Postcards from Fabriek Fikr

Sejauh ini belum ada yang tahu dengan jelas mau dibawa ke mana nasib PG Colomadu, bekas sebuah pabrik gula yang didirikan oleh KGPAA Mangkunegara IV tahun 1861. Ada yang mengatakan kompleks tersebut akan dialihfungsikan sebagai gedung pertemuan berskala besar lengkap dengan perkantoran dan sejenisnya.

Bahkan sering kali tersiar kabar tidak menyenangkan bahwa bangunan bersejarah tersebut akan diratakan. Tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang membuatnya semakin terabaikan, nyaris terlupakan. Keadaan yang kesepian dan terlanjur kusam lantas meninggalkan kesan bangunan itu angker, banyak makhluk halus gentayangan, padahal tidak demikian.

Tak disangka, sebuah pertunjukan seni yang digelar pada 19-20 November 2016 lalu mampu menggairahkan kelesuannya. Saya terkejut melihat antusias ratusan warga Solo dan sekitarnya yang hadir di Pabrik Gula Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah malam itu.

Muda-mudi sekedar ingin kekinian meluangkan waktu untuk berfoto diri di dalam bekas pabrik. Beda cerita dengan mantan pegawai pabrik yang hadir, mereka memancarkan raut bahagia dan bercerita dengan penuh semangat tentang kenangannya ketika berkerja di Pabrik Gula Colomadu puluh tahun silam.

Tari-tari kontemporer dibawakan dengan apik oleh beberapa maestro tari pada gelaran Fabriek Fikr 2 selama dua hari berturut-turut (Fabriek Fikr pertama digelar pada November 2015). Yang terlihat nggak biasa tentu panggung yang mereka pakai. Jangan bayangkan akan mendapati sebuah panggung besar nan megah dengan latar belakang PG Colomadu.

Pencetusnya adalah seorang maestro seni yang bernama Sardono W. Kusumo. Beliau justru berusaha membangkitkan roh dari pabrik gula dengan memanfaatkan mesin-mesin di masing-masing stasiun yang tersebar ada di sana. Mereka disulap sebagai panggung terbuka untuk meluapkan kreativitas sang penari.

Sardono W Kusumo di Fabriek Fikr
Sardono W. Kusumo membuka acara Fabriek Fikr 2016

Mata saya tidak berhenti berkedip memandangi kembali onggokan mesin-mesin dari stasiun penggilingan hingga stasiun pendingin dan pengkristalan gula dari pabrik yang sudah ditutup sejak tahun 1998 silam. Terakhir ke sana bersama rombongan Laku Lampah tidak diberi keleluasaan untuk mengambil gambar oleh penjaga pabrik. Bisa masuk gratis tanpa mengurus izin terlebih dahulu ke PTPN IX untuk ke dalam bekas Pabrik Gula Colomadu adalah kesempatan langka.

Memang nasib pabrik gula ini bertolak belakang dengan adiknya, Pabrik Gula Tasikmadu di Karanganyar yang masih berfungsi sebagai pabrik gula aktif. PG Tasikmadu pun sudah menjadi sebuah agrowisata pertama di Indonesia yang memanfaatkan dengan baik lahan kosong kompleks pabrik. Bagi saya event Fabriek Fikr yang membiarkan pengunjung umum masuk ke dalam PG Colomadu dengan bebas dan tanpa dipungut biaya masuk seolah menyindir dan membuka kebobrokan SDM dari perusahaan yang kini menaunginya.

Pertunjukan Fabriek Fikr 2 melibatkan mahasiswa sekolah seni yang diberi ruang untuk berekspresi, melukis dan memamerkan hasil karyanya. Mereka juga melukis bergantung suasana hati. Kasur dan perlengkapan tidur sengaja diletakkan di sana agar bisa digunakan untuk tidur atau sekedar memejamkan mata bagi mereka untuk mencari inspirasi. Dari mahasiswa asal Papua juga memperlihatkan kebolehannya dalam menari hip hop dan memasak dengan metode bakar batu di ruang pembakaran PG Colomadu.

Selain itu diramaikan pula oleh para seniman yang sudah punya nama besar seperti Bambang Besur dan Tony Bruer. Keduanya punya sense of art dan ciri khas masing-masing. Pada hari kedua, saya melihat mereka berkolaborasi dalam painting performance yang awalnya agak membuat saya bingung mereka akan menarikan apa.

Dua penari perempuan berbalut kain putih panjang mulai menari dengan gemulai yang setiap gerakannya punya makna. Tak lama kemudian air pancuran dari atas mulai mengucur dan membasahi tubuh mereka. Disusul dengan Bambang Besur dan Tony Bruer yang membawa kanvas-kanvas besar yang nantinya dilukis menggunakan rambut panjang penari berbalut kain panjang sebagai kuas hidup.

