Kotak-Kotak Shodaqoh Astana Gunung Jati

Melihat lebih dekat tempat peristirahatan terakhir salah satu ulama yang berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Jawa bagian barat masuk dalam agenda perjalanan saya dan kawan yang lain saat berkunjung di Cirebon. Awalnya sedikit bingung dengan moda transportasi yang harus digunakan dari Hotel Batiqa Cirebon tempat kami menginap. Untung siang itu pihak hotel berbaik hati menawarkan servis antar-jemput menuju salah satu obyek wisata religi di Cirebon tersebut.

Lima belas menit kemudian kami disambut oleh jajaran kendaraan para peziarah, lapak pedagang kaki lima yang semrawut di pelataran depan komplek makam. Para peminta sedekah pun duduk manis di sekitar gerbang utama berbentuk gapura candi bentar. Saya hanya bisa membalas mereka dengan senyum mesem saja. “Isi kotak ini dulu baru diizinkan masuk, mas!” kata seorang bapak dengan nada suara yang meninggi. Mesem pun hilang seketika.

Lawang Pesujudan
peziarah yang sembahyang di depan Lawang Pesujudan

Ratusan tahun yang lalu, Gunung Sembung atau sering disebut dengan Gunung Jati karena banyak ditumbuhi pohon jati tersebut merupakan pesanggrahan milik Kesultanan Cirebon yang diberi nama Nur Giri Sapta Rengga. Pesanggrahan ini pernah berfungsi sebagai tempat untuk memperdalam ajaran agama Islam yang berkembang pada abad ke-14 dengan Syarif Hidayatullah yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati sebagai tokohnya. Beliau adalah salah satu dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa khususnya di pesisir utara.

Ditarik dari kisah leluhurnya, Syarif Hidayatullah merupakan putera dari pasangan seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India bernama Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Rara Santang, puteri dari Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja.

Prabu Siliwangi, pemimpin Kerajaan Sunda Galuh yang bertahta mulai tahun 1482 hingga 1521 dengan pusat pemerintahan di Pakuan Pajajaran ( kini dikenal dengan nama Kota Bogor ) tersebut juga memiliki putra yang menjadi tokoh besar bernama Raden Kian Santang dan Pangeran Cakrabuwana, pendiri Kesultanan Cirebon.

Syarif Hidayatullah muda dikisahkan kembali ke tanah Jawa setelah ayahnya meninggal dunia. Bersama ibunya, beliau memutuskan untuk tinggal dan mengajarkan agama Islam di pesanggrahan Gunung Sembung milik Pangeran Cakrabuwana.

Selang beberapa waktu, Syarief Hidayatullah dinikahkan dengan Nyi Ratu Pakungwati dan pada tahun 1479 mewarisi kerajaan milik mertua sekaligus pamannya itu. Bisa dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah adalah sultan kedua Kesultanan Cirebon setelah Pangeran Cakrabuwana.

Mereka yang berdiri di samping kotak terbuat dari kayu terus memelototi peziarah yang melintas di depannya. Seorang pemandu di Astana Gunung Jati yang kami sewa jasanya memberi kode agar terus mengikutinya dan mengabaikan todongan-todongan itu. Setelah melewati keriuhan di Gapura Kulon, beliau menerangkan beberapa bagian yang ada di dalam komplek makam termasuk siapa saja yang dimakamkan di sana.

Salah satu ceritanya adalah Mande Pajajaran sebuah bangunan kayu bertiang delapan yang dibuat tahun 1479, hadiah dari Prabu Siliwangi untuk Pangeran Cakrabuwana. Kondisinya kini sudah lapuk dimakan usia, sehingga sudah ditutup oleh pagar dari kaca. Penjabaran eksterior di astana yang dilanturkan selanjutnya sering kali terlewat begitu saja akibat colekan dan suara lirih yang memelas dari para pemburu sedekah.

Lawang Krapyak - Astana Sunan Gunung Jati
Lawang Krapyak Astana Gunung Jati

Aksi kurang menyenangkan itu agak berkurang usai memasuki bangsal yang dipenuhi makam-makam kerabat kesultanan baik dari Kasepuhan maupun Kanoman. Persis di depan Lawang Pesujudan peziarah tumpah ruah dan mengalunkan doa-doa yang ditujukan untuk Sunan Gunung Jati.

Lawang Pasujudan adalah pintu ketiga dari kesembilan pintu yang ada di Gunung Sembung ini. Pintu yang lain, Lawang Ratnakomala, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan terakhir Lawang Teratai yang tidak dibuka untuk umum. Hanya yang berkepentingan dan punya maksud khusus yang boleh melewatinya.

