Ada Apa di Boyolali?

Kabupaten yang terletak di sebelah barat Surakarta atau Kota Solo ini selalu diidentikkan dengan susu sapi perahnya yang termasyhur. Setiap hari berliter-liter susu disetor ke pengepul dan pemilik warung susu segar yang membuka lapaknya di Solo dan sekitarnya. Dibangun patung-patung sapi perah di beberapa sudut jalan raya dan sebuah patung raksasa di kompleks kabupaten baru seolah semakin mengukuhkan bahwa Boyolali itu kota sapi!

patung sapi di Boyolali
Boyolali tersenyum

Sebelum dikenal sebagai daerah penghasil susu sapi dan daerah yang punya kuliner khas Soto Seger, perlu diketahui bahwa Boyolali pernah disebut dengan nama Pos Tundan dan Gunung Pulisi. Kemudian muncul folklor tentang Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Tembayat dengan istrinya yang melakukan percakapan di sepanjang perjalanan dari Semarang menuju Gunung Jabalakat di Tembayat untuk menyebarkan syair Islam sekitar tahun 1815.

Inti dari percakapan mereka disiarkan turun-temurun dan secara tidak langsung menyematkan penamaan dari Salatiga dan Boyolali sendiri. Baca lebih lengkap kisah Ki Ageng Pandanaran II dan Nyai Ageng Pandanaran II di sini dan di sini.

Boyolali merupakan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dengan lokasi yang strategis menghadap Gunung Merapi serta berudara sejuk. Dari tingkat kenyamanan tersebut, Belanda pun memutuskan membuat suatu pemukiman untuk menampung tentara pos jaga dan warganya di sekitar jalan utama Solo – Semarang. Dibangunlah sebuah benteng yang diberi nama Fort Renovatum, tangsi-tangsi, rumah sakit dan fasilitas pemukiman yang lain.

Setelah Belanda mundur dari Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka) dan Indonesia dinyatakan merdeka, Boyolali sempat menjadi bagian dari Karesidenan Surakarta yang dibentuk tahun 1946. Sayangnya nasib karesidenan dan status Daerah Istimewa Surakarta sudah tinggal kenangan, sehingga Boyolali sampai sekarang berstatus sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti lima wilayah karesidenan yang lain ( Sukoharjo, Sukowati – Sragen, Klaten, Wonogiri, Karanganyar ).

Lalu bagaimana dengan nasib bangunan-bangunan kolonial di sana sekarang? Pertanyaan itu terjawab ketika Ibnu, seorang teman yang peduli dengan sejarah Boyolali mengajak saya dan kawan yang lain untuk mencari tahu sisa Kota Lama di pusat administrasinya, Kecamatan Boyolali. Pertama-tama saya ditunjukkan bekas Stasiun Boyolali yang mirisnya sudah tidak ada wujudnya lagi.

Padahal puluhan tahun silam pernah ada jalur kereta aktif dari Stasiun Purwosari menuju Boyolali. Uniknya kisah kereta Solo Purwosari – Boyolali adalah gerbong penumpangnya ditarik oleh sepasang kuda. Setelah lokomotif uap masuk, tenaga kuda diganti dan gerbong penumpang ditambah.

Menurut kabar yang tersiar, nasib rel-rel di sepanjang jalur tersebut sudah dilepas dan dipindah ke daerah lain oleh tentara Jepang ketika mereka menduduki Pulau Jawa tahun 1942. Diikuti dengan nasib stasiun matinya yang entah di mana letak pastinya sekarang. Hanya menemukan patok dan papan di seberang Panti Marhaen dan DPC PDI-P Boyolali di Jalan Duren yang sengaja dipasang untuk menandakan bahwa lahan itu tanah milik PT KAI.

Berjalan tak jauh dari sana, kami memasuki sebuah bangunan kosong yang diduga merupakan bekas pengadilan pada masa Hindia Belanda. Bentuknya rumah panggung berdinding kayu dengan lapisan lantai kayu yang masih kuat dipijak. Halamannya ditumbuhi semak belukar yang tinggi dan lebat. Tak ada penjaga di sana sehingga saya bisa dengan mudah menerobos masuk. Penghuninya hanya beberapa kelelawar yang sedang tidur siang di atap bangunan.

