Fort Generaal Cochius

Benteng yang terletak di Gombong, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah menjadi benteng kolonial ke-8 yang pernah saya kunjungi di Indonesia. Tentu saja masing-masing benteng punya cerita. Kemegahan arsitektur bangunan yang terlupakan, bahkan kondisi terkininya memprihatinkan. Pun takjub dengan kejutan tak terduga ketika menelusuri sejarahnya.

Benteng Van Der Wijck - Gombong
Fort Geneeral Cochius

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, memang ada ya nama benteng Fort Generaal Cochius di Gombong? Entah kenapa saya lebih menyukai sebutan itu ketimbang nama yang disematkan oleh pengelolanya kini. Tidak ingin mengaitkan benteng ini dengan novel klasik tentang tenggelamnya kapal bernama Van Der Wijck karya Hamka. Saya berharap nama Fort Generaal Cochius tidak tenggelam seperti si kapal.

Kisah benteng yang lain bisa baca selengkapnya di sini.

Saat mengunjunginya di hari biasa, kondisi benteng terlihat sepi pengunjung. Tiket masuk terusan yang saya bayar waktu itu Rp25.000 per orang, termasuk fasilitas sekali naik kereta di atap benteng dan fasilitas kolam renang. Oh iya, jangan cari lumpur belepotan seperti di salah satu adegan film The Raid 2. Sejatinya di dalam benteng tidak ada halaman berlumpur, semua sudah diratakan dengan semen oleh pengelola. Itu hanya dibuat untuk keperluan syuting The Raid 2 saja.

Di halaman luar benteng berjajar odong-odong, arena bermain boom boom car yang menggunakan lahan. Terlihat pula bekas barak-barak benteng yang sepi pengunjung. Maklum, bukan akhir pekan. Pemikiran dan perlakuan pihak pengelola benteng ini sungguh berbeda dengan benteng-benteng lain yang pernah saya kunjungi.

Jika Benteng Willem I di Ambarawa mengabaikan nilai sejarahnya bahkan dibuat suatu permukiman manusia dan koloni burung walet, Fort Generaal Cochius atau lebih dikenal dengan nama Benteng Van Der Wijck justru menyediakan arena bermain dan hotel wisata yang sudah menawarkan beberapa pilihan jenis kamar. Mereka berharap ada pengunjung yang tertarik bermalam di sana. 😀

Sayangnya penyampaian tahun pembangunan Fort Generaal Conchius hingga kini masih menuai protes dari pemerhati sejarah. Termasuk penamaan Van der Wijck yang dinilai tidak tepat bagi benteng yang awalnya berfungsi sebagai kantor Kongsi Dagang VOC – Vereenignde Oostindische Compagnie di Gombong. Menurut salah satu sumber, setelah VOC dinyatakan pailit tahun 1799, bangunan ini baru berfungsi sebagai benteng pada tahun 1844 guna melawan kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro di Bagelan Selatan.

Sumber lain mengatakan bahwa benteng yang diberi nama Fort Conchius atau Fort Generaal Conchius (sesuai nama komandan di Hindia Belanda yang pernah memimpin pasukan Belanda melawan pasukan Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung tahun 1825-1830, Frans David Cochius) tersebut pernah digunakan sebagai lumbung pangan tentara kolonial pra-Perang Jawa. Perang Jawa yang tidak berkelanjutan setelah Pangeran Dipanegoro ditangkap dan wafat di Makassar tahun 1855 memberi dampak tidak bagus bagi Fort Cochius yang sudah selesai dibangun.

Bentuk benteng yang terlihat seperti sekarang selesai dibangun tahun 1848. Fungsi utama sebagai lumbung pangan pasukan perlawanan Perang Jawa pun bergeser. Pada tahun 1856 benteng tersebut berganti fungsi menjadi Pupillenschool atau Sekolah Taruna Militer untuk anak-anak peranakan Eropa yang lahir di Hindia Belanda. Nama klan Van der Wijck mulai disematkan di bangunan tersebut setelah Johan Cornelis Van der Wijck yang lahir tahun 1848 di Buitenzorg (sekarang Bogor), menjabat sebagai Komandan Infanteri di Magelang pada tahun 1880.