Istana Surosowan yang dibangun di Banten menjadi wilayah kekuasaan salah satu putra Sunan Gunung Jati setelah wilayah Wahanten Pasisir berstatus kadipaten dari Kesultanan Cirebon. Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan pertama Kesultanan Banten pada tahun 1552 oleh ayahnya sendiri.

Sementara tahta Kesultanan Cirebon diserahkan kepada cicitnya, Pangeran Mas atau Panembahan Ratu Pakungwati I yang bertahta tahun 1568-1649 ( anak dari Pangeran Dipati Carbon I ). Kekuasaanya berlangsung setelah Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568, disusul Falatehan ( Fatahillah, Panglima Pasai ) yang bertahta selama dua tahun di Kesultanan Cirebon meninggal tahun 1570.

Waktu bergulir dan terjadi pembagian tahta kesultanan ketika terdapat kubu yang membela ketiga anak dari Pangeran Girilaya ( bertahta 1649-1666 ) yang meninggal di Mataram dan dimakamkan di Imogiri. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, anak-anak Pangeran Girilaya dibagi kekuasaan dan wilayah masing-masing agar mereka bertiga hidup rukun di Cirebon.

Pangeran Martawijaya diberikan wilayah Keraton Pakungwati dan mendapat gelar Sultan Kasepuhan di Kesultanan Kasepuhan. Pangeran Kartawijaya mendirikan Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Kanoman, lalu Pangeran Wangsakerta diberikan gelar Panembahan Cirebon yang memegang kepustakaan keraton atau paguron.

Sebelah timur Lawang Pasujudan merupakan area makam dari Kesultanan Kasepuhan di mana terdapat Gedung Raja Sulaeman yang dibangun oleh Sultan Sepuh ke-9 berhiaskan porselen Tiongkok yang dipasang simetris. Sedangkan sebelah barat diisi makam dari kerabat Kesultanan Kanoman.

Ujung paling barat terdapat sebuah tempat khusus bagi peziarah untuk berdoa kepada Nyi Mas Laras Sumanding atau Oei Tien Nio, salah satu istri dari Sunan Gunung Jati asal Tiongkok yang meninggal tahun 1483. Letak makamnya disebutkan sejajar dengan makam suaminya dengan sebuah pintu masuk khusus yang hingga kini masih diletakkan sebuah wadah abu tempat pembakaran hio atau dupa seperti di sebuah vihara.

Selanjutnya kami dibawa naik ke atas bukit untuk melihat lebih dekat bangsal tempat Sunan Gunung Jati dimakamkan. Melewati puluhan anak tangga yang sudah berjajar nisan di sisi kanan-kirinya. Tak ketinggalan para pemburu sedekah dengan kotak-kotak di sampingnya yang sudah diberi tulisan berhuruf besar “Shodaqah”, “Infaq Pengajian”, juga “Jariyah Pembangunan”. Kotak tak ada, ember plastik aneka bentuk pun dipakai.

Untuk menggapai puncak Gunung Sembung tidak terlalu berat perjuangannya. Tentu kami melewati jalur yang bisa diakses oleh pengunjung umum, bukan melalui pintu khusus. Tak perlu waktu lama saya sudah berhadapan dengan bagian samping bangsal dan pak pemandu langsung menunjuk cungkup yang ujungnya berwarna kehijauan. Konon terbuat dari bongkahan batu zamrud.

scam Makam Sunan Gunung Jati
pemburu sedekah di komplek makam

Saat ditanya siapa saja yang bisa masuk ke dalam ruang yang terdapat makam Sunan Gunung Jati, dia hanya menjawab perlu izin dari pihak pengurus Astana Gunung Jati terlebih dahulu. Tentunya sudah ada kesiapan keuangan dan niat khusus untuk sembahyang di dalam, bermalam pun diperbolehkan, lanjutnya penuh kode.

