“Kalau mau cari ladang garam di Gresik aja. Lebih banyak, mas.” sahut seorang ibu di dalam bus jurusan Sampang. “Di sini sudah jarang.” lanjutnya saat seorang kawan menanyakan keberadaan ladang garam di Madura dua tahun yang lalu. Waktu itu hanya bisa membatin mungkin kami bertanya kepada orang yang tidak tepat, kurang tahu mengenai sejarah garam di Pulau Madura.
Disebutkan oleh sebuah sumber bahwa luas seluruh area sentra-sentra garam di Indonesia adalah 19.664 ha. Meski kini sudah menyusut hampir separuhnya, luas area penggaraman di Pulau Madura pernah tercatat 11.693 ha! Entah apa yang ada di dalam pikiran si ibu, sudah jelas ada bukti bahwa Madura itu Pulau Garam kan?

Setelah menempuh perjalanan sekian puluh menit dengan bus umum, kami turun di sebuah persimpangan dan melanjutkan perjalanan naik ojek menuju Desa Krampon, Kecamatan Torjun, Kabupaten Sampang. Setibanya di sana, proses pembuatan garam sudah selesai mengingat matahari sudah hampir tenggelam. Tidak ada penambang yang melakukan aktivitasnya lagi. Hanya bisa berpuas diri melihat gunungan garam yang sudah dipanen dan mengabadikan biasan matahari sore yang terpantul di petak-petak ladang garam.

Perjalanan sebelumnya belum membuat saya puas diri, hingga beberapa bulan lalu (April 2015) saya kembali menginjakkan kaki di Pulau Madura dan memusatkan perburuan ladang garam di Kabupaten Sumenep. Petak-petak berisi air dengan kadar garam rendah terbentang luas di Desa Karang Anyar, Nambakor, Pinggir Papas dan Kalianget yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari Kota Sumenep.
Masih tersisa bekas kompleks pemukiman para pejabat Jawatan Regie Garam di Kecamatan Kalianget. Jawatan Regie Garam sendiri adalah pabrik garam yang dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1921. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, namanya ganti berulang ulang kali hingga terkahir tahun 1998 menjadi PT GARAM (Persero) di bawah naungan Kementerian BUMN.
Bermusim kering lebih panjang dengan sedikitnya sungai dan sumber air tawar memudahkan sisi selatan Pulau Madura dalam mengolah garam secara tradisional. Pada musim kemarau, lahan berukuran sekitar 15 x 25 meter akan dibagi menjadi empat petak guna menampung dan menyaring air dari laut. Masing-masing petak akan diisi air laut mentah dan dibiarkan mengering selama beberapa hari.
Setelah itu petani garam akan meratakan tanah dengan menggunakan roll, lalu mengisinya dengan air dari petak sebelahnya dan mengeringkannya kembali. Demikian seterusnya hingga menyisakan padatan kristal garam yang siap dipasarkan. Proses yang terdengar menarik kan? Anehnya saat itu tidak terlihat satu petanipun yang sedang memanen. Sial, rupanya saya datang pada saat yang tidak tepat karena musim kemarau di Pulau Madura baru dimulai bulan Juli hingga Desember.

Gagal mengabadikan aksi para petani yang sedang memanen garam tidak membuat saya putus asa. Dengan bantuan seorang kawan yang tinggal di Kalianget, saya berkesempatan untuk melihat lebih dekat bangunan-bangunan tua yang masih kokoh di kawasan PT Garam kini. Sisa bukti kejayaan garam di Pulau Madura yang pernah memperkaya kesultanan dan pedangang di sana.
________
Note : Luas lahan produksi penggaraman PT GARAM di Pulau Madura tercatat seluas 5.340 ha yang terbagi menjadi empat wilayah di tiga kabupaten. Mangunan di Kabupaten Pamekasan, Krampon di Kabupaten Sampang dan dua di Kabupaten Sumenep, salah satunya di Kalianget.
Madura memang surganya yg asin asin y mas
Lalu surga yang manis-manis di mana ya? *mikir* hahaha
Eh tapi kulinernya Madura nggak asin, cocok di lidah yang suka makan manis. Nah lo 😀
Surga yg manis manis d jogja solo.gudengnya manis manis dan bnyk pabrik gula.termasuk ce nya..manizz manizz 🙂
PLTA-nya apik bentuknya :hehe, fotonya diambil dengan sangat cantik juga Mas :hehe. Ditunggu bangun-bangunan tua lain yang menunggu untuk dibahas di laman blog ini ya :)).
