DIENG Sekali Lagi dari Sisi Banjarnegara

Beberapa tahun yang lalu ketika pertama kali mengunjungi Dataran Tinggi Dieng, saya termasuk satu di antara banyak orang yang salah kaprah menganggap Dataran Tinggi Dieng terletak di Kabupaten Wonosobo. Akses transportasi dari Solo menuju Dieng via Bawen menjadi salah satu penyebabnya. Kota Wonosobo menjadi perhentian berikutnya sebelum mengambil angkutan desa untuk naik ke Dieng sisi Wonosobo. Pada kesempatan piknik ke Dieng berikutnya saya sudah paham jika Dataran Tinggi Dieng terbagi dalam dua desa, yakni Desa Dieng Kulon di Kecamatan Batur yang masuk wilayah administratif Kabupaten Banjarnegara dan Desa Dieng Wetan yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Wonosobo.

peta wisata Dieng
peta wisata Dieng

Perlu diketahui bahwa sebagian besar obyek wisata alam maupun buatan di Dieng berada di Dieng sisi Banjarnegara. Peta wisata yang dibagikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara memperjelas semuanya ketika saya membukanya di dalam bus yang melaju hati-hati dengan kecepatan sedang dari Kota Banjarnegara menuju Kecamatan Batur. Meski berulang kali menghindari aspal berlubang, bus yang saya tumpangi bersama kawan-kawan blogger yang sudah saya kenal sebelumnya di Blogger Camp Purwokerto 2015 lalu melewati hamparan hutan pinus dan kaki Gunung Lawe yang memikat mata. Pemandangan yang tidak akan didapat ketika memutuskan untuk naik bus menuju Dieng dari sisi Wonosobo.

Setelah menerobos keramaian Pasar Batur, bus yang membawa rombongan kami pun tiba di D’Qiano, tempat kami menginap. Letaknya berdekatan dengan Kawah Sileri, salah satu kawah aktif di Dieng yang masih terus-menerus mengepulkan uap belerang dari dasar bumi. D’Qiano sendiri merupakan penginapan yang memiliki kolam air panas yang sumbernya diambil dari Kawah Sileri. Kabar baiknya lagi jalan beraspal mulus di depan penginapan merupakan jalan alternatif dari jalur pantai utara (pantura) via Batang menuju Dieng. Ulasan tentang D’Qiano bisa diintip di sini.

Bukit Scotter Dieng
Bukit Scotter – Dieng

Keesokan harinya kami dibawa menuju sebuah bukit bernama Bukit Scotter untuk melihat pemandangan lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Tidak terlalu jauh dari pusat keramaian, bahkan ada beberapa homestay yang bisa diinapi di jalan besar sebelum masuk ke jalan desa menuju bukit tersebut (Tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang). Trek yang harus dilalui pun punya medan tidak terlalu berat. Hanya jalur tanah basah akibat hujan semalam yang sedikit menyulitkan anak kota apalagi selebriti ber-high heel. Meski bukit yang didaki tidak terlalu tinggi, jangan keburu pesimis dengan pemandangan yang bisa dilihat di atas sana. Langit cerah tanpa kabut mencetarkan view tiga ratus enam puluh derajat lembah Desa Dieng Kulon dari Bukit Scotter.

Selanjutnya, Dieng sisi Banjarnegara juga diberkahi peninggalan candi-candi beraliran Hindu Syiwa yang tersebar di wilayahnya. Kompleks Candi Arjuna yang terdiri dari Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra dan Candi Semar yang sudah didukung oleh Museum Kailasa dengan bentuk yang lebih bagus dan telah bertransformasi menjadi sebuah museum yang lebih mengedukasi pengunjung yang tertarik dengan sejarah candi serta perkembangan seni dan budaya di Dieng.

Masih ada candi-candi yang tersebar di beberapa tempat, seperti Candi Gatotkaca yang berada di bawah Bukit Pangonan, Candi Dwarawati, kompleks Candi Setiaki, dan Candi Bima. Masing-masing punya kekhasan dan dasar penamaan wayang dalam epos Mahabharata peninggalan Wangsa Sanjaya pada akhir abad ke-8 hingga awal abad ke-9 yang sudah menjadi warisan bernilai sangat tinggi bagi bangsa Indonesia. Sungguh nggak ada bosannya mengamati detil dari tiap candi di sini, setengah hari bukanlah waktu yang cukup bagi saya untuk memelototi mereka satu-persatu.

