Tidak pernah ada cerita yang sama di setiap perjalanan yang dilakukan oleh masing-masing individu. Tempat yang dikunjungi berulang kali pun selalu memberikan kesan yang berbeda dengan sebelumnya, tergantung kita menyadarinya atau tidak. Sama seperti kunjungan-kunjungan saya ke Gunung Tidar yang selalu meninggalkan kenangan yang berbeda satu sama lain.
Pernah suatu hari saya harus melalui jalan tanah yang becek akibat hujan karena anak tangga menuju puncak sedang diperbaiki. Sesekali setengah merangkak supaya tidak terpeleset di jalanan yang menanjak. Kini perbaikan anak tangga yang sudah selesai terlihat lebih tertata dibanding sebelumnya. Pun sudah tersedia tempat sampah di titik-titik perhentiannya.
Dengan adanya anak tangga yang rapi dan beberapa bangku baru yang dipasang di beberapa titik di sepanjang perjalanan mampu meninggalkan rasa betah bagi pengunjung yang hendak berlama-lama memandang pepohonan hijau yang rimbun di Gunung Tidar. Namun kali terakhir saya tidak berjalan sendiri, melainkan mengikuti barisan puluhan orang yang akan melaksanakan ritual ruwatan di puncaknya.

Dengan ketinggian hanya sekitar 503 mdpl memang agak terdengar aneh menyebut Tidar yang terletak di Kotamadya Magelang, Provinsi Jawa Tengah dengan sebutan gunung. Tidak jarang ada yang menulisnya dengan sebutan Bukit Tidar, bukan Gunung Tidar.
Lerengnya dikelilingi oleh Borobudur International Golf Club, kompleks Akademi Militer Magelang hingga pertokoan yang sebagian merupakan bekas kerkhof atau kuburan warga Eropa masa Hindia Belanda. Lalu kaki gunungnya ditempati makam-makam, termasuk makam tokoh yang dikeramatkan oleh warga setempat.
Sebelum saya bercerita tentang kemeriahan ruwatan yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2016 lalu, mari simak legenda yang menguatkan kemistisan dari sebuah Gunung Tidar.
Konon hutan belantara Gunung Tidar dulu dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Manusia yang tinggal di sekitarnya tidak ada yang berani mendekat apalagi naik sampai ke atasnya, takut dimangsa oleh raksasa dan genderuwo. Bahkan muncul sebuah anggapan bahwa penamaan Tidar berasal dari kata mati dan modar yang punya maksud tidak ada yang bisa turun hidup-hidup jika nekad naik ke sana.
Kemudian muncullah seorang tokoh bernama Syekh Subakir yang hendak bersemedi di puncaknya. Tombak saktinya ditancapkan di puncak gunung sebagai tolak bala, dilanjutkan memasang paku bumi yang membuat semua makhluk halus lari ke lautan. Hal itu membuat cemas Kiai Semar, seorang jin yang menguasai gunung sekaligus pemimpin dari kawanan makhluk halus di Gunung Tidar.
Akhirnya Kiai Semar bernegosiasi dengan Syekh Subakir dan berjanji bahwa tanah Jawa akan bebas dari gangguan jin dan diberkahi tanah yang subur. Tertancapnya paku bumi tadi menandai titik tengah Pulau Jawa yang dikisahkan telah membantu menyeimbangkannya dari hantaman laut dan ancaman lain.
Cerita-cerita yang berkembang di tengah masyarakat itulah yang meninggalkan kesan mistis pada Gunung Tidar. Hingga sekarang banyak yang masih memegang suatu keyakinan dan bersembahyang di makam Syekh Subakir, Kiai Sepanjang (dipercaya sebagai senjata Syekh Subakir) dan berziarah ke tempat khusus Kiai Semar.
Paku bumi yang ditancapkan oleh Syekh Subakir ditandai dengan sebuah tugu dengan tulisan aksara Jawa “Sa” di ketiga sisinya. Tugu Tidar ini mempunyai maksud “Sapa Salah Seleh”, siapapun harus berani mengakui perbuatan salahnya, meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Lepas dari cerita rakyat tersebut, Gunung Tidar sudah jadi hutan di tengah kota yang bebas dikunjungi siapapun dan kapanpun. Belum ada biaya retribusi resmi sehingga wisatawan yang hendak naik ke atas cukup membayar dana kebersihan ke dalam kotak yang tersedia di pintu masuknya saja. Layaknya sebuah hutan kota bagi Kota Magelang, Gunung Tidar menyimpan persediaan oksigen sekaligus tempat yang cocok sebagai pelepas penat dari rutinitas kota yang menyesakkan.