Penelusuran dilanjutkan menuju Simpang Lima Boyolali yang sudah berhiaskan kereta kuda nyaris terjungkal ehh Arjuna Wijaya yang proyek pembangunannya konon menghabiskan dana lebih dari enam miliar rupiah! WOW! Sayangnya kemegahan obyek baru itu menutupi bekas Societeit Bojolali atau kamar bola, istilah untuk tempat hiburan para tentara atau warga Eropa yang tinggal di Hindia Belanda saat itu.

Bangunan tua yang kini difungsikan sebagai Gedung Perpustakaan itu semakin terpendam dan tidak lagi mencolok karena tertutup oleh patung serta tidak ada akses masuk untuk kendaraan termasuk sepeda sekalipun. Pengunjung harus memarkir kendaraan bermotornya di Taman Hutan Kota Sonokridanggo.

Taman Hutan Kota Sonokridanggo sendiri ternyata merupakan bekas Benteng Renovatum yang sudah saya sebutkan di atas. Tidak ada sedikit pun penampakan sebuah benteng peninggalan kolonial lagi karena sudah diratakan dengan tanah. Kejutannya di belakang bekas Benteng Renovatum ini masih menyisakan sedikit nisan kuburan warga Eropa.

Jadi ada kemungkinan lahan yang kini digunakan sebagai Hutan Kota Sonokridanggo dulu merupakan salah satu kompleks kerkhof Boyolali. Nama di salah satu nisannya masih terbaca dengan jelas, Glara Hortense Jünc yang dilahirkan di Boyolali 10 Juni 1889 dan meninggal di Purworejo 6 September 1909. Tak jauh dari makam Clara Hortense Jünc masih ada satu makam yang masih utuh, Namun, tak ada prasasti yang menyebutkan siapa beliau. Hanya ada pretelan nisan dari kubur lain berukir Karel Simon.

Sementara itu, bangunan-bangunan milik pemerintah dan militer yang tersebar di sekitar Simpang Lima Boyolali masih meninggalkan sedikit kesan kekunoan di Boyolali. Seperti bekas tangsi militer yang memiliki angka tahun 1913 dan 1914 kini difungsikan sebagai tempat usaha. Lalu bekas rumah sakit milik Belanda sudah menjadi Kantor Dinas Kesehatan.

Kami kembali menelusuri Jalan Merapi di mana terdapat beberapa bangunan bersejarah bekas rumah sakit yang dibangun oleh Kasunanan Surakarta pada tahun 1910. Menjadikan bangunan tua itu sebagai rumah sakit tertua di Boyolali, jelas Ibnu.

Kediaman keluarga R Ng Pronosastro menjadi bangunan tua yang paling menarik untuk dikunjungi. Patung di halaman depan yang menggambarkan tokoh mitologi Yunani, Hercules yang sedang bertarung dengan seekor singa membuat rumah ini lebih dikenal warga sekitar dengan sebutan Omah Leo. Sejarah tentang rumah ini cukup panjang, mulai dari peranan pemilik sebelumnya sebagai dokter utusan Kasunanan Surakarta hingga pemilik selanjutnya yang mengubahnya menjadi sebuah villa.

Selain sisa kerkhof di Taman Hutan Kota Sonokridango, Boyolali juga punya kompleks kuburan warga Eropa di lain tempat. Gerbang bertuliskan MementoMori 1939 masih terlihat dengan jelas di salah satu jalan kecil di belakang Wisma Bhayangkari yang beralamat di Jalan Pandanaran 220. Wisma Bhayangkari yang memiliki arsitektur kolonial tersebut merupakan bekas rumah pejabat pemerintah Hindia Belanda yang bertugas di Boyolali.

Yang agak aneh adalah rumahnya memiliki jalan belakang tanpa pintu yang bisa tembus langsung ke kompleks kerkhof. Sayang tidak ada informasi yang bisa dikorek. Di kampung dengan gerbang Memento Mori juga tidak tampak sisa makam apalagi nisan sama sekali. Ada kemungkinan kerkhof baru itu belum banyak dihuni, Jepang sudah keburu masuk, atau alasan yang lain.

