Spiegel: Kuno, Kini, Nanti

Ketika berbicara mengenai nasib bangunan-bangunan tua di Indonesia selalu saja muncul perdebatan siapa yang layak dikambing-hitamkan. Tanpa perhatian khusus dari pihak yang peduli, bangunan berumur lebih dari seratus tahun itu kelak runtuh, bahkan sengaja dirobohkan agar bisa memberi aura baru, modern, jauh dari kesan kuno.

Ironis memang. Kekunoan justru dilestarikan dan diunggulkan di negeri tetangga bahkan benua seberang untuk menarik perhatian turis-turis mancanegara. Sementara kekunoan masih dianggap barang mahal di Indonesia. Deretan rumah tua diabaikan begitu saja. Bahkan karya para arsitek ternama pun dipoles berlebihan hingga menghilangkan rohnya. 

Spiegel building before restoration 2013
H Spiegel – 2013

Masih membekas dalam ingatan sebuah pameran yang pernah diadakan oleh komunitas Lopen Semarang di sebuah bangunan tua di Kota Lama, Semarang tiga tahun lalu. Tidak pernah sekalipun membayangkan bisa berkesempatan masuk ke sebuah bangunan megah tak berpenghuni yang selalu dilintasi saat mondar-mandir di kawasan Kota Lama. Letaknya sangat strategis, di depannya terdapat sebuah taman yang kini diberi nama Taman Srigunting.

Di seberangnya ada bekas bangunan supermarket dengan dinding dominan warna kemerahan bernama “De Zikel” yang kemudian namanya diganti menjadi “Marba”. Lalu tempat beribadah Koepelkerk atau Gereja Blenduk masih terlihat gagah jika dilihat dari sudut ini. Siapa saja yang berjalan di area ini pasti pernah melintasi atau bahkan mengintip dengan rasa penasaran. Siapa dia? Ada apa di dalamnya?

Bangunan bertingkat dua ini awalnya bernama N.V. Winkel Maatschappij H. Spiegel, sebuah toko serba ada yang menyediakan keperluan rumah tangga dan keperluan kantor. Dikisahkan bahwa pendirinya bernama Addler yang membangun bangunan tersebut pada tahun 1895, Herman Spiegel menjabat sebagai manajernya. Lima tahun kemudian Herman Spiegel menjadi pemilik tunggal dan memberi torehan namanya di ujung atas bangunan seiring dengan status tokonya yang menjadi perseroan terbatas tahun 1908 masa Hindia Belanda (nama sebelum Indonesia merdeka).

Selain menjual kapas hingga bahan tekstil, Spiegel juga menjual mesin ketik, furniture, alat olah raga dan barang-barang keluaran terbaru. Lantai duanya difungsikan sebagai gudang. Tidak mempunyai balkon dan halaman depan. Seluruh dinding luarnya diplester dan dicat dengan lengkungan khas warna merah bata di jendela lantai duanya.

Struktur bangunan yang dipengaruhi gaya Spanish Kolonial tersebut dibangun dengan sistem tumpukan batu bata tebal seperti kebanyakan bangunan di kawasan Kota Lama. Tanpa cor beton seperti bangunan sekarang. Bisa dibayangkan serapuh apa jika truk-truk tronton besar dari pelabuhan dibiarkan melintasinya setiap hari, setiap tahunnya, atau puluhan tahun lagi.  

Waktu berjalan, masa kejayaannya lewat begitu saja. Kolonial hengkang dari Nusantara dan bangunan ini termasuk satu dari puluhan bekas toko dan perkantoran milik swasta Belanda dan warga Eropa lain yang terabaikan di Semarang. Dilelang dan ganti kepemilikan semakin memperburuk kondisi mereka.