Plat nama yang mencolok di gerbang utama boleh menjadi penyebab utama namanya berganti menjadi Benteng Van der Wijck. Namun perlu diketahui bahwa masih ada nama-nama pejabat militer setelah Generaal F.D. Cochius yang pernah menghuni benteng. Nama mereka tertera di gerbang sisi lain. Di antaranya ada F.A. Kortz dan A.R. Dibbert, lalu di gerbang sisi lain juga tertera plat nama L.J.L.T. van Gorkum (Kapten Infanteri 1866 masa Van den Bosch) dan L.H. Deeleman.

salah satu sudut Fort Cochius
salah satu sudut Fort Cochius

Benteng segi delapan dengan ketinggian 10 meter dan ketebalan tembok 1,4 meter tersebut memiliki puluhan barak dengan berbagai ukuran. Baraknya diduga sebagai ruang penyimpanan beras dan hasil bumi pra-Perang Jawa. Setelah bangunan berfungsi menjadi Sekolah Taruna Militer, terdapat tingkatan-tingkatan yang membedakan kapasitas ruang untuk pelajar yang pernah menghuninya di masa lalu. Lorong demi lorongnya menarik untuk ditelusuri.

Sirkulasi udara di dalam juga tidak pengap karena banyaknya jendela di tiap ruang dan langitan yang dibangun cukup tinggi. Tidak ada larangan bagi pengunjung untuk mengeksplorasi seluruh ruangan di dalam benteng. Hanya ada satu-dua ruangan yang terkunci, dan dua dari empat tangga naik ke atap pun tertutup untuk umum. Antara untuk menjaga keamanan pengunjung atau alasan yang lain.

Hingga kini perawatan benteng belum dilakukan secara menyeluruh dan maksimal. Masih ada banyak bagian yang meninggalkan rembetan jamur akibat tetesan air hujan menahun. Pun belum ada wacana memberi kehidupan di puluhan ruang kosongnya.

Lalu masalah rel kereta wisata yang sengaja dibangun di atap benteng berbahan batu bata tersebut juga menuai kritik dari pengamat sejarah. Entah sampai kapan bangunan berusia 168 tahun itu bisa terus menahan beban laju kereta wisata yang terus melindas tumpukan batanya.

Ahh, kadang keserakahan manusia akan uang belum bisa dikalahkan oleh kesadaran dan kepedulian terhadap perawatan bangunan tua. Demi dewa, kata neneknya Tapasya #terUttaran. 😉

Meskipun masih ada banyak kekurangan, tetapi saya bersyukur bahwa Fort Generaal Cochius tidak bernasib sama seperti benteng-benteng terabaikan di beberapa daerah. Benteng yang sengaja dilapisi cat warna merah di tembok bagian luarnya ini sudah terbuka untuk umum, bisa dimasuki kapan saja asalkan bayar tiket hehehe.

atap Fort Cochius
atap Fort Cochius

Setelah puas mengelilingi dan mengamati arsitektur benteng, saya melanjutkan perjalanan menuju sebuah museum bertempat di rumah tua yang terletak tidak jauh dari sana. Usai menilik rumah tua milik keluarga Martha Tilaar, saya dibawa kembali ke kompleks Fort Cochius oleh Pak Sigit, salah satu pengurus museum tersebut. Ternyata di kompleks benteng masih menyisakan kerkhof atau pemakaman Belanda!

Sayang banyak nisan dan prasasti yang sudah hancur, bahkan raib. Beragam bentuk nisan menandakan pangkat dan strata mereka di masa lalu. Mulai dari bentuk tugu, hingga mausoleum yang biasa diisi oleh satu keluarga. Sayang hiasan berupa apatung malaikat yang sering menghiasi atap tugu pada makam Eropa di sana banyak yang sudah tidak berbekas.

Untungnya ada sekian nisan yang masih bisa dibaca nama, tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Tertoreh nama warga kebangsaan Eropa di beberapa prasasti marmer, seperti salah satunya adalah J.R. Horst. Sisanya berantakan. Terbukti bahwa tidak ada lagi sanak saudara almarhum yang menyempatkan ziarah apalagi merawat makam leluhurnya.

