Raut muka pemandu saya menunjukkan ekspresi kebingungan setelah saya menyinggung lokasi Stasiun Lasem dan letak pastinya makam Raden Mas Panji Margono di Desa Dorokandang. Jika saya bisa membaca pikirannya, dia berpikir saya adalah pejalan yang kurang kerjaan atau mungkin disangka gila.
Umumnya para pejalan ingin menikmati deretan bangunan tua dan melihat langsung produksi batik tulis yang dibanggakan oleh Lasem, yang satu ini malah mencari jalur rel kereta yang sudah mangkrak lama dan kuburan. Ya, saya sudah gila, gila terhadap peninggalan masa lalu di suatu tempat yang seharusnya tidak dilupakan.
Tidak ada rencana pasti dalam perjalanan saya kali itu. Keinginan berkunjung ke Lasem untuk kali kedua pada awal bulan April 2017 lalu seolah mengalir begitu saja. Pun tidak menaruh harapan besar untuk memperdalam apapun, hanya ingin menemukan tempat dan pengalaman baru sebagai bahan renungan. Namun akibat tanpa persiapan yang matang, saya terpaksa menahan lagi janji-janji yang belum bisa saya tepati untuk Lasem.
Lasem merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Memang kecil, tapi Lasem ibarat cabe rawit di masanya. Tercatat perdagangan opium pernah berkembang sangat besar pada abad ke-18 di Lasem. Pun dengan keberadaan hektaran ladang garam yang memberikan panen garam melimpah setiap tahunnya.
Rumah para saudagarnya boleh dibilang memiliki lahan sangat luas, bahkan rumah milik mereka dikabarkan memiliki bangunan yang lebih mewah dibandingkan rumah kapitan-kapitan Tionghoa yang pernah didirikan di kota-kota besar di Pulau Jawa. Interior dan eksterior rumahnya terlihat sangat indah di masanya.
Pada tahun 1881 hingga tahun 1910, salah satu perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda yang bernama Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij atau SJS membentangkan jalur kereta dari Semarang ke Cepu melalui jalur pantura atau pantai utara di Jawa bagian tengah. Jalur kereta yang dibangun oleh SJS dari kota pelabuhan itu terhubung dengan Demak, dilanjutkan menuju Kudus, kemudian Pati, Juwana, sampai Rembang.
Dari Rembang, jalur kereta ditarik lagi ke timur, melintasi Lasem lalu tersambung dengan Stasiun Jatirogo di Tuban (Jawa Timur). Tentu bukan tanpa sebab mereka memilih Lasem sebagai salah satu titik dibangunnya sebuah stasiun. Lagi, lagi, demi kelancaran pengiriman komoditas hasil bumi menjadi alasan mereka kala itu.

Pada awalnya kereta yang melintasi Stasiun Lasem hanya difungsikan sebagai alat pengangkut hasil bumi oleh pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan kereta api SJS. Tak selang lama, kereta mulai menarik gerbong-gerbong penumpang. Kereta menjadi pilihan jitu sebagai alat angkut yang mampu memboyong puluhan penumpang dari Lasem ke Semarang selama beberapa puluh tahun.
Sayang masa kejayaan kereta api di jalur tersebut meredup ketika jalan raya sudah ditutup aspal mulus dan mulai diramaikan oleh alat transportasi umum beroda empat pada tahun 1970-an. Satu-persatu penumpang lebih memilih alat transportasi yang dinilai bergerak lebih cepat dan tidak membuang banyak waktu perjalanan.
Akibatnya stasiun-stasiun yang telah dibangun oleh SJS mulai sepi penumpang dan ditinggalkan. Kini mereka sudah tidak berfungsi sebagai stasiun aktif lagi. Sebagian besar dari mereka sudah beralih fungsi. Bekas Stasiun Kudus di Kudus misalnya, telah menjadi sebuah pasar mengingat letaknya di tengah kota. Kemudian bekas Stasiun Rembang di Rembang malah dipakai sebagai terminal. Rel-rel kereta di sepanjang jalur yang pernah dilalui juga ditumpuk oleh aspal. Mereka dianggap sebagai jalur kereta mati dan perlahan dilupakan.
Lalu bagaimana nasib Stasiun Lasem di Lasem? Dari kejauhan saya hampir luput mengetahui keberadaannya. Maklum, halaman depannya dipenuhi oleh puluhan kendaraan besar seperti truk-truk pengangkut alat berat yang entah sudah menginap berapa malam di sana. Hujan semalam mengakibatkan tanah di sana becek, lumpur menempel dengan bandel pada sandal yang saya kenakan. Kaki harus melangkah dengan hati-hati supaya tidak terperosok dalam kubangan.
