Candi-Candi Majapahit di Situs Trowulan

Saat seorang teman mengungkapkan keraguannya terhadap wilayah kekuasaan Majapahit di masa lampau ke penjaga Museum Trowulan, saya jadi ikut meragu. Buku sejarah sekolah dasar hingga menengah selalu mencatat bahwa wilayah kerajaan Majapahit meliputi Nusantara, pulau-pulau yang kini bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga beberapa wilayah di Asia Tenggara.

Benarkah sehebat itu ekspansi yang pernah dilakukan oleh Majapahit? Atau pernah ada pengaruh kuat dari seorang tokoh politik pra kemerdekaan yang selanjutnya membuat kacau penyampaian kebenaran sejarah peradaban Majapahit?

Candi Tikus Trowulan
Pertirtaan Candi Tikus, salah satu peninggalan Majapahit di Trowulan

Usai mengelilingi Museum Trowulan yang menampung peninggalan bersejarah dari kerajaan Majapahit, saya dan beberapa kawan tidak segera beranjak dari kompleks tersebut. Persis di sebelah selatan museum terdapat Situs Pemukiman Trowulan yang memperlihatkan sisa pemukiman yang pernah dibangun di Trowulan. Pengunjung bisa memutarinya dari bawah maupun dari atas rangka beralaskan papan besi yang dibangun khusus untuk mempermudah melihatnya dari atas. Tak perlu takut kepanasan karena sudah dibangun payung raksasa yang tentu saja mahal harganya.

Dikisahkan bahwa Trowulan yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur merupakan kompleks metropolit yang pernah dibangun oleh kerajaan Majapahit. Situs seluas 11 km x 9 km ini dibangun di daratan dengan topografi yang landai dengan air tanah yang relatif dangkal. Dikeliling anak sungai serta pemandangan tiga gunung, Gunung Penanggungan, Gunung Welirang dan Gunung Anjasmara.

Rakyatnya diberi lahan khusus di dalam tembok istana dengan letak yang sudah diatur sedemikian rupa. Rumah mereka berpondasi bata merah, memiliki halaman yang diberi batu kerakal atau andesit bulat, kemudian terdapat gentong penampung air di sampingnya. Konon atapnya ditutup oleh genteng tanah liat sedangkan dindingnya terbuat dari bahan yang mudah lapuk seperti anyaman bambu sehingga tidak ada bekasnya lagi.

Selain memiliki kompleks pemukiman, Majapahit juga membangun kolam, pertirtaan, gapura yang tidak bersifat religius di Trowulan. Tentu candi-candi yang ada di kompleks Trowulan tidak semegah candi-candi yang ada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jangan terlalu berharap akan menemui susunan batu andesit yang berukuran WOW seperti Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 Masehi pada masa Dinasti Syailendra. Apalagi membayangkan akan bertemu candi Hindu yang megah seperti kompleks Candi Prambanan yang dibangun abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Medang.

pancuran air di Candi Tikus
pancuran air di Candi Tikus

Candi Tikus yang terletak di Desa Temon, Trowulan menjadi candi pertama yang kami kunjungi. Merupakan salah satu pertirtaan dengan miniatur di tengahnya sebagai lambang Gunung Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Kaki kolam berbentuk segi empat ini tercatat memiliki panjang 7,75 m dengan lebar 7,65 m dan tinggi 1,5 m. Sedangkan tubuhnya berdenah bujur sangkar berukuran 4,8 x 4,8 m.

Kondisi Candi Tikus terlihat rapuh mengingat pondasinya terbuat dari bata merah. Hanya 19 buah ( semula berjumlah 46 buah ) jaladwara atau pancuran berbentuk padma dan makara yang terbuat dari batu andesit. Candi pertirtaan ini ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1914 oleh seorang penduduk yang mengali gundukan sarang tikus yang sempat menyebarkan wabah di daerah tersebut. Setelah menerima laporan, bupati Mojokerto saat itu, R.A.A. Kromodjojo Adinegoro melakukan penggalian lebih lanjut dan menamainya dengan nama Candi Tikus.

sepasang... di halaman Gapura Bajangratu
sepasang… di halaman Gapura Bajangratu

Di desa yang sama tak jauh dari Candi Tikus terdapat sebuah gapura setingggi 16,5 meter yang masih menggunakan pondasi dari bata merah. Catatan hasil inventarisasi kepurbakalaan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda atau Oudheikunding Verslag ( OV ) menyebut gapura ini dengan nama Bajangratu. Penemuan dikaitkan dengan peristiwa wafatnya Raja Jayanegara ( raja ke-2 Majapahit sebelum Tribhuana Wijayatunggadewi bertahta ) pada tahun 1328 yang dimuat di dalam Kitab Pararaton. Disimpulkan oleh mereka bahwa Bajangratu merupakan pintu masuk  ke bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.

