Mendadak Telusur Sungai Cisadane – Tangerang

Aroma amis ikan dan kerang-kerangan menyeruak masuk ke dalam hidung. Disusul bebauan harum dari bumbu dapur yang sengaja dibeberkan di atas meja-meja kayu menghadap ke jalan. Tampak pula irisan daging babi yang memamerkan lapisan lemaknya yang aduhai. Seolah semua berlomba menarik perhatian calon pembeli. Suasana Pasar Lama Tangerang ini langsung mengingatkan pada pemandangan serupa di gang-gang sempit pecinan Semarang.

suasana pagi Pasar Lama Tangerang
suasana pagi Pasar Lama Tangerang

Tak ada rencana matang akan melakukan perjalanan ke Kota Tangerang sebelumnya. Kicauan spontan dari tante Evi dan tante Donna yang siap menjadi pemandu di sana langsung saya sambut dengan hati gembira. Sudah terlalu lama menahan rasa penasaran terhadap Museum Benteng Heritage yang merupakan museum satu-satunya di Indonesia yang memaparkan sejarah budaya Tionghoa peranakan.

Pagi itu hampir saja kami kecewa saat mendapati museum yang kami datangi belum siap menerima kehadiran kami. Padahal papan di depan tertera jam buka mulai pukul 10 pagi. Hanya ada bujukan dari penjaga museum agar kami kembali satu hingga dua jam lagi dengan harapan museum sudah selesai dibersihkan oleh petugas dan siap untuk dimasuki pengunjung.

Klenteng Boen Tek Bio yang terletak tak jauh dari sana menjadi tujuan pertama kami bertiga. Sekilas tempat beribadah yang terletak di Jalan Bakti no. 14 tersebut memiliki arsitektur klenteng pada umumnya, warna merah dan kuning mendominasi tembok dan ornamen khas di dalamnya. Sumber mengatakan bahwa bangunan inti dibangun pada tahun 1684 oleh seorang kapitan Tionghoa. Klenteng sempat mengalami renovasi tahun 1844 dan ada penambahan bangunan kiri dan kanan pada tahun 1875. Runutan angka-angka yang membuat Boen Tek Bio dianggap sebagai klenteng tertua di Tangerang.

rumah khas pecinaan di Kota Tangerang
rumah khas pecinaan di Kota Tangerang

Perjalanan kami lanjutkan menelusuri gang-gang sempit dari Pasar Lama Tangerang menuju Prasasti Tangga Jamban yang terletak di pinggir Sungai Cisadane. Awal mulanya Tangga Jamban bersama Tangga Ronggeng merupakan dermaga untuk menautkan tali perahu saat warga dari luar benteng hendak beribadah atau berkumpul di klenteng. Sayang nasib Tangga Jamban lambat laun dipenuhi orang buang hajat dan akhirnya penduduk setempat menyebutnya Tangga Jamban. Kini lokasi sekitar tangga tidak lagi menjadi tempat buang hajat, melainkan sudah bersih mengingat sanitasi sudah diperkenalkan. Keistimewaan dari Tangga Jamban adalah prasasti dengan aksara Mandarin yang ditulis pada tahun 1873 dengan bunyi kurang lebih seperti ini;

“Ini adalah lisjt dari sekoempoelan itoe orang-orang boediman berdjoemlah 81 orang jang soedah boleh melakoekan soeatoe perboewatan moelia oentoek mendoekoeng itoe oesaha dari sarikat Boen Tek Bio mengoempoelkan oeang sebesar 18.156 Toen (ringgit Belanda) oentoek melakoekan pemboeatan 30 (tiga poeloeh) boeah djalan dan joega bikin peraoe dan laennja. Batoe parengatan ini ditoeliskan pada taon kesebelas sewaktoe pemerentahan Kaisar Thong Tjie.” – dikutip dari sini.

Konon prasasti penting itu nyaris hilang dari sejarah Tangerang, tak ada yang mengubrisnya hingga suatu hari ada seorang warga yang mengamankannya selama bertahun-tahun setelah kondisi Tangga Jamban memprihatinkan kemudian diserahkan kepada pengelola Museum Benteng Heritage.

Ratusan tahun lalu, Tangerang yang terletak di tengah-tengah antara Kesultanan Banten dan Batavia ( kini Jakarta ) memaksa Belanda membuat benteng yang mengintari pemukiman di Tangerang. Dari situlah muncul sebutan Cina Benteng bagi warga Tionghoa yang lama menetap di balik benteng tersebut. Meski benteng sudah dirubuhkan dan pemukiman mereka sudah meluas ke daerah lain, sebutan itu acapkali melekat pada warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Tangerang.

