Berdamai dengan Alam di Desa Ekowisata Pancoh

“Saya dan warga di sini tidak pernah menyangka kalau desa kami laku dijual, mas,” ujar Pak Purwadi selaku kepala Dusun Pancoh mengawali cerita bagaimana desanya bisa dikukuhkan sebagai sebuah desa ekowisata. “Kami dibantu oleh LSM yang mendampingi kami pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2012 lalu. Mulai dari situlah Pancoh dikukuhkan sebagai desa ekowisata dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan UGM,” lanjutnya.

Dari cerita yang dipaparkan berikutnya, saya jadi tahu bahwa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang beliau maksud telah pindah ke Flores. Mereka sudah membiarkan warga Pancoh jalan sendiri sambil melakukan pembenahan demi pembenahan secara mandiri supaya desanya terlihat menjadi lebih baik.

Menjual desa yang dimaksud bukan berarti warga di sana menyewakan hektaran lahannya kepada investor asing seperti masalah serius yang sering terdengar dari beberapa daerah wisata. Konsep terbentuknya sebuah desa ekowisata bagi Pancoh justru menjual dalam arti mengenalkan potensi desanya supaya menarik perhatian dan didatangi oleh para wisatawan.

Rumah warga disiapkan sebagai homestay yang layak disinggahi oleh wisatawan yang hendak menginap. Lalu pintu kebun salak milik warga dibuka lebar-lebar agar pengunjung bisa belajar tentang salak sekaligus membelinya sebagai buah tangan. Terdengar tak ada yang dirugikan, toh? Dusun jadi terkenal,  tidak lagi dianggap sebagai dusun tertinggal, dan ekonomi warga ikut meningkat.

Sebelum saya mendengar langsung cerita dari Pak Purwadi tentang awal terbentuknya Desa Ekowisata Pancoh, saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam trip #EksplorDeswitaJogja yang mendapat dukungan dari Forkom Desa Wisata Yogyakarta memulainya dengan sarapan di Pendopo Ngudi Utomo.

Pak Noto dan Pak Ngatijan, pegiat Pokdarwis Desa Ekowisata Pancoh sudah menunggu kami di sana. Teh hangat, jadah yang dibungkus daun pisang, tempe bacem, dan wingko berbahan baku buah salak menjadi suguhan yang menghangatkan bagi kami bersembilan pagi itu.

Usai menikmati sarapan, kami diajak melihat potensi yang dimiliki oleh Pancoh, bukti kenapa desa ini layak disebut sebagai sebuah desa ekowisata. Perlu diketahui bahwa Dusun Pancoh yang terletak di Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta sudah dikenal sebagai daerah penghasil salak sejak tahun 1980-an.

Dari hasil kebun Salak Jawa yang punya rasa sepet itu dinilai kurang disukai pembeli, petani di sana mulai membudidayakan Salak Pondoh. Munculnya Salak Pondoh yang lebih manis daripada Salak Jawa langsung disukai oleh pembeli dari Yogyakarta maupun luar kota. Seketika Salak Pondoh dari hasil kebun di Pancoh dan desa di sekitarnya di Kecamatan Turi menjadi terkenal.

Kesuksesan Salak Pondoh diikuti dengan pengembangan bibit Salak Madu hingga Salak Gading, varietas salak yang punya nilai jual lebih tinggi. Jika Salak Pondoh diberi harga Rp4.000/ kilo, Salak Madu memiliki harga Rp7.000 – Rp8.000/ kilo, sedangkan Salak Gading yang berkulit warna kekuningan dipatok dengan harga Rp15.000/ kilo.

Saya sendiri lebih suka dengan Salak Madu yang meninggalkan rasa manis di rongga mulut dan buahnya tidak masir atau tidak terdapat butiran halus seperti pasir yang melekat pada permukaan biji. Tentu pengungkapan enak dan tidak enaknya rasa dari semua varietas salak di sana sesuai dengan selera masing-masing individu.

kebun salak di Desa Pancoh
kebun salak di Desa Pancoh

Beruntung pagi itu kami berkesempatan memasuki salah satu kebun salak milik warga. Di sana seorang petani salak menjelaskan proses pengawinan bunga salak. Pertama-tama diambil bunga jantan yang berbentuk seperti tongkol dengan serbuk merah melekat di sekelilingnya. Kemudian petani salak akan mengiris dan meletakkannya di antara bunga betina yang sudah dalam kondisi siap dibuahi (dua hari setelah mekar). Keduanya akan ditutup dengan daun pisang sebagai pelindung dari hujan agar serbuk dari bunga jantan tidak terbawa air hujan. Hasil pembuahan bisa dipanen dalam waktu 5-6 bulan.