Rel kereta di sepanjang jalan menuju stasiun sudah tidak ada sisanya lagi. Saya hanya melihat patok-patok yang dipasang oleh PT KAI di perbatasan Desa Babagan menuju Desa Karaskepoh. Bekas jembatan kereta api yang menghubungkan kedua desa itu telah ditumpuk aspal supaya bisa dilalui oleh warga di sana.
Stasiun Lasem dibangun dengan arsitektur indish yang diberi sedikit sentuhan aksen Tionghoa. Meski terlihat kusam, bangunan utama stasiun yang terletak di Desa Dorokandang itu masih memancarkan kharismanya. Lengkungan di atapnya menjadi ciri khas yang tidak dijumpai di stasiun manapun.
Pintu masuk bangunan utamanya dibikin melengkung. Lalu persis di sebelah daun pintunya terdapat bekas lubang loket yang terbuat dari kayu tebal. Sayangnya saya tidak bisa mengintip apalagi masuk ke dalam ruangan tersebut. Pintu-pintu sudah ditutup rapat, jendelanya juga dilapisi kayu tipis sehingga tidak bisa diintip dari luar.
Malah tersiar kabar tidak menyenangkan terkait hal-hal mistis pernah terjadi di ruangan tersebut. Entah cerita yang mengada-ada supaya Stasiun Lasem tidak dijahili warga atau memang aura yang tertinggal di dalamnya terlalu kuat. Ahh, yang jelas laku manusia lebih menakutkan daripada zat yang tidak tampak itu. Buktinya, bangunan kamar mandi di belakang bangunan utama sudah dalam kondisi setengah rubuh, dibiarkan begitu saja. Belum ada kesadaran dari warga Lasem untuk menjaganya.

Siang itu saya kembali memandangi emplasemen memanjang di Stasiun Lasem. Bangku panjang reyot yang sengaja diletakkan di sana memberi saya kesempatan untuk berimajinasi. Sejenak saya memejamkan mata, merenung dan membayangkan seperti apa keramaian dan gairah Stasiun Lasem puluhan tahun silam. Lasem, oh Lasem.
Sekarang itu cagar budaya atau sekadar bangunan tua begitu saja?
Setahuku bekas Stasiun Lasem masih sekedar bangunan tua, belum jadi cagar budaya di Kabupaten Rembang. Yang sudah diresmikan jadi cagar budaya adalah situs yang berusia lebih tua darinya, seperti perahu kuno di Punjulharjo dan Situs Plawangan.
Jiahh nemu aja Lim yang kayak gini. Padahal kalau itu dipugar, atau paling gak dibersihkan dan dirawat, perlahan aura mistisnya juga bisa berkurang. Eman-eman banget
Bekas Stasiun Purworejo di Purworejo sudah jadi museum mini, lalu bekas Stasiun Maguwo Lama yang dulu terlantar malah jadi bersih dan drawat oleh komunitas di Yogya. Keduanya jadi lebih enak dipandang dan dimasuki. Entah kapan bekas Stasiun Lasem ini menyusul nasibnya. 🙂
Waaah ndisiki. Aku kemaren ngomong sama mas pop kalo mau kesini, eh ga sempet -_-
Karena lama di batik kidang mas.
Padahal incaran utama ku ini 😀
Miris ya, seharusnya bisa dirawat. Malah mangkrak dan kayak hampir rubuh.
Tapi konon kabarnya, warga pantura merindukan kembali kehadiran rel kereta mas, entah alasannya apa. Bahkan ada yg mendukung kalo ada reaktivasi jalur ini, termasuk yg berdagang di stasiun kudus.
Tapi untuk saat ini, reaktivasi jalur ini kayaknya hampir mustahil bagi PT KAI. Soalnya jalurnya sudah banyak yg hilang sama sekali.
