Desa Sendangagung – Yogya Minggir Sethithik

Pagi itu kemacetan Jalan Godean kilometer satu hingga kilometer sekian masih begitulah kondisinya. Polusi udara dari asap knalpot kendaraan bermotor dan suara klakson yang bersahut-sahutan menjadi keseharian salah satu kecamatan di Sleman, D.I. Yogyakarta tersebut. Polusi mulai berkurang ketika sepeda motor yang saya tumpangi terus mengarah ke arah barat menuju perbatasan Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo. Sekian menit kemudian kami tiba ke sebuah desa di mana saya dan beberapa kawan akan menyaksikan kemeriahan sebuah gelar budaya.

Hamparan sawah ijo royo-royo yang saya lihat di jalan masuk desa seolah menyambut dan menegaskan bahwa di sinilah salah satu lumbung padinya Kabupaten Sleman. Selain memiliki persawahan yang menyegarkan mata, desa ini juga terletak di bantaran Sungai Progo dan punya beberapa bangunan peninggalan kolonial. Okay, yang terakhir bikin saya sedikit horny. Jaraknya hanya sekitar dua puluh tiga kilometer ke barat dari Kota Yogyakarta. Tidak terlalu jauh, kan?

Kecamatan Minggir Sleman
23 kilometer dari Kota Yogyakarta

Desa Sendangagung, namanya. Pemerintah Hindia Belanda ( nama Indonesia sebelum merdeka ) pernah menorehkan jejaknya di sini dengan menanam hektaran tanaman tebu untuk memasok kebutuhan suikerfabriek atau Pabrik Gula Sendangpitu. Masa kejayaan pabrik gula itu sudah berlalu, kini Desa Sendangagung menjadi lumbung padi Sleman sekaligus pusat dari Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta.

Gelar Budaya Desa Sendangagung yang diadakan pada tanggal 1 October 2016 di Lapangan Kebonagung berusaha menampilkan potensi seni budaya, kuliner khas dan kerajinan yang sudah berkembang sejak lama. Sebelum acara dimulai saya meluangkan waktu untuk melihat apa yang ditawarkan oleh stan-stan di sana. Mulai dari stan jualan telur asin, olahan ikan wader Sungai Progo, lalu kerajinan bambu, kain berpola hingga stan tatahan wayang kulit. Semuanya menarik dan beragam untuk potensi ukuran sebuah kecamatan.

Lalu bagaimana dengan pertunjukan seninya? Ada lebih dari sepuluh dusun yang menampilkan tarian dan peragaan tradisi di atas panggung. Salah satu yang menarik adalah peragaan Tradisi Wiwitan yang menggambarkan ritual mengucap rasa syukur kepada Dewi Sri atau dewi padi sebelum para petani memulai masa panennya. Sayangnya peragaan tidak dilakukan langsung di tanah lapang atau malah di sawah sehingga gambaran keseluruhan tradisi yang semakin langka ini tidak bisa diserap oleh generasi muda. Diikuti peragaan tradisi yang masih berkembang di tengah masyarakat Jawa seperti Tradisi Nyadran dan Sholawatan.

Tiba-tiba saja siang itu hujan deras menguyur Lapangan Kebonagung. The show must go on! Berkutnya tampil Tari Jathilan Turonggo Lancur, salah satu seni tari yang berkembang di Kecamatan Minggir sejak tahun ’60-an. Enam penari berkacamata hitam dengan kostum rompi merah muda dan hiasan bulu ayam (lancur) di atas kepalanya membawa alat peraga kuda kepang memanaskan suasana. Lalu ada satu penari dengan topeng agak menyeramkan berperan sebagai musuh. Tari ini menampilkan adegan beberapa personil seperti ayam jantan sedang bertarung.

Disusul pertunjukan Ketoprak Anak, Tari Tayub yang menampilkan empat pasang muda-mudi berparas cantik-ganteng menari dengan serasi yang sukses bikin para jomlo gigit jari! Acara ditutup oleh Tari Badui, salah satu tari khas Sleman. Penari Tari Badui diisi oleh dua baris anak-anak dengan kostum warna hijau yang saling berhadap-hadapan. Sementara kakek-kakek mereka membawa alat pukul seperti tambur dan bedug yang dimainkan secara bersahut-sahutan dengan lagu bersyair dakwah islam.

Keseruan ini belum berakhir! Malam harinya Desa Sendangagung menggelar pertunjukan Ketoprak yang dibawakan oleh penggiat seni dan warga Desa Sendangagung, termasuk Kepala Desa Sendangagung sendiri. Antusias warga masih bertahan. Mereka tertawa saat guyonan-guyonan rusuh dilontarkan. Ikut gregetan ketika melihat pemain yang terus-menerus jadi bahan ejekan lakon yang lain. Pertunjukan ketoprak ini baru selesai lewat tengah malam dan mengakhiri rangkaian Gelar Budaya Desa Sendangagung.

