Meraba Asa Generasi Baru Laweyan

Kampung Laweyan sudah terlalu diidentikkan sebagai salah satu kampung batik di Kota Solo. Jika ada rombongan wisatawan hendak berbelanja batik, pemandu wisata mereka selalu mengarahkan kendaraannya menuju kampung batik yang sudah diresmikan sejak 2004 tersebut. Sayang banyak yang beranggapan batik yang dijual di rumah-rumah batik di Laweyan sama dengan yang dipajang di Pasar Klewer dan Kauman.

Sedikit pemilik rumah batik yang masih menjual batik tulis hasil karya mereka sendiri. Tak jarang pengunjung dari luar kota sering menemukan kain-kain produksi Pekalongan di beberapa toko. Motif batik tulis saudagaran yang lahir di Laweyan seolah tenggelam, kalah populer.

toko batik Laweyan
deret pertokoan batik di Jalan Sidoluhur – Laweyan

Dari sebab itulah jika ada teman dari luar kota menaruh minat dengan Kampung Laweyan, saya lebih senang mengenalkan sejarah masa lalu Laweyan mulai dari masa Kesultanan Pajang hingga pra-kemerdekaan Republik Indonesia. Semua yang berbau heritage di Laweyan asyik untuk diceritakan kepada yang tertarik dengan sejarah. Tak ketinggalan menunjuk satu-persatu kemegahan arsitektur rumah-rumah para juragan batik dan sisa masa keemasan produksi batik di sana.

Sejarah tentang Laweyan bisa dibaca di sini –> Membuka Pintu (Hati) Laweyan.

Masa keemasan batik di Laweyan pasang surut seperti apa yang pernah saya dengar dari teman kantor lama yang sering bercerita bagaimana kehidupannya yang jauh dari kata susah ketika kedua orang tuanya masih menggeluti dunia batik tulis di Laweyan. Setelah dilanda masalah ekonomi pasca krisis moneter 1997, keluarganya memutuskan untuk menjual rumah mewah berlanggam indisch mereka dan pindah ke hunian lebih kecil di pinggir Laweyan.

Kisah seperti itu saya dengar juga dari pemilik rumah batik Sinar Mulya, Yudi Jatmiko berkisah dulu ibunya yang bernama Bu Samadi termasuk yang mendapat julukan mbok mase Laweyan. Mbok mase Laweyan dinilai lebih ulet, aktif, dan dipercaya mengatur aktivitas pengrajin batik di rumah produksinya. Tak jarang muncul anggapan dari orang luar bahwa seorang wanita di sebuah keluarga di Laweyan yang menjadi tulang punggung keluarga, sementara laki-lakinya hanya fokus merawat burung peliharaan saja.

Ternyata tidak demikian, masing-masing punya tugas sendiri. Ketika si istri disibukkan oleh urusan mengatur rumah tangga dan pergerakan sumber daya manusia di pabrik, suaminya yang mendapat julukan Den mase atau Mas Nganten tetap berperan besar sebagai kepala keluarga serta didapuk untuk mengayomi seluruh anggota keluarganya. Keputusan mengenai langkah bisnis yang akan diambil tetap bergantung pada si suami.

Di dalam rumah, anak perempuan di keluarga juragan batik Laweyan selalu dilatih secara dini untuk bisa meneruskan keterampilan membatik atau hal-hal yang berhubungan dengan produksi batik tulis di rumahnya. Lain dengan anak laki-laki Laweyan yang dianggap meneruskan garis keturunan keluarga sering kali terlalu dimanja. Kurang mendalamnya insting bisnis mereka yang tidak terlalu kerap terjun ke lapangan kelak merugikannya sebagai generasi kedua.

Hal itu terlihat jelas ketika di masa surut batik tulis mulai tahun 1970-an, banyak anak mudanya memilih merantau ke kota yang lebih besar, tidak mau meneruskan bisnis yang sudah dirintis oleh orang tuanya. Maraknya pabrik-pabrik kain cetak atau printing bermotif batik dengan harga jual jauh lebih murah yang diperkenalkan oleh perusahaan tekstil asal Tiongkok turut memberi dampak yang kurang baik bagi rumah-rumah produksi di Laweyan kala itu.

Singkatnya banyak juragan batik Laweyan yang mencoba ikut arus dengan mendirikan pabrik kain sablon dan printing, ada pula yang mencoba peruntungan di bidang politik pasca reformasi. Pengrajin-pengrajin batik tulis di sana mulai dirumahkan, kembali ke daerah asalnya dan membuka lahan kerja baru. Sragen termasuk salah satu daerah yang menjadi tempat berkembang dan bertahannya pembuatan batik tulis rumahan yang semula diciptakan di Laweyan. Masa transisi dan ekonomi yang tak kunjung baik itu terjadi hingga tahun 2000-an sebelum pemerintah mulai mengambil langkah untuk mengangkat potensi Laweyan sebagai kampung batik lagi.