Rantai “kambing hitam” mulai bergerak. Pemerintah daerah di beberapa kota dituding tidak becus mempertahankan pelestarian bangunan cagar saat sebuah cagar budaya rata dengan tanah. Pemerhati sejarah hanya bisa berbicara, berpetisi, atau terkadang hanya bisa menggelengkan kepala saja. Posisi lemah karena tidak ada miliaran rupiah uang untuk membelinya. Dari kesempitan ini muncul peran investor yang suka dengan kekunoan, punya materi yang cukup dan misi yang kuat untuk membawa kuno menjadi kekinian. 

Lewat pameran bertajuk “Kuno, Kini, Nanti” yang digelar oleh komunitas Lopen Semarang, saya melihat lebih dekat seperti apa isi gedung Spiegel yang sempat terlantar bertahun-tahun. Pameran yang diadakan tanggal 22-28 Agustus 2013 tersebut tidak hanya mengangkat nama Spiegel yang sudah jatuh ke tangan PT Spiegel Nusa Archindo saja.

Gambar-gambar Semarang tempo dulu, torehan kejayaan Oei Tiong Ham sebagai raja gula terkaya se-Asia pada masa Hindia Belanda ikut diangkat. Pemetaan kota, kamp etnis Tionghoa, Arab, dan bumiputra, jejak benteng Fort Prins van Oranje, dan sejarah perkeretaapian pertama Hindia Belanda di Semarang ikut dipamerkan di sana. 

Adalah seorang Sitha, pemilik sekaligus direktur PT Spiegel Nusa Archindo. Arsitek lulusan Perth, Australia. Bangunan ini dibeli tiga tahun lalu karena satu alasan bahwa orang tua dan kakek-neneknya berasal dari Semarang. Kecintaan orang tuanya terhadap kota di mana mereka dibesarkan mendorong Sitha untuk menyelamatkan paling tidak satu bangunan. Sepenggal paragraf yang menerangkan tentang pemilik baru Spiegel di ruang pameran.

Dari situ saya menilai bahwa tidak ada yang mustahil dalam upaya mempertahankan sejarah masa lalu. Bukan bermaksud membanggakan kejayaan Hindia Belanda yang pernah memberi masa masa kelam bagi Nusantara, melainkan menumbuhkan kesadaran bahwa sebuah negara tumbuh dan besar akibat peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Tanpa masa lalu, mungkin tidak akan muncul suatu kebebasan seperti sekarang. 

Pemilik baru Spiegel tidak ingkar janji apalagi memberi harapan palsu. Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya Spiegel selesai direstorasi dan dibuka dengan wujud lebih segar pada pertengahan tahun 2015. Muncul dengan nama Spiegel Bar & Bistro yang menempati lantai bawah seluas 17 x 17 meter dengan meja bar diletakkan di tengah-tengahnya. Bistro ini mampu menampung sekitar seratus empat puluhan pelanggan.

Saat itu lantai atasnya belum berfungsi semua, alasannya lantai dirasa masih belum kuat ditimpa beban yang terlalu berat. Dindingnya tidak diplester, lapisan batu bata sengaja diperlihatkan. Kemudian ada meja dan kursi terbuat dari kayu yang sengaja diletakkan di sana. Membuat ruang tidak lagi terlihat kosong maupun menyedihkan. Usaha mbak Sitha selaku pemiliknya tidak sia-sia. 

Saat berkunjung ke sana beberapa waktu lalu, suasananya sudah terasa jauh berbeda dengan kunjungan pertama kali saya. Tanpa mengubah fasad asli bangunan, mereka berhasil menghidupkan kembali Spiegel. Tidak ada kesan rapuh apalagi seram, justru memberi kesan sebuah tempat makan yang nyantai.

Kamar kecil di pantai dasar pun sudah disesuaikan dengan tema yang diangkat. Koran lawas menghiasi dindingnya. Keran untuk mencuci tangan warna tembaga dijajarkan dengan rapi. Ahh, beneran memberi kesan seperti masuk restoran zaman baheula. Seolah roh Spiegel berhasil dihidupkan kembali dengan fungsi baru yang siap sedia menerima tamu dari berbagai golongan. 

