Jalur Spoor Tidak Aktif di Magelang

Untuk kali keempat saya kembali menyempatkan diri mengikuti acara Djeladjah Djaloer Spoor yang diadakan oleh Komunitas Kota Toea Magelang. Jika acara Djeladjah Djaloer Spoor sebelumnya selalu diselenggarakan pada bulan peringatan Hari Kereta Api yang jatuh setiap 28 September, tahun kelima justru mundur dari jadwal seharusnya.

Minggu (15 Januari 2017) pagi itu, saya dan kawan-kawan jelajah yang lain berkumpul di Area Kuliner Mertoyudan yang terletak di seberang Hotel Catur di Jalan Mayjend Bambang Sugeng, Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Setelah mas Bagus Priyana selaku koordinator acara mengabsensi semua peserta, pukul 08.00 WIB kami mulai berjalan menuju Stasiun Mertoyudan yang berjarak sekitar lima puluh meter dari titik kumpul.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemerintah Hindia Belanda pernah membangun jalur kereta Semarang – Ambarawa kemudian menghubungkan jalur tersebut hingga Yogyakarta. Setelah menyelesaikan jalur kereta dari Ambarawa menuju Secang pada akhir abad ke-19, mereka melanjutkan pembangunan jalur kereta dari Stasiun Secang terhubung dengan Kota Magelang hingga berakhir di Kota Yogyakarta.

Pembangunan yang mulai dikerjakan sekitar tahun 1898 membuahkan hasil jalur kereta diikuti pembangunan beberapa stasiun, halte dan stopplas mulai dari Stasiun Secang – Stasiun Kebonpolo – Halte Alun Alun Magelang – Stasiun Mertoyudan – Stopplas Jamponan – Stasiun Blondo – Stasiun Blabak – Stasiun Pabelan – Stasiun Muntilan – Stasiun Tempel – Stasiun Medari – Stasiun Sleman – Stasiun Beran – Halte Kricak – Stasiun Tugu Yogyakarta.

jalur kereta api Magelang
Jalur kereta api di Magelang 1903 (sumber kitlv.nl)

Nah, pada kesempatan Djeladjah Djaloer Spoor ke-5 ini peserta diajak berjalan kaki menelusuri jalur kereta di Kabupaten Magelang mulai dengan rute Stasiun Mertoyudan – Stopplas Jamponan – Stasiun Blondo – Stasiun Blabak. Sesampainya di depan bangunan Stasiun Mertoyudan di Mertoyudan yang bangunan awalnya dibangun oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS, mas Bagus mengeluarkan foto lama yang mengambarkan kondisi stasiun dan rel kereta aktif yang kini sudah berbeda jauh penampakannya.

Meski sudah diberi patok tanda kepemilikan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), kondisi Stasiun Mertoyudan yang berada di pinggir jalan raya antar provinsi D.I.Yogyakarta dengan Jawa Tengah sudah berhenti beroperasi sejak tahun 1976. Bangunannya masih tertutup untuk umum dan belum dirawat sebagaimana mestinya. Dua jalur relnya sudah ditutup oleh aspal. Beda nasib dengan Stasiun Bedono yang pernah saya lihat tahun lalu (baca tentang Stasiun Bedono di sini).

Seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya mengenai jalur spoor, hampir sebagian besar jalur kereta api di beberapa kota di Pulau Jawa mulai berhenti beroperasi sejak tahun 1970-an, termasuk jalur kereta dari Semarang – Yogyakarta. Alasan utamanya adalah penumpang mulai beralih menggunakan transportasi umum roda empat dan kendaraan pribadi roda dua, meninggalkan kereta api yang dinilai berjalan lambat.

Kereta api di jalurnya yang kaku dinilai kurang efisien. Mereka mulai ditelantarkan semasa PJKA (sebelum ganti nama menjadi Perumka dan PT KAI), stasiun-stasiun yang disebutkan di atas dianggap stasiun mati dan dibiarkan begitu saja selama puluhan tahun. Tak jarang bekas stasiun-stasiun mati itu dihuni oleh warga yang ujungnya kini berakhir dengan masalah sengketa lahan PT KAI.