Jalur kereta mangkrak yang melintasi pinggir jalan raya pantura kini rasanya mustahil dikembalikan seperti semula, ntar jadi biang kemacetan hehehe. Kecuali kalau PT KAI ingin membuat jalur baru masuk ke perkampungan dan persawahan yang masih dalam wilayahnya. Masalah penggusuran rumah-rumah liar yang terlanjur nempel di lahan milik PT KAI saja masih jadi persoalan serius yang belum usai, sehingga stasiun-stasiun mati masih begitu saja nasibnya. Yok balik Lasem maneh, Jo. 😀
wah atapnya serem. sewaktu waktu bisa rubuh 😦
Huum, bisa jadi atap yang tiba-tiba jatuh itu disangka warga sekitar bentuk kejahilan dari penunggu di sana. Hahaha. Memang sih nggak banyak warung-warung liar nempel di sekitar stasiun, hanya satu sampai dua warung saja. Baguslah kalau mereka jadi ketakutan gegara godaan dari penunggu stasiun. 😀 😀
Cakep nih. Padahal ekonomi Lasem bisa naik kalau jalur kereta api ini dijalankan setidaknya untuk wisata…
Lasem sedang menggiatkan wacana untuk mengangkat desanya sebagai warisan UNESCO. Jika diimbangi dengan perawatan Stasiun Lasem oleh PT KAI atau komunitas di sana alangkah lebih baik lagi, kan? 🙂
Kenapa yang lama sering dilupakan?
Tapii kalau mas halim yang “lama” selalu dalam perhatikan kok ya. *eh
Mas, di lasem ga ada semacam komunitas Roemah Toea laiknya di Jogja?
Supaya paling tidak ke depannya ada kepedulian dari kalangan muda untuk ikut “merawat”.
Yang “lama” tetap di hati kok. Kenangan selalu dijaga agar bisa diingat-ingat lagi kalau suatu hari nanti clbk. #halahhh
Komunitas dan pokdarwis di Lasem masih punya masalah intern sehingga sebagian dari mereka belum memikirkan perawatan apalagi ringan tangan untuk membersihkan yang terlantar. Mudah-mudahan mereka segera tercerahkan bahwa memajukan suatu destinasi itu tak hanya mengenalkan saja, langkah berikutnya seperti turun tangan peduli merawat bangunan terlantar harus dilakukan. 🙂
Kdg biar jd cerita yg unik…kita harus “melenceng” dr org kbnykn, trmsuk dlm menulis sbuah destinasi….aku pnginnya krta2 api yg jalurnya sdh mati, bsa dihidupkan kmbli
Asikkk, Hendi memahamiku. 🙂
Sepertinya akan ada angin segar bagi jalur kereta mati rute Temanggung-Wonosobo dan Purwokerto-Banjarnegara. Mudah-mudahan bisa jadi jalur kereta wisata yang semakin mengundang minat wisatawan untuk mempelajari masa kejayaan hasil bumi di Jawa dan merenungi perjuangan ribuan tenaga kerja pribumi yang dulu dikerahkan untuk membangunnya. 😉
Dpt angin dr mna? Smga bnrn…
Angin dari pegunungan. LOL.
takutnya cuma kabar-kabur tok…
aku koq belum pernah ya menginjakan kaki di Rembang mengetan ….banyak sejarah keren padahal kalau kesana
Peradaban Lasem berkembang pesat ketika di bawah kekuasaan Majapahit. Lasem bersaing dengan Tuban sebagai bandar pelabuhan besar kala itu. Ditarik lebih jauh lagi, ada banyak peninggalan zaman Megalitikum di bukit-bukitnya. Nah, kurang keren apa coba? Yok ke Lasem. 🙂
Stasiun Lasem tidak ada yg mengurus jadi terbengkalai ya Mas.
Banyak stasiun mati yang mangkrak di Jawa, Fajrin. Untungnya bekas Stasiun Lasem ini termasuk yang bersih, tidak ditempeli rumah liar apalagi sampai dibikin pertokoan nggak resmi. Tinggal menunggu langkah PT KAI mau diapain bekas Stasiun Lasem tersebut.
Ini bangunan sepertinya pernah diunggah Komunitas Roemah Toea di Instagram ya mas kalau nggak salah?
Yen di Instagram sepertinya belum diunggah Komunitas Roemah Toea, mungkin yang Sitam lihat unggahan di salah satu forum di FB. Next trip arep berburu Stasiun Jepara ama bekas lokasinya Stasiun Mayong. 😉
jos tenan nemu ginian kamu. hla makame RM Panji Margono mana, Lim?
Wingi bar napak tilas Stasiun Kudus juga, kurang Stasiun Pati ama Juwana. 😀
Cerita Raden Panji Margono di tulisan selanjutnya ya hihihi.