Waktu yang sudah diatur sedemikian rupa memang tidak memungkinkan saya mendatangi semua obyek di Dieng sisi Banjarnegara. Namun saya bersyukur bisa melihat Kawah Sikidang sekali lagi. Kawah aktif yang tidak kalah populer dengan Kawah Sileri dan Kawah Candradimuka ini masih mengepulkan uap belerangnya seperti beberapa tahun yang lalu. Bedanya, sudah ada beberapa atraksi baru yang menarik perhatian para turis. Flying fox yang menjuntai dari pintu masuk hingga titik terdekat dengan kawah menjadi salah satu pilihan turis yang ingin merasakan sensasi beda dalam menikmati keindahan Kawah Sikidang.

Kawah Sikidang
Kawah Sikidang

Diramaikan pula oleh penghibur yang memakai kostum barong, juga spot-spot untuk selfi dengan latar belakang kawah. Banyak yang mengeluhkan kealamian Kawah Sikidang jadi berkurang, namun belum ada ketegasan dari pihak pengelola sehingga berimbas pada kenyamanan pengunjung yang beneran ingin berwisata alam di Dieng. Di sisi lain, pemilik usaha dan pembuka jasa serta turis yang cuma numpang foto di spot selfi lalu pulang merasa diuntungkan.

Tentu setiap perjalanan punya cerita yang kelak dikisahkan beda antara satu dengan yang lain. Bagi saya Dieng tetaplah Dieng yang masih menjadi dataran tinggi yang cocok ditanami buah Carica dan tanaman Purwaceng yang bikin CENG. Dieng yang masih menyimpan kearifan lokal yang selayaknya dipertahankan. Senyum ramah dan sapaan dari warga dan petani yang saya jumpai sepanjang perjalanan kali ini sukses menjadi pelepas kepenatan. Rasa-rasa yang semakin sulit didapat di kota-kota besar.

Cheers and peace!

25 Comments Add yours

  1. Alid Abdul says:

    Ceng itu singkatan dari Ngaceng ya hahaha…
    Dieng semakin lama semakin banyak pengunjung, klo long wiken bikin geregetan hahaha. Tapi aku kok pengen berendam di air panas D’Qiano ituuu

    1. Nyesel koe gak ikut ke D’Qiano, Lid. Kungkum sak puase di kolam air panas e dari malam sampe esuk ora bikin pegel. Ben tambah nyesel, pas tulisan tentang D’Qiano publish, koe tak colek yes. 😛

  2. Hendi Setiyanto says:

    Hmmm kadang ironi saat kami warga Banjarnegara menuju Dieng lewat Wonosobo dan di pintu masuk, bus yang kami bawa harus tertahan lama karena harus membayar retribusi masuk kendaraan yang kas dananya masuk kabupaten lain padahal lokasi wisatanya di daerah sendiri.

    1. nah betul, mas. saya sebenarnya juga agak bingung, pdhl sebagian besar wisatawan ke dieng masuk melalui wonosobo, padahal obyek wisatanya sendiri banyak yang masuk kabupaten banjarnegara. saya sendiri kaget lho, waktu di candi arjuna pertama kali, kok tulisannya kabupaten banjarnegara.

    2. Hendi Setiyanto says:

      nah itu mas…aku pun sebagai warga Banjarnegara sedikit gimana gitu, memang bisa juga melalui jalur Banjarmangu-Dieng tapi memang aksesnya lebih jauh, kurang terkenal, rawan longsor juga

    3. Bisa dipastikan jika ribuan pengunjung yang hendak memadati puncak acara Festival Dieng Culture masuk Dieng lewat sisi Wonosobo ya? Hehehe. Menyisakan dilema juga sih jika belum ada kesepakatan antara dua kabupaten. Ini senasib dengan wisata ke Gunung Bromo yang kebanyakan lupa bahwa sebagian sisi wisatanya milik Kabupaten Probolinggo, namun wisatawan sering lewat via Malang atau kabupaten yang lain secara punya beberapa jalur untuk masuk ke taman nasional.

    4. Hendi Setiyanto says:

      ah…ini akibat dari politik pemecah belah yang dilakukan kompeni-kompeni hingga kini masih berlangsung…

  3. ghozaliq says:

    Kalau lewat Banjarnegara tapi yang gak lewat Wanayasa, beberapa ruas jalan bisa dikatakan parah, diperparah lagi dengan beberapa oknum yang bisa dikatakan menurut saya pungli di ruas jalan yang rusak tersebut. Biasanya kan hanya menawarkan untuk mengisi seikhlasnya, lha ini nyegat terus maksa ngasih.

    Terlepas dari kondisi ruas jalan di atas, sebagai anak yang besar di Banjarnegara, saya merasa sedih ketika dari tahun ke tahun rasanya dieng sudah semakin tidak dingin, hutan semakin berkurang, dan longsor semakin sering terjadi.

