan terima kasih dan memperoleh jalinan pertemanan baru bisa menjadi penghargaan yang indah bagi mereka.

Beda lagi dengan pengalaman menginap di rumah penduduk setempat ketika saya dan rombongan kawan blogger berkunjung ke Desa Ketetang yang berlokasi di Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura. Desanya terletak di puncak bukit, jauh dari jalan raya. Bukan sebuah persinggahan yang rutin didatangi wisatawan, tapi malam itu sudah ada koordinasi antara penyelenggara acara dan kepala desa. Sehingga mereka siap menyambut kedatangan rombongan dengan menyediakan sebuah rumah tanpa penghuni untuk kami tempati. Makan malam dan sarapan pun mereka siapkan. Karena terlalu banyak tamu yang datang, saat itu kurang ada sosialisasi antar warga dan semua tamunya.

Keakraban dan kearifan lokal justru saya rasakan secara intim saat mengikuti rentetan acara Eksplor Deswita di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Malang beberapa waktu lalu. Desa-desa yang kami tuju sudah menjadi desa wisata-desa wisata yang bertujuan mengenalkan potensi sumber daya alam dan telah memajukan sumber daya manusianya. Di sana tersedia beberapa homestay sesuai syarat sebuah Desa Wisata yang telah mereka giatkan. Dari situ saya belajar mengetahui adanya perbedaan antara menumpang di rumah warga di desa bukan wisata dengan bermalam di sebuah homestay di desa wisata.

Pada dasarnya homestay di desa wisata adalah rumah warga yang dipersiapkan untuk menginap para wisatawan. Wisatawan akan tinggal satu atap dengan penduduk lokal, mengikuti rutinitas, dan merasakan seperti apa kehidupan mereka di sana. Diwajibkan untuk memenuhi biaya hidup sendiri, berarti harus membayar makanan dan mengganti ongkos menginap selama berlibur di desa wisata.

Pengaturan siapa yang akan menjadi tuan rumah bagi tamu yang datang biasanya telah diatur oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) masing-masing desa wisata. Berapa yang harus dibayar untuk menginap di homestay tersebut juga menjadi wewenang Pokdarwis. Tujuannya sudah pasti keadilan di antara semua pemilik homestay di desa wisata tersebut.

Ciri dari sebuah homestay adalah tamu dipersilakan tidur di kamar-kamar yang ada di bangunan utama pemilik rumah. Mengajak tamunya makan di meja makan yang sama, ngobrol dan memperlakukan tamunya seperti saudara yang datang dari jauh adalah peraturan tak tertulis dari tiap pemilik sebuah homestay di desa wisata. Mungkin saja tamu akan diajari memasak di dapur, diajak bercocok tanam, dan kejutan yang lain. Dengan adanya aktivitas tersebut, mau tidak mau hati akan luluh dan menganggap rumah tumpangan itu seperti rumah sendiri.

Lain halnya dengan adanya sebuah bangunan terpisah yang sengaja disediakan pihak desa atau pemilik rumah. Meski mereka berada di halaman yang sama, konsep ini sebenarnya kurang tepat disebut sebagai homestay. Namun lebih tepat dianggap sebagai guesthouse di sebuah desa wisata.

Tuan rumah sengaja memberi batas dan privasi antara keluarganya dengan tamu yang menginap. Tidak makan di meja yang sama, melainkan makanan akan dikirim ke cottage atau kamar tamu. Ada juga guesthouse yang memiliki ruang khusus di samping rumah utama sebagai tempat untuk para tamunya makan. Kamar mandi mereka pun terpisah letaknya.

Sayangnya kini muncul kerancuan dalam desa wisata-desa wisata yang belum bisa membedakan arti dasar dari homestay dan guesthouse. Minimnya partisipasi warga dalam memajukan desa wisata tersebut bisa jadi penyebabnya. Tak heran jika sedikit penginapan yang ada di sana lalu disebut sebagai homestay, padahal mereka menyediakan bangunan terpisah dari rumah utama yang seharusnya lebih tepat disebut guesthouse. Esensi mengenali kearifan lokal di desa wisata pun jadi berkurang karena tercipta batas yang telah dibuat oleh pemilik guesthouse.