Jadi Boyolali nggak melulu soal susu, sapi dan soto, kan? Kisah bangunan-bangunan tua yang sudah saya jabarkan di atas bisa menjadi obyek menarik bagi pejalan yang menaruh minat dengan sejarah dan arsitektur kolonial. Ini belum semua dipamerkan loh.

Jadi masih tetap cari susu ketika mampir ke Boyolali? 😉

38 Comments Add yours

  1. Wah sekarang Boyolali jadi kota sapi? Di Bandung sih yang banyak peternak sapinya di daerah Pangalengan

    1. Sebenarnya desa penghasil susu sapi berada di kecamatan lain bukan di pusat administrasinya, tapi terlanjur dibangun banyak patung sapi di sana hehehe. Boyolali masih sejuk, view Gunung Merapi juga cakep dari sini. 🙂

  2. denaldd says:

    Berarti Boyolali ini kental dengan sejarah Belanda ya, terbukti dari bangunan2 yg ada di sana.

    1. Letaknya yang berada di jalur lintas antara kerajaan Mataram ( Kasunanan Surakarta ) dan pelabuhan ( Semarang ) menjadi salah satu alasan pemerintah Hindia Belanda membuat pos jaga saat itu. Dari alasan tersebut kemudian berkembang menjadi pemukiman diikuti fasilitasnya apalagi Boyolali dekat dengan Gunung Merapi sehingga udara sejuk. 🙂

    2. odydasa says:

      Sebenarnya peninggalan2 di Boyolali mencakup rentang yg panjang, dari masa klasik era Hindu-Buddha (candi, petirtan, sebaran arca & batuan kuno; peninggalan2 yg bisa dibilang ada di tiap kecamatan), masa peralihan (hei, kalau menyebut Kebudayaan/ Naskah Merapi Merbabu, maka Boyolali berada di lereng Merapi & Merbabu), masa Islam (kalau teringat Joko Tingkir yg kemudian jadi raja Pajang, dia orang Pengging, Boyolali, putra Ki Ageng Pengging/ Kebo Kenanga) dari era Demak hingga Mataram Islam, masa kolonial (kalau mau berkunjung ke makam keluarga Dezenje, ada di Ampel), masa pergerakan (ada tugu peringatan 1 tahun kemerdekaan nun di kecamatan paling utara, dekat stasiun), masa revolusi (ups, ada banyak cerita terkait pertikaian golongan agamis dan PNI melawan PKI, dan tentu tempat terakhir D. N. Aidit tidak lepas dari cerita ttg Boyolali jaman itu), masa pembangunan (orde baru dg tragedi kedung ombo), dll.
      Kapak batu prasejarah dan fosil binatang purba juga ditemukan di Boyolali.
      Tambah lagi ke masa yg jauh lebih tua, jaman geologi, terutama di Boyolali daerah utara patut utk jadi museum geologi krn kondisi lapisan2 kerak bumi yg unik, plus adanya Merapi terkait sejarah bencana alam.
      Rentang sejarah yg ada di Boyolali cukup panjang

  3. wah. boyolali punya kaitan dgn sunan tembayat ya. dakwahnya sempet di sana juga.
    Menarik mas, kudu diinventarisasi bangunan cagar budaya gini nih. Apalagi bekas kantor pengadilane. kok miris banget dibiarkan seperti itu. BPCB ne g masuk berperan po ya?

    1. Pasca Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Tembayat mundur dari jabatannya sebagai adipati Semarang, beliau melakukan perjalanan susur sungai yang melewati Salatiga dan Boyolali. Kalau dakwahnya sih dilakukan di Tembayat hingga ajal dan dimakamkan di sana kan? Iya e bangunan bekas pengadilan e mengenaskan, jadi museum atau rumah seni atau sebangsanya kan bisa yes. Setahuku BPCB sini baru kuat di percandian yang tersebar di Boyolali. 🙂

  4. Asyik memang kalau jalan-jalan sambil cari tahu sejarah tempat kita berpijak. Jadi nambah pengetahuan. Mantap!

    1. Terima kasih. Semoga bisa jadi arahan kalau mau telusur sejarah Boyolali. 🙂

  5. aqied says:

    Kalau mau ke Selo, bisa mampir Sumur Pitu juga, mas

    1. Sumur pitu? Bukan Situs Cabean Kunti ya? Kalau betul Cabean Kunti, itu akan diterbitkan di episode selanjutnya setelah tulisan ini hehehe.