Lantai tangga dan ambang pintu Gapura Bajangratu terbuat dari batu andesit, sisanya bata merah. Saat berkunjung ke sana, pengunjung tidak diperkenankan menerobos gerbang. Jadi saya hanya mengelilingi gapura dan mengamati hiasan kepala kala yang diapit singa di atapnya. Ada yang mengatakan di puncak teratas terdapat relief bermata satu atau monocle cyclop. Sayangnya matahari Mojokerto siang itu terlalu terik, sulur-suluran dan relief cerita Ramayana pun tidak teramati dengan jelas.

salah satu lorong di Situs Kedaton
salah satu lorong di Situs Kedaton

Perjalanan kami lanjutkan menuju Situs Sentonorejo yang terletak di Desa Sentonorejo, Trowulan yang menyisakan hamparan ubin dan sedikit sisa dinding. Tidak seluas situs pemukiman sebelumnya, tapi Situs Sentonorejo memiliki keunikan bentuk ubin. Masih terlihat jelas jajaran ubin terbuat dari tanah liat bakar yang berbentuk segi enam dengan lebar tiap sisi 6 cm dan tebal rata-rata 4 cm. Bentuk yang menginspirasi ubin-ubin masa kini ternyata sudah ada sejak zaman Majapahit!

Situs Kedaton di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo menjadi perhentian berikutnya. Tempat ini cukup luas, bahkan memiliki kompleks bangunan yang hingga kini belum selesai dipugar. Belum terlalu jelas fungsi pemukiman ini di masa lalu. Yang jelas Situs Kedaton berhasil membuat pikiran saya tidak tenang.

Entah kenapa tempat ini paling terasa panas dalam tanda kutip dibandingkan dengan situs yang lain. Pundak terasa berat. Sesaji bunga diletakkan di beberapa sudut yang sudah diberi bakaran dupa, wangi harum seolah mengikuti ke arah mana saya berjalan. Pun dengan aura sumur kuno berdenah segi empat di bangunan pertama.

Candi Brahu
Candi Brahu

Penjelajahan Situs Trowulan kami tutup dengan kunjungan di Candi Brahu. Candi dengan tinggi 25,7 meter yang terletak di Desa Bejijong, Trowulan diperkirakan memiliki usia lebih tua dibandingkan dengan candi-candi lain di Trowulan. Ada yang berpendapat Candi Brahu adalah candi beraliran Buddha yang atap candinya diduga berbentuk stupa.

Dinding Candi Brahu sendiri tidak menyisakan relief yang jelas. Sebuah bilik berukuran 4 x 4 meter di badan candi yang pernah ditemukan sisa arang di dalamnya pun meninggalkan kesan misterius. Lepas dari tanda tanya dan tanda tanya, sore di Candi Brahu kami tutup dengan sesi foto yoga sembari meregangkan tubuh yang lelah.

Duduk di rumput halaman Candi Brahu sambil menunggu kedatangan siliran angin sejuk yang tergolong langka di Mojokerto. Sama seperti berharap angin segar yang mengubah Trowulan menjadi situs warisan dunia yang disegani. Udara panas, minimnya pohon-pohon rindang, semerawutnya pemukiman warga yang entah liar atau sudah berizin di sekitar kompleks menghapus ekspektasi berlebihan tentang Situs Trowulan yang tertanam sebelumnya.

Bukti kemegahan dan kejayaan Majapahit di Nusantara seolah menguap seiring dengan berkurangnya kepedulian generasi penerus untuk melanjutkan pemugaran, merawat dengan keikhlasan, bukan karena nafsu berebut uang apalagi kekuasaan dari hasil pengelolaan cagar budaya. Cheers and peace!