Pastinya ada banyak cerita selama saya menginap di homestay-homestay yang pernah diinapi saat berkunjung ke beberapa desa wisata. Ada pemilik homestay yang menampakkan kesiapannya sebagai tuan rumah yang baik dalam menyambut tamunya. Mereka mampu mencairkan kecanggungan dan menganggap kami layaknya saudara sendiri. Keunggulan wisata alam, potensi perkebunan dan pertanian, hingga folklor ikut diceritakan oleh mereka supaya kami semakin mengenal desa yang mereka tinggali.

Selama kunjungan di beberapa desa wisata, saya juga merasakan tidak semua memperlihatkan kesiapan tersebut. Pernah mendapati rumah tumpangan yang pemiliknya agak acuh dan memberikan peraturan tak tertulis yang mau tidak mau harus ditaati. Bisa bayangkan bagaimana rasanya tinggal di kastil milik ibu tiri? Yah, kurang lebih seperti itu sensasinya. Tentu perbedaan budaya dan tingkah laku mereka harus dipahami. Sebagai tamu juga disarankan untuk sadar diri dan menghormati kebiasaan para pemilik rumah.

homestay Pujon Kidul
halaman asri homestay Pujon Kidul

Ada juga pemilik homestay yang merasa minder dengan kondisi rumah mereka yang dinilai kurang layak untuk ditinggali wisatawan. Kamar mandi yang belum berkeramik, ranjang yang masih memakai kasur kapuk merupakan contoh kesederhanaan yang ingin mereka hapus. Tak salah jika mereka memang memiliki anggaran lebih dan ingin membuat rumah mereka lebih cantik dan nyaman demi kepentingan keluarga mereka sendiri.

homestay Desa Ekowisata Boonpring
senyum pemilik homestay Desa Wisata Boonpring

Bagaimana jika sampai muncul bentuk kenekadan untuk menghamburkan uang karena anggapan bahwa kemewahan hunian bisa mendatangkan lebih banyak wisatawan untuk menginap di homestay mereka? Kalau wisatawan menghendaki kenyamanan yang lebih, tentu mereka akan memilih untuk berlibur ke kota besar atau tempat wisata ramai lalu menginap di hotel atau bahkan resort, kan?

Perlu diketahui lagi bahwa pembagian tempat untuk wisatawan yang berlibur di desa wisata adalah wewenang pegiat Pokdarwis, bukan pemilik homestay sendiri. Semoga mereka tidak lupa bahwa sambutan dan interaksi dari mereka sebagai pemilik homestay kepada wisatawan adalah yang terpenting sebagai wujud untuk memajukan desa wisata.

Perkotaan yang terus-menerus menawarkan segala bentuk kemajuan sering membuat jenuh wisatawan asal kota besar. Menikmati kesederhanaan dan merasakan kehidupan apa adanya dari pemilik homestay adalah bentuk kegembiraan yang sederhana dari tiap kunjungan desa wisata.

Ketenangan tempat singgah, keramahan penduduk setempat, dan senyum yang tulus, itulah yang kelak orang kota buru supaya kepekaan mereka terhadap sesamanya akan tumbuh kembali. 🙂

39 Comments Add yours

  1. mawi wijna says:

    Selama niat melancongnya baik, umumnya urusan tempat menginap itu senantiasa dimudahkan oleh-Nya.

    Dan setiap perjumpaan dengan orang baru merupakan takdir dari-Nya agar kita belajar sesuatu yang baru pula.

    1. Saat jalan ke antah berantah, daku sering menerapkan pola pikir bahwa pada dasarnya semua orang baik, jika kita berlaku baik dengan mereka maka akan diperlakukan baik pula oleh orang yang baru dikenal.