“We learn from the past, we observe it in our current condition to prepared our future to be better than before.” mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh Yogi Fajri dari Lopen Semarang.

Save our heritage! 😉

50 Comments Add yours

  1. Hendi Setiyanto says:

    daripada diserahkan ke pemerintah namun akhirnya tak terurus maka dikelola oleh swasta mungkin bisa jadi solusinya dengan catatan tidak merobohkan gedung bersejarahnya. Andaikata mau dirubah tampilan interiornya mungkin masih bisa ditolerir kali ya, asal fasad luar tetap asli

    1. Sudah banyak contoh bangunan cagar budaya berhasil dialihfungsikan menjadi cafe, restoran, bahkan hotel. Tinggal menunggu sentuhan investor yang beneran cinta dengan kekunoan agar nasib bangunan ratusan tahun nggak sia-sia 🙂

  2. Saya punya foto gedung ini yang masih Acakadul. Fotonya diambil malam hari saat hujan hujanan pulang. Bikin merinding sih waktu itu. Tapi melihat bentuknya yang sekarang ikut bersyukur bahwa bangunan tua itu terpelihara dan bisa dikomersilkan 🙂

    1. Spiegel yang sekarang sudah jadi salah satu tempat nongkrong wisatawan yang melepas lelah seusai keliling dan hunting foto di Kota Lama. Ada beberapa tempat yang sudah difungsikan jadi restoran dan kafe. Akan kuulas di tulisan berikutnya 😀

  3. denaldd says:

    Tadi baca judulnya aku pikir cerita tentang kaca karena Spiegel artinya kaca, ternyata nama orang dan bangunan😅 aku baru tahu ada komunitas Lopen di Semarang. Tapi biasanya kalo jalan kaki santai itu namanya wandelen, kalau lopen itu jalan kaki secara umum *lah aku kok malah bahas kata haha maaf. Halim, pernah ke Noeri’s cafe belum? Yg letaknya depan stasiun Tawang. Nah, Spiegel ini mengingatkanku dengan Noeri’s cafe. Kami ke sana 2014, dan suamiku sukaa banget karena isinya benar2 barang2 kolonial gitu.

    1. Hihihi Spiegel nama yang tertera di ujung bangunan, diambil dari nama Herman Spiegel. Kalau mbak Dena mlipir ke Semarang bisa colek twitter atau FB @LopenSMG atau search Lopen Semarang, barangkali aja ada event yang sedang atau akan berlangsung 🙂

      Belum sempetin ke Noeri’s Cafe, karena pas lewat siang hari masih tutup. Kalau nggak salah sekarang buka agak sore. Tahun 2016 ini banyak kafe dan resto baru loh, dijamin mbak Dena dan suami makin betah seharian di Kota Lama Semarang. Ulasan kafe yang lain di sana segera akan kutulis 😀

  4. BaRTZap says:

    Spiegel yang sekarang sangat menyenangkan ya, dan gak nyangka kalau dulunya hanya gudang dan toko. Pernah makan di restonya itu sekali, secara umum sih enak, terutama ‘tumis jamurnya’ (aku lupa nama asli masakannya) meskipun minyaknya agak kebanyakan buat lidahku 🙂

    Spiegel yang sekarang membuat area Kota Lama Semarang jadi lebih bersahabat untuk dikunjungi, terutama di malam hari. Aku sih berharap supaya bangunan Marba yang ada di depannya juga bisa diperbaiki seperti Spiegel ini, pasti gak kalah cantik dan akan membuat kawasan kota lama tersebut menjadi semakin menyenangkan 🙂

    1. Gedung Marba masih jadi kantor dan aktif seperti JiwaSraya di sebelahnya, Bart. Spiegel jadi pencentus dan diikuti beberapa investor lain yang membeli atau menyewa bangunan kuno di sana untuk dijadikan kafe dan resto. Kekurangan Kota Lama cuma satu, belum ada guesthouse yang mampu menampung wisatawan seperti yang pernah kulihat di Penang. Tinggal menunggu waktu kali ya hehehe. Kalau sudah lengkap dengan fasilitas untuk turis niscaya Kota Lama Semarang layak jadi percontohan heritage city di Indonesia 😉

    2. BaRTZap says:

      Iya betul, seandainya dibangun hostel2 di situ pasti bisa deh menyaingi Georgetown.