37 Comments Add yours

  1. mawi wijna says:

    Baca-baca artikelmu ini jadi bikin terkenang backpacking ke Trowulan pas zamanku muda dulu, hahaha :D.
    Ternyata Mojokerto masih sama panasnya, hehehe. Yang beda, mungkin Situs Pemukiman Trowulan. Dulu aku nggak ke sana. Apa mungkin tahun 2009 masih ketutup sama tanah ya? Setahuku situs pemukiman ya Candi Kedaton itu. Keliahatan banget dulunya di sana tempat tinggal.

    Anyway, wilayah kekuasaan Majapahit yang luas itu bukannya berdasarkan isi Nagarakretagama ya? Apa karena bentuknya pujasastra jadinya fakta yang temuat di Nagarakretagama menjadi kurang valid?

    1. Situs Pemukiman Trowulan sempat bikin heboh beberapa tahun lalu karena penanaman besi untuk payung raksasanya. Yang nampak sekarang sih lebih greget karena diberi payung harga mahal tersebut hahaha. Situs Kedaton juga sudah dikelilingi tembok dan diberi tutup bahan seng. Sepertinya kamu kudu nostalgia ke Trowulan, kutunggu reaksimu, tambah seneng atau malah miris 😉

      Muncul perdebatan tentang wilayah kekuasaan, ada yang mengatakan bahwa negara tetangga memberi upeti sebagai simbol persahabatan bukan upeti rakyat kepada pemimpinnya. Apa yang dikisahkan di Negarakretagama pun lemah karena tidak ada bukti tertulis yang bisa jadi pegangan peneliti. Termasuk buku tentang Gajah Mada karangan Muh Yamin juga dipertanyakan. 🙂

  2. Sejak membaca di National Geographic terus ditambah lagi artikel ini, semangat pengen ke Trowulan kian membara. Doa kan aku ya Lim, agar juga menjejak kaki di sini…:)

    1. Kudoain Tante Evi dan om akan jalan-jalan ke Trowulan secepatnya. Amin. Dari Mojokerto bisa mlipir ke candi-candi di Sidoarjo seperti yang sudah ditulis oleh Gara di blognya. Akan sambung-menyambung cerita candi-candinya. 🙂

    2. Gara says:

      Aku mendengar namaku disebut… :hihi. Mohon doanya juga Mas supaya saya bisa menjejak di sana. Hehe.

  3. Gara says:

    Baca postingan ini sambil menganga dan ileran *sumpah ini betulan*. Apalagi dengan foto-foto yang apik-apik pisan. Megah lho… bahkan untuk ukuran pintu gerbang seperti Bajang Ratu dan Bringin Lawang *ups, Wringin Lawang*. Dan itu paving blok segi enam saya kira baru dipasang. Iya baru dipasang, enam ratus tahun lalu tapi :haha.

    Soal Situs Kedaton yang bikin berat, kalau tak salah di sana ada sumur upas, ya? Masih ada racunnya kali sampai sekarang, menunggu seseorang yang cukup bernyali untuk membukanya *situs sumur yang asli kabarnya masih ditutup*.

    Dan untuk politik ekspansi… pun ketika Majapahit memang benar tidak sebesar klaimnya dalam Desawarnana, saya tidak bisa mengatakan bahwa Indonesia bukan negara penguasa besar (kalau tak mau disebut penjajah). Zaman Borobudur dan Prambanan baru dibangun, Indonesia sudah melakukan ekspansi ke Champa dan Chenla, dengan Zabag dan Sribuza yang raja-rajanya disebut Maharaja (saya ungkap ini sedikit dalam postingan soal Sriwijaya :hehe). Tapi Candi Pari (ea, balik lagi ke Candi Pari) bisa jadi bukti sedikit bahwa bisa jadi Majapahit pernah menguassi Champa makanya orang Champa bisa membangun tempat pemujaan di daerah yang dekat sekali dengn U-junggaluh alias Jenggolo…

    1. Sedikit lupa gambar lorong di Situs Kedaton yang kuposting di atas itu menuju ke mana, di sana ada jalan menyempit yang ujungnya terdapat ruangan dengan sudut mati yang dikeramatkan dan diberi banyak sesajen, apakah itu Sumur Upas yang asli ya? PR buat ditanyain ke penjaga di sana kalau balik ke Trowulan lagi nih hihihi.