Jika di tahun 2012 Pancoh menerima dampak dari bencana erupsi Gunung Merapi dan sempat membuatnya terpuruk, pembentukan desa ekowisata jadi solusi terbaik untuk membangkitkan kembali semangat warga setempat. Dusun Pancoh kembali menghadapi cobaan dari alam ketika hujan abu dari letusan Gunung Kelud yang terjadi pada tahun 2014 menguyur sebagian wilayah D.I. Yogyakarta.

Panen salak di Pancoh kala itu mengalami kegagalan. Buahnya jadi cepat busuk karena panas dari abu vulkanik yang menutupi seluruh tanaman selama berhari-hari. Namun di balik kehendak alam yang tidak bisa dihindari oleh manusia tersebut, tanah di sana diberkahi alam menjadi lebih gembur, kembali menghasilkan buah salak segar yang diburu oleh para pelanggannya.

“Hingga saat ini pun masih ada warga yang mempertanyakan apa untungnya dari terbentuknya desa wisata ini,” curhat Pak Purwadi yang kini menjabat sebagai pembina Pokdarwis dan Pengelola Ekowisata. Tidaklah mudah baginya dan pegiat yang lain di awal untuk meyakinkan beberapa warga di sana supaya membuka pintu rumahnya sebagai rumah singgah bagi wisatawan.

Waktu bermalam di Pancoh, saya mendapatkan homestay yang pemiliknya (mas Didik dan mbak Ana) sudah terbuka dan lancar berkomunikasi dengan tamunya. Percakapan kami mengalir begitu saja ibarat sedang bertemu saudara jauh yang sudah lama tidak jumpa. Keramahan mereka, kamar yang bersih dan makanan lezat yang disediakan oleh mereka sudah lebih dari cukup bagi saya untuk menilai kearifan lokal di Pancoh.

Selain penawaran petik salak di kebun salak dan ketersediaan rumah singgah, Desa Ekowisata Pancoh juga mengembangkan aktivitas susur sungai diikuti dengan ragam permainan dan kegiatan outbound yang bisa dipesan sebagai paket untuk rombongan melalui Pak Ngatijan di nomor telepon 081802652540 atau Bu Menuk di nomor telepon 081328002856. Juga bisa menghubungi mereka melalui email: pancohdesaekowisata@gmail.com. Intip pula aktivitas mereka melalui IG: @desaekowisatapancoh

Susur sungai menjadi salah satu aktivitas yang ditawarkan ketika singgah di Desa Ekowisata Pancoh. Semula pesona sungai tersebut diabaikan dan belum dimanfaatkan sebagai salah satu daya tarik Dusun Pancoh. Warga setempat hanya menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa karena melihatnya setiap hari, lupa bahwa itu bisa menjadi luar biasa bagi yang belum pernah melihatnya.

Saya termasuk yang menganggapnya luar biasa, apalagi Pak Noto dan Pak Ngatijan yang memandu kami bersembilan menunjukkan bekas jembatan rel kereta dari sebuah bekas pabrik gula yang terletak tak jauh dari Pancoh. Yes, langsung semangat ’45 untuk mencari tahu peta lama dan jalur kereta suikerfabriek yang pernah melewati Kecamatan Turi! 😀

Puluh meter susur sungai kami lewati sembari menikmati hamparan pohon salak dan pepohonan hijau yang masih rimbun di kanan kirinya. Airnya tidak dalam, lima belas sentimeter sampai tiga puluh sentimeter saja. Cukup untuk membasahi ujung celana pendek yang saya kenakan. Sesekali bebatuan besar menghambat perjalanan, pun lumut yang nyaris membuat kaki terpeleset saat melangkah melawan arus sungai. Selebihnya sungai Pancoh cocok menjadi tempat refleksi dan menenangkan jiwa yang lelah. Trek ini baru berakhir di pintu air dari sebuah embung atau waduk buatan yang dibangun pada tahun 2011 silam.

“Kebersihan sungai dijaga oleh Pokdarwis setiap dua minggu sekali, tapi untuk kebersihan lingkungan dusun dilakukan setiap hari Kamis oleh warga,” ungkap Pak Purwadi setelah saya mengutarakan kekaguman terhadap kebersihan sungai di sana. Dari obrolan dengan beliau, saya mendapatkan banyak kabar baik tentang keseimbangan Pancoh dengan alam.

Bukan kabar buruk saja yang akan didapat pasca sebuah bencana alam terjadi, justru itulah bentuk peringatan dari alam supaya mereka terus dijaga dan dilestarikan oleh manusia. Kebersamaan antar manusia ikut diuji saat itu. Jika bisa berdamai dengan alam, niscaya akan berhasil memunculkan semangat baru yang membawa hembusan angin segar dalam bentuk perubahan yang memajukan hidup orang banyak. 🙂

“Lestari alamku, lestari desaku.” – Desa Ekowisata Pancoh (26 Februari 2017)

40 Comments Add yours

  1. dwisusantii says:

    Terbukti sudah sepet itu bernilai mahal. Salak gading buktinya :p. Kann daripada yang manis-manis tapi senengnya buat nangis? *ikiopo

    Nah kan liat penampakan sungainya rasanya teringat lagi sejuknya, licinnya batu-batu kali. Yang terkesan di Pancoh selain sejuknya, salaknya, juga bener kata tulisanmu mas! orangnya ramah-ramah terus masakannya enakkk :)))

    1. Manis, tapi senangnya bikin nangis, ini kalimat jadi bikin kepo loh buat cari tahu siapa yang mbak Dwi maksud. Hahaha.