Out of topic, bagi saya Kalianget punya arti sendiri soalnya jadi kerajaan yang berpengaruh dalam legenda Jayaprana dan Layonsari :)). Semoga ada ulasan lengkap soal daerah itu ya Mas :amin.
Terus baru tahu dari komen Gara kalau ada legenda Jayaprana dan Layonsari. Pas ke sana jujur saja khilaf, mata berbinar atau mungkin ijo kayak lihat duit segepok, trus pakai ngiler lihat setiap detail bangunan berarsitektur kolonial yang wow banget #makinlebay hahaha
Jayaprana dan Layonsari itu cerita Sam Pek Eng Tay rasa Bali Mas :)). Kalau syair lagunya dinyanyikan dengan benar, bisa nangis bercucuran orang yang dengar soalnya sedih banget nada-nadanya (tapi susah juga dipelajari :hehe). Ada juga situs makamnya mereka yang bisa dikunjungi, sekarang berbentuk sebuah pura *kode* :hehe.
Sip, ditunggu cerita soal bangunan kolonialnya :)).
Pas ke Bangkalan kemaren kok ya ngga kepikiran cari ladang garam ya. Blas lupa begitu dipamerin Bukit Jaddih, Lim. Hehehe .. Next time ah, eksplorasi Madura lebih lama lagi .. Bareng yuks .. 😀
Pingin mbaleni Sumenep lagi plus cari pantai di Madura yok. Entah kenapa bekalangan jodohnya ama bangunan mlulu jadi sakaw pantai deh hahaha
mau dunks, aku belom pernah ke Sumenep pula, Lim .. 😀
berarti nggak semua daerah pantai bisa dan ada ladang garamnya ya mas? tergantung masyarakatnya membudidayakan atau enggak. Jarang nemuin daerah pantai yang menyediakan lokasi khusus buat budi daya garam. Apa saya yang kudet yak
Setahu saya ladang garam cocok di pesisir yang tidak memiliki gelombang laut yang tinggi, punya musim kemarau yang lebih panjang. Gresik dan Lasem merupakan daerah penghasil garam yang masih menggunakan proses tradisional di Pulau Jawa. Untuk Madura banyak dijumpai di pesisir selatan karena sungai dan sumber air tawarnya lebih sedikit sehingga air laut lebih pekat dan menghasilkan kualitas garam terbaik se-Indonesia 🙂
baru tau kalau ladang garam begini ya tempatnya, belum pernah lihat huhu…
tapi kata-kata dipanen lucu ya, seolah-olah tanaman juga.
btw, baru ngeh tampilan blog-nya baru, kereeeen! :))
Asyikk tampilan blognya dipuji. Makasih, kak Yuki. Kalau musim kemarau pantulan dari ladang garam jadi fotogenik banget karena seperti cermin. Kudunya mereka yg mengolah garam disebut petani atau penambang ya? Panennya musiman soalnya hahaha
wah, cakep banget pasti ya, apalagi kalau pas senja juga mantul warna oranyenya.
makanya, apa sebutannya, ya? tapi aku pernah denger sih kayaknya petani garam.
Ke Madura dua kali, tapi gak pernah mampir ke ladang garam dalam jarak dekat sekalipun, kecuali cuma lewat doang dan lihat prosesnya dari jauh. Menarik sih, karena belum pernah lihat di tempat lain. Waktu itu sempat lihat petani garam yang sedang memanen garamnya dengan alat semacam kerokan gitu, dan yang lainnya mengisi ladang garamnya. Eh tapi kenapa disebut petani ya, khan mereka gak bertani? hahaha …
Btw, setiap kali ke Sampang aku selalu nyari rujak Madura. Dan rujak Tije di Sampang itu konon salah satu yang terenak, karena menurut temanku yang tinggal di sana, di Madura itu ada kompetisi khusus rujak Madura. Yang jadi pemenang, biasanya akan semakin laris manis 🙂
Kalo disebut penambang garam pas nggak? tapi kok merasa kebacanya aneh ya hahaha. Ya weslah anggap sama aja 😛
Ahh kuliner rujak belum sempat cicipi waktu itu. Baru sempat cicip sate ama soto yang hits dan uenakk di Sumenep hehe. Denger-denger petis di Madura juga khas.
Iya ya aneh ya kalau penambang, gak ditambang 😀
Harus cobain Lim, petisnya beda memang, warnanya coklat tua mirip gula aren, bukan hitam seperti yang di Surabaya. Dan secara personal aku lebih suka petis Madura.