      Duhh ini ada ratjun Candi Pari lagi di sini, takut kebawa mimpi deh hahaha. Cerita mengenai wilayah dan masa kejayaan kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara memang perlu diteliti dan dirangkum lagi yah. Sudah ada belum ya buku yang menceritakan semua kerajaan dan kesultanan dari ujung barat sampai timur Indonesia? Jadi ingin membelinya 🙂

    2. Gara says:

      Kemungkinan besar demikian Mas, karena kalau saya tak salah baca Sumur Upas ada di sekitar sana.
      Saya sarankan Sejarah Nasional Indonesia jilid 2 untuk kerajaan Hindu, dan jilid 3 untuk kerajaan Islam Mas. Rangkuman dalam buku itu, meski bisa diperdebatkan, menurut saya cukup lengkap.

    3. MS says:

      ikutan ileran seperti Gara, cuma sempat lihat Gapura Wringin Lawang dari jauh…he..he..
      anak2 udah kecapekan dan nggak mau mampir lagi..
      rasanya gimanaa gitu lihat plang penunjuk arah ke Candi Bajang Ratu tapi nggak bisa mampir hi..hik..
      entah kapan lagi bisa ke sini

    4. Sejauh ini banyak yang bilang Situs Trowulan sudah rapi dan enak dipandang dibandingkan beberapa tahun lalu. Semoga aja waktu mbak Monda berkunjung ke sana, situs dan candinya menjadi lebih rapi dan punya alur penjelajahan yang lebih nyaman untuk dilewati kendaraan 🙂

  4. Baktiar says:

    Sampai sekarang yang belum aku tulisa ya tentang bangunan2 tua dan situs2 kayak candi begini padahal udah pengen.. buat informasi tambahan: jejak Gajah Mada dan Majapahit ternyata memang banyak ditemui di NTT dan juga katanya di kepulauan Maluku. Jadi sepertinya kekuasaan Majapahit itu bukan penaklukan tapi lebih ke hubungan antar kerajaan. Jadi sepertinya untuk membendung kekuatan luar Majapahit lebih memilih membentuk aliansi dengan kerajaan di Nusantara dibanding melalui penaklukan. Kalau begitu maksud kebesaran Majapahit dulu ya bener emang begitu

    1. Dugaan saya juga seperti itu, Majapahit membentuk aliansi terhadap kerajaan-kerajaan di luar Pulau Jawa dengan harapan bisa menjadi “keluarga” yang kelak membantu mereka jika suatu saat terjadi perperangan yang diluncurkan oleh negara tetangga atau kesulitan yang lain. 🙂
      Jadi penasaran nih seperti apa jejak Majapahit yang masih tersisa di NTT dan mungkin ada juga di kepulauan Maluku 🙂

  5. kelanakecil says:

    Baru tau kalau ada relief Ramayananya juga. Wah menarik nih!

    1. Candi beraliran Hindu sehingga ada relief Ramayana, sayangnya kemarin nggak sempat jepret reliefnya secara jelas. Mesti cari waktu hunting ke sana lagi. Yuk sempetin mlipir ke Trowulan, mbak 🙂

  6. Mumpung di Jogja, mas. Kunjungi dari Plaosan – ke arah Sujiwan – Barong – Ratu Boko – Candi Ijo. Atau arah lain seperti Sambisari ada juga reruntuhan candi Kedulan dll.

    1. Dari nama candi yang disebutin belum pernah ke Sojiwan dan Kedulan. Boleh deh suk cari waktu khusus untuk trip khusus jalur candi Shivagrha 🙂

    2. Kalau bongkahan/reruntuhan ada banyak mas. Dekat Prambanan ada satu, terus ada juga Situs Payak, ada juga di berbah (lupa namanya).

  7. Rifqy Faiza Rahman says:

    Baru saja membaca tulisan Mas Gara tentang kelinci bulan, dan kesangsian terhadap kerajaan Majapahit. Sebesar apakah kekuasaannya? Ada sejarawan yang bilang, hanya Jatim dan Jateng saja, dan pemaknaan nusantara yang multi tafsir. Tapi berkaca pada liputan national geographic indonesia beberapa waktu lalu, dan saat bertandang ke trowulan yang sudah diapit pemukiman yang tak semuanya peduli tentang kelestarian peninggalan bersejarah, saya merasa Majapahit tak sehebat dan sebesar yang dibayangkan.