Setelah batik ditetapkan sebagai situs warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi oleh UNESCO, warga Laweyan mulai tergerak untuk membangun bisnisnya lagi dengan membuka showroom batik di rumahnya. Jalan masuk kampung juga sudah dirapikan, gang-gang aman untuk dilewati semua orang. Diikuti oleh generasi penerus mereka yang mau membuat perubahan, tidak lagi menyandang gelar anak pupuk bawang dari mbok mase Laweyan.

Salah satu kawan saya yang bernama Bangkit Pamungkas menjadi salah satu generasi baru yang mau meneruskan bisnis batik yang dulu diawali oleh eyang dari pihak ayahnya, Soeparwi Wiryowidarso. Semenjak keterlibatannya dalam kegiatan Putra Putri Solo 2013 yang mengharuskan semua anggotanya berpakaian batik rapi selama mengikuti acara-acara penting, Bangkit tergugah untuk menekuni dunia batik tulis warisan eyangnya dengan sentuhan yang kekinian.

Dengan brand Batik Bangkit, dia berkarya dengan mengombinasikan kemeja dan kaos yang diberi sentuhan batik tulis, batik cap maupun batik kombinasi dengan desain yang anak muda banget. Tujuannya tak jauh dari keinginan untuk melestarikan batik dan menciptakan lapangan kerja karena proses produksi baju Batik Bangkit melibatkan para pembatik dan penjahit. Kemeja rancangannya dibuka harga mulai dari Rp185.000, sedangkan untuk t-shirt dengan sentuhan batik asli mulai dari Rp75.000. Cara pemasarannya sudah dijalani lewat media sosial seperti Instagram di akunnya @batikbangkit.

Kelesuan bisnis batik beberapa tahun silam pun sempat dikeluhkan oleh Pandono saat saya berkunjung di rumahnya Jalan Tiga Negeri no.31, Laweyan. Dari ketiadaan gairah itu dia mencoba memberi gebrakan terhadap dunia batik yang selama ini dikenal oleh Laweyan. Sebagai keturunan dari juragan batik, Pandono lancar menggoreskan cantingnya di atas kain yang sudah diberi warna sebelumnya. Motif batiknya terlihat tidak biasa, goresannya terkesan asal tanpa arah dengan gradasi dan tabrak warna yang diperkenalkan sebagai Batik Abstrak Pandono.

Dengan insting seninya yang kuat, Pandono berhasil mengubah kekolotan motif batik yang berkembang selama puluhan tahun di Laweyan. Goresan motif parang, motif kawung dan motif favorit tetap ditonjolkan, tapi tetap berani bermain warna. Dia juga menjamin tidak ada kain dengan motif yang sama di rumah produksinya sehingga membuat pelanggannya tidak ragu lagi untuk membeli selembar Batik Abstrak yang dibuka harga mulai Rp200.000 hingga lebih dari satu juta rupiah sesuai kerumitan motifnya. (Batik Abstak Pandono: 085229099077)

Batik Abstrak Pandono
memoles warna di selembar kain

Menemukan potensi-potensi baru dari sebuah kampung yang sempat kehilangan identitasnya membuat saya yakin bahwa ada kampung sentra industri lain di belahan manapun bisa mengalami kejadian serupa. Kejatuhan dan tanpa peran serta dari generasi penerus itu hal yang terdengar menakutkan bagi orang tua yang merasa bisnisnya sudah terlanjur besar dan enggan dilepas.

Tidak ada manusia yang bisa mengira bagaimana dan kapan roda takdir itu akan berputar dan berhenti. Di sisi lain, selalu ada secercah harapan baru dengan semangat yang baru pada suatu saat nanti.

Cheers and peace. 😉

41 Comments Add yours

  1. Dulu di kampung saya, di Ponorogo juga ada kampung batik. Tapi nggak sebesar Laweyan, dan sekarang malah sudah ‘almarhum’

    1. Sayang banget kampung batik di Ponorogo sudah hilang. Sama sekali tidak ada generasi penerus atau alasan lain? Jadi penasaran nih dengan nama desanya dan motif batik Ponorogo yang berkembang di sana.