      Pertemuan dengan orang baru yang kadang memberi inspirasi, petunjuk, bahkan peringatan dari-Nya supaya menjadi manusia yang lebih baik ya, Wi. 🙂

  2. Dan ketika saya menjadi salahs atu dalam deswita Jogja dan Malang, berinteraksi dengan pemilik rumah, ngopi bareng, bercerita tentang pengalaman hidup dan lainnya. Saya menjadi tertarik dengan desa wisata. Dengan segala kesederhanaannya, dan keramahan warganya.

    Setuju mas, banyak yang belum paham antara homestay dan guesthouse. Saya sendiri salah satunya hahahahahha. Sekarang mulai tercerahkan 😀

    Salam Hokya 😀

    1. Seharusnya sih ada perbedaan yang jauh beda antara homestay dan guesthouse, tapi tahulah kerancuan yang telah berlangsung hahaha.

      Ntar beberapa tahun ke depan bakal dibangun hotel-hotel di desa wisata binaan kementerian yang akan diaku sebagai “homestay” deh. 😛

  3. @nurulrahma says:

    Menikmati kesederhanaan dan merasakan kehidupan apa adanya dari pemilik homestay adalah bentuk kesenangan dari tiap kunjungan desa wisata.

    Bener bangeeettt iki 🙂 Karena tiap ngetrip tentu ada #goals yang ingin digapai kan

    1. Tiap destinasi pasti punya kelebihan dan kekurangan yang kelak melengkapi sebuah perjalanan. Masing-masing individu pun akan merasakan hal yang berbeda satu sama lain. Kalau dari desa wisata sih daku ngarep pengalaman dari kesederhanaan dan kearifan lokalnya, bukan pesona lain seperti tempat wisata pada umumnya. 😉

  4. winnymarlina says:

    main ke pujon ama papan pelangi? 😀

    1. Hahaha iya, Win. Maspap sempat nyusul di Pujon Kidul. 😀

  5. Hendi Setiyanto says:

    belum prnah nginep di rumah orang saat plesiran sih, tapi pas ke curug atau tempat wisata lainnya dan kebetulan bertemu/mampir di rumah warga dan kita apa adanya, sopan, ramah, mereka sangat antusias untuk diajak ngobrol. beberapa kali mereka menawarkan halamn rumahnya untuk dijadikan tmpt penitipan motor, ditawari secangkir kopi, cemilan hingga obrolan yang ujungnya si tuan rumah bercerita kalau kenal dengan salah satu orang di tempat tinggalku, semuanya mengalir begitu saja…

    1. Ahh iya daku juga sering mendapati penduduk desa yang baik hati menawarkan halamannya untuk parkir, dan tawaran serupa yang Hendi tulis ketika main ke desa-desa. Kalau konsep dari sebuah desa wisata memang lebih mengedepankan interaksi lokal terhadap wisatawan. Pemilik homestay di desa wisata biasanya diharapkan lebih aktif terhadap wisatawan agar betah tinggal lama di sana. Semakin lama wisatawan menginap kan desa wisata jadi rame dan penduduk setempat juga kecipratan imbasnya. Namanya juga desa wisata hehehe. 🙂

  6. dwisusantii says:

    Aku sih cukup terkesan sama keramahan yang luar biasa pas di homestay pancoh mas. Ibunya itu malah kaya pingin kita main-main lagi pas lewat pancoh. Banyak senyum, cerita, masakannya enak, dan terkesan sampai sekarang.

    Eh berarti kalau pas di Pindul ituu namanya guesthouse ya?

    1. Pancoh salah satu desa wisata favoritku. Host-ku di sana juga supel banget, terbuka mau berbagi kisah hidupnya. Kapan yuk ke sana lagi, mbak Dwi. 🙂

      Seharusnya yang di Pindul lebih tepat disebut sebagai guesthouse atau rumah tamu di desa wisata.