Ritual Ruwat Bumi Gunung Tidar sendiri telah diadakan beberapa kali dengan dukungan pemerintah kota serta sejumlah warga yang menjadi perwakilan 17 kelurahan di tiga kecamatan yang ada di Kota Magelang. Acara yang dirangkai dengan nama Festival Tidar akan menjadi agenda tahunan dengan waktu penyelenggaraan sebelum Hari Raya Maulud Nabi setiap tahunnya. Mulai dari acara resik-resik (bersih-bersih) Gunung Tidar, wayangan semalam suntuk, parade tari hingga kirab budaya yang diadakan pada hari terakhir.
Bersama rombongan undangan Disporabudpar Kota Magelang, saya berkesempatan menyaksikan pemberangkatan tumpeng dari masing-masing perwakilan kelurahan yang memulai iringannya dari gerbang masuk Gunung Tidar yang terletak di belakang kompleks pertokoan Rejotumoto. Masing-masing partisipan membawa tampah berisi tumpeng, ubo rampe, ingkung atau olahan ayam kampung, sayur-mayur, dan hasil bumi lainnya. Tak ketinggalan sesaji berupa rangkaian bunga mawar yang sudah ditata dengan indah di atas tampah dan kelapa muda utuh ikut dibawa naik ke atas.
Awal pendakian mereka semua terlihat bersemangat. Lambat laun tenaga mulai terkuras dan langkah melambat. Saya yang mengejar langkah mereka tanpa membawa beban berat saja langsung banjir keringat di tengah perjalanan. Nggak kebayang betapa lelahnya partisipan yang memakai seragam khusus dan membawa tumpeng. Untungnya mereka tetap bertekad mencapai puncak meski sesekali berhenti dan istirahat sejenak.
Setibanya di puncak Gunung Tidar, penonton ruwat bumi langsung disambut oleh lima penari berkostum tari Jawa lengkap dengan hiasan bunga melati di atas rambutnya. Mirip dengan busana Tari Bedhaya, tapi bukan. Kombinasi empat penari perempuan dan satu penari laki-laki yang berkostum pakaian adat perempuan Jawa tersebut adalah lima penari Tari Caraka Walik.
Yang paling terlihat mencolok adalah riasan warna merah di dahi mereka dan alis yang dibuat bercabang di ujungnya. Ikut terpasang sebuah keris di depan perut masing-masing penari. Sementara tubuh bagian bawahnya dibalut oleh kain batik motif parang barong gurdo. Terakhir ditancapkan sebuah dupa di sanggul mereka. Bau wanginya menambah kesan mistis puncak Gunung Tidar.
“Baru tahun ini kami berlima menari di puncak Gunung Tidar. Pada Festival Tidar sebelumnya kami menari di bawah,” jelas Mbak Lyra sebagai salah satu penari Tari Caraka Walik. “Pertama kali tari ini ditarikan di Karesidenan Kedu,” lanjutnya. Rupanya Tari Caraka Walik yang dibawakan dengan iringan mantra gayatri ini merupakan tari spesial yang khusus dibawakan ketika Festival Tidar berlangsung.
Mbak Lyra dan Mas Saka yang menciptakan gerakan dari tari yang punya falsafah tolak bala dengan pedoman eksistensi kiblat papat, limo pancer atau empat jurusan dengan kelima ada di tengah. Kiblat papat, limo pancer adalah kepercayaan orang Jawa terhadap empat saudara yang ditugaskan oleh kekuasaan alam untuk menemani seseorang di mana saja dan setia membantu selama masa hidup.
Usai Tari Caraka Walik, acara ditutup dengan tradisi Kembul Bujono atau makan bersama di puncak Tidar. Tumpeng-tumpeng dan lauk pauk yang dibawa dari bawah mulai dibagikan ke siapa saja yang ingin menyantapnya. Tidak pakai syarat apalagi rebut-rebutan gunungan karena semua pengunjung yang hadir pasti kebagian makanan secara adil. Namun apa daya perut sudah terlalu kenyang dengan makan siang yang disantap sebelum mengikuti rangkaian acara Ruwat Bumi Gunung Tidar, akibatnya saya terpaksa melewatkan tawaran irisan ingkung yang menggoda perut.