  6. fahrurizki says:

    tergiur kalo melihat bangunan kolonial 😀

    1. Arsitekturnya selalu bikin berdecak kagum. Bahkan desain yang mereka rancang ada yang tergolong unik dan bertahan lebih lama dibanding bangunan modern yang marak dibangun saat ini. 🙂

  7. Hendi Setiyanto says:

    mowwwww……sapi-sapi dengan padang rumput luas nan hijau, kemudian teringat iklan susu yang legendaris itu

    1. Sayangnya sapi-sapinya peternakan sekarang nggak diumbar di lapangan berumput, masbro. Mungkin iklan susu yang itu syuting di luar negeri kali ya. 😛

    2. Hendi Setiyanto says:

      Hihihi…aku terlalu berkhayal

  8. dwisusantii says:

    Sekitar 6 milyar untuk kereta kuda yang buat masuk aja akses terbatas? 😮
    Mbok sik ojo kakean mubadzir lah yaa…itu masih banyak bangunan tua yang eman banget kalau tak diperhatikan 🙂
    Eh tapi boyolali tetep trademarknya susu yo mas? ya setelah baca ini paling nggak ada gambaran baru selain susu 🙂

    1. Dana segitu buat bikin bundaran baru dan pelebaran jalan simpang yang ditempel patung kereta kuda nyaris terjungkal itu hahaha. Konyolnya ada satu bangunan (Gedung Perpustakaan) di tengah bundaran yg nggak ada jalan masuk untuk sepeda, kan bikin perpustakaane jadi tambah sepi.

      Boyolali menarik dikunjungi, apalagi tiap pagi yang cerah selalu disuguhi pemandangan Gunung Merapi yang woww. 🙂

  9. Neni says:

    Dulu awal2 dibangun tak pikir malah mau buat replika kapal, mas. Habisnya runcing banget. Eh nggak taunya kereta kuda *jadi malu hahaa*

    Aku kok tertarik ke perpustakaannya ya? Di sebelah mana ya mas? Dimaklumin, bukan orang Boyolali 😀

    1. Perpustakaannya terletak di belakang ekor kereta kuda persis, masih di dalam bindaran tersebut. Dulu bangunan itu bekas soceitiet. 🙂

  10. Avant Garde says:

    makasih mas udah menulis tentang kota kelahiran saya 🙂 saya sebenarnya udah keliling ke beberapa tempat itu, tp masih nangkring manis di folder foto hehe.. ada sebuah kebanggaan akan kota lama boyolali, tapi ada satire di balik pembangunan ikon2 baru di boyolali bernilai fantastis yg seperti menutup mata kalo boyolali utara masih miskin, jalan yang rusak, kasus kedung ombo yang tak pernah selesai…

    1. Memang banyak keprihatinan, airport Adi Soemarmo Solo aja letaknya di Kabupaten Boyolali. Selo yang punya pemandangan kece ehh tiap musim penghujan selalu dirudung kemalangan karena jalannya selalu berlubang dan bikin pengemudi was-was bahkan malas lewat sana. Waduk Kedung ombo pernah dengar juga kasusnya. Apa lagi ya? Ah sudahlah… Mari menikmati Boyolali dari Kota Lama dan candinya dulu. 😉

  11. jonathanbayu says:

    Selalu ke Boyolali kalo pulang ke Solo, soalnya ada saudara juga disana 🙂
    Rasanya lebih nyaman dan tidak seramai Solo..

    1. Boyolali sebelas dua belas dengan Salatiga. Suatu hari nanti kita mesti meet up lanjut minum susu segar, okay? 😀

    2. jonathanbayu says:

      Iya bener banget mas, btw saya juga baru balik dari Salatiga hehe
      Oke banget mas! Bakalan seru haha

  12. Fubuki Aida says:

    Saya baru tau boyolali punya byk peninggalan sejarah

    1. Bangunannya rata-rata baru muncul tahun 1920-an, punya sejarah yang nggak kalah menarik dengan pusat pemerintahannya dulu ( Surakarta ) karena komoditi kuat dan merupakan jalur lintas Surakarta-Semarang. 🙂

  13. odydasa says:

    Boyolali jebulnya termasuk pusat pusaran sejarah.
    Tentang Boyolali & susu, ada baiknya ada kajian sejarahnya juga.