    1. Waktu naik bus bareng rombongan lewat jalur Banjarnegara memang betul saya juga lihat pak supir melemparkan uang ke beberapa kotak di tengah jalan yang sudah dijaga oleh gerombolan yang entah warga atau oknum. Sayang sih jika terus tertanam imej buruk seperti itu tanpa ada penanganan dari pihak berwajib. Ngarepnya setelah pemerintah gencar memberantas pungli, oknum-oknum di sana bisa ikut diberantas. 🙂
      Sepertinya pemerintah Kabupaten Banjarnegara punya banyak PR terkait dengan akses ke Dieng hehehe. Ayo mas, suarakan suaramu biar ikut didengar mereka. 🙂

    2. ghozaliq says:

      Saya sudah semenjak 2005 sudah jarang ada di Banjarnegara, sekarang kalau mudik ke Banjarnegara paling ya di rumah saja, saya kan jarang main mas,,, akwakw

      Semenjak saya tidak tinggal di Banjarnegara, jadi banyak hal yang terlewatkan oleh saya. Palingan ya hanya mengintip kabar Banjarnegara dari blog seperti punya Mas Hendi (itu yang komen di atas saya) atau beberapa blogger lain. Hehehe suara saya tidak lantang, jadi kecil kemungkinan untuk terdengar mas 😀

  4. Minum purwaceng terus makan gorengan di dekat kawah itu benar-benar nikmat hahahahahah.

    1. Awas kolesterol naik akibat terlalu banyak makan gorengan. trus awas salah masuk kamar karena kebanyakan minum purwaceng. Hahahaha.

  5. winnymarlina says:

    ada hutan pinus juga ya baru tahu dah halim

    1. Kalau lewat jalur Banjarnegara pasti akan disuguhi pemandangan pinus. Lewat Wonosobo disuguhi kebun teh dan kebun kentang hehe

  6. di puncak gunung prau ada patok penanda batas antar banjarnegara, wonosobo, dan kendal 😀

    1. Seru juga ya satu gunung ada patok triangle gitu hehehe

  7. BaRTZap says:

    Ke D’Qiano itu yang bareng Hendi ya acaranya Lim?

    1. Beda waktu, Bart. Hendi duluan ke sana bareng rombongan pemenang lomba blog, kalo daku ikut trip berikutnya bareng blogger. 🙂

  8. yofangga says:

    Wah, kenapa dulu waktu famtrip Jateng kita ga keliling-keliling lebih jauh ya 😣
    Padahal dulu ngebet banget pengen liet candi

    1. Hahaha famtrip yang dulu kan fokuse Wonosobo yang ada Tambi, Telaga Warna aja. Candi-candi masuk wilayahe Banjarnegara jadi nggak dimasukin. 😀

  9. dwisusantii says:

    Iya juga, banyak yang salah sebut lokasi terus temenku yang rumahnya banjarnegara protes wkwk.

    Lengkap sekali mas tulisanmu, mulai dari alam, Purwaceng (yang pernah aku baca di tulisanmu sebelumnya), sampai candi-candi yang ngarepp banget dibahas khusus dalam satu postingan tentangnya :p
    Aku penasaran sama Bukit Scotter 😮

    1. Seperti awal-awal banyak orang sering salah sebut Bodobudur di Yogya padahal aslinya terletak di Magelang hehehe. Maka dari itu harus diluruskan agar tidak semakin salah kaprah. 😀
      Tulisan tentang Dieng sisi Banjarnegara masih berlanjut di postingan berikutnya, sabar dulu ya. 🙂

  10. Gara says:

    Saya baru tahu kalau candi-candi itu tidak tumplek di satu lokasi, pikir saya seperti Gedong Songo yang ketujuh candinya ada dalam satu tempat sementara dua yang terakhir konon gaib, hehe. Saya berharap ada postingan khusus soal candi, rikues yak. Hoh, kalau ini mah tidak cukup satu kali mengunjungi Dieng, bahkan kalau itu cuma buat melihat candi. Candi yang di sebelah kanan di kumpulan dua foto itu candi apa, Mas? Unik, sisinya banyak.

    1. Postingan khusus candi sepertinya lebih asyik kalau sudah jalan bareng Gara ke Dieng hahaha. Serius, yok rencanain mlipir bareng ke Dieng. 😀

      Candi yang di sebelah kanan di gallery di atas itu Candi Gatotkaca yang terletak di dekat kompleks Museum Kailasa. Di dalamnya terdapat sebuah yoni.

    2. Gara says:

      Hayuk atuh Mas, kapan? Kita bahas lebih lanjut via japri yak, hehe.
      Hoo… menarik sekali. Makin penasaran ik.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.