  5. Dua kali ke sini. Memang agak pricey dibanding resto-resto di sekitarnya. Tapi dengan begitu, orang yang menikmatinya pun pilihan, nggak ada alay instagram yang datang cuma buat sekedar foto. Semoga tetap terawat ya.

    1. Waktu makan di sana juga nggak tampak banyak alay instagram beredar hehehe. Kebanyakan pelanggan beneran menikmati suasana gedung dan memesan makanan bahkan gelato yang dijual. 🙂

  6. Monda says:

    Spiegel jadi cantik ya….dengan tetap menjaga keaslian eksteriornya

    1. Dibandingkan dengan kondisi tahun 2013, bentuk tidak ada yang diubah, hanya berbeda karena penambahan perabot dan hiasan yang semakin mempercantik Spiegel. 🙂

  7. Salut sama sama yang berhasil menyulap spiegel itu. Spiegelnya kini terlihat sangat keren, tanpa menghilangkan unsur sejarahnya. Paling suka sama interiornya…. pengen kesana 🙂 🙂

    1. Ayooo ke Spiegel, merasakan dan menikmati suasana Kota Lama dari kaca Spiegel mengasyikkan banget. 🙂

  8. Saya malah baru tahu tempat ini mas. Saya rasa perlu adanya perawatan tanpa mengubah bentuk, salut bagi mereka yang menyulap menjadi lebih indah dan terawat.

    1. Kota Lama Semarang sudah mulai berbenah seperti Kota Tua Jakarta. Sayangnya cuma satu, truk tronton masih aja diperbolehkan lewat di jalan itu. Kasian gedung tua yang menerima goncangan setiap harinya.

  9. aqied says:

    Wow keren banget. Renovasi bangunan sangat tua jadi sekeren itu bukan hal mudah kan ya.

    1. Usaha dan misi kuat diperlukan dalam merestorasi sebuah bangunan tua seperti ini. Apalagi nasib bangunan yang sudah mangkrak begitu lama perlu perhatian khusus dibanding bangunan tua yang baru saja dikosongkan dan segera difungsikan sebagai tempat usaha. 🙂

  10. mastop says:

    Seandainya belanda tak menjajah nusantara, belum tentu Indonesia seperti saat ini.

    1. Hukum sebab dan akibat. Dari situ muncul karakter baru rakyat Indonesia, bukan lagi karakter rakyat Nusantara 😉

  11. lost in science says:

    Keren mas bro liputannya.. Gw pernah kesana beberapa tahun yang lalu (2013?) dan menemukan bangunan ini masih lusuh banget, bahkan gw juga nggak tau namanya.. Padahal potensi kota tua Semarang itu edan banget buat dikembangkan…
    Hey, i was just wondering gimana kita buat aliansi blogger pecinta sejarah Indonesia nyok.. udah ada belum yaaah?

    1. Kalau ke Semarang lagi harus mlipir ke Kota Lama, selain Spiegel masih ada beberapa bangunan tua yang sudah berfungsi sebagai tempat makan dan nongkrong. Suasana Kota Lama jadi lebih fresh meski permasalahan utama masih pada jalan utama yang selalu dilewati kendaraan bermuatan berat yang memberi goncangan yang mempercepat usia bangunan-bangunan di sana.