Usai melewati kembali kotak-kotak shodaqoh dengan pelototan yang kurang menyenangkan di perjalanan turun, saya masih mendapat colekan dan sesekali teriakan dari penjaga kotak di pintu keluar. Sekali lagi saya balas dengan senyum mesem. Menutup pengalaman pertama wisata religi ke makam salah satu tokoh penting penyebar agama Islam di Pulau Jawa. 🙂

Advertisement

28 Comments Add yours

  1. praditalia says:

    Kok sedih ya bacanya… apa segitu susahnya cari uahg di sana sehingga meminta minta seperti t’lah menjadi mata pencaharian. Kok udah kayak ga minta tapi malak

    1. Kondisinya mirip dengan sekitar Masjid Banten dan pelataran bekas Keraton Surosowan di Serang, Banten yang dipenuhi lapak liar dan pemburu sedekah yang begitulah. Belum ada tindakan tegas dari pemerintah setempat dan pihak pengurus yang menertibkan mereka. Mungkin prinsip “loe lu, gue gue” masih kuat banget, sehingga lupa dengan kebutuhan dan kenyamanan pengunjung. 😀

  2. lost in science says:

    Susah juga ya pariwisata di Indonesia maju.. bukan cuman fasilitas dan infrastruktur, tapi manusianya juga..

    1. Begitulah kenyataannya, mas. Bukan hanya obyek wisata religi saja, tetapi juga tempat wisata baru yang buru-buru di-BOOM-kan. Sering ditemui ketidaksiapan lokal terhadap lonjakan pengunjung semacam ini. 🙂

  3. Jadi miris abis bacanya… Dikomersialkan gitu ya…

    Dan yang jadi pengemis pun ngga yang tua aja ya? Yang tua aja yang berpura-pura muka memelas, malas ngeliatnya apalagi yang muda… *sadi amat saayh, hahaha.

    1. Untungnya kemarin kami menyewa pemandu yang tegas memberitahu bahwa donasi hanya sekali saat masuk melalui gapura saja. Kotak dan paksaan mengisi setelah melewati gerbang utama diminta untuk mengabaikan. 🙂

  4. Memang agak sedih melihat kesemrawutan pungutan yang terjadi di makam Sunan Gunung Jati ini. Semoga pengelola menemukan jalan keluarnya ya walau selama ini bagi para peziarah masalah seperti ini tidak masalah 🙂

    1. Padahal eksterior dan interior di dalam Astana Gunung Jati sarat sejarah semua, apalagi mande yang ditutupi oleh kaca. Andai… andai saja pencari sedekah itu lebih ramah atau buka jasa jadi pemandu ketimbang hanya menyodorkan ember. Eh bisa nggak ya? Hehehe.

  5. Avant Garde says:

    salah satu hal yang bikin “kapok” ke cirebon 😉 keraton, masjid agung, makam sunan gunung jati … selebihnya menarik 🙂

    1. Semua obyek wisata di Cirebon bikin “kapok”, brarti yang nggak bikin kapok cuma kulinernya donk? 😛

    2. Avant Garde says:

      gak semua mas, bangunan dan situs yang sepi dari peziarah kayak gereja, kelenteng, masjid panjunan, gedung2 kolonialnya bikin kangen.. kulinernya juga..

  6. Sepertinya hampir setiap tempat kok banyak seperti ini, di Kudus, Demak juga banyak 😦

    1. Terus salah Cinta? Salah temen-temen Cintah? #terAADC 😀 😀
      Pekan depan mau ziarah Sunan Kudus di Kudus. Ntar kubandingin ama pengalaman ziarah Sunan Gunung Jati ini. 🙂

  7. Gara says:

    Mudah-mudahan yang punya niat khusus dan berdoa di dalam sana tidak menjadikan tempat itu berfungsi lain daripada lokasi ziarah dan doa pada Tuhan #eh. Hm, dari pengelola sana agaknya belum ada upaya penertiban bagi oknum peminta sumbangan itu, ya? Dulu pernah baca tulisan Mas Isna soal Cirebon dan permasalahannya mirip–kayaknya pengelolaan di sana memang belum maksimal, ya? Padahal putih tulang catnya, sembilan pintunya (Pajajaran memang cinta banget dengan pintu) dan keramik Tiongkoknya bikin penasaran. Terus itu sepertinya ada hubungan dengan Mataram, ya? Doh sejarah kesultanan di Indonesia memang bikin kepo. Hiks.

