Grebeg Syawal Keraton Surakarta

Tidak pernah ada kata terlambat bagi setiap manusia untuk belajar tentang kehidupan. Kesalahan yang pernah dilakukan tidak akan diulang lagi setelah menyadari bahwa itu salah. Pun dengan peluang bagus yang pernah diraih akan terus dipertahankan agar memberi penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Leluhur-leluhur telah mewariskan tradisi demi tradisi yang sejauh ini ada yang masih dipertahankan, ada pula yang telah tergerus oleh modernitas. Entah sadar atau tidak, warisannya yang luhur telah ditanamkan nilai-nilai yang sewajarnya menjadikan individu yang lebih beriman, bermoral, dan nilai kebaikan yang lain.

simbol-simbol di pintu selatan Keraton Surakarta
simbol-simbol di pintu selatan Keraton Surakarta

Lahir dan besar di Surakarta, sebuah kota yang merupakan penerus dinasti Mataram Islam membuat saya mengenali beberapa acara budaya yang diselenggarakan tiap tahunnya. Sebut saja tradisi Sekaten dan Grebeg Maulid yang digelar untuk menyambut Hari Raya Maulid Nabi. Lalu Grebeg Besar untuk menyambut Hari Raya Idul Adha. Pada bulan Ramadan sendiri selalu ada dua agenda tahunan yang diselenggarakan oleh pihak Keraton Surakarta, yaitu Malam Selikuran dan Grebeg Syawal atau sering disebut Grebeg Pasa.

Malam Selikuran adalah tradisi luhur masyarakat Jawa yang tetap lestari hingga kini. Selikur berasal dari bahasa Jawa yang artinya dua puluh satu. Boleh dibilang malam ke-21 Ramadan guna menyemarakkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan yang di dalam Al Quran disebutkan sebagai malam kemuliaan atau Lailatul Qadar atau malam seribu bulan.

Tradisi ini sebenarnya sudah muncul seiring dengan masuknya agama Islam di Pulau Jawa. Dalam penyebaran ajaran agama Islam, para Wali Songo menggunakan pendekatan budaya Jawa agar masyarakat gampang menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Dampaknya seiring dengan bergulirnya waktu dan pergantian dinasti, tradisi ini tetap dipertahankan oleh pemimpin kerajaan-kerajaan yang baru beserta rakyatnya.

Malam Selikuran di Keraton Surakarta diwarnai oleh tradisi membawa keliling lampion atau lampu ting. Tak ketinggalan para abdi dalem mengarak tumpeng besar yang telah disiapkan oleh dapur Gondorasan ( dapur keraton ) setiap tahunnya. Ikut disiapkan pula seribu bungkus nasi uduk yang diberi pelengkap kedelai hitam dan lombok hijau yang dimasukkan ke dalam beberapa kotak kayu.

Tumpeng yang diisi kulit krecek, ayam kampung dan sisiran pisang raja digotong oleh para abdi dalem dan diarak mengelilingi dalam Baluwarti atau dalam benteng Keraton Surakarta. Iringan tersebut akan berakhir di serambi Masjid Agung Surakarta. Lalu tumpeng dan kotak-kotak yang berisi nasi bungkus diturunkan. Setelah dilakukan doa bersama, seribu bungkus nasi uduk dibagikan kepada para abdi dalem dan warga yang mengikuti acara Malem Selikuran hingga selesai.

prajurit Keraton Surakarta - Grebeg Syawal
prajurit Keraton Surakarta – Grebeg Syawal

Ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, Kasunanan Surakarta masih punya sebuah agenda budaya Grebeg Syawal untuk menyambut 1 Syawal. Tradisi yang juga dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta tersebut biasanya berlangsung pada hari lebaran kedua menurut penanggalan kalender Jawa. Pihak Keraton Surakarta mengeluarkan dua gunungan yang diisi hasil bumi seperti sayur-mayur dan sedekah bumi lain yang telah disiapkan oleh dapur Gondorasan sehari sebelumnya.

Diawali dengan arak-arakan prajurit keraton yang sudah berpakaian lengkap dengan senjata dan peralatan musik sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Mereka akan memulai baris-berbaris dengan diiringi musik dari alat musik tipu dan pukul dari Magangan menuju ke dalam Sri Maganti. Di sini mulai terasa sekali kesakralan tradisi keraton yang masih kental dan dijunjung oleh masyarakat.

Abdi dalem perempuan yang memakai busana Jawa dengan kemben dan jarik yang menutupi tubuhnya berjalan menuju Bangsal Smarakatha untuk meminta restu dari Sri Susuhunan Paku Buwono atau yang mewakili. Setelah mendapat izin barulah gunungan bisa dibawa masuk oleh para abdi dalem kemudian digotong keluar keraton melalui pintu utara atau Kamandungan.

Musik kembali dimainkan oleh prajurit keraton. Mereka beriringan menembus keramaian untuk memberi jalan gunungan yang akan melewati Pagelaran, alun-alun utara, dan berakhir di Masjid Agung Surakarta. Sorakan dan antusias warga berbaur dengan musik yang mereka mainkan.

Gunungan yang sudah tiba di serambi Masjid Agung Surakarta akan didoakan oleh pihak yang mewakili masjid. Gunungan Jaler yang berisi hasil bumi berupa sayur-mayur kemudian diletakkan di depan serambi masjid dan diperebutkan warga. Sedangkan Gunungan Estri yang berisi ubo rampe dibawa kembali ke pelataran Kamandungan dan diperebutkan warga di sana.