  2. Gara says:

    Selama masih ada yang berusaha, saya yakin pasti masih ada jalan bagi batik untuk bertahan. Saya kira di banyak tempat di negeri ini, gejala mempertahankan produk budaya tradisional pasti dapat masalah yang sama, ya: arus modernisasi dan tuntutan ekonomi terlalu kuat sehingga mereka memilih alih profesi dan meninggalkan apa yang sudah dijalankan turun-temurun. Mesti bergerak nih untuk melestarikan industri tradisional *brb pakai pakaian adat.
    Eh jadi lupa, sudah beberapa kali ke Solo tapi tak pernah belanja batik, haha. Mudah-mudahan ada rezeki cukup jadi kalau ke sana lagi bisa beli batik yang sebenar batik (sudah berapa kali saya cakap macam ini, haha).

    1. Keinginan untuk kekinian, nggak mau dicap kurang gaul dan rasa tidak mau kalah dengan yang lain acapkali mengoyahkan pertahanan sebuah budaya. Tergantung individu masing-masing juga sih. 🙂 Kalau sudah pakai pakaian adat lengkap bagi fotonya yah, Gar. Hahaha.

      Next trip ke Solo kubawa ke rumah batiknya Hardjonagoro mau? Yah siapa tahu Gara terpikat dengan salah satu motif batik Indonesia di sana dan arca-arca hasil penemuan pemiliknya terdahulu. #kode 😉

    2. Gara says:

      Hahay, siap, nanti saya bagi di blog kalau sedang mau sembahyangan, hihi.
      Mau banget! Apalagi kalau ada obralan batik juga, boleh banget kita shopping Mas, hihi (dari yang kaget lihat harga batik hampir 2 juta rupiah, hehe).

  3. mendengar kampung batik laweyan ini sejak lama, tapi cerita dibalik sejarah panjang kampung batik memang belum aku pahami mas, mungkin kapan-kapan mau guide-in aku blusukan di laweyan mas hehehe

    1. Ayokk aja, kapan ke Solo kabar-kabari. Senanglah kalau ada teman yang tertarik dengan sejarah sebuah kota. Daku siap jadi guidemu. 😉

  4. Dita says:

    duhhh jadi kangen ke Laweyan nih, pengen foto OOTD di depan pintu2nya yang eksotis *sedangkal itu keinginanmu Ditaaaa*

    1. Omong-omong Dita sudah pernah cicip Ledre Laweyan, belom? Kalo belum brarti jangan ngaku sudah pernah ke Laweyan. 😛

    2. Dita says:

      BELOOOOM hahaha
      fix harus ke Laweyan lagi deh ini 😀

  5. Saya paling seneng nih kalo wisata ke tempat heritage macam gini 🙂

    1. Kampung batik di Solo sarat sejarah semua, Budi. Laweyan dan Kauman di Solo layaklah dikunjungi meski sampai di sana disambut banyak showroom batik yang kadang menggoda nurani turis sehingga niat lihat bangunan tua sering belok arah jadi wisata belanja. 😉

  6. Hendi Setiyanto says:

    konsistensi dan regenerasi, plus inovasi sepertinya patut terus dilestarikan sampai kapanpun

    1. Jika dilakukan berkesinambungan memungkinkan kampung itu bertahan dengan ciri khasnya. Ketika menulis tentang pasang surut Laweyan jadi inget dengan Klampok di Banjarnegara. 🙂

    2. Hendi Setiyanto says:

      Ya mirip banget…masalahnya pun

  7. Kalau harga segitu emang benar-benar batik yang dibuat oleh tangan sendiri, bukan cetakan 😀

    1. Jika di sebuah butik dijual batik yang punya harga hanya puluhan ribu rupiah bisa dipastikan itu printing, simple sebenarnya hihihi. Tapi juga ada kemungkinan dapat kain yang dipatok harga mahal ternyata itu batik palsu alias kain motif batik yang prosesnya disablon kombinasi cap atau sablon kombinasi canting tulis. Amannya memang beli di rumah produksinya langsung biar nggak ketipu. 😉

  8. omnduut says:

    Tempat-tempat begini Halim banget. Untuk aku yang sekarang mulai agak narsis, bakalan jadi tempat yang instagramable banget ya hahaha

    1. Laweyan ini selfiable banget, om. Semua pintu rumah kunonya bisa digandeng jadi model dadakan hihihi. Dannnn kemarin ada sebuah seminar yang bahas Kampung Kapitan-nya Palembang trus disebut juga Kampung Al-Munawar. Ahhh omndut bikin kangen, eh maksudnya jadi kangen Palembang wahahahha.