Usainya perayaan Gelar Budaya bukan berarti kreativitas dan aspirasi Desa Sendangagung terhenti. Saya melihat antusias warga dan harapan kepala desa dan para penggiat seni di sana agar desa mereka diangkat menjadi Desa Budaya. Saya pun berharap tahun depan digelar acara serupa atau mungkin dalam setahun digelar beberapa acara budaya bertaraf nasional. Tak ada yang mustahil untuk digapai jika semua dilakukan dengan niat dan kerja keras, kan?

Di beberapa tulisan, saya pernah berujar bahwa sekecil apapun desa atau kotamu pasti ada potensi besar yang bisa dikembangkan dan diperkenalkan. Dengan harapan agar generasi muda tidak mudah putus asa dalam melihat peluang demi peluang dari tempat tinggalnya yang semula dianggap tidak punya apa-apa. Sangat disayangkan jika pada akhirnya mereka lebih memilih merantau di kota yang lebih besar demi sesuap nasi lalu melupakan daerah asalnya. 😉

to be continued…

40 Comments Add yours

  1. Hendi Setiyanto says:

    Kadang kenyataan berkata lain, saat butuh duit banyak orang-orang desa yang terpaksa pergi merantau.

    1. Salut ama anak-anak muda yang memutuskan bertahan dan banting tulang di desa atau kotanya sendiri. Eh tapi banting tulang itu nggak bikin patah tulang kan? #malahtakon hahaha
      Juga salut ama nyong Banjarnegara bernama Hendi Setyanto yang aktif dan tulus dalam menulis tempat-tempat wisata di sana. 😀

    2. Hendi Setiyanto says:

      Buahahaha aku juga pengin meng kota tapi mungkin rejekine nang ndesa, apalagi lihat teman-teman yang sakses di kota hahaha eh tapi sebenere enak tinggal di desa sih, adem, segar, nyantai kecuali jadi orang kaya dan tinggal di kota sih oke-oke saja..

  2. mawi wijna says:

    Wekekekek, jadi keinget zaman dulu pas diriku masih seneng-senengnya keluyuran motret festival budaya. 😀 Dulu klo ga salah aku juga pernah lihat kompetisi pentas jathilan di seputaran Wedomartani, Ngemplak. Ramenya pas ada penari yang kesurupan. 😀

    Sendangagung. Sendangarum. Sendangmulyo. Sendangsari. Sendangrejo. Semua nama desa di kecamatan Minggir diawali kata “sendang”. 😀

    BTW, aku nyasar ke sini gegara link di Twitter. Lha yg domain .com sudah disahkan wafat Lim?

    1. Jadi saiki wes gak hunting festival budaya lagi, Wi? Trus berburu apa? Calon bini? Hahaha, bercanda.

      Seru kui iso dapat momen kesurupan. Jathilan ternyata menarik meski rada heran juga kenapa mereka pakai kacamata hitam semacam penari Sintren. Apa iya pake ritual sejenis? 😀

      Hooh domain .com-ku wes ndak aktif, saiki balik ke gratisan biar abadi, ra bingung mikiri domain expired. 🙂

    2. Saiki berburne Curug mas Mawi hahahhahaha.

    3. Mawi si master curug Indonesia 😀

  3. Wah jadi ingat masa kecil di Klaten, kampung mbah. Setiap ada resik desa, pasti ada acara kampung macam begini. Pancingan ikan-ikanannya itu loh! :)))

    1. Pancing ikan-ikanan masih bisa dijumpai jelang Mauludan di keraton alias Sekatenan. Trus merengek beli kapal othok-othok. 😀

  4. Hastira says:

    kalau bisa sih tradisi jangan hilang ya mas, sayang banget

    1. Kearifan lokal suatu daerah yang kaya budaya yang sepatutnya dipertahankan agar generasi penerus di sana bisa ikut menirunya. 🙂

  5. Danan says:

    Aku merindukan wisata budaya seperti ini,kapan ya terakhir lihat acara kaya guni

    1. Balik kampung dibarengin ama festival budaya Lampung, om. 😀

  6. Maya Nirmala Sari says:

    Udah lama juga ga diundang acara-acara budaya begini. (((( diundang ))))

    1. Jadi merinding baca komentar yang ini hahaha

  7. Deddy Huang says:

    Kamu nanti dinobatkan jadi duta pariwisata 2020 ya Halim.

    1. Doakan saya ya, kak Deddy. Jangan digandakan ke padepokan terdekat, cukup dukung lewat vote, ketik sms, dan jangan lupa kirim pempek ke Solo. 😀 😀

  8. Gara says:

    Berasa banget kearifan lokal dan budaya guyub rukun sebuah desa di pinggiran kota yang seolah-olah abai dengan bombardir modernisasi di luar, ya. Salut. Mudah-mudahan keaslian ini bisa abadi dan terus dibahanbakari oleh tulisan-tulisan liputan seperti ini. Kepengin deh menjadi bagian bahan bakar itu (ini kode samaaaar… kode samaaaar).
    Bagian akhirnya agak menohok, sih. Secara kalau ada apa-apa di kampung atau di Bali dan kalau saya diminta berpartisipasi pasti akan seratus persen yakin saya tolak, haha. Tapi asyik juga kali ya ikut pementasan seperti ini. Hm…

    1. Menariknya lagi warga Desa Sendangagung punya keterampilan yang tidak bisa dianggap remeh, mampu menciptakan peluang bisnis bagi anak muda di sana.