    Tentang perpus, itu penghormatan Boyolali terhadap ilmu pengetahuan, ditaruh di pusat kota.
    Di mana perpus2 di berbagai kota lainnya? Adakah yg di tengah kota?

    1. Betul banget rata-rata perpus daerah pasti berada di pinggir, jarang yang di tengah keramaian seperti Boyolali punya ini. Salut. Untuk pengolahan susu saya masih perlu info tempat dan kegiatannya jadi belum tulis secara detail. Mungkin mas Ody bisa bantu? 🙂

    2. odydasa says:

      Tentang susu, mungkin bisa dicari jejak, apakah sapinya asli sapi jawa atau impor. Kalau impor, jenisnya apa, dari mana, kapan, dan oleh siapa. Sejarah persusuan ini sepertinya belum ada yg mengangkat.

      Kolonial Belanda sudah memulai persusuan di Nusantara, ada beberapa sentra peternakan sebagai suplai susu, pun pengolahannya. Dari hasil jalan-jalan dan blogwalking, ada beberapa tempat di sekitar sini, aku lupa, tapi kalau tidak salah Salatiga, Magelang/ Muntilan, juga Kudus.

      Untuk Boyolali sepertinya tidak banyak catatan yg ditemukan, Peran Kolonial Belanda di perkebunan di abad ke-19, dan awal abad ke-20 untuk persusuan justru ketemunya di Wikipedia ttg Boyolali yg versi bahasa Jerman (https://de.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Boyolali). Dengan jeda sekitar 1/2 abad kemunduran persusuan, dekade 1980an dikembangkan lagi oleh Pak Harto.

      Sekedar ketemu remah-remah sejarah seperti itu.
      Tapak sejarahnya? Di Kudus ada peternakan & tempat jualan susu, Susu Muria, ceritanya sudah ada sejak jaman Kolonial Belanda, cukup besar, bersih, dan asri, dg ubin kandang dari batu-batu persegi. Nah, tapak sejarah macam itu utk persusuan belum ketemu di Boyolali, untuk perkebunan masih tersisa beberapa, termasuk jalanan bersusun batu di pabrik teh di Merbabu.

  14. Gara says:

    Saya malah belum pernah minum susu asli dari Boyolali secara langsung di sana, Mas. Oke di pertemuan kedua nanti kita usaikan apa yang belum usai dan memulai menyelisik beberapa situs baru. Memang kaya banget kabupaten ini. Bersyukur banget bisa jalan kemari dan kenal Mas Ibnu yang cinta banget akan peninggalan di Boyolali, hehe. Ayo kita persiapkan pertemuan kedua!

    1. Warung susu di Boyolali biasanya mulai buka jelang sore. Huehehe jadi nggak salah yah kemarin Gara kupertemukan dengan Ibnu, jadi bisa ketemu situs dan pengalaman baru di Boyolali. Marilah agendakan pertemuan kedua! 😀

    2. Gara says:

      Nggak salah banget Mas, sekali lagi terima kasih banyak, ya.
      Sip, hayuklah… supaya kita bertiga bisa jalan bareng, haha.

  15. Ratna says:

    Min, bisa minta artikel lebih lengkapnya tentang Omah Leo?? atau kontaknya mas “Ibnu”??
    Penting buat tugas sejarah kak….

  16. Roby says:

    Mau konfirmasi mas.. omah leo tidak difungsikan sebagai villa seperti yg di katakan di atas.. dan omah leo masih dimiliki oleh keluarga keturunan R.Ng Pronosastro.. terima kasih

    1. Terima kasih sekali atas ralatnya. Akan segera saya ubah yang keliru. Salam kenal dan salam budaya, mas Roby. 🙂

  17. jeffrey says:

    Tulisanmu di blog ini semakin meyakinkanku bahwa Pulau Jawa mempunyai daya tarik wisata di setiap kabupatennya. Jawa bagian tengah tidak hanya Semarang, Solo, dan Yogyakarta.

    1. Terima kasih sudah berkunjung. Kota-kota kecil di Jawa menarik ditelusuri dan dibahas satu-persatu. Mari bertualang di pulau Jawa. 😉

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.