Kejutan di kunjungan benteng ke-8 ini menutup kesan positif terhadap Gombong. Bahagia dengan keadaan cagar budaya di Gombong. Ketika beberapa benteng yang pernah saya kunjungi di beberapa kota sudah tidak banyak yang menyisakan kompleks pemakaman pejabat atau warga Belanda, Gombong justru masih memilikinya. Saya percaya kelak sisa peradaban kolonial ini akan menjadi salah satu yang akan mencuat dan menjadi jujugan wisata sejarah yang apik di Indonesia.

Save our heritage. 🙂

42 Comments Add yours

  1. Benteng Belanda itu kenapa dari visualnya saja sdh terlihat kokoh ya Lim. Mungkin karena jaman perang. Eh tapi kalau gak kokoh gak dinamai benteng ya…

    Kalau lihat dari foto, benteng di Gombong ini terawat. Syukur lah

    1. Benteng Cochius di Gombong merupakan benteng dua tingkat yang masih utuh, belum ambruk hingga saat ini. Berbeda dengan Benteng Van Den Bosch di Ngawi dan Benteng Willem I di Ambarawa yang utuh di luar, tapi keropos di dalam. 🙂

  2. denaldd says:

    Baru tahu Bogor dulu namanya Buitenzorg. Kalau diartikan secara gamblang buitenzorg itu perawatan luar. Hmm, Jadi tertarik menelusuri penamaan ini. Yang tangga menuju ruang bawah tanah itu mengingatkanku ke ruang bawah di lawang sewu.

    1. Tangga baja melingkar yang gimana gitu di Lawang Sewu itu ya, mbak? Hehehe. Buitenzorg nama yang diberikan oleh Belanda sebelum akhirnya menjadi Bogor. Di lahan itu pula konon bekas ibukota Kerajaan Sunda Galih. 😀

  3. oalah jadi namanya yg asli bukan van der wijck toh 😀
    hmmm semoga kesampaian kesini

    1. Ada pembelokan sejarah yang perlu diluruskan, dan bukan pada tahun 1818 benteng itu dibangun oleh Belanda hehehe.

    2. dr kutoarjo transportasinya gmn ya mas??

    3. Ada bus ke Gombong, lanjut naik angkutan umum yang lewat di jalan dekat benteng. Atau naik kereta dari Stasiun Kutoarjo menuju Stasiun Gombong, Jo. Ada pilihan Joglokerto. 🙂

  4. Aku pernah diajak teman ke sini, tapi sampai sekarang belum kesampaian. Oya ms, itu bunker masih dibuka atau sudah tidak diperbolehkan masuk? Biasanya kalo bunker ditutup dan tak boleh diakses oleh wisatawan.

    1. Terduga bunker sih, Sitam. Kemarin takut ngintip ke dalam karena kelihatan gelap dan saat itu sepi, jalan sendirian ke sana hihihi. Besok kalao ke sana lagi ajak maz Iqbal biar puas mengeksplorasi Kebumen-Gombong. Yukkk 😀

    2. Bisa ini mas, hehehhehe 😀

  5. rini says:

    kalau kesini dari jogja transportasinya pakai apa hehe

    1. Halo Rini, kalau dari Yogya naik Prameks aja turun ke Kutoarjo. Lalu lanjut dari Kutoarjo ke Gombong naik bus. Atau naik bus langsung ke Gombong ada banyak ( jurusan Yogyakarta – Kebumen ) hehehe.