Selain keberadaan China Benteng,  Tangerang juga terkenal dengan tradisi Phe Chun ( Pehcun ). Bahkan boleh dibilang perayaan Peh Cun yang diadakan di Tangerang sejak tahun 1910 merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. Saya lebih mengenalnya sebagai sembahyang bakcang, di mana dulu ada kebiasaan membuang sesaji bakcang di laut lepas atau sungai dengan maksud memberi penghormatan kepada Qu Yuan tiap tanggal 5 bulan 5 menurut penanggalan lunar. Sayangnya tradisi di keluarga saya sudah hilang perlahan seiring dengan perkembangan zaman. Bakcang pun mudah didapat setiap waktu tanpa harus menunggu satu tahun sekali.

perahu-perahu Sungai Cisadane
perahu-perahu Sungai Cisadane

Saat kami tengah menikmati pemandangan Sungai Cisadane dari Tangga Jamban, mendadak ada tawaran dari pemilik perahu yang menjanjikan kami melihat perahu Pehcun atau lebih dikenal dengan perahu naga. Syaratnya hanya perahu kayu akan dikayuh si bapak menyeberangi Sungai Cisadane yang airnya sudah agak meninggi akibat hujan beberapa hari sebelumnya! Tawaran yang langsung diiyakan oleh salah satu emak. Tak ada raut wajah ketakutan dari dua emak yang duduk manis di depan saya. Sepertinya mereka lebih penasaran melihat perahu naga ketimbang memikirkan perahu oleng. Hehehe.

Hasil dari menyusuri Sungai Cisadane tidak mengecewakan. Kami mendapatkan cerita sejarah tentang perayaan Pehcun dan sosok Qu Yuan secara jelas di Klenteng Koet Goan Bio. Dari situ pula kami mendapat rujukan tempat diletakkannya perahu naga yang masih utuh mengingat perahu di Klenteng Koet Goan Bio hanya berupa pecahan perahu naga pertama sebagai simbol saat perayaan Pehcun diadakan saja. Kayuhhh aja mang! 😀

Tak terasa dua jam sudah berlalu, waktunya kembali ke Museum Benteng Heritage yang terletak di Pasar Lama, tepatnya di Jalan Cilame no 20. Setelah membayar tiket masuk, kami dibantu oleh Desi dan Octa selaku guide dan asistennya yang menjelaskan sejarah rumah beserta isinya serta mengawasi gerak-gerik mencurigakan ketika salah satu dari kami hendak mengambil gambar. Ya, tidak diperbolehkan mengambil gambar di dalam museum! Alasan dari larangan yang diutarakan pihak museum cukup bagus, pengunjung diminta fokus mendengarkan penjelasan dari guide, bukan hanya berfoto ria atau malah selfie yang ujungnya menyenggol dan memecahkan barang berharga di dalam museum. Baiklah.

Di awal tour, Desi menerangkan bahwa bekas rumah seorang kapitan di Tangerang yang diperkirakan dibangun abad ke-18 ini hanya menyisakan bentuk bangunannya saja. Yang masih tersisa dari bangunan dan masih terjaga keasliannya adalah pintu langit atau lubang di tengah rumah yang dihiasi oleh susunan pecahan keramik yang bercerita tentang sebuah legenda di Tiongkok beserta dewa-dewanya. Selebihnya koleksi di dalam bukan peninggalan asli melainkan barang-barang antik yang sengaja dikumpulkan oleh pemiliknya yang baru.

Pak Udaya Halim sebagai pemilik rumah membelinya dengan inisiatif Tangerang mempunyai sebuah museum yang bercerita tentang budaya Tionghoa yang berkembang di Indonesia. Tak hanya kisah China Benteng dan masa kelamnya seperti Tragedi Cina Benteng tahun 1946 dan kerusuhan Mei 1998 saja yang ditonjolkan. Ikut diperkenalkan pula kecap kebanggaan warga Tangerang, Teng Giok Seng dan Siong Hin. Lalu koleksi baju encim, baju pernikahan khas Tiongkok, peralatan candu yang pernah beredar di Tangerang, hingga perabot kuno bernuansa peranakan dimunculkan kembali di Museum Benteng Heritage.

ornamen cantik di luar Museum Benteng Heritage
ornamen cantik di luar Museum Benteng Heritage

Dari perjalanan ini saya menganggap sejarah Tangerang tidak bisa dianggap remeh. Banyak cerita yang bisa digali dan diangkat sebagai potensi wisata yang menarik. Jika Tangerang Selatan fokus dengan tumbuh kembang pusat perbelanjaan modern, sudah seharusnya Kota Tangerang lebih memedulikan situs bangunan tuanya. Harapan kecil yang mudah-mudahan didengar oleh penguasa yang baru. 😉

51 Comments Add yours

  1. Hendi Setiyanto says:

    Knpa ya kbnykn klenteng namanya berakhiran Tek Bio?