Yang paling berkesan bagi saya justru pertunjukan Tony Bruer dan anak didiknya yang mukanya dibalut perban menyerupai mumi. Ketika dua penari sedang menari dan melukis di atas kanvas, anak didik Tony Bruer justru minim gerak di dalam sebuah bus tua. Kurang paham apa maksud dari performance mereka, tapi saya berhasil mengabadikan beragam ekspresi mata dan gerak-gerik mereka yang slow motion.

Bergeser ke stasiun masakan, mereka berbaris membawa batu, menumpuk batu, tidur di atas lembaran seng, lalu berjalan membawa seng dan menghilang dari pandangan penonton. Bingung dengan penyampaiannya, namun saya menikmati tiap mimik muka dan ulangan gerakan yang seakan-akan merobotkan manusia.

Panggung dari tiap pertunjukan berpindah-pindah mulai dari bagian paling belakang pabrik menuju bagian terdepan. Sampai di titik terakhir di stasiun penggilingan, langit sudah mulai gelap sehingga terlihat sekali betapa indahnya penataan sorot lampu warna-warni yang mereka bikin. Dua disk jockeys yang berdiri di stasiun penggilingan mulai memainkan musiknya. Salah satunya bernama Ariska Wigatiningtyas atau akrab disapa DJ Chika. Disk jockeys muda berhijab hitam itu membawakan aransemen musik dengan apik.

Mendadak ruang depan PG Colomadu bagai sebuah diskotik. Ada penonton yang melongo melihat pakaian minim penari yang meliuk-liuk dengan agresif, ada juga penonton yang terkejut mendapati penari bergelantungan di roda penggiling yang rawan celaka. Keringat mulai membasahi dada bidang para penari laki-laki, sementara rambut penari perempuan berpakaian ketat sudah basah dan diayun-ayunkan di depan penonton.

Sungguh penutup yang bikin penonton di dalam Suikerfabriek Colomadu bergairah! Dan sial, baterai kamera saya habis ketika sedang berada di puncak …

28 Comments Add yours

  1. Budi Santoso says:

    pas malem minggunya saya juga mampir ke situ mas. yang ada hanya painting performance saja

    1. Hari pertama mereka perform terlalu awal, sekitar jam 6 sore sudah selesai semua hehe. Malam minggunya datang jam berapa, Budi? Baru di hari kedua jam mulai pertunjukannya dimundurkan, sekitar jam setengah lima baru mulai pentas agar permainan sorot lampu di sana terasa magisnya. 🙂

    2. Budi Santoso says:

      sekitar jam 7 malem mas

    1. Tidak dipungut tiket masuk waktu pertunjukan dua hari Fabriek Fikr pada bulan lalu, Dimas. Gratis. 🙂

    2. Yaaaaa tapi lumayan jauh sih dari jogja wkwk

  2. winnymarlina says:

    eh mesin Pabrik Gula Colomadu itu keren juga ya walau udah terbengkalai

    1. Keren pakai banget, Win. Sayangnya bekas pabrik gula ini belum dibuka sebagai museum atau fungsi lain yang membebaskan warga sekitar bisa masuk untuk sekedar mengenal sejarah dan masa kejayaannya di masa lampau. Yah kita tunggu saja nasib Pg Colomadu mau dibawa ke mana oleh yang pegang kekuasaan di sana. 😉

  3. Alid Abdul says:

    Koooooooooooooooo aku kok tertarik nonton, kabari neh klo ada, kudu wiken haha

    1. Hahahaha tahun depan yen ono Fabriek Fikr maneh tak kabari. Ngarepe sih PG Colomadu masih berdiri tegak dan masih terbuka buat seniman-seniman unjuk kreativitas. 😉

  4. Sebenernya penasaran. Apalagi ini deket rumah saya. Tapi karena saya emak rebana (rempong banyak anak), jadi mikir2 deh kalau mau kemana-mana. Apalagi itu tempatnya agak spooky gitu ya? Siang2 lewat sana aja udah serrrr..serem. 😀

    1. Sayang banget nggak sempatin lihat Fabriek Fikr. Hawa seramnya sudah hilang dan bebas gangguan dari yang tak nampak kok saat pertunjukan berlangsung hehehe. Mungkin lain waktu anak-anaknya dititipkan ke ayahnya dulu, lalu ibunya keluar sebentar buat nonton Fabriek Fikr. 😛

    1. Tunggu jadwalnya Fabriek Fikr tahun depan, mbak Aida 🙂

  5. eh serius ada acara keren beginian di bekas pabrik gula?
    taun depan kabari yo mas 😀

    1. Fabriek Fikr sudah berjalan dua tahun berturut-turut dengan tempat yang sama yaitu Pabrik Gula Colomadu. Tahun depan kukabari kalau pengumumannya sudah keluar dari pihak Fabriek Fikr, Jo. 😉

  6. wahhh untung ada inisiatif ngadain acara begitu ya mas. Kan kasian bangunan bersejarahnya kalau berubah jadi bangunan berhantu, apalagi kalau benar mau dialihfungsikan/diratakan..