      Homestay di Pancoh kurasakan paling terasa homy banget selama trip Ekplor Deswita. Sambutan tuan rumahnya beneran seperti main ke rumah saudara dekat. Obrolan juga mengalir banget waktu itu. Trus jadi kepingin makan wingko salaknya lagi nih. 😛

  2. yahfin says:

    Bagus ni, desa jadi semakin maju plus semakin dikenal luas seperti desa kampung Nipah di sumatera utara yang berusaha memajukan desa melalui budidaya mangrove.

    1. Salut dengan desa atau kampung yang mau mengangkat potensinya sekaligus menjaga keseimbangan alam. Saya jadi penasaran dengan kampung Nipah yang dimaksud. Mudah-mudahan saat ada kesempatan terbang ke Sumatera Utara saya bisa mampir ke sana. 🙂

    2. hahaha. ngakak baca komennya mba dwi. manis2 bikin nangis. ya ampunn. ono2 wae

    3. Mbak Dwi memang pinter merangkai kalimat yang menjebak untuk curhat persoalan cinta-cintaan jee. Kudu ati-ati en setrong. Hahahaha.

  3. Hasil alam yang mengagumkan..Bisa jadi rencana jalan” nih..Utamanya buat metik tuh salak segar..Makasih kak infonya..

    1. Semoga bermanfaat, Silvi. Homestay yang nyaman sudah tersedia di sana jika memutuskan ingin bermalam dan meresapi keindahan alam Pancoh.

  4. mysukmana says:

    Karo salak pondoh kece ndi mas

    1. Rada kurang paham maksud komentar sampean. Coba beli dan cicip sendiri salak pondoh di Pancoh saja biar fokus baca kalimat-kalimat di atas. 🙂

  5. salak itu cuma bisa ditanam di dataran tinggi kah koh?
    setelah baca postingannya mas Nasirullah beberapa waktu lalu, aku nyobain cara mengupas salak. tapi jek gagal i. tanganku masih luka. untung tangan bukan yang lain

    1. Sepengetahuanku salak bisa tumbuh di ketinggian 500 mdpl. Pohon salak juga tidak menyerap banyak sinar matahari, harus ada pelindung yang membatasi sorotan matahari agar tidak gagal tanam. Penyerbukan bunga salak juga dibantu oleh campur tangan manusia supaya berbunga.

      Buahaha itu cara mengupas salak kok disambung ama luka yang lain loh. Coba konsultasi ama mbak Dwi, siapa tahu dia bisa bantu kasih pencerahan tentang luka yang lain itu. 😛

    2. luka yang lain tuh maksudnya luka di kaki, koh 😦
      ohh gitu yaa. yah berarti ra iso ditandur ning omahku 😦

  6. Bagi masyarakat lereng merapi, bencana itu mungkin mereka hanya sebentar. Namun berkah setelah bencana itulah yg patut disyukuri. Ladang2 pertanian menjadi subur dan hijau kembali. Salut sama mereka yg tetap bertahan turun temurun tinggal di kawasan rawan bencana.
    Apalagi dikembangkan menjadi desa wisata seperti ini, keterbatasan mereka tak sekalipun menghalangi kreatifitas merek 🙂

    1. Perubahan alam akibat bencana yang sebenarnya menjadikan alam lebih baik dari sebelumnya. Kadang malah berpikir apa iya penambangan pasir di kali-kali Gunung Merapi kelak akan berakibat fatal karena sengaja dikeruk oleh manusia secara besar-besaran, seolah melawan perubahan alam tersebut? Oh iya, Jo… di Kecamatan Turi juga terkenal dengan rumah doa dan retreat yang didirikan oleh para biarawati. Sopo ngerti besok minat mampir. 😀

  7. emang beda ya keramahan masyarakat Jogja dengan deswita lainnya. Mereka terbiasa ramah sama orang luar meski bukan tamu yang menginap 😀
    Iya. Kalau salak itu ancamannya malah abu vulkanik. kadang bisa bener2 ga panen, itu yang dialami deswita lereng merapi kebanyakan. Padahal masyarakat di sana bergantung pd kebun salak