  7. goiq says:

    satu hal yang aku suka menginap di homestay adalah kebersamaannya. Kita tinggal bareng, makan bareng, ngobrol bareng. serasa jadi bagian dari keluarga yang kita tumpangi kamarnya

    1. Seru yah pengalaman nginap di homestay, Ri. Pernah loh mendapati homestay yang kamar tamunya ya kamar dari anak pemilik rumah. Jadi kalau nggak ada tamu, si anak tidur di kamar tersebut. Kalau sedang kedatangan tamu, si anak ngungsi di kamar bapak-ibunya. Hehehe.

  8. iyoskusuma says:

    Wah. Saya baru sadar ada kesalahpahaman antara homestay dan guess house selama ini. Dua-duanya udah pernah saya coba sih, masing-masing memang nawarin keuntungan yang berbeda buat saya.

    Soal ‘ganti rugi’ ke pemilik homestay, walau ga diminta, kayanya ga enak dan ga elok ya kalau beneran ngga ngasih. Hehe.. Saya lebih milih buat kasih oleh-oleh dari daerah asal untuk kenang-kenangan mereka. Mungkin menarik 🙂

    1. Mungkin sama-sama dianggap menginap di rumah jadi banyak yang salah kaprah lalu menyamakan konsep home-stay dan guest-house. 😀

      Homestay di desa wisata biasanya punya harga khusus yang sudah dirancang oleh Pokdarwis. Aktivitas yang akan dikerjakan wisatawan bersama dengan tuan rumahnya terkadang juga dipunggut bayaran sesuai penawaran paket desa wisatanya. Kalau homestay biasa di destinasi wisata atau bukan desa wisata mungkin beda perlakuan. 😀

  9. kunudhani says:

    Yg seru itu yg kyak ginii, bkan nginep d hotel #opinipribadii

    1. Bisa berinteraksi langsung dengan penghuni rumah dan mendapatkan informasi tentang desanya yang tak diceritakan di luar sana memang mengesankan sekali. Siapa tahu aja diajak gossip juga waktu menginap di rumah tersebut hahaha. 🙂

  10. Nah betul mas, banyak yang belum paham antara homestay dan guesthouse. Termasuk saya wkwk.

    Belum pernah merasakan menginap di homestay sih, tapi pernah sewaktu ke dieng di tampung sama temen lokal sana. Dan bisa merasakan sebagai warga lokal itu pengalaman yg seru.
    Jadi seperti bukan interaksi wisatawan-warga lokal. Tapi malah kayak tamu ato sodara sendiri yg dijamu dengan hangat 🙂

    1. Beberapa homestay di Dieng ada yang masih homestay, ada juga yang seharusnya disebut losmen karena sudah bangunan sendiri dengan resepsionis segala hahaha.Coba nginep di homestay desa wisata, Jo. Sensasinya beda dengan numpang di rumah warga biasa karena desa wisata memang menawarkan atraksi dan paket yang melibatkan warga dan wisatawan. 🙂

  11. Deddy Huang says:

    desa wisata jadi poin dari pak Arief Yahya.. pro dan kontra juga cuma kalau ga ada homestay buat yang di pelosok juga susah untuk gapai hotel.

    1. Sebenarnya kembali ke minat mau ngapain berlibur ke desa wisata aja sih. Kalau desa wisata jadi ramai penginapan kelak akan ramai dan bukan desa wisata yang menjadi tempat untuk belajar kearifan lokal lagi, tapi obyek wisata sejuta umat hehehe. Beberapa desa wisata juga ada yang jatuh dan susah bangun lagi karena banyak penyebab. Tidak ada perkembangan kreativitas dari SDM di sana, pun terlanjur menjual kemewahan layaknya obyek wisata di kota bisa bikin mereka jatuh. 😉

    2. Deddy Huang says:

      Betul, akhirnya terkikis udah gak bisa menikmati suasana karena jadi objek wisata sejuta umat.