Perjalanan dilanjutkan menuju Stopplas Jamponan melewati jalan kampung Desa Danurejo yang sepanjang jalur kereta sudah menjadi permukiman meski di depan rumah mereka sudah terpasang patok-patok milik PT KAI. Istilah Stopplas ditujukan ke perhentian kereta yang tidak memiliki bangunan permanen seperti halnya stasiun dan halte.

Sayangnya jejak Stopplas Jamponan tidak ada sisanya lagi, hanya menemui bekas tiang telegraf, railbaan atau ban rel dan rel buatan KRUPP (Jerman ) yang menyembul di sepanjang perjalanan. Tantangan berikutnya kami diajak berjalan melewati area persawahan menuju Stasiun Blondo. Hujan deras malam sebelumnya mengakibatkan pematang yang saya pijak sesekali nyaris membuat terpeleset. Untung pantat aman, cipratan lumpur di kaki saja yang menjadi oleh-oleh dari sana.

Setibanya di bekas Stasiun Blondo yang terletak di Mungkid, Magelang, kami disambut oleh Pak Muhni Atmaja yang menghuni bangunan tersebut. Kondisi stasiunnya sudah menjadi hunian warga, bahkan tampak luar sudah tidak terlihat seperti bekas stasiun lagi. Cuma menyisakan satu jalur rel kereta di depannya serta bekas rumah dinas kepala stasiun, tempat kami beristirahat sejenak dan mendapat suguhan snack. Dari Pak Muhni, kami mendapat secuil cerita tentang kecelakaan kereta yang pernah terjadi di dekat Jembatan Sungai Elo ketika awal tentara Jepang masuk dan menguasai wilayah Magelang.

Kisah itu diceritakan kembali oleh Mbah Khomsin (80 tahun) yang kami jumpai di rumahnya di Dusun Blondo, Desa Blondo. Beliau masih mengingat dengan jelas kondisi tabrakan maut yang terjadi pada tahun 1943 tersebut. Adanya kekeliruan perintah yang dilakukan oleh salah satu pegawai Stasiun Blabak mengakibatkan kereta dengan gerbong penuh dari Stasiun Blabak melaju dengan cepat menuju Stasiun Mertoyudan, padahal di saat yang sama ikut diberangkatkan kereta dari Stasiun Mertoyudan menuju Stasiun Blabak.

Tabrakan antara dua kereta tersebut pun tak bisa dihindari lagi. Setelah melewati Jembatan Sungai Elo keduanya bertabrakan dan memakan banyak korban jiwa. Tidak ada catatan angka yang menyebutkan berapa jumlah korban kecelakaan itu, saya dan peserta yang lain hanya bisa membayangkan sendiri puluhan atau bahkan ratusan korban dari gambar repro mengenai tabrakan maut yang dibawa oleh mas Bagus Priyana.

Di perjalanan dari Jembatan Sungai Elo menuju Stasiun Blabak, saya dihadapkan oleh rimbunan pohon jati dan bentangan persawahan lagi. Entah berapa kilometer saya sudah berjalan, yang jelas sepasang kaki ini sudah dipaksa melangkah selama kurang lebih empat jam. Tiba di Stasiun Blabak, jarum pendek jam tangan sudah menunjukkan angka satu.

Bekas Stasiun Blabak yang punya letak berdekatan dengan bekas PT Kertas Blabak sudah beralih fungsi sebagai warung makan, bentuknya sudah mengalami perubahan yang tidak bisa dikenali lagi. Dari sana kami kembali berjalan menuju Permandian Mudal yang sejarah bangunannya sudah ada pada masa Hindia Belanda dan mata airnya punya kaitan erat dengan Sri Susuhunan Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. (Tulisan tentang Permandian Mudal akan saya tulis di artikel terpisah)

Bagi sebagian orang mungkin kegiatan ini dianggap selow banget, ngapain dibela-belain datang jauh jauh ke Magelang hanya untuk telusur jalur kereta mati yang sebagian jejaknya sudah hilang ditelan pemukiman warga dan persawahan? Bagi saya pribadi justru inilah cara untuk menjadi salah satu saksi perkembangan jalur transportasi terutama jalur kereta loko yang pernah berjaya pada masanya.