Warga yang saling berebut sedekah bumi menjadi tontonan yang kadang menakutkan sekaligus mengesankan. Tak jarang mereka masih mempercayai dengan apa yang didapat saat grebeg bisa memberi mereka berkah, keselamatan hingga hal baik yang lain. Suatu bukti bahwa tradisi demi tradisi warisan leluhur masih bertahan selama beberapa generasi tanpa mengesampingkan nilai keagamaan dan kepercayaan yang dianut masing-masing. 🙂

23 Comments Add yours

  1. Hendi Setiyanto says:

    Btw untuk mendanai ritual atau acara kebudayaan seperti ini, pihak keraton apa dapat kucuran dana dari pemerintah daerah Surakarta? termasuk juga untuk kehidupan sehari-hari guna keberlangsungan keraton, itu apa ada anggaran khusus yang disediakan oleh pemda atau memang pihak keraton sendiri punya banyak uang?

    1. Mereka mendapat dana dari pemerintah kok. Masuk dalam agenda tahunan pariwisata Solo juga dengan maksud agar tradisi ini nggak pudar. Kalau biaya kehidupan sehari-hari keraton dan abdi dalem ehmm ceritanya panjang hahaha. Yang pasti Solo yang bukan lagi daerah istimewa tentunya punya nasib keuangan dan pelestarian yang berbeda jauh dengan “adik”-nya D.I.Yogyakarta 🙂

    2. Hendi Setiyanto says:

      hmmm..masih penasaran darimana duitnya?

  2. dwisusantii says:

    Lengkap ulasannya yaaa. :))
    Perjuangan banget enggak mas ambil poto ketika grebeg? Kan di tengah tengah lautan manusia

    Nah gunungan aja berpasangan yak, ada jaler sama estri? Masa kamu …. engggg ak

    1. Perjuangan banget pas nerobos kerumunan penonton. Untungnya Grebeg Syawal nggak seramai Grebeg Maulud. Grebeg Besar pas Idul Adha juga nggak ramai, enak buat foto-foto hehehe.

      Anuhh pasangannya masih di ngilang entah ke mana. Biarkan dia ngilang terus biar nggak ngabuburit alias ngajak buru buru merit #malahdijawab 😛

  3. grebek syawalan??
    hari jumat, tgl 8 saya juga lagi ada disana lhoo..
    sempet motret dikit yang lagi rebutan gunungan di luar itu.
    hehehe

    1. Wahhh masa? Tahun ini saya meliput dari dalam, lalu sempat ikuti gunungan keluar ke masjid dan balik lagi ke Mandungan. Kok nggak ketemu ya? Hehehe.

    2. endahkwira says:

      Wahh asyiknya, bisa meliput dari dalam..
      kita gak ketemu karena memang belum pernah ketemu kk Halim..
      mungkin kapan2 bisa ketemu di kopdar mana kek gitu..

  4. Yudi says:

    Jadi sebenarnya arti dari grebeg itu apa ya bang? Macam arti grebek kah? Alias sidak atau razia gitu?

    1. Grebeg beda dengan sidak, kak Yudi. Grebeg keraton berasal dari kata garebeg yang artinya bisa dibaca jelas di sini –> Grebeg Maulud Keraton Surakarta. 🙂
      Tradisi ini diperkenalkan oleh dinasti Demak kemudian Mataram Islam, dipertahankan dan dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan yang sekarang di Solo dan Yogya hingga sekarang.

  5. Dian Rustya says:

    Pengin sekali-sekali menyaksikan langsung Gerebeg Sedekah ini (((tapi kapan?)))

    1. Tapiii-nya perlu digarisbawahi plus ditebalin hahaha. Next event keraton ada Grebeg Besar pas Idul Adha, cuma info aja sihh 😛

  6. Lindaleenk says:

    Rame banget kan ya biasanya
    Apalagi yg pas rebutan gunungan

    1. Puncaknya pas rayahan atau rebutan gunungan, semua berebut ambil apa saja yang tertempel di sana. Seruuunya di situ hahaha 😀

  7. Jadi ingat di Jogja. Walau nggak pernah lihat secara langsung, tapi banyak foto yang mendokumentasika waktu rebutan sedekah bumi.

    1. Yuk kapan kancani hunting grebeg di Yogya, pingin lihat beda keseruannya nih 😀

  8. Duh belum pernah nih mas lihat langsung ke keraton untuk merasakan suasananya.

    1. Ayok sempatin nonton grebeg, mas Nurul. Kearifan lokal di Jawa yang masih bertahan hingga sekarang, mumpung belum pudar seiring berjalannya waktu 🙂

  9. kalo dger ceritanya keraton surakarta jadi sedih sendiri. tp utglah hal-hal kayak gini gak punah begitu saja.

    1. Event budaya tahunan warisan keraton masih bertahan hingga sekarang meski ada beberapa unsur yang hilang karena sebab tertentu. Yang masih disayangkan adalah tradisi boyong kedaton yang sudah tidak diselenggarakan secara meriah lagi oleh Keraton Surakarta sebagai peringatan perpindahan keraton dari Kartasura menuju Surakarta. 🙂

  10. Belum pernah lihat grebeg solo.. jogja sering banget, bapak saya abdi dalem soalnya

    1. Saya malah belum pernah lihat grebeg di Yogya hehehe. Pernah mlipir nonton sekaten dan lihat gamelan di Masjid Gede aja. Sebentar lagi Grebeg Besar, semoga bisa lihat keseruan gunungan yang di Yogya 🙂

  11. Avant Garde says:

    ngaturaken sugeng riyadi ya mas, maaf lahir batin 🙂
    aku kemaren ke solo bentar buat nonton di ss, mas halim aku cek di twit lagi ada acara kemana gitu
    semoga bisa sungkem kapan2 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.