    Semoga makin sering aja nih diadakan acaranya dan suatu saat saya bisa main ke sana.. Hihii

    1. Solo dan sekitarnya sudah mulai memanfaatkan bangunan bersejarah yang terabaikan menjadi sebuah panggung pertunjukan musik tingkat internasional. Upaya yang patut diacungi jempol karena warga sekitar jadi tahu bahwa ada bangunan sekeren itu di kotanya sendiri. 🙂
      Ditunggu tahun depan jika berkesempatan liburan ke Solo, mbak Ira.

  7. Gara says:

    Mungkin saya termasuk orang yang kurang mengerti bagaimana seni-seni di sana dipertunjukkan tapi yah, kadang seni tidak untuk dimengerti, melainkan untuk dinikmati, hehe. Dulu pabrik ini ditutup karena apa ya, Mas? Bagaimana nasib kebun-kebun tebunya, apakah masih ditanami? Jika masih, pengolahannya dilakukan perusahaan gula yang mana? Beberapa kali tandang ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, saya baru sadar kalau bangunan-bangunan pabrik gula serta bangunan penunjangnya yang bergaya kolonial itu megah dan keren banget. Sepertinya pantas diagendakan satu-dua kunjungan ke pabrik-pabrik seperti ini, pasti banyak ceritanya ya (woy utang postingan masih banyak woy).

    1. Kalau nggak ada penjelasan nama tarinya apalagi jenis kontemporer ku juga cuma menikmati hahaha. Kalau asal tebak maksud nanti salah dan dimarahi senimannya. 😛

      Pabrik Gula Colomadu tutup sejak tahun 1998, setelah krisis moneter, Gar. Alasan penutupan Pabrik Gula Colomadu juga pengaruh dari berkurangnya lahan kebun tebu di sekitar Colomadu, Karanganyar. Maraknya pembangunan perumahan di sana salah satu sebabnya. Kini pengolahan diringkas ke pabrik yang berdekatan. Distribusi tebu yang semula dari PG Colomadu dialihkan ke PG Tasikmadu yang masih aktif hingga sekarang. Di Klaten ada lebih banyak lagi penutupan pabrik gula-pabrik gula kecil.

      Next trip ke Solo harus mampir ke PG Tasikmadu di Karanganyar dan PG Gondangwinangun di Klaten. Keduanya terbuka buat umum karena sudah jadi agrowisata jadi bebas masuk dan ambil gambar. 😉

    2. Gara says:

      Iya sih kalau kebunnya menyusut mah pabriknya mau mengolah apa, huhu sayang banget. Saya jadi penasaran, Indonesia ini masih impor gula nggak sih? Oke, noted. Bisa jadi alternatif tujuan supaya berimbang, sesekali melihat bangunan dari masa yang berbeda, hehe.

    3. Gula di Indonesia masih ada yang impor. Miris memang, padahal dulu Hindia Belanda mampu mengekspor ribuan ton gula pasca perang dunia. Bahkan muncul sebutan raja gula untuk Oei Tiong Ham yang saat itu menguasai perdagangan gula berpusat di Semarang. Perburuan candi-candinya dinaikkan level jadi bangunan kolonial, Gar 😛

  8. duhh kerennya tuh pentas seni.. jadi pengen liat secara langsung..
    terakhir nonton teater kapan ya?
    *ngomong sama tembok*

    1. Yuk nonton Wayang Orang di Sriwedari atau Sendratari Ramayana di Taman Balekambang aja kalau pas main ke Solo, mbak Endah. 😀

  9. Hendi Setiyanto says:

    sudah minta ijin kepada para penghuni pabrik ini kah?

    1. Sudah donk, kalau belum entah apa yang akan terjadi hahaha. Malah seniman yang bernama Tony Bruer dan anak didiknya menginap di dalam pabrik selama semingguan pake tenda loh. Kalo daku sih mending bobok di luar pagar pabrik aja hahaha.

    2. Hendi Setiyanto says:

      iya, aku kepikiran pas baca tulisan ini, apa iya penghuninya ga bakalan terganggu apalagi banyak orang kemari hahaha

  10. Avant Garde says:

    cuma bisa nyinyir mas membaca untaian kata2 sama foto2mu yang apik, aku haus nonton seni pertunjukan kayak gini, maklum tinggal di kampung hihi… setuju sama si tony brur yg bikin tarian mumi, pabrik gula ibarat mumi, hidup tapi mati, mati tapi hidup… kasian mas mereka para pekerjanya atau mantan pekerjanya 😦

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.