Tiga Klenteng Sarat Sejarah di Lasem

Jika berbicara tentang peradaban tinggi yang pernah terjadi di Lasem, tidak akan cukup menceritakannya dalam satu hari satu malam. Mulai dari bukti sebaran peninggalan zaman prasejarah, situs manusia purba di Plawangan, munculnya kerajaan Lasem disertai kisah bandar pelabuhan besar era Majapahit, disusul nama besar Bong Ang atau Sunan Bonang dan Bi Nang Un yang tercatat di Babad Lasem.

Masa keemasan Lasem seolah menjanjikan harapan-harapan besar bagi pendatang dari negeri seberang, seperti Tiongkok daratan. Perantau dari beberapa desa di Tiongkok daratan melabuh, berdagang dan menetap di sana sejak ratusan tahun silam. Membaur dan menikah dengan pribumi sehingga memunculkan istilah peranakan Tionghoa, Babah dan Nyonyah.

Nama Lasem kembali mencuat ketika perdagangan opium dibiarkan bebas di sana. Pun setelah peristiwa Geger Pecinan meletus di Batavia (Jakarta) tahun 1740, di mana para pengungsi yang selamat ditampung dan diberi tempat untuk menetap oleh seorang Adipati Lasem yang bernama Oei Ing Kiat. Sejak itu perdagangan hasil bumi, garam, dan batik mewarnai dan menyegarkan Lasem.

Lambat laun mulai didirikan tempat-tempat khusus untuk meletakkan dan memuja patung dewa-dewi Tiongkok yang dianggap membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi peranakan Tionghoa tersebut. Ketiga klenteng itu kini tampak selaras dengan tempat beribadah yang mendominasi Lasem kala ajaran Islam mulai diperkenalkan oleh Sunan Bonang dan pengikutnya.

Klenteng Cu An Kiong
Klenteng Cu An Kiong

Dari kejauhan, gapura besar dengan dua patung singa dan dua patung penjaga membuat klenteng beralamatkan di Jalan Dasun no.19 yang saya kunjungi pagi itu terlihat berbeda dengan klenteng lainnya. Kharismanya masih memancarkan kemegahan. Klenteng Tjoe An Kiong atau Cu An Kiong digadangkan sebagai klenteng tertua di Lasem.

Ada yang berujar bahwa tempat penghormatan dewa dan leluhur ini dibangun pada abad ke-15. Dari bukti tertulis yang disimbolkan dengan sebuah prasasti di sana hanya mengatakan bahwa Klenteng Cu An Kiong diperbaiki tahun 1838 atas prakarsa seorang Kapitan Tionghoa bernama Lim Chang Li dan ikut menyantumkan 105 nama penyumbangnya saja.

Arsitekturnya memiliki kemiripan dengan Lawang Ombo atau lebih dikenal dengan Omah Candu yang letaknya bersebelahan dan menghadap Sungai Lasem. Keduanya beratap ekor burung walet, khas dari bangunan Fujian, salah satu wilayah di Tiongkok bagian selatan. Jika menelusuri Kampung Soditan yang berjarak tak jauh dari Klenteng Cu An Kiong, sebagian besar rumah-rumah lama di sana juga memiliki atap seperti ekor burung walet. Itu salah satu bukti bahwa Kampung Soditan bisa dibilang menjadi permukiman pertama bagi para perantau dari Tiongkok di Lasem.

Ukiran halus pintu dan jendela pembatas terbuat dari kayu di Klenteng Cu An Kiong yang paling menarik perhatian saya. Jika benar bangunan asli tempat pemujaan dewi laut Thian Siang Sing Bo atau Mak Co ini berusia lebih dari empat ratus tahun maka arsiteknya patut diacungi jempol. Pondasi utamanya masih kokoh, tidak menunjukkan kerapuhan. Warna hitam dari tinta khusus di lukisan yang deret keramiknya tertempel di dinding ruang tengah pun masih terlihat indah dan jelas.

Selanjutnya saya berjalan menuju klenteng tertua kedua di Lasem. Adalah Klenteng Poo An Bio di Kampung Karangturi Gang VII yang menghadap ke arah Sungai Kemendung. Dua singa yang dicat warna kuning emas menjadi simbol penjaga gapura klenteng. Dua patung kilin menghiasi pintu utama klenteng yang dibangun sekitar tahun 1740 tersebut.

