Batu ( Tidak ) Warna-Warni Pantai Kolbano

Benda itu telah melakukan perjalanan yang cukup panjang. Berpisah dengan Laut Timor yang selama ini memberinya rumah. Mereka harus melintasi perbukitan sepanjang jalan Kabupaten Timor Tengah Selatan menuju Kupang, lalu dibawa terbang ke tanah Jawa. Berakhir dengan hiruk pikuk tengah kota yang terdengar dari balik jendela.

Kini benda itu masih tergeletak di sudut meja, belum tahu harus diapakan agar terlihat lebih menarik. Saat kondisi basah oleh air laut, mereka memancarkan warna dan guratan yang terlihat indah. Kecantikannya terlihat beda setelah air menguap terkena angin dan sinar matahari. Nyaris serupa dengan batu penghias akuarium yang biasa dijual di pasar ikan. Mungkinkah mereka berasal dari tempat yang sama?

papan petunjuk menuju Kolbano
papan petunjuk menuju Kolbano

Siang itu pantat rasanya sudah hampir mati rasa. Punggung kaku sudah diluruskan berulang kali ketika berhenti mengambil gambar di sepanjang jalan. Namun tetap saja pantat ini berontak. Setelah melewati Jembatan Noelmina jalan mulai menyempit, tidak selebar jalan raya Oesao yang kami lewati sebelumnya. Masih seratus kilometer lagi …

Melewati Pantai Oetune berarti sisa jarak tempuh sekitar 45 kilometer. Lokasi sudah hampir dekat setelah melewati bongkahan prasasti “Jalan Lintas Timor” yang diresmikan tahun 1988 oleh Soeharto. Sekelibat melihat papan bertuliskan “Kuburan Belanda tahun 1907”, artinya Pantai Kolbano tinggal beberapa meter saja!

tebing gardu pandang di Pantai Kolbano
tebing gardu pandang di Pantai Kolbano

Ombak sangat besar bulan Juli akibat angin dari Australia, begitu kata beberapa orang. Kondisinya tidak memungkinkan para pengunjung Pantai Kolbano berenang bebas di pantainya apalagi menyelam ke tengah lautnya. Anak-anak di sana hanya menghabiskan waktu dengan berlarian mengejar ombak. Sesekali mereka saling ciprat satu sama lain sebagai wujud penghiburan.

Orang tua mereka duduk dengan posisi kepala tertunduk dan mengapit kedua kakinya dengan tangan. Jongkok berusaha mengais satu-persatu batu di bawah kakinya. Berusaha menemukan bongkahan batu warna Pantai Kolbano yang dirasa cocok untuk menghiasi jari mereka. Setelah lelah dan kepanasan, mereka akan menggelar tikar di bawah pohon rindang dan membakar ikan yang mereka bawa dari kota.

Pantai Kolbano
Pantai Kolbano

Sungguh pemandangan yang sangat bertolak belakang dengan aktivitas para penambang batu warna di sisi lain Pantai Kolbano. Beberapa wanita berusaha memenuhi embernya dengan batu warna. Anak-anak mereka mendampingi dan ikut mengais bersama ibu mereka. Sesekali mereka berlari menghindari kejaran ombak supaya tidak terseret laut. Tidak ada wajah gembira kala piknik keluarga seperti turis di sebelahnya.

Berbeda dengan kegiatan penambang laki-laki. Mereka justru terlihat sibuk mengayak pasir warna. Memisahkan batu-batu sesuai ukurannya. Pasir ditinggal, batu mereka kumpulkan dalam sebuah karung plastik. Seolah-olah tidak memikirkan kesenangan apalagi jam belajar anak mereka, hanya mementingkan terpenuhinya kebutuhan hidup dari berkarung-karung batu Kolbano setiap harinya.

penambang batu warna Kolbano
penambang batu warna Kolbano
kakak penambang
kakak penambang

“Sepuluh ribu rupiah harga satu karungnya ( sekitar 50 kilogram ),” sahut seorang penambang sembari memungguti batu berwarna putih.

“Hanya ambil batu warna putih sajakah, kakak?”

“Hari ini saya ambil warna putih. Kalau mereka di sebelah sana ambil warna yang lain,” jawabnya sambil menunjuk segerombol ibu-ibu.

Wajah manis kakak penambang mengingatkan saya pada salah satu adegan dari tayangan “Mengais Asa di Kolbano” yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Dikisahkan bahwa pekerjaan melaut perlahan ditinggalkan, sebagian lebih memilih untuk mengais batu warna di pantai dari pagi sampai sore hari. Mereka beranggapan keuntungan jadi penambang batu lebih besar daripada menjadi petani atau nelayan.

Perlahan kemudahan kegiatan mengais batu warna itu didengar oleh para penduduk dari desa sebelah. Mereka mulai berdatangan ke lokasi yang sama dan ikut mengais batu warna. Sebagian besar setengah menetap di pinggir pantai dengan kondisi rumah tidak permanen (tenda) yang jauh dari kata layak. Rela meninggalkan kebun di desanya dengan alasan kekeringan. Semua dilakukan demi hasrat mengais berkarung-karung batu pantai setiap hari.

batu Pantai Kolbano
batu Pantai Kolbano
pelabuhan Kolbano dari kejauhan
pelabuhan Kolbano dari kejauhan

Keprihatinan penduduk Desa Kolbano masih diabaikan oleh pihak berwenang yang lebih mementingkan pembangunan dermaga. Naasnya sekarang dermaga gagal difungsikan karena tidak kuat menghadapi ganasnya terjangan ombak. Harapan Kolbano bisa difungsikan sebagai pelabuhan penghubung Indonesia dengan negara Australia hanya tinggal kenangan mengingat angin dan gelombang Samudera Hindia yang ganas. Tak ada perahu nelayan yang mau bersandar di sana, apalagi perahu asing.

Namun pemandangan dari pelabuhan justru menyuguhkan kenyataan yang selama ini tertutupi oleh cerita indah yang telah disebar luaskan. Penambang pasir warna terus-menerus menggali dan mengayak agar mendapatkan pasir warna Kolbano yang konon memiliki kualitas bagus sebagai bahan bangunan. Sementara yang lain hanya memungguti