Bisa jadi beberapa tahun atau puluh tahun mendatang jalur kereta tersebut dinyatakan lenyap dari permukaan tanah. Atau barangkali jalurnya akan dihidupkan lagi oleh PT Kereta Api Indonesia sebagai jalur kereta wisata. Berarti saya punya gambar sebelum dan sesudah yang bisa ditunjukkan dan diceritakan ke generasi penerus. Tak ada salahnya memahami perkembangan dunia perkereta apian ibarat mengikuti perkembangan teknologi gawai mulai dari model qwerty hingga touchscreen, kan?

Save our heritage. 😉


Note: Beberapa informasi disadur dari Kota Toea Magelang dan http://blusukanjalurmati.blogspot.co.id/2017/01/djelajah-djaloer-spoor-5-bersama-kota.html

31 Comments Add yours

  1. Aku jadi tertarik mengenai keberadaan rel sepur di Jepara. Beberapa bulan kemarin ada teman yang memposting foto stasiun di Mayong, Jepara. Sepertinya harus ditelisik lebih dalam 🙂

    1. Kabupaten Jepara punya Stasiun Pecagaan dan Stasiun Mayong sebelum menuju ke Stasiun Demak. Yokk ditelusuri bareng, koyoe seruuu.

      Stasiun Mayong juga salah satu stasiun keren di masanya loh, Sitam. Pakai bahan bangunan dari kayu jati besar-besar dan masih bertahan hingga sekarang di MesaStila, Magelang hehehe.

    2. rizan says:

      monggo om, sapa tahu bisa jadi referensi.. hehe

      https://cahsepur.com/2012/10/16/stasiun-mayong/

    3. Joss iki referensi dari master sepur. Catet sik! 😀

  2. Satya Winnie says:

    Ah, jalur spoor ini memang selalu menarik buat diulik ya Lim. Aku datang ke Solo kita harus jalan-jalan ke sini ya 😉

    1. Siap jadi guide kalo ke Solo, tapi kalo mau telusur jalur sepur di Magelang ntar kuminta bantuan teman di sana biar lebih seru lagi jalannya, nggak pake nyasar. 😀

  3. Alid Abdul says:

    Aku kapok wakaka

    1. Dirimu jadi peserta paling uadoh dewe loh, Lid. Mesti bangga sik, opo maneh oleh konco anyar sing ngajaki kenalan. 😀

  4. dwisusantii says:

    Waa andai sekarang masih ada jalur spoor jogja semarang ya mas 🙂 aku kan pingin nang semarang. Wkwk.

    Eh iya kan rencananya entah kapan, jalur kereta jogja-magelang mau dibangun lagi buat mempermudah akses terutama menjangkau wisatanya, candinya, borobudurnya.

    1. Pemandangan sepanjang jalur Yogya-Semarang itu kueren banget, bentangan gunung dan persawahan membius mata. Mbak Dwi kujamin bakal dapat banyak inspirasi bikin tulisan galau, ehh tulisan penuh perasaan maksudku yen susur jalur kereta tersebut. 😀 😀

    2. sabar mbak, PT KAI udah berencana mengaktifkan lagi jalur jogja – borobudur kok. tapi mbuh kapan 😦

  5. Sadam says:

    hmm, cenil e enakkk

    1. Ono lupis, trus ketan putih diguyur kuah gula Jawa. Slurpp tenan to? Hahaha

    2. Sadam says:

      ndik jakarta susah e nemu, haha

  6. Fubuki Aida says:

    Ditunggu postingan selanjutnya tentang pemandian mudal mas

    1. Pastinya akan kutulis, tapi nunggu antrean tulisan yang lain publish dulu hahaha.
      Sabar menanti ya, mbak. *sodor teh krampul anget 😉

  7. waaa aku durung kesampaian diajak main ke sini sama koh halim tapi saiki wes nggak di jogja lagi 😦
    btw, itu komunitasnya banyak juga ya orangnya. :p
    seru iki belajar tentang sepur jaman duluu. ahh pengen banget ngobrol ngobrol. banyak info baruu 😀

    1. Lohh jadi mulai sekarang wes menetap di Jawa Timur? Yahhh… ya wes brarti suk yen ke Lamongan mlipir Babat kancani berburu jalur sepur Ploso-Babat ya. 🙂