  6. Donna Imelda says:

    aku jadi tahu kenapa kamu cinta banget sama benteng dan old train station, gilak… tempat ini bersejarah, banyak cerita, mata lensa banget, Aku mau ke sini, Lim…

    1. Gombong wajib banget dikunjungi, tante Donna. Ada sebuah museum di sana yang nggak kalah keren. Hahaha itulah kenapa selalu berburu stasiun kereta atau bekasnya, karena di sekelilingnya pasti ada pemukiman dan jalur perdagangan yang terbilang sangat maju di masa lampau. 😉

  7. Hendi Setiyanto says:

    Beberapa bulan lalu teman-teman datang ke sini tapi aku tidak ikutan hikss

    1. Wahh sayang banget, padahal Gombong nggak terlalu jauh dari Banjarnegara kan? Sempetin masuk ke benteng kalo mlipir Gombong. Jangan lupa sisihkan buat tiket masuk yang lumayan mahal itu. 🙂

    2. Hendi Setiyanto says:

      Beberapa kali ke Kebumen saat mudik dan mentoknya ke pantai petanahan

  8. Gara says:

    Berarti benteng itu jadi seperti Kastil Batavia di abad 17 lalu ya Mas, jadi pusat komunal bagi masyarakat daerah sana makanya ada kuburan di tempat itu (ada gereja tua juga tidak di dekat sana?). Pingin tahu soal transportasi ke sana dong Mas :hehe, siapa tahu besok lusa ada kesempatan buat ke sana :)).
    Saya tertarik dengan makamnya… di tablet yang dipegang Pak Sigit itu yang bersangkutan meninggal tahun 1941 jadi masih terbilang baru, sekarang masih ada nggak keturunan dari orang-orang Belanda itu di sana? :hehe *modus*. Ada makam pilar juga, obelisk terpotong, hmm… menarik sekali. Ke sana lagi yuk Mas :hehe.

    1. Di dekat Benteng Cochius ada bekas rumah sakit dan sekolah rakyat yang dibangun oleh Belanda juga, Gar. Dan nggak jauh di sana ada kompleks pecinaan yang tahulah selalu menjadi pusat perdagangan di dekat perbentengan hehehe. Bekas rumah saudagar Tionghoa-nya juga masih ada sisanya loh… kedip kedip hahaha.

      Transportasi menuju ke sana bisa ambil kereta turun Stasiun Gombong naik kereta Lodaya kalo dari arah barat. Kalau dari Yogya atau Solo sih bisa naik kereta Joglokerto jurusan Purwokerto. 😉

    2. Gara says:

      Tuh kan, konsep tata kotanya jalan lagi :)). Wahaha godaan banget ini, kemarin sempat turun Stasiun Kebumen… eh kita naik motor saja deh (dasar anak motor).

  9. Oalah, ini seng dipake syuting The Raid 2 tho Mas? :O

    Apik ya bentenge, maksudnya, ada optimisme yang bagus terhadap keberlangsungan merawat sejarah di sini meskipun ada kesimpangsiuran di beberapa titik seperti tahun pembuatan. Tapi setuju banget dipadupadankan sama konsep hotel wisata supaya pengunjung betah. Nice report Mas! 🙂

    1. Fort Cochius jadi salah satu tempat syuting The Raid 2, Qy. 😀
      Jika pengelolaannya tetap kontinu tidak terjerak hutang apalagi korup, obyek ini niscaya bisa jadi pembangkit wisata sejarah di Gombong. 😉

  10. aqied says:

    Aku jd inget kuburan inggris di surabaya yg katanya horror tp malah sering buat pre wed. Lupa apa ya nama kompleks pemakamannya

    1. Surabaya punya kerkhof Peneleh yang dekat dengan rumah kelahiran Bung Karno dan rumah H.O.S Tjokroaminoto. Betul yang itu kak Aqid? 🙂
      Semua kuburan Belanda rata-rata fotoable banget, seperti contoh Museum Prasasti di Jakarta. Kerkhof di Gombong ini juga bisa dijadikan tempat foto prewed kalau minat hehehe.

  11. Wuih ternyata bagus yaa… aku sering lewat kalo otw jogja, tp ya lewat aja, ga pernah mampir krn selalu waktunya ga pas….

    1. Ayo disempatin mampir ke Benteng Cochius, mbak Yanti. Salah satu bekas benteng Belanda di Jawa yang masih dalam kondisi terawat dibandingkan yang lainnya 😀

  12. Suka dengan nuansa merah pada bagian luar benteng. Hmm mahal juga ya tiket masuk terusannya. Benteng Rotterdam Makassar justru gratis, dan sangat tertata pula.