Sayang siang itu saya kurang beruntung, gerbang terkunci sehingga tak bisa melihat lebih dekat interior di dalamnya. Sumber mengatakan bahwa pada hari besar tertentu patung Mak Co dari Klenteng Cu An Kiong diletakkan di tandu khusus dan diarak keliling desa menuju Klenteng Poo An Bio. Setelah sesi sembahyang selesai, patung dewi laut itu akan dikembalikan lagi ke Cu An Kiong.

Dari Poo An Bio, saya beranjak ke Kampung Babagan, kampung di Lasem yang masih banyak dihuni oleh para juragan batik yang hingga kini beberapa aktif berkarya. Lorong-lorong di Kampung Babagan terlihat lebih hidup dibanding Kampung Karangturi yang sebagian besar bekas rumah-rumah juragan batik telah dibiarkan kosong begitu saja. Tidak jauh dari Jalan Raya Pos atau Jalan Deandels, tepatnya setelah gapura selamat datang Kampung Babagan terdapat sebuah tempat sembahyang leluhur yang bernama Klenteng Gie Yong Bio. Klenteng Gie Yong Bio diperkirakan dibangun sekitar tahun 1780.

Keistimewaan dari Klenteng Gie Yong Bio adalah altar khusus yang diperuntukkan untuk memuja para pahlawan nasional Lasem. Usai melewati deretan dinding keramik yang tintanya sudah memudar di ruang tengah, saya melangkah ke ruang samping di mana diletakkan sebuah kimsin Raden Panji Margono. Altarnya terlihat sederhana, patungnya diberi pelindung atap limas, serta payung diberdirikan di samping altar. Lalu sosok Raden Panji Margono pun tetap digambarkan sebagai seorang pahlawan yang mengenakan baju adat Jawa Tengah dan blangkon di kepalanya.

Raden Panji Margono sejatinya adalah penerus dari ayahnya, Adipati Lasem Tedjakusuma V. Namun beliau enggan, rela melepaskan keningratannya dan membaur dengan rakyatnya sebagai petani dan berdagang bersama Tionghoa Lasem. Kepemimpinan Lasem kemudian diberikan atas persetujuan Keraton Kartasura yang saat itu dipimpin oleh Sunan Amangkurat IV (bertahta 1719-1726) kepada Oei Ing Kiat yang kemudian diberi gelar Adipati Tumenggung Widyadiningrat. Oei Ing Kiat menjadi Adipati Lasem Tionghoa pertama sekaligus tokoh yang berhubungan dekat dengan Raden Panji Margono seperti layaknya saudara.

Setelah Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat menerima dan menampung kedatangan para pengungsi Tionghoa yang melarikan diri dari Batavia pasca Geger Pecinan tahun 1740, terjadi pergolakan di Pati dan Juwana serta menerima serangan dari kerajaan Madura. Raden Panji Margono bersama Adipati Tumenggung Widyadiningrat atau Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie dibantu para pejuang koalisi Tionghoa-Jawa Lasem yang lain dikisahkan melakukan pemberontakan melawan VOC di Lasem. Malangnya bala bantuan yang diharapkan tidak segera tiba. Satu-persatu dari mereka gugur di medan perang dengan hasil akhir kemenangan VOC.

Oei Ing Kiat dimakamkan di Gunung Bugel, bekas tempat laskar Lasem mengatur siasat peperangan. Sedangkan Raden Panji Margono bersama abdinya yang setia bernama Ki Mursodo dan Nyai Karminah dimakamkan di Desa Dorokandang. Makam para pahlawan tersebut nyaris dilupakan selama beberapa dekade. Pengaruh kolonialisme Belanda yang tidak mengharapkan warga Lasem kembali termotivasi semangat juang pahlawan mereka sempat mengaburkan catatan sejarah tersebut.

Disusul era orde baru yang kurang menyenangi adanya kerukunan antar etnis dan antar agama di Indonesia. Untungnya kondisi makam Raden Panji Margono kini telah dipercantik, telah diberi pagar batas dan beralaskan keramik yang memberikan suasana nyaman untuk bersimpuh dan berdoa para peziarah. Hal tersebut diikuti oleh perbaikan beberapa makam para pahlawan Lasem yang tersebar di beberapa desa.

Dari napak tilas singkat Raden Panji Margono di Klenteng Gie Yong Bio dan mengunjungi makamnya di Desa Dorokandang, saya jadi menaruh rasa penasaran dengan kisah awal perjuangan Oei Ing Kiat dan pahlawan nasional Lasem yang lain. Matahari terlanjur keburu tenggelam. Terpaksa mengakhiri perjalanan dan berangan-angan menginjakkan kaki ke Lasem lagi untuk menepati janji yang tertunda.

Save our heritage. 😉

41 Comments Add yours

  1. dwisusantii says:

    Mas halim berhasil menjelajah dari klenteng satu ke klenteng lainnya yang kesemuanya apik. Arsitekturnya bikin terkagum.
    Mas, kalau pingin masuk klenteng bisa? Apa ada waktunya pas nggak ganggu ibadah?
    ku belum pernah pasti cuma lewat depan gerbang.

    Iyaa setuju,
    sama aja mengulang era orde baru kalau hari gini masih memperkeruh kerukunan antar etnis dan antar agama di Indonesia.

    1. Klenteng boleh dimasuki siapa saja kok. Masuk saja dipersilakan, kalau sungkan ya minta izin ke penjaga di sana terlebih dahulu. Mau bikin acara kumpul di sana juga ada ruang khusus. Pada dasarnya klenteng tempat ngumpul satu suku atau rumpun, tidak khusus sebagai tempat beribadah seperti vihara. Sayang istilah klenteng dan vihara terlanjur terlalu samar jadi sering disalahartikan. 🙂

  2. Wah berarti aku memang salah ya, kukira patugng Raden Panji Margono itu di Cu An Kiong. Ternyata d Gie Yong Bio.
    Pantes pas masuk Cu An Kiong tak goleki gak ono hehe.

    Aku baru masuk Cu An Kiong nya, belum dua lainnya. Itupun wes membuat menganga. Doh ukirannya cantik. Detil dan makna filosofisnya pasti aku ga mudeng hehe

    1. Hohoho biasanya yang diperkenalkan pertama kali memang Cu An Kiong karena yang berusia paling tua di Lasem. Gie Yong Bio istimewa karena ada altar khusus Raden Panji Margono. Brarti awakmu kudu mbaleni maneh ke Lasem buat napak tilas Raden Panji Margono, Jo. 😀

  3. Hendi Setiyanto says:

    kalau dikelola dan ditata sedemikian rupa, Lasem ini mirip sama George Town, Penang,,,,kalau ga salah, malah mungkin lebih kaya lagi di Lasem

    1. Akhir-akhir ini mulai banyak investor yang tertarik mempertahankan bangunan lama dan mempercantik Lasem sebagai destinasi wisata kota tua di Jawa Tengah. Diramalkan Lasem akan tampak indah dan nyaman bagi wisatawan seperti di Georgetown dalam beberapa tahun lagi. Yah semoga lancar aja doanya. 🙂

  4. rajin ke klenteng oee…..masih terawat yang ada di parakan ya..he he he temanggung tetep pokok e

    1. Klenteng Parakan masih masuk wishlist, kak Charis. Suk yen mlipir Temanggung, awakmu kudu ngancani mrono yes. 😀

  5. mas halim kalau dari solo terus jelajah lasem selama 1 hari pp bisa gak. apa butuh 2 hari satu malam

    1. Satu hari pp terlalu mepet, habis waktu di jalan. Bisa kalo nyampe pagi hari langsung susur lorong-lorong di sana tanpa masuk ke rumah dan bangunan bersejarah di Kampung Karangturi dan Babagan, trus pulang. 🙂

  6. aku nggak nyangka kalo Lasem nyimpen sejarah banyak banget. aku taunya Lasem cuma salah satu tempat yang dilewati bus Semarang-Surabaya. itupun karena aku dulu suka koleksi karcis bus. jadi cuma sekadar tau ada tempat bernama Lasem.
    apik apik koh!

    1. Lasem termasuk salah satu tempat yang nggak ada habisnya dikuak. Nggak luas, tapi seru dan betah lama tinggal di sana. Dari Babat ke Lasem ada kendaraan umum langsung atau kudu oper sik?

    2. naik bis semarangan langsung, koh.:)

  7. Yes, save our heritage.

    Jadi nggak sabar buat ke Lasem. Dari ketiga klenteng di atas, memang Cu An Kiong yang tampil paling megah dengan ornamen dekorasi yang rumit di fasadnya ya.

    1. Lasem mulai mengeliat. Mulai banyak bangunan bersejarah dan rumah dengan pemilik yang siap menerima kunjungan. Beberapa tahun ke depan akan ada homestay, rumah makan baru yang telah direncanakan para investor juga. Cu An Kiong paling berkharisma, mesti berkunjung ke sana, Nugi. Tapi jangan lupa minta izin terlebih dahulu jika ingin mengambil gambar. 🙂

    2. Oh i see, harus izin dulu ya.

      Mudah-mudahan pariwisata Lasem terus maju tanpa meninggalkan perawatan ya 🙂

  8. damae53 says:

    Wah, destinasi wisata yang keren. Kaya akan toleransi

    1. Hubungan antar umat beragama di Lasem sangat harmonis, jauh dari kata perselisihan. Itu hal yang bikin betah pengunjung untuk tinggal lama di sana. 🙂

  9. GUS BOLANG says:

    mas numpang tanya … bisa ya mas kita foto foto klenteng ? takut soalnya mas pas ke sana gak boleh jeprat jepret

    1. Boleh banget. Tapi ada baiknya minta izin terlebih dahulu ke penjaga di sana dan jaga kesopanan. 🙂

  10. Ikrom says:

    wa sejarah sunan Bonang
    ini aku juga suka sejarah bandar2 pas penyebaran islam oleh wali songo
    pingin gitu menjejaki daerah Tuban-Rembang, tapi kapan haha
    sejarah orang2 Tinghoa ini banyak yang belum tau lho.
    reportase menarik mas

    1. Semoga bermanfaat yah. Peradaban Lasem tidak bisa diabaikan begitu saja karena keren jika ditelusuri satu-persatu sebagai bahan studi. Yuk ke Lasem! 🙂

  11. Siswo says:

    Wah aku malah baru tahu daerah lasem…. Banyak peninggalan sejarahnya juga to…

    1. Banyak sisa peninggalan bersejarah di Lasem, Rembang. Mulai dari pra sejarah hingga persebaran ajaran Islam di Jawa serta perkembangan Tionghoa pasca Geger Pecinan 1740. 🙂

  12. andinormas says:

    Cu an kiong dari saya masih SD sampe sekarang ga berubah.. hehehe…

    1. Waaa pernah menetap di Lasem atau gimana, mas Andi? Kukira asal Jakarta hehehe. Asyik nih kalau bisa korek kelampauan Lasem dan sekitarnya dari yang pernah menyaksikannya dari masa ke masa.

    2. andinormas says:

      Bapak saya org Lasem.. setiap tahun biasanya pulang kampung ke Lasem.. hehehe…

    3. Asyikkk nih kalau bisa mendengar cerita Lasem dari sisi warga yang menetap di sana. 😀

    4. andinormas says:

      Iyaa.. rumah bapak saya deket bangeettt dari Cu An Kiong.. sering denger cerita juga dari nenek n sodara2 yg tinggal disana.. 😁

    5. Kapan mudik ke Lasem, mas? Ntar mampir ke sana ahh hahaha.

    6. andinormas says:

      Blm tau ni.. biasanya sih lebaran.. tapi kayaknya tahun ini ga ke Lasem dulu.. emg skrg staynya dmn mas?

    7. Saya domisili Solo sih, tapi ada rencana mau ke Lasem lagi ketika musim panas sudah bersahabat hehehe. Kalau ke Lasem pas musim hujan seperti akhir-akhir ini seringnya dapat suasana langit yang terlalu syahdu. 🙂

  13. lost in science says:

    Kesengsemlasem dahhh… gw mau kesanaaaaaaaa..

    1. Yokk buruan ke Lasem, sebelum Lasem jadi tambah ramai, mas. 😀

    2. lost in science says:

      Juli rencana kesana mas..

  14. rainhanifa says:

    Saya baru tahu kalau di Lasem ada obyek wisata menarik begini. Jadi makin penasaran 😀

    1. Masih ada peninggalan pra sejarah juga di Lasem dan sekitarnya. Beberapa sudah saya tulis, lainnya masih belum. Nggak cukup untuk melihat semua kekayaan Lasem dalam waktu sehari sampai dua hari saja. 🙂

  15. lost in science says:

    Cu An Kiong ini mirip sama Rumah Chandra Naya di Jakarta ya..

    1. Tipikal bangunan yang memakai ujung atap ekor walet. Konon arsitektur jenis itu lebih tua dibandingkan atap yang berbentuk tapal kuda. Kalau belum pernah ke Lasem mesti main ke sana biar puas pake banget lihat bangunan-bangunan tua di sana, mas. 😀

  16. Deddy Huang says:

    aku suka bangunan klenteng yang pertama. ornamennya masih detil.

    1. Ukiran pintu dan jendela kayunya Cu An Kiong sangat halus banget dan untungnya masih terjaga hingga sekarang. Warisan heritage Lasem yang patut dilestarikan. 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.