    1. Sejauh ini candi-candi yang pernah dibangun era Majapahit banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur sedangkan di luar wilayah tersebut hanya meninggalkan prasasti-prasasti saja. Sejarah kerajaan Majapahit banyak missing link. Mungkin beberapa tahun lagi akan muncul teori baru tentang Majapahit yang dikuak oleh peneliti yang tentunya akan menguncang dunia #halah. Jadi inget Candi Padang apa kabar ya? Hehehe

    2. Rifqy Faiza Rahman says:

      Iya Mas, perlu ada riset lebih lanjut sepertinya. Biar cetar membahana hehehehe.

      Ah iya, malah tenggelam dalam geliat pengikut mak crit mak plekentur yang menyerbu lokasi buat foto-foto kali ya 😀

  8. wah aku tuh dulu sering lewat trowulan tapi ttp aja belum pernah mampir. ehehe *parahyasebagaianakbangsa

    harus diagendakan pokoknya ni ke Trowulan

    1. Trowulan termasuk situs kerajaan yang menarik untuk ditelusuri, apalagi kalau bukan nama besar Majapahit yang pernah menjadi dinasti penguasa Jawa sebelum munculnya Demak dan Mataram Islam

  9. Avant Garde says:

    baca postingan ini dan baca komen2nya gak cuma bikin pengen ke trowulan tapi aku jadi mikir sepertinya ada ornamen2 hindu yang ada di kerinci, misal surya majapahit, kala makara, tapi sudah dimodif sedemikian rupa #malah nyambung ke postingannya gara -_- 😀

    1. Relief candi Majapahit yang terlihat jelas ada di Candi Penataran, banyak kisah terukir di sana. 🙂
      Bikin rangkaian temple hopping Jawa Timur kalo mudik ke Jawa aja mas. Ntar kutemeni deh hahaha

    2. Avant Garde says:

      ketemuan aja dulu mas haha .. selanjutnya terserah Anda 😀

  10. sariwidiarti says:

    udah ngelist kalau mau ke trowulan, tapi masih bulan – bulan penuh curah hujan 😀
    belum sempat ke sana. Eh postingan ini bikin baper, bikin cepet ke sana 😀

    1. Nahh brarti tulisan ini panggilan untuk mbak Sari agar segera luangin waktu spesial telusur Trowulan dan melihat sisa Majapahit di sana. Yuk ke Trowulan 😀

  11. Alid Abdul says:

    Oh ini yang aku nungguin di alun-alun Jombang sampek garing gak dateng-dateng itu hems…

    Btw kok Wringin Lawang gak disamperin padahal deket ajah

    1. Ketemu koe TAHU KRESS e wes lemes, ora kress maneh hahaha. Iyo e mbiyen gak sempet mampir Wringin Lawang, PR kudu balik Trowulan maneh.

  12. alwib says:

    peninggalan bersejarah sperti ini harus tetep dijaga dan dilestarikan ya..
    ini bukti sejarah buat anak cucu nanti

    1. Benar sekali, mas Alwi. Trowulan termasuk salah satu peninggalan bersejarah di Indonesia yang kelak berguna dan bermanfaat bagi generasi masa depan. 🙂

  13. ndop says:

    Kalau jaman dulu ada yg ngeblog, atau minimal sudah pada seneng nulis, sejarah mungkin gak akan jadi misteri ya. Lha ternyata ada info yg kurang valid itu gimana ceritanya ya? Atau jangan2 memang butuh juru tafsir sejarah ya, biar ceritanya gak membingungkan dan misterius.

    1. Curigaku… masih curiga loh, pernah ada beberapa koloni yang menyembunyikan atau mungkin menghancurkan catatan-catatan sejarah demi menyelamatkan nama baik suatu dinasti. Andai ada mesin waktu mungkin bisa ditelaah kebenaran sejarahnya hehehe.

    2. ndop says:

      Mengerikan ya. Hahahaha

  14. Tempat ini cita-cita yang belum kesampean. Pengen banget nih ke situs trowulan.

    1. Yuk cari waktu yang pas buat mlipir ke Trowulan. Banyak hal menarik tentang Majapahit di sana. Kudoain semoga cepet kesampaian ke Trowulan yah 😀

  15. melati says:

    pingiiiin banget menyusuri tempat kehidupanku di masa lalu……….

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.