Hanya bisa memandangi beragam ekspresi antusias warga Magelang dan merasakan kemeriahan ruwatan Gunung Tidar di penghujung acara sembari menatap lekat-lekat Tugu Sa Sa Sa di tengah pelataran puncak Gunung Tidar. Berharap semoga Kota Magelang bisa terus mempertahankan kekayaan budaya serta warisan bangunan-bangunan tuanya yang tersebar di tengah kota, tidak hanya tertahan dengan citra sejuta bunganya saja.
Cheers! 😉
Hasil refreshing makan di hotel bintang 5, ahirnya ketulis juga detailnya. Wkwkwkkw
Duhh artikelku yang itu isih pake ambil nomer antre sik hahaha. Sementara bahas Magelang sik. 😀
Aku seneng singgah sebentar di kota Magelang. Panganane enak-enak, kotanya kecil, bersih. Sejuk pula, karena adanya gunung Tidar ini hahaha. Tapi belum pernah naik ke gunungnya sih, walau pernah diceritain pegawai hotel dulu tempat menginap kisah keangkerannya dulu.
Dari tempatmu menginap dulu deket banget kan, Qy? Lain kesempatan kudu naik sampai puncak Gunung Tidar. Jalan sendirian aman kok, seperti jalan di sebuah Tahura atau Taman Hutan Raya ditemani pula ama puluhan monyet ekor panjang hehehe.
gunung tidar dibuka sebagai tempat wisata umum gak sih mas?
karena letaknya ditengah kota, mungkin bisa dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi murah meriah oleh warga magelang
tapi kisah keangkerannya itu mungkin yang membuat orang enggan mampir 😀
Gunung TIdar dibuka untuk umum, Jo. Lupa menambahkan informasinya di atas. Biaya masuknya pun sukarela, dimasukkan di kotak dana kebersihan. Hutannya bersih, dirawat dengan baik, juga tersedia banyak kotak sampah. Kebangetan kalau masih ada yang buang sampah sembarangan di Tidar.
Tidar nggak terlalu angker, kalau ada sisi angkernya pasti kuceritain kan hahaha. 😉
mirip-mirp taman hutan raya, keberadaan makam di atas gunung mungkin juga menjadi hal yg ditakuti oleh orang2 yg ingin berbuat macem-macem :d
Brp jam dari jogja nih kayanya bagus tempatnya
Jaraknya sekitar empat puluh kilometer dari Kota Yogyakarta. Kurang lebih 1 jam berkendara menggunakan kendaraan pribadi. Kalau naik transportasi umum bisa lebih dari satu jam karena bus ekonomi Yogya-Magelang banyak ngetem-nya. 🙂
Wah deket ya…
Selalu saja, tulisanmu menarik 😀
Terima kasih, mbak Aida. Akhirnya kita ketemuan di acara Festival Tidar kemarin. Jangan bosan mampir ke blog ini ya hehehe.
Cuaca mendung, bikin tingkat kelembapan meningkat, jadilah berkeringat pas sampai puncak gunung tidar *cari alasan ilmiah, whahwa
Masuk di akal hahaha. Yang paling menakutkan sebenarnya kalau mendadak hujan deras sampai di puncaknya. Untung pas acara kemarin dipasang tenda yang cukup untuk menampung ratusan orang. Kalau hari biasa bingung mau berteduh di mana? 🙂
Tenang, pawang hujannya sudah tersertifikasi 😀
Pemandangan dari atas gunungnya keren nggak mas?
Karena banyak ditumbuhi pohon tinggi di puncaknya sehingga nggak kelihatan pemandangan 360 derajat sekeliling Tidar yang memukau. 😀
naik kebukit tidarnya lewat sebelah mana, pintu masuknya?
Dari Jalan Jend Sudirman – Magelang, masuk ke jalan kecil pertokoan Rejotumoto atau gampangnya cari warung Sop Senerek Pak Parto. Dari gapura masuknya, kendaraan kecil bisa naik ke atas sampai ke depan pintu masuk Gunung Tidar. 🙂
Sayang kemaren aku datengnya telat jadi ga bisa ikut acara yang ini 😦
Iringan tumpeng yang dibawa naik ke atas puncak Tidar jadi momen yang wajib diabadikan saat Festival Tidar. Tahun depan dibaleni teko maneh, bro hehehe. 🙂
Keren….