  12. yofangga says:

    Uda numpang nginep di rumah orang, eh dipinjemin motor pak polisi, dibekali makan, dikasi kain dan madu pula 😂
    Ah, dipikir-pikir kita ngerepotin sekali ya ko, hehe

    1. Say thank you banget ma Mas Slamet. Jadi pingin rono maneh, Yop. Balas kebaikan mereka gitu. Yuk golek tanggal ama golek sewa motor yang punya mesin sehat hahaha.

  13. gawean omah says:

    Jelaskan padaku, gimana cara menjadi seorang traveling, saya punya blog dolanyok.com tapi bingung mau isi bagaimana, soalnya saya tidak pernah keluar rumah

    1. Sayang banget sudah punya blog, tapi belum diisi. Awali dengan keluar rumah dulu. Traveling nggak mesti pergi jauh, mulai dari yang terdekat dulu. Ke pasar mungkin, atau jalan-jalan keliling kampung sekitar rumah. Cerita kampung berserta sejarah di masa lampau dan isinya bisa menarik untuk ditulis loh. Dolan yok. 🙂

  14. sabda awal says:

    saya belum pernah sekali pun menikmati nuansa homestay ataupun guest house, biasanya yang saya datangi daerah ramai dan perkotaan, jadi langsung ke hotel saja.

    tapi tampaknya di desa, homestay itu lebih menarik, pasti akan banyak cerita yang bisa di obrolkan dengan pemilik rumah

    1. Sensasi menginap di homestay lebih ke pengalaman hidup bersama warga setempat. Beda rasa dengan menginap di sebuah hotel yang diisi staff hotel. Mesti cobain sesekali menginap di homestay di desa, kawan. 🙂

  15. lost in science says:

    Pernah sekali numpang nginep rumah random di pesisir pantai selatan Yogya karena udah kemaleman. Ibunya baik banget… pas tau ternyata bapake sejenis dukun gitu.. malem2 banyak yg antri wwkkw.

    1. Waa seruuu ih. Kebaikan yang tak terduga di jalan ya. Beneran seru loh dapat pengalaman baru lihat langsung dukun praktek hahaha.

  16. Naaaah ini bener. Bahwa harus dibedakan penamaan sesuai fungsinya. Homestay akan memungkinkan kita berinteraksi layaknya kehidupan pemilik rumah sehari-hari, dan aku seneng banget dengan konsep ini.

    Eh aada fotoku lagi sarapan hahaha.

    1. Jadi moment tak terlupakan ketika bisa ngobrol dan berbagi pengalaman dengan pemilik homestay. Pecel jadi andalan sarapan di homestay-homestay desa wisata di Kabupaten Malang, tambah sukak deh ama homestay. 🙂

  17. Evi says:

    Ih aku pengem deh jelajah desa-desa wisata dan interaksi dengan penduduk kampungnya. …

    1. Belajar kesederhanaan yang kadang terlupakan di kota besar. Dan rasanya nggak cukup kalau sehari di desa wisata, mesti tinggal lebih dari satu hari biar lebih mendalami kehidupan di sana. Yuk wisata ke desa, tante Ev. 😉

  18. mumun indohoy says:

    Halim, gue penasaran, ada ga sih definisi homestay dan guesthouse di dunia pariwisata?

    1. Surat keputusan yang menjabarkan definisi homestay belum ada, Mun. Keputusan Menparpostel Nomor: KM.94/HK.103/MPPT-87 hanya pernah menjabarkan definisi dari hotel dan losmen. Yah pengertian homestay dan guesthouse masih terasa bias di Indonesia. Kalau di luar negeri sudah terdefinisi dengan jelas kali ya hehehe.

  19. andinormas says:

    ooh.. baru tau bedanya homestay sama guesthouse.. berarti saya waktu ke Ujung Kulon nginep di rumah warga tuh itungannya homestay ya mas…

    1. Seharusnya ada perbedaannya, namun di Indonesia masih terasa bias. Semua penginapan baik losmen ataupun guesthouse di desa wisata lalu disebut dengan homestay hehehe.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.