      Semoga kode samar sampai pada tujuan hahaha. Lalu bli Gara jangan lupa undang saya kalau ada perayaan besar di Bali atau Mataram juga boleh deh. 😀

  9. Setuju banget Halim, bahwa sekecil apapun bisa kita pasti ada Potensi Budaya yang bisa dikedepankan. Potensi tersebut dapat dipelihara atau bahkan dikembangkan untuk memajukan masyarakat.

    Acara budaya tingkat kecamatan seperti ini keren. Semoga semakin banyak kecamatan di Indonesia yang mengadakan. Dengan menampilkan beberapa keunikan tradisi setempat dalam pertunjukan seni secara otomatis akan melestarikan tradisi tersebut

    1. Mudah-mudahan diikuti kecamatan-kecamatan yang lain di D.I.Yogyakarta. Atau ada yang mau ikuti langkah sebuah festival tahunan di kaki lima gunung di Jawa Tengah yang warganya swadaya bikin Festival Lima Gunung, tanpa menggantungkan pada kucuran dana dari pemerintah tapi swadaya desa. Itu terdengar lebih keren lagi. 🙂

  10. niaharyanto says:

    Sedih ya kalau inget anak-anak desa yang sukses, akhirnya malah betah di kota. Bahkan di luar negeri. Coba kalo balik ke desanya, pasti desanya bakal berkembang pesat.

    1. Faktor lingkungan dan pendidikan dasar yang mereka terima sejak dini turut memberikan pengaruh yang besar bagi pola pikir mereka. Kembali ke kesadaran masing-masing dan kecintaan anak muda terhadap desa/ kota kelahirannya. 🙂

  11. winnymarlina says:

    bawa daku kesana halim

    1. Yogya dan kabupatennya nggak ada habisnya dijelajahi, Win. 🙂

  12. enak ya di jogja banyak gelar kebudayaan, jadi pengen ke pindah ke jogja 😦

    1. Sini pindah ke Yogya, Bud. Yogya dan Solo lagi menggeliat nih festival-festival budayanya. Malah merasa kekurangan waktu jika ingin meliput semuanya hehehe.

  13. Blog Eka says:

    Di jogja hampir tiap bulan selalu ada pagelaran seni, tapi udah satu tahun di sini belum pernah nonton… hehehe

    Kebanyakan ngeblog di rumah

    1. Padahal mulai tengah tahun Yogya selalu diramaikan festival dari yang tingkat desa sampai nasional loh. Ayo keluar rumah biar dapat lebih banyak bahan yang menarik hehehe.

  14. Chicha says:

    Jadi inget dulu waktu kecil seneng banget nonton Jathilan. Paling seru pas pemainnya ‘ndadi’ terakhir, soalnya paling garang dan penontonnya sampe lari-lari dikejar pemain yg kesurupan..

    1. Sampai dikejar-kejar? Seruu banget itu hahaha. Kenangan yang akan terus diingat apalagi melihat langsung tingkah laku yang kesurupan. 🙂

  15. Avant Garde says:

    desanya keren, masih ada bahkan banyak kesenian tradisi 🙂 mas, aku ngiler sm batik yg dipake pemain jathilan lancur, unik … aku bisa beli batiknya di kontak yg di artikel sebelumnya kah ?

    1. Kesenian asal Sleman masih dilestarikan oleh warga Minggir, khususnya Desa Sendangagung. Salut dengan mereka.
      Baju bercorak warna-warni yang dipakai oleh pemain jathilan bukan produksi Pak Kiyat yang saya tulis di tulisan selanjutnya, mas Isna. Mungkin jenis baju tersebut banyak dijumpai di Pasar Beringharjo, soalnya itu khas Yogya. 😀

    2. Avant Garde says:

      aku suka bajunya mas, kayak pake teknik celup kayak sibori / batik sasirangan kalsel :p

    3. Kalau di Pasar Beringharjo disebut srojan kembang Yogya hehehe. Itu jenis kain printing, bukan batik. 😀

    4. Avant Garde says:

      di klewer gak ada yo? harus ke jogja ..

  16. kereeeen desanya tetep menjaga warisan budaya

    1. Semoga langkahnya bisa diikuti desa-desa yang lain agar Indonesia semakin keren. 😀

  17. Jogja itu tempatnya orang kreatif, orang bebas yang idenya tidak pernah hilang, seniman yang inspiratif. Semoga zaman now tidak membuat kita lupa pada budaya dan kearifan lokal. Jogja memang istimewa

    1. Terima kasih sudah berkunjung di mari. Kadang yang bikin cemas malah minimnya regenerasi. Yang tua sudah menetap di desa dan membesarkannya lewat kreatifitas, tapi yang muda malah memilih merantau ke kota besar. 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.