      Sepertinya aliansi yang dimaksud belum ada, atau saya yang belum gabung hahaha. Bolehh yuk. Ide bagus banget, ntar saya ikut ngeramein. Ingin memperluas wawasan tentang bangunan bersejarah apa di setiap kota di Indonesia, cerita dan arsitektur uniknya, baik yang sudah populer maupun yang hanya dikenal oleh lokal saja. 😀

  12. Ira says:

    restorasi bangunannya keren!! Tapi jalan-jalan di Kota Tua Semarang ini beneran bikin seneng, ngeliat banyak bangunan tua yg direstorasi dan berubah fungsi, tapi ga menghancurkan sisi bangunan tuanya

    1. Saya termasuk yang betah seharian di Kota Lama hanya sekedar menunggu moment menarik untuk difoto. Apalagi sekarang sudah muncul beberapa kafe di sana, istirahat sembari menikmati kecantikan arsitektur dari dalamnya. Sungguh bikin kerasan. 😀

  13. Akhdan Baihaqi says:

    wah berkunjung ke spiegel sepertinya seru, pengen kesana… tapi jauh..

    1. Tentunya ada banyak waktu untuk sempetin mlipir Semarang, mas 🙂

  14. Vika says:

    Tapi kalo nongkrong di sana, apalagi pas ke toiletnya pas lagi sepi…ihhh..merinding juga sih…hihi

    1. Hahaha jangan pernah merasa sendiri… maksudnya ada petugas yang mondar-mandir cek kebersihan toilet, jadi nggak perlu takut sendirian 😛

  15. aku pernah sekali diajak temen makan disini, larangg tur rak enak :3
    *dasar ilat ndeso XD

    1. Hahaha harga food and beverage-nya memang kelas bistro, bukan warung makan bro 🙂
      Suasana dan pemandangannya menghadap Kota Lama yang jadi daya tariknya. Dan perjuangannya mempertahankan nasib salah satu bangunan tua yang terbengkalai di Semarang 🙂

  16. wah, yang sekarang itu sudah beda banget ya bangunannya… seneng sih liat bangunan tua di-restorasi begitu, tp kesannya jadi kurang gimana gitu ya kalau dibanding foto bangunan yang lama. hahaha

    1. Kurang gimana? Kurang gambar Valak? Atau kurang greget buat uji nyalinya? Hahaha. Tetep asyik buat sekedar nongkrong kalo kecapekan muter-muter di Kota Lama, kak Chocky. 😀

  17. Hastira says:

    kalau mau dipugar seharusnay jangan menghilangkan banyak ornamen ya sehingga akan terlihat benar2 seperti jamannya

    1. Warna cat baru mungkin yang memberi kesan beda banget dibanding foto lamanya hehehe. Kondisi dindingnya tetap dibiarkan tanpa plester, jadi masih kelihatan susunan batu bata merahnya. Lantai kayu di lantai duanya juga masih asli, hanya ditambah pagar pembatas di lubangnya untuk faktor keamanan. 🙂

  18. Baktiar says:

    Ah sayang dulu waktu masih suka mondar-mandir ke Semarang malah gak pernah ke lokasi-lokasi ke gini, bawaan tas langsung ke Tembalang terus…. balik lagi… balik lagi…

    1. Tembalang, dulu kuliah di Undip, mas? Next trip Semarang sempetin mlipir dan fokus ke Kota Lama biar gayeng hehehe. Kondisi Kota Lama sekarang terlihat lebih menarik dibanding beberapa tahun silam, nggak bikin rugi. 🙂

  19. Puji Tuhan, satu gedung terselamatkan oleh satu orang baik.

    Mainlah ke Bandung, mas. Di Bandung, rumah-rumah dan toko-toko lawas seperti Spiegel disulap menjadi bangunan-bangunan komersil seperti cafe, resto, bar, bank, hingga hotel.