    1. Hahaha kecanduan cari niat khusus yang lama-kelamaan belok arah dan bukan percaya kepada Tuhan lagi 😛
      Masuk ke obyek wisata religi di sini masih dihadang rasa belas kasihan dengan memberi orang yang duduk manis itu keping demi keping receh. Padahal justru itu yang mengakibatkan mereka malas, menggantungkan hidup dari sana. Kalau nggak dikasih malah kitanya yang dibully si pemalak. Masih di tengah situasi serba repot. Hehehe

      Nahh hubungannya Cirebon dan Mataram Islam boleh dibilang erat banget, Gar. Sejak zaman Demak bahkan Pajang selalu ada keterkaitan antar sunan. Bahkan dikabarkan Pangeran Girilaya dimakamkan di bukit yang sejajar dengan Sultan Agung di Imogiri sana. Sejarah ini ditarik ke belakang lagi makin menarik, jadi ingin tahu sisa dari Kerajaan Pasundan termasuk bukti letak Pakuan Pajajaran ( Bogor ) #kedipkedip 😀

    2. Gara says:

      Hubungan mitra dan keluarga yang setara ya, Mas.
      Iya, misteri Pakuan memang masih besar, apalagi dengan adanya wangsit Siliwangi bahwa siapa yang mencari, tak akan menemukannya, tabir misterinya jadi semakin tebal. Namun konon pemerintah kolonial Belanda dulu pernah menemukan sesuatu. Sayang sekarang sudah berubah semua jadi permukiman.

    3. Wangsit atau mitos atau legenda yang sengaja disiarkan pihak tertentu agar warga nggak penasaran dan mencari tahu bahkan membongkar sesuatu yang berharga di sana. *lalu setel musik ala film misteri hahaha

    4. Gara says:

      Ya, bisa jadi demikian ya :hehe.

  8. Hastira says:

    aku orang cirebon belum pernah ke makan sunan gunung jati nih. Dan agak malu juga sih kalau banyak ayng kapok kalau ke keraton, mesjid agungd an makam . nah masih bisa lihat rumah kerang (tempat kerajinan kerang), kerajinan gerabah dan batik trusmi

    1. Rumah kerang terdengar menarik. Kemarin belum sempat ke Trusmi juga. Bisa diagendakan lagi trip ke Cirebonnya dan fokus ke sentra industri di sana nih. Thanks infonya, mbak Tira 🙂

  9. Yasir Yafiat says:

    Kalau di sini di suruh mengisi kotak dulu baru diijinkan masuk.
    Beda lagi kalau di kota sebelah dimana tempat saya tinggal, yang mana makamnya satu kompleks dengan Masjid Agung kota tersebut. Mereka (pemburu sedekah) menawarkan sebuah buku tentang ajaran sholat dengan berkata, jika tidak membeli buku ini maka tidak diijinkan masuk ke makam tersebut.
    Selalu ada cara yang *mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan.

    1. Kadang mikir kok mereka tega ya, padahal para peziarah nggak semua berekonomi cukup. Apalagi mereka berlaku kurang menyenangkan itu di depan tempat beribadah, tempat manusia menghadap Yang Kuasa. Serius yang di Kudus caranya lebih “maju” pakai nawarin buku? Duhh kasian pengunjung yang nggak tahu trik licik pemburu sedekah itu. Padahal minggu ini mau intip ke sana hehehe.

    2. Yasir Yafiat says:

      Bukan di Kudus Bang, tapi kota sebelah. Tepatnya di makam Raja kota tersebut. Rata-rata kalau saya lihat, pengunjung pada membeli buku itu. Para pengunjung diikuti trus sampai mau membli buku itu. Untung saja waktu itu saya tidak ikut tertipu.

  10. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari banyak anggota dewan Wali Songo yang belum saya ziarahi. Ya, kendala jarak sih yang utama hehe.

    Untuk persoalan sedekah, sesungguhnya niat mereka adalah urusannya dengan Allah, yang terpenting dari kita adalah berpikir positif, dan tidak menghardik. Kita tidak pernah tahu isi hati dan niat mereka. Ingat, bahkan yang kumal atau lusuh sekalipun bisa jadi adalah seorang wali yang tidak menampakkan diri. Keberadaan mereka adalah ujian bagi kita-kita yang beruntung 🙂

    Coba kalau ke kompleks makam Sunan Drajad di Paciran, Lamongan, wuih, lebih ramai lagi peminta-peminta 😉

    1. Sebab dan akibat ya, kak Rifqy hehehe. Sepanjang berziarah juga sebar senyum saja menghadapi mereka. Tak baik terpancing emosi, niat baik jadi menguap nantinya. Rencana berikutnya malah kepingin ziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya nih. Sekalian mblusuk kampung sekitarnya dan kota lama Surabaya. 🙂

  11. Yudi says:

    Hampir rata ginian mah hehe

    1. Kalau makam pahlawan nasional di daerah malah nggak terlalu ramai pengunjung ya. 😀 😀

    2. Yudi says:

      iya, soalnya nggak ada “berkah” nya bang hehehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.