    2. aku tak moco moco sejarah sek nek ngono koh :p

  8. Gara says:

    Pingin ikutan atuh Mas kalau ada jelajah jalur sepur lagi, saya bisa mendapat informasinya di manakah? Penjelajahan ini seru, kemarin meski tak banyak saya juga kerap melihat rel buatan Krupp itu. Kok ya jadi penasaran dengan perusahaannya dan bagaimana perseroan Jerman dapat berkiprah lancar di Nusantara, hehe.
    Kecelakaan kereta api itu sedikit banyak mirip dengan Tragedi Bintaro ya, bahkan mungkin sama tragisnya lantaran ada kereta yang penuh sesak. Namun periode dan lokasi kecelakaan yang berbeda membuat berkas sejarah soal itu juga jauh berlainan. Betapa!

    1. Hampir semua rel yang dipakai oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda seperti NIS dan SS pakai buatan KRUPP. Sayang di Indonesia belum ada museum yang dibangun untuk mengenang jasa perusahaan rel kereta ini. Hehehe.

      Banyak yang beranggapan demikian, tabrakan maut di jembatan Progo ini tak jauh dengan kecelakaan di Bintaro. Mudah-mudahan dengan majunya sistem pengaturan di PT KAi tidak ada lagi kecelakaan besar semacam itu lagi di masa mendatang. 🙂

      Untuk kegiatan yang diadakan oleh KTM bisa cek di FB mereka langsung, Gar. Di sini –> https://www.facebook.com/groups/kotatoeamagelang/. Kabari kalau mau ramein event mereka berikutnya yah. 😀

    2. Gara says:

      Iya Mas, dengan sistem jalur ganda mudah-mudahan angka kecelakaan beradu seperti ini bisa diminimalkan. Oke, terima kasih infonya! Akan saya sambangi, hehe.

  9. Deddy Huang says:

    Semacam heritage walk ya. Aku suka banget kalo diajak buat heritage walk kayak gini halim. Di palembang sendiri kereta api nya belum pernah kudatangi untuk stasiun.

    1. Betul, Kota Toea Magelang menonjolkan kegiatan menelusuri jejak sejarah di masa lalu Magelang supaya kotanya semakin dikenal, bukan hanya dikenal karena Borobudur-nya saja hehehe. Kalau bukan dimulai dari lokal, siapa lagi?

      Palembang bisa banget diangkat potensi heritage-nya. Ayo koh Deddy ama Yayan bikin acara semacam ini biar daku bisa lebih tahun tentang sejarah Palembang. 😀

    2. Deddy Huang says:

      Udah pernah kemaren diadain. Bulan ini kayaknya bakal ada lagi. Iya aku taunya borobudur itu di jogja 😦

  10. Sejarah itu bernama kereta api, kita sepertinya harus berterimakasih pada pemerintah kolonial belanda, karena membangun jalur2 kereta api yg menghubungkan kota2 di jawa karena berbagai alasan. Salah satunya untuk mengangkut hasil bumi dan tentu saja kepentingan militer. Menarik memang menggali sejarah perkereta apian di indonesia :3

    1. Yang disayangkan lagi raibnya jalur kereta dari Semarang-Demak-Kudus-Rembang, ada yang ke Pati juga trus nyambung sampai Tuban. Jadi pingin telusur jalur kereta mati jalur pantai utara nih. Kedip-kedip. 😀

  11. lost in science says:

    Nice story. Di Bandung (atau Jawa Bagian Barat) banyak juga nih kejadian, sudah di occupied sama warga yang liar. Padahal KA bisa jadi solusi dari transportasi massal ya. Di Madura juga dari ujung ke ujung sebenernya sudah ada jalur KA tapi ga di hidupkan lagi. Sayang banget ya..

    1. Jalur spoor Ciwidey salah satu yang sudah nggak aktif lagi. Padahal kalau diaktifkan lagi sebagai jalur kereta wisata pasti menarik perhatian wisatawan banget. Sebagai rakyat biasa hanya bisa menunggu keajaiban dari PT KAI aja hehehe.

    2. lost in science says:

      Tapi kayaknya mereka udah ada plan deh.. mungkin pelan2 ya… gw punya faith dengan pemerintah saat ini 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.