    1. Diambil dari kata “Tek” yang berarti kebajikan dan “Bio” tempat ibadah. Kurang lebih memiliki arti suatu tempat bagi umat manusia untuk menjadi insan yang penuh kebajikan. Semoga menjawab pertanyaan Hendi 🙂

  2. Evi says:

    Kalau bukan karena Halim, gak bakalnya saya berperahu di Cisadane..Hahaha..Gak nyangka ya akhirnya kita bisa melihat budaya pecinan yang tumbuh di tepi sungai ini ..

    1. Senang dengan semangat dari duo tante hihihi. Dan menunggu ajakan random keliling seputar Jabodetabek lagi 🙂

  3. omnduut says:

    Sayang kawasan 7 Ulu banyak yang sudah rusak, kalau masih dijaga bisa kayak begini nih Lim. Aku selalu segan kalo masuk ke kelenteng, cuma kalo diizinkan kayak gitu enak juga

    1. Sebenernya banyak klenteng yang mau aku masuki loh Yan, sayang waktu itu fokus ke Kampung Kapitan dan jalan becek nggak ada ojek hahaha. Next time balik ke Palembang mari hunting pecinaan di sekitar 7 Ulu 🙂

  4. Dita says:

    ini aku berasa pergi bareng kak Halim ya, postingannya sama hihihi 😀

    1. Hihihi kita memang sehati ya kak, nulis tentang Tangerang aja bareng *ditimpuk bojone kak Dita* 😀 😀

  5. Gara says:

    Kayaknya saya mesti ke Tangerang segera nih buat melihat secara langsung :haha. Padahal begini dekat ya, doh, jadi malu. Banyak yang bisa digali, namanya juga kota benteng terdepan :hehe, apalagi posisi juga strategis di muara sungai, pas banget sebagai permukiman orang-orang Tionghoa yang banyak bermatapencaharian sebagai pedagang :)). Ayo kita gali sejarahnya lagi, Mas :hihi.

    1. Ditarik lebih jauh ternyata Tangerang sudah disebutkan di sejarah sejak abad 14. Konon pengikut dari Laksamana Ceng Ho banyak yang singgah dan menetap. Pastinya peradabannya dulu juga sangat maju karena terletak di pesisir sungai, opium pun sempat berkembang di sana. Jadi panjang banget kan sejarahnya hahaha. Yuk bareng kalo mo explore Tangerang lagi, Gar. Kemarin belum puas nanya sana-sini dan kurang lama pelototin koleksi milik Museum Benteng Heritage 🙂

    2. Gara says:

      Boleh jadi ini juga dulu jadi salah satu pelabuhan di zaman Tarumanegara :hehe. Bagaimanapun posisinya strategis, kan?
      Ayo ayo! Kapan ke Jakarta lagi, kabar-kabari ya?

  6. adi pradana says:

    Mau dong kecapnya…

    1. Sayangnya Kecap Benteng yang terkenal itu belum sempat dibawa pulang rumah juga hihihi

  7. Avant Garde says:

    pernah mau kesini tapi batal, museum peranakan di taman mini juga belum mas…
    sempetin ke tjong a fie mansion kalo ke medan 🙂

  8. Avant Garde says:

    satu lagi, kembaran rumah tjong a fie juga ada di penang, dengan isi rumah yg lebih banyak.. padahal di tjong afie mansion aja dua jam disana aku masih berasa kurang 🙂

  9. Avant Garde says:

    satu lagi (terakhir deh), ditunggu liputan jalan2 ke palembangnya yah mas 🙂

    1. Banyak satu lagi dan satu lagi hahaha, kenapa nggak satu lagu? 😛
      Tjong A Fie masih masuk wish list yang udah mupeng banget pingin segera ke sana. Nahh nyeselnya pas ke Penang beberapa tahun lalu nggak sempet ke Cheong Fatt Tze Mansion karena waktu yang terbatas.

      Cerita tentang keseruan jalan-jalan di Palembang harap sabar menunggu yah hehehe.

    2. Avant Garde says:

      sip mas … 🙂

  10. Donna Imelda says:

    Tak ada raut wajah ketakutan dari dua emak yang duduk manis di depan saya. Sepertinya mereka lebih penasaran melihat perahu naga ketimbang memikirkan perahu oleng. Hehehe.<<< kebersamaan itu menghilangkan keraguan dan ketakutan.

    1. Hihihi semoga nggak salah ketik. Peace emakkk 🙂

  11. bay says:

    kirain menyusuri cisadane dengan rafting dari sukabumi

    1. Wahh itu rencana di lain waktu, kalo pergi bareng rombongan penyuka rafting 😀

  12. lost in science says:

    SERU!

    1. Halo mas Agun, lama tak sua hehehe. Sudah di Indonesia kah? Ayoo telusur Tangerang juga, banyak spot menarik di sana 🙂

  13. Eni Martini says:

    keren banget liputannya, pengambilannya fotonya jg bagus
    tegkyu buat infonya
    memang byk ya, situs-situs sejarah yang punah ditelan jama
    menulisnya adalah bagain dari mengamankannya

    1. Situs sejarah yang tidak seharusnya dilupakan, melainkan dilestarikan dan dibanggakan agar kelak bisa dinikmati oleh generasi penerus kita 🙂
      Terima kasih sudah berkunjung, mbak Eni.

  14. alrisblog says:

    Di Pasar Lama juga banyak makanan enak lho Lim.
    Karena sering hujan jadi kali Cisadane gak keliatan butek ya, hehehe…

    1. Kemarin baru sempat nyobain Es Puding aja. Kuliner yang lain ada apa aja? Jadi pingin balik ke sana lagi hehe.
      Iya waktu itu sungainya nggak terlalu buthek, sampah-sampahnya juga menyingkir ke hilir 🙂

  15. Anne Adzkia says:

    Saya baru tahu kalau alasan gak boleh bawa kamera supaya kita fokus mendengarkan si guide. Kirain alsan privacy museum. Saya pengin lagi ke museum Benteng Heritage ini deh.

    1. Sepertinya masing-masing guide punya penjelasan sendiri guna menenangkan pengunjung hehehe. Oh iya ada tambahan, kalau kebetulan pemilik museum, Pak Udaya Halim pulang Indonesia dan hadir di sana, pengunjung biasanya diperbolehkan mengambil gambar dengan didampingi beliau secara langsung 🙂

  16. Wihh seru banget sampe naik perahu juga hehee..jd pengen..baru2 ini ke petak sembilan juga ngeliat daerah pecinannya dan kulinernya..tapi baru ini tau yang di tangerang, dan baru ngeh kalo istilah cina benteng dari sini.. kalo di negara lain chinatown dibuat jadi atraksi wisata, kalo di jakarta agak kurang dipromote ya..palingan pas imlek aja hebohnya..sayang banget padahal jejak peranakan di indonesia juga kental dan bisa banget jadi atraksi wisata heritage..

    thanks postingannya! kapan2 ajak2 dong mas kalo mau explore jabodetabek 😀

    1. Waktu keliling di sekitaran Petak Sembilan sempat mampir ke Candranaya nggak, mbak Tika? Itu juga salah satu rumah kapitan Tionghoa, lebih luas dan lebih mewah dari rumah yang dipakai Museum Benteng Heritage. Andai heritage di Batavia atau Jakarta dikelola dan dimanfaatkan dengan baik ( sebagai homestay atau museum atau restoran, dll ) pasti nggak kalah dengan luar negeri. Malaka dan Penang di Malaysia merupakan contoh yang berhasil memanfaatkan heritage di kotanya. Kalau Indonesia tinggal menunggu gerak dan kesadaran empunya rumah/ bangunannya aja hehehe.

      Saya ada rencana explore Depok nih, menunggu hujan sudah mereda dulu. Semoga bisa bersua di sana 🙂

    2. Yup waktu ke Georgetown, Penang nginep di Roommates trus yg jaga hostel bilang area disini bebas dijadikan tempat usaha asal arsitektur aslinya ga berubah..
      duh kemarin di petak sembilan pake nyasar jd cumanke tempat standar aja.. pengen kesana lagi! Noted nanti aku Candranaya nya 😀 kemaren waktu mampir gereja santa maria fatima bapak yang lagi kerja bakti bilang kalo di Petak Sembilan ramenya pas bulan Oktober..soalnya pas ada festival juga..

      Mau dong, kalo ke Depok siapa tau jadwalnya pas 🙂

  17. yogisaputro says:

    Saya baru pindahan ke tangerang dan baru sempat lewati daerah sini pake motor. Banyak ya yang bisa dieksplor. Setuju juga kalo warisan budaya harus dijaga, bukan cuma mall. Sudah terlalu banyak mall disini.

    1. Asyik nih kalo ke Tangerang bisa ketemuan hehehe. Sekitar Pasar Lama dan stasiun punya sejarah yang kental mengenai peradaban maju Tangerang, Yogi. Termasuk masjid di dekat stasiun juga. Kata guide Museum Benteng Heritage, masih ada tembok Masjid-nya yang merupakan sisa benteng yang membentengi kota tersebut zaman dulu. 🙂

    2. yogisaputro says:

      Wah boleh juga kalo ada kesempatan ketemuan 🙂

  18. ndop says:

    Aku suka sama budaya China itu daru segi kepandaian membuat ornamen2 seni yg menurutku sangat bagus! Oh iya, musiknya juga bagus. Aku bahkan masih suka dengerin lagu Soundtrack Ular Putih yg ada Paisucen dll hahaha..

    Btw itu alasan gak boleh motor karena biar bisa fokus mendengarkan guide, sebenarnya bisa diatasi dengan, Oke saya dengarkan dulu penjelasan anda. Setelah selesai menjelaskan, bolehkah kami moto? HAHAHAH

    1. Sempet ngeles begitu, selesai penjelasan kita boleh nggak moto? Tetep aja mbak guide nggak izinin, dia nambahin kalo yang punya museum hadir barulah tamu-tamu boleh foto sepuasnya. Tapi kapan si pemiliknya yang domisili di Australia pulang ke Indonesia? Krik krik deh hahaha

    2. ndop says:

      HAHAHAHAH. Trus apa alasan nunggu pemilik Australia musti hadir dulu? Kayaknya ga nyambung hahah. Kalau aku jadi guidenya, alasan masuk akal adalah “Mas ga boleh moto, biar rahasia aja. Biar yg lain penasaran trus pada berkunjung ke sini mau lihat sendiri dg mata kepala sendiri” hahaha

    3. Eh bener banget kih alasan masuk akalmu. Krungu ngunu kan pengunjunge langsung mingkem hahaha. Suk tak nyalonke awakmu jadi guide e kono, mas Ndop 😀

  19. ndop says:

    Eh maksudku “moto”, bukan motor hahahah

  20. momtraveler says:

    Suasananya mirip pecinan di semarang ya mas. Seru kayanya muterin cisadane sambil.menikmati asimilasi n akulturasi budaya disekitarnya

    1. Nahh ituu belum kesampaian keliling pecinaan di Semarang. Pingin intip semua klenteng di sana dan gang-gangnya yang epik banget diabadikan kamera. Yuk kapan-kapan hunting ke sana bareng, mbak Muna 🙂

  21. asyik.. main tangerang lagi yok. skalian liputann..

    1. Boleh banget… Suk pas ke Jakarta kancani mlipir di Tangerang dan sekitarnya ya hehe

  22. yoii aku mau liputan Imlek nihh.. berkabarr lim,,

  23. Yudi says:

    apik!! keren bang Halim! standing applause 😀
    padahal saya dulu tinggal di seputaran tanggerang. tapi nggak tahu klo ada tempat setua itu. btw, itu beneran bangunan rumah cina masa lampau ya Bang? klo begitu, bisa dikatakan di aceh, yang di pasar peunayong banda aceh, adalah rumah peranakan thionghua bukannya bangunan belanda? hmm gara2 Bang halim, saya jadi penasaran sendiri 😀

    1. Ciri umum rumah Tionghoa zaman dulu adalah ujung atapnya berbentuk tapal kuda. Ada yang sudah dipengaruhi arsitektur lokal sehingga bentuk menyesuaikan. Kalau bangunan VOC dan Belanda pasti punya ciri khas sendiri, kelihatan banget kok perbedaannya 🙂

  24. Donna Imelda says:

    Ah aku masih saja belum menuliskannya meski sudah berkali ke Benteng Heritage.

    1. Hihihi buru tulis donk, tante Don. Biar kenangan akan Tangerang bisa abadi #halah hahaha.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.