    2. omnduut says:

      Kangen aku juga boleh kooook jangan malu2 hahahahahahahahaha. Hayolah, 2018 ya! sekalian nyoba LRT-nya. Biar kayak di LN hwhwhwhw

  9. Fubuki Aida says:

    Pertanyaanku terjawab di sini. Ternyata laweyan memang full history yo. Wahhh. Kapan2 meh keliling ah

    1. Sejarah Laweyan kalau dijabarkan bisa panjang banget, mulai dari Kesultanan Pajang-nya Joko Tingkir sampai Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Samanhudi berpusat di sana. Lalu Ledre yang dijadiin snack di acara gathering di Alila Solo kemarin juga buatan Laweyan kalau lidahku nggak salah tebak hehehe.

    2. Fubuki Aida says:

      Nggak dipastikan tanya ke mbk tesa? Nek bener jos km 😀

    3. Hihihi coba ya kalau ketemu mbak Tessa lagi akan kutanyain. 😀

  10. whizisme says:

    DUkung Halim Santoso jadi Kepala DInas Pariwisata Solo
    Waktu di ASEAN BLOGGER teman-teman juga mampir ke sini, pada belanja-belanji
    Kalau daku langsung masuk Keraton Solo Kak Halim.
    Duh jadi kangen Solo

    1. Buahahaha saya masih belum siap jadi kepala yang membawahi banyak orang, tak nyalon di salon aja wes. 😀
      Ayo dolan ke Solo lagi! Ada banyak obyek wisata nggak mainstream yang bisa dikunjungi dalam sehari sampai dua hari. Siaplah daku memandu keliling kota. 😉

  11. Aji Sukma says:

    Sayang bgt kalau lama-lama batik tulis hilang krna ga ada penerus. Smoga masih ada anak2 yang kalau ditanya cita-cita jawabnya pengin jd pembatik. 😀

    1. Jangan sampai setelah nggak ada penerus lalu batik diklaim oleh negara tetangga, baru kalut dan bingung cara merebut kembali statusnya. Lalu Aji cita-citanya apa? 😀

  12. dwisusantii says:

    Akuu belum pernah ke laweyan *tunjuk jari* kalau ke solo ke situ-situ aja.
    Mas, membaca beberapa postinganmu tentang batik jadi banyak ilmu yang didapat loh. Jadiii dukung mas halim jadi duta batik yuk :))

    1. Duta batik!! Wah ini berat hahaha. Ya suk kucicil beli batik-batik dari seluruh Indonesia dulu. 😀

  13. Dian says:

    Aku suka kampung ini 😀

    Jadi inget, dulu sesiangan kluyuran di kampung ini denganmu Lim. Pas kluyuran, lebih seneng ndengerin penjelasanmu ttg sejarah2 & keunikan kampung ini dibanding foto2 diri. Eh tapi untung e mbuk elingne ya buat foto2 ya. Nek gak kan aku ra nduwe kenang2an pas ndek Laweyan 😆

    1. Untungnya juga pas celingak-celinguk ke rumah mas Pandono, kita diperbolehkan masuk lanjut mbak Dian nenteng beli dompet batik abstrak buat oleh-oleh hahaha. Suk pas balik ke Laweyan lagi kudu foto ala-ala sing akeh, termasuk model selimutan pake batik abstrak kayane seru. 😛

  14. Ikrom Zain says:

    laweyan ini nama kecamatan juga ya di Solo (cmiiw)
    aku belum bernah mengeksplorasi Solo lebih jauh. Kampung ini bisa jadi tujuan ya
    Terimakasih ulasannya mas.

    1. Laweyan merupakan nama salah satu kecamatan di Kota Surakarta, dan yang saya maksud di tulisan ini berada di Kelurahan Laweyan. Selain Kelurahan Laweyan, batik di sana juga bersentra di Kelurahan Sondakan. Mungkin kisah tentang Sondakan akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya.

      Semoga tulisan tentang kampung batik Laweyan ini bisa bermanfaat untuk kunjungannya ke Solo, mas Ikrom. Terima kasih. 🙂

  15. kunudhani says:

    selalu suka baca-baca post yg berhubungan sm kebudayaan, menarik banget (y)

    1. Solo masih kental budaya dan rasanya selalu ada aja yang bisa diceritakan. Jangan bosan baca blog ini ya. 😉

    2. kunudhani says:

      gak bosan kok, domisili di solo kah kak? rencana mau tour ke solo, bisa jadi tourguidenya nih, huekakaka 😀

    3. Saya domisili di Solo. Ayooo aja, siap jadi pemandu dan siap menunjukkan kekayaan kota kelahiran saya. 😀

    4. kunudhani says:

      yeayy makasih kak, ntar klo mau berangkat aku kbari lagi :p

  16. Heriand.com says:

    Terima kasih mas, artikelnya sangat informatif. 🙂

    1. Ayo liburan ke Kota Solo, Her. Ntar kuajak keliling kampung sarat sejarah di Solo dan sekitarnya. 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.