    1. Fort Rotterdam gratis masuknya tapi bayar kalau masuk Museum La Galigo hahaha. Saat ini yang sudah bermanfaat bagi masyarakat memang Fort Rotetrdam dan Benteng Vredeburg di Yogyakarta yang tiket masuknya cuma 2.500 rupiah aja. 😀

  13. Bama says:

    Jadi rel kereta itu baru ditambahkan akhir-akhir ini? Wah, waktu pembangunannya semoga berkonsultasi sama ahli sejarah dan insinyur teknik sipil. Kalau enggak bisa berpotensi merusak struktur bentengnya dalam jangka waktu lama takutnya.

    1. Wisata kereta baru dibuat setelah salah satu investor masuk. Entahlah si pengelola sudah berkonsultasi dengan ahli sejarah atau tidak. Pastinya atap tidak mampu terus-menerus menahan beban kereta yang selalu penuh penumpang saat libur akhir pekan. Sayang kalau sampai terjadi kerusakan fatal, mengingat Fort Cochius salah satu benteng yang masih terlihat utuh di Jawa.

  14. Hastira says:

    wiiih , kalau ke sini ada aura sereem gak ya. Aku kalau datang ke peninggalan kuno kaya benteng atau gua itu bawaannya merinding

    1. Ada sih beberapa hehehe. Untungnya di dalam bangunan dilapisi cat warna putih, bukan merah. Kalo warna gelap di dalam bisa kebayang seremnya sepeti apa kalau jalan sendirian 😛

  15. imambepe says:

    pernah kesini 1x, klo hari biasa sepi banget ni tempat. hehe…
    aku juga heran kenapa mesti ada kereta di atap benteng ya? disitu juga ada bangunan bertuliskan hotel, tapi gak tau maksudnya itu hotel kala penjajahan atau hotel dibuka untuk wisatawan yah?

    1. Bangunan hotelnya memakai bekas ruang administrasi benteng zaman dulu. Sengaja disewakan untuk pengunjung karena beberapa hal menjadi wewenang investor yang menyewa benteng dari pengelola sekarang, termasuk mendirikan rel kereta di atap benteng. 😉

  16. sammy says:

    Wah bagus2 ya fotonya

  17. Ini kok bisa dapet info sedetail itu gimana sih mas? Jadi penasaran hehehe
    Terus itu keliling benteng berarti ditemenin pemandu gitu ya mas? Itu pemandunya nyari atau ditawarin mas? Aku waktu ke sana kok sepi-sepi aja ya, serem malahan jadinya hahaha

    1. Ada point-point yang diambil dari koleksi buku sejarah, ada juga yang diambil dari sumber di internet. Tentu disaring dulu biar infonya nggak abal-abal hehehe. Like that, semoga Bayu nggak penasaran lagi 😉

      Keliling bentengnya sendirian, mengintari pas bukan weekend memang bikin ngerasa ada yang mbuntuti padahal nggak ada orang di belakang. Untungnya sih amannn hahaha.

    2. Woooh belajar dulu ya berarti mas hahahaha 😀
      Pokoknya, dari awal pas bacain cerita sejarah versi Mas Halim sih, langsung ada pertanyaan “Kenapa pelajaran sejarah di sekolah enggak bisa dikemas semenarim ceritanya Mas Halim?” Masih terngiang tuh sampai sekarang hehehe
      Emang serem tuh ya benteng, sepi. Apa sekarang udah agak rame kali ya hehebe

    3. Kadang penyampaian sejarah yang terlalu banyak angka tahun dan bahasa yang serius bikin guru sejarah terdengar membosankan, ibarat beda level daya tangkap yang belum ketemu solusinya. Hahaha jadi tersipu ama pujiannya Bayu di sini. Apa daku ngelamar kerja jadi guru sejarah kawe aja ya 😛

  18. Fubuki Aida says:

    Aku jadi pengen ke sini. Penasaran aku naik keretanya. Jos selalu tulisanmu mas

    1. Usahakan ke Benteng Van der Wijck pas weekday jadi nggak rame pengunjung. Ambil gambar juga enak kalau sepi, tapi ya kudu tahan nyali mengelilingi bangunan kosong itu hehehe.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.