    1. Dulu sempat jalan-jalan ke Braga tapi sebentar, Nug. Niat utamanya berburu bangunan yang pernah dipake syuting film Madre, ambil foto bangunan trus cabut hahaha. Masih menyimpan penasaran cobain guesthouse punya Pak Bondan yang terletak di tengah Braga. Mungkin suatu hari nantilah 🙂

  20. Travel Dieng says:

    Spiegel lumayan juga koq untuk melepaskan lelah saat keliling di Kota tua Semarang. Sebenarnya Semarang memiliki potensi bangunan sejarah yang luar biasa semoga pemerintah setempat atau swasta bisa menjaganya dengan baik.

    1. Bisa tumbuh kesadaran untuk mempertahankan bangunan tua dan tidak meratakannya dengan tanah sudah bikin senang. Niscaya Kota Lama Semarang bisa jadi heritage city UNESCO jika semua pihak punya pemikiran seperti itu. 🙂

  21. alrisblog says:

    Tiap kota besar pastinya punya warisan bangunan kuno warisan penjajah. Sayangnya bahkan pemda kota ikut berperan dalam menghilangkan situs budaya ini.
    Salut buat Sitha yang mau menyelamatkan Spiegel dan merestorasi.

    1. Berharap kota-kota yang masih memiliki bangunan tua peninggalan kolonial maupun yang sudah berumur lebih dari seratus tahun melakukan hal serupa dengan mbak Sitha. Kekunoan bisa diubah menjadi kekinian, tidak ada hal yang mustahil untuk dilakukan dan dipertahankan. 🙂

  22. Waktu berkunjung ke sana, saya heran, kenapa Spiegel terlihat paling “cling” di antara bangunan tua lainnya? Akhirnya saya temukan jawabnya, bahwa Spiegel dulunya juga “merana”, tapi untunglah ada orang yang mau menyelamatkannya.
    Saya perhatikan, masih banyak bangunan tua di Kota Lama Semarang yang dibiarkan lapuk dan penuh vandalisme. Semoga ada juga yang peduli dengan mereka, karena bagaimanapun mereka adalah warisan sejarah, saksi kehidupan masa lalu.

    1. Setahun terakhir ada tiga tempat nongkrong buat ngopi dan makan yang menempati bangunan tua di Kota Lama Semarang, salah satunya Spiegel ini. Oh iya ada Semarang Gallery di belakang Gereja Blenduk juga mengalami proses serupa dengan Spiegel, terlantar lalu direstorasi dan akhirnya menjadi galeri seni yang bisa dimasuki siapa saja yang tertarik untuk melihat arsitektur indah dan isinya. Harapannya tentu lanhkah ini bisa diikuti oleh bangunan-bangunan terlantar di Kota Lama agar Semarang menjadi semakin menawan heritage-nya. 🙂

  23. awakmu ki emang profesor Heritage kok mas. Apa2 kalau yg diangkat temanya heritage selalu diulas dengan baik dan dalam.kalau kamu termasuk pemerhati sejarah yang ikut tanda tangan petisi, demo, atau lainnya mas ketika diambil alih, eh malah semakin tak terawat.

    Aku sebenernya pengen bikin tulisan ini. tapi kok koleksi fotonya sedikit dan aku ga sempet wawancara sama warlok atau pawangnya. kalau tanpa wawancara mendalam ki kurang greget rasanya. hehe

    1. Ahh kakak Insanwisata bisa aja loh. Tinggal mau angkat sudut pandang yang menarik dan enak disuarakan saja agar yang nggak diminati jadi bikin penasaran dan syukur kalo bisa menarik perhatian orang banyak untuk mengunjunginya. 🙂

  24. aya says:

    Keseringan lihat spiegel di akun-akun besar buat foto instagram, ternyata ceritanya menarik koh

    1. Apik kan sejarah e? Jadi kapan mau intip Spiegel langsung? Hahaha

  25. Great story! Sorry about the English – I am Herman Spiegel’s great-grandaughter and so grateful to those who had the foresight to revive this building. Hope to visit in the next few years to walk the floors of my ancestors. Thank you to all who help keep his memory alive!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.