Pas di sana aku melibas banyak telor rebus dan tempe goreng, entahlah lagi khilaf sepertinya akkkakaka
Anggap itu efek capek naik gunung lalu butuh asupan protein yang cukup buat turun gunung hahaha. Tapi tempe goreng e di sana memang enak-enak semua. 😀
kalau aku disitu dikasih makanan juga gk halim pas Kembul Bujono?
Pastinya dikasih juga donk. Mau tambah ayam goreng atau tempe dan telur? Monggo 😀
boleh terus pake sambel 😀
Baru tau ada gunung ditengah kota magelang 🙂
Padahal deket dari Yogya, ayo buruan mlipir ke gunung mini di Magelang ini, bro Ramli. 😉
Waduh, ritual ini menarik sekali untuk dilihat secara langsung! Sepertinya ritual ini adalah satu yang bertahan dari zaman dulu-dulu banget ya Mas. Ngomong-ngomong saya masih penasaran dengan mantram gayatri dan dupa yang ditancapkan di sanggul–hm, sepertinya memang harus melihat tariannya secara langsung #eh #berharapundangan #mimpi. Bagus sekali ada bukit di tengah kota, bisa jadi paru-paru kota yang sangat lengkap dan penyedia udara bersih terbaik. Kalau bisa ke Magelang semoga dapat menyambangi gunung yang penuh misteri ini, hehe.
Ruwatan baru diadakan besar-besaran tiga-dua tahun terakhir, sebelumnya hanya dilakukan secara sederhana, Gar. Gunung Tidar yang selalu dianggap mistis diharap bisa jadi salah satu obyek wisata yang kental budaya dan sebuah hutan kota tempat refreshing yang menenangkan, jauh dari kesan angker. 🙂
Nahh tentang mantra gayatri kalau nggak salah merupakan doa atau nyanyian umat Hindu ya? Entah ini sudah dimodifikasi dengan alunan gamelan Jawa atau memang mirip. Kalau ke Magelang ntar ketemu langsung dengan Mbak Lyra atau Mas Saka di sanggarnya aja biar bisa wawancara dia dan dengerin musik pengiring Tari Caraka Walik secara langsung. 😀
Iya Mas, hehe. Penasaran sih, apa memang hanya nama saja yang sama. Mudah-mudahan bisa ke sana, amin. Sekalian tanya-tanya soal “empat saudara” itu, apakah sama dengan yang selalu mengiringi kelahiran bayi dan menjaganya (dan bisa dimobilisasi jika diperlukan). Hm, semakin diselami, memang semakin spiritual jadinya #fiuh.
wahh.. festival budaya yang menarik..
Direncanakan setahun sekali dengan jadwal sebelum Hari Raya Maulid Nabi untuk tahun depannya. Harus notnon kalau posisi sedang di Magelang saat jelang Festival Tidar digelar, mbak Endah. 😉
Jadi tariannya merupakan kreasi baru? Bukan tari tradisional? Cuma kostumnya aja yang tradisional?
Sebenarnya masih bingung juga kenapa hari kelahiran Nabi Muhammad pasti ada acara ruwatan-ruwatan. Hubungane piye ya?
Tari Caraka Walik merupakan tari kreasi baru yang sengaja diciptakan untuk memeriahkan Festival Tidar. Kostumnya tetep mambu Jawa biar nggak disangka tari dari Kalimantan opo lain pulau, Lid. Hahaha.
Ruwatan-ruwatan jelang hari raya Maulud Nabi mungkin lebih ke kelahiran. Biar benda pusaka atau apapun yang dibersihkan bulan itu cantik dan berkilau bak perawan maneh. Tidar sendiri biar bebas dari gangguan makhluk halus makane diruwat setahun sekali. 😀
Aku suka merinding sendiri kalo ada bau2 dupa gini. Haha..
Ternyata di Tidar juga ada acara-acara gini ya aku baru tahu.
Ruwatannya ini setahun sekali kah ? dan apa mesti dibulan Desember ?
*Lidia
Ruwat Gunung Tidar dilakukan setahun sekali, tahun 2016 ini kebetulan jatuh pada bulan Desember karena festival diharapkan bisa rutin digelar sebelum Hari Raya Maulud Nabi.
Gara-gara acara naik gunung inilah jadi capek dan nggak bisa ketemu kalian di Yogya kemarin. Maafken yes. Lain waktu kita kopdaran lagi, Lidia dan Jun. 😉
magelang, nama yang unik, alamnya asik, kulinernya enak2 🙂
Kuliner Magelang banyak macam dan uenakkk semua. 🙂
benerrr… temen2 saya orang magelang pun ramah n cantik2 :p