    1. Komentar ini akan terdengar hakjlep bagi ibu Suri di sana hahahaha. Pernah mendengar kabar bahwa salak di Pancoh sempat booming setelah hujan abu, ada yang bilang kematangannya jadi nyaris sempurna setelah tertimbun abu vulkanik berhari-hari. Ehh jadi ngiler membayangkan sepet-nya salak di Pancoh, cah. 😀

  8. Hendi Setiyanto says:

    salak yang sepet sekarang sudah pada punah keknya, dulu punya kebun salak jawa, eh sekarang jadi bangunan2 dan rumah2 alias sudah dijual : (

    1. Mendengar cerita petani salak di Pancoh, mereka masih menanam Salak Jawa untuk mendapatkan bunga jantan yang kemudian akan dikawinkan dengan bunga betina hasil cangkokan. Supaya rasa buahnya seimbang antara manis dan sepet kali hehehe.

  9. Wahh Salah pancoh. udah lama gak makan salak langsung di kebunnya euy..
    hebat ya masyarakat desanya bisa bangkit kembali usai bencana..
    Salut buat ketegaran mereka!

    1. Salak langsung petik dari pohonnya seger banget, mbak Endah. Kalau mlipir ke Yogyakarta atau mau ke arah Gunung Merapi bisa mampir dulu ke Pancoh buat petik salak. 😉

  10. dinamars says:

    oh ini letaknya di Jogja ya… kapan-kapan dimasukkin ke travel itinerary saya deh kalau bertandang ke sana 🙂

    1. AYokk mampir ke Pancoh. Kalau ingin mengenal lebih dekat bisa menginap di homestay yang telah tersedia di sana. Ramah-ramah penduduknya, kujamin bikin betah dan nggak mau pulang. 😀

  11. susur sungai ne jooss…nek liat sing seger2 pingin langsung nyebur rame2 k

    1. Ditambah udara dingin desa di lereng Gunung Merapi, brrrr seger tenan. 😀 😀

  12. Wuih asyik banget metik salak dikebun nya langsung. Wah sungai nya segar banget Mas

    1. Salaknya boleh petik sepuasnya dengan membayar paket petik salak di sana. Bakal jadi kenangan yang tak terlupakan deh, asalkan jangan petik salak yang masih muda kalau nggak kepingin mulut kelu karena sepetnya ya. 😛

  13. Kalau mendengar harga salak dari jaman dulu ke jaman sekarang kok gimana gitu ya rasanya.
    Pancoh mempunyai objek seperti susur sungai dan camping ground yang bisa sedikit membedakan dengan desa wisata lainnya yang berada di sana,

    1. Harga salak pun mengikuti perkembangan zaman. Hahaha. Susur sungai Pancoh unik dan sukses jadi salah satu atraksi yang khas dari Desa Ekowisata Pancoh. 🙂

  14. setelah keseringan petik apel, aku masi penasaran cara metik salak itu gimana ya mas ?

    Ini jadi wisata edukasi yang beda dari biasanya, setelah ada petik apel, jeruk, jambu dan skg ada petik salak 😀

    1. Ada teknik khususnya agar tangan tidak kebeler duri halusnya buah salak. Bahkan pegiat pokdarwis mengajarkan cara mengupasnya dengan benar dengan menekan dan sedikit putaran, o la la langsung deh buah salak terkupas ujungnya tanpa bikin luka jadi. 🙂

  15. Iwan Tantomi says:

    Sleman memang pusatnya salak ya.
    Oya, pernah dengar salak pondoh gak? Sama nggak varietasnya dengan Pancoh? Kalau beda, enak mana ya?

    1. Pancoh dan desa-desa di Kecamatan Turi, Sleman telah mengembangkan salak pondoh dan salak jenis itu terkenal di sana. Kurang tahu dari mana mereka mendapatkan bibit awal salak pondohnya. Rasanya sih seger gitu, lebih seger lagi kalau dicicipi langsung di kebunnya. Hayuk Tom mlipir Sleman. 😀

    2. Iwan Tantomi says:

      Pernah ko, cuma ke Pancoh yang belum. Btw, emang kalau aku ke Sleman lagi mau ditemani nih?

    3. Siap menemani lah. Apa sih nggak bisa buat kaka Toms. 😉

    4. Iwan Tantomi says:

      Eh, nanti kujapri masukan by wa aja, ya, itu kalau berkenan. Kalau tidak ya tak masalah. Bebas.

  16. Ransel Usang says:

    sangat nyaman bisa berkunjung ke desa ecowisata ini,setelah puas menjelajah tentang berbagai macam salak,langsung dituntaskan main di kali

    1. Aktivitas ekowisata yang mengajarkan pengunjungnya lebih mencintai dan mau melestarikan alam. Yuk main ke Pancoh, kawan. 🙂

  17. cahyana says:

    mari berkunjung ke desa Ekowisata Pancoh heheh

    1. Pancoh selalu di hati 😀

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.