Brarti next time kalo pas kangen ladang garam di Madura kudu mlipir cari rujak, beli oleh-oleh petis ama lanjut tanning ke pulau #baeklah 😀
Harus! … O iya tanning nya di Gili Labak. Bikin penasaran juga tuh pulau satu itu Lim ,,, dan dengar-dengar sempat mau dijual ke swasta.
waha syik ya, terlhat panas terik ay di fotonya ,itu memungkinkan pembuatan garam makin cepat
Kabar baiknya foto yang saya ambil masih dikategorikan berkunjung saat musim bukan kemarau hihihi. Jadi bisa dibayangkan sendiri sepanas apa kalau sudah kemarau. Kedengaran seru sih kalau bisa berpanas ria bareng para petani garam di sana *siapin topi caping* 😀
duhhh foto-fotonya keren kaaaak, sebagai org Jatim aku semakin iri sama kamu yang sudah pelesir sampai ke pelosok sini
Jatim banyak yang asyik dan seru. Nggak ada habisnya dan belum semua selesai kuobok-obok hahaha. Jadi kapan nih kak Dita mo ajakin explore Malang dsk dulu? hihihi
Lahan-lahan garam makin sempit karena berubah menjadi kawasan industri hingga sekarang ini akhirnya kita justru impor garam.. semoga lahan-lahan garam di sini tidak makin berkurang
Betul banget impor garam termasuk salah satu penyebab kerugian para petani garam dan menyempitnya lahan karena semakin berkurangnya permintaan pasar. Padahal kualitas garam di Madura lebih bagus dibanding dengan yang impor.
di sekitaran Indramayu juga ada petani garam….walau bukan kerjaan pokok mereka…btw salam kenal
Salam kenal juga mas Agus. Jadi tahu kalau Indramayu juga punya pengolahan garam. Asyik banget nih kalau masih bisa melihat langsung proses penggaraman tradisionalnya 🙂
Eh, selain foto-foto bisa ngapain aja ya di ladang garam? Kayanya nggak terlalu kuat buat jadi travel destination. Kecuali kalau lagi panen mungkin bakalan terlihat keren.
Ladang garam ini memang bukan obyek wisata. Boleh dibilang sih minat khusus yang mau panas-panasan demi lihat keuletan para petani garam saat mereka mengais rejeki di musim panen kemarau. 😀
aku baru sekali ke ladang garam pas di Bali, namanya Pantai Kusamba, kesian deh kalau tahu berapa garam itu dihargai kalau dijual ke pasar, untungnya kalau di Bali banyak restoran yang langsung beli ke mereka
Dengar-dengar harag agaram di Madura nggak sampai 1000 perak perkilo nya. Bagus juga ya cara restoran di Bali dengan membeli garam langsung ke mereka. Dengan demikian kan petani merasa dihargai dan bisa mempertahankan kelangsungan hidup petani garam tradisional. 🙂
kangen madura lim… kmrn ngga sempet lihat ladang garem
Yahh sayang banget. Padahal dulu udah nyampe ke Sumenep dan eksplore kotanya ya?
Saya kalah sama Mas Halim nih soal jelajah Madura, padahal saya tinggal di Sidoarjo yang gak jauh2 amat nyebrang ke Madura hahaha. Salut Mas.
Garam ini sebenarnya mutiara yang bisa bikin Madura bangga, selain kulturnya yang unik. Btw, foto refleksi loncatnya apik! 🙂
Tanpa garam mungkin Madura tidak akan semaju sekarang. Pernah punya jalur kereta yang menghubungkan satu pabrik garam dengan pelabuhan, sisa pemukiman Belanda di sekitar pabrik dan fasilitas lain. Weh iya Sidoarjo tinggal nyeberang wes tekan Madura, buruan budal hehehe.
Sakjane banyak mas teman kuliah asli sana, wes tak tagih suruh nge guide jalan2 padahal hahaha
Ceritanya selalu seru ya si Jejak Bocah Ilang ini.
Terima kasih sudah setia mampir di mari 😀
Jangan-jangan dari sini juga garem yang tiap hari masuk ke perut saya mas? Hehehe
Bisa jadi garam dapur di rumah Bayu atau makanan di warung makan pakai garam yang diolah dari ladang di Madura ini. 😀
sampean sepulang dari sana oleh olehnya garem juga gak mas? hehehehe
https://notedcupu.com/