Alun2 lasem belok kanan dr rembang ada komplek bong pay bagus. Tembus sampai stasiun pamotan.
didekat situ jg ada bangunan indis besar terkenal yg bentuknya hampir menyerupai perpus rembang yg jg bangunan lwas. Lokasinya tersembunyi di perkampungan.
Nemu bekas rerubtuhan kerajaan d rembang gk? Kata temenku ada bekasnya
Wahhh kelewat berburu yang itu, Prim. Kode disuruh balik lagi buat cari kompleks bong pay ama bangunan indis yang dirimu maksud nih. Reruntuhan kerajaan Lasem masih samar, dulu pernah ke bukit yang ada sisa megalitikum dan sebuah sumur dengan bentuk era Majapahit.
Ini keren banget sih, belom nemu ini stasiun pas ke Lasem. Sayang ditinggalkan. Padahal bisa jadi tempat menarik buat belajar sejarah perkeretaapian indonesia.
Bekas stasiun-stasiun tidak aktif bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik atau museum terkait sejarah kereta api di daerah tersebut. Tinggal mnunggu kejelian dari PT KAI untuk mengelola Stasiun Lasem lebih baik mumpung Lasem sedang mengeliat. 🙂
Terlihat instagramble sebetulnya, sayang mangkrak ya. Ah semoga KAI segera menyadari kalau bangunan tua ini aset juga.
PT KAI sudah ada badan khusus yang mendata bangunan cagar budaya sepanjang jalur kereta mati di Indonesia. Mudah-mudahan sih dalam waktu dekat selain membangun jalur kereta baru di kota-kota besar, mereka juga sigap dalam penanganan heritage kereta api di seluruh Indonesia. 🙂
Ga boleh diusik keasliannya mas kalo kata plangnya PT KAI tadi. Jadi warga sekitar jg ga boleh memperbaiki yg mau roboh td dong.. 😅
Hahaha sudah masuk cagar budaya PT KAI, tapi kalau warga ada yang peduli merawat (bukan mencuri) mestinya dimaklumi dan sah saja. Kalau mendirikan rumah tak resmi di lahan PT KAI ya pastinya wajib digusur biar areanya bersih dan rapi seperti semula. 😀 😀
Saya baca ini sebenarnya kemarin sore sore pas habis berkunjung ke lawang sewu dan nonton video stasiun-stasiun dan jalurnya pas jaman dulu. Dan itu bikin melongo terkagum kagum wkwk. Hih ternyata sekarang jadi seperti ini ya 😦
Semoga yang semacam komunitas atau pokdarwis itu, ya segera lebih extra lagi melakukan penjagaan dan perawatan.
Tapi tetep ya, setiap tempat “merana” begini selalu ada kisah yang menarik. Apalagi ini sama Mas Halim dikemas secara menarik juga. 😍
Ahaa Museum Lawangsewu menjelaskan semua jalur kereta milik NIS dan maskapai kereta yang pernah ada di Hindia Belanda. Sayang banget kan kalau lihat kondisi mereka sekarang terabaikan, kadang masih dalam sengketa lahan, dan hal ironi lain. Tetap terus berharap kepada kepedulian PT KAI terhadap stasiun-stasiun dan jalur kereta mati peninggalan generasi terdahulu. Juga mendapat ruang perhatian yang cukup kini oleh warga yang merasa membangun rumah atau menempati lahan sengketa agar segera pindah. 😀
Hm ya ya, jadi pengen nonton video itu lagi. Kemarin keburu 😂
Iyaa sayang banget, dan mungkin kalau pindah itu susah juga ya 😂
Ah semua termakan waktu,
Tapi, ya bagus juga ya misalkan benar benar di aktifkan lagi.
Ikut prihatin juga melihat kondisi bangunan lama yang merana kayak begini ini. Lalu yang tersisa hanya cerita tentang kejayaan-kejayaan masa lampau….
Sementara ini belum ada aksi nyata dari pihak yang peduli. Masih menyuarakan sambil menunggu waktu yang tepat untuk mempertahankan bangunan-banguann terlantar semacam ini. Padahal kelak nasib bangunan-bangunan bersejarah itu sama berharganya seperti generasi sekarang memandang kemegahan candi-candi sisa peninggalan kerajaan Hindu-Buddha, kan? 🙂
Koh, ndak mau nyoba ke stasiun di sepanjang jalur semarang-cepu? kayaknya seru tuh… 😀
Nahhh itu masih dalam agenda. Mungkin setelah budget terkumpul akan menyusuri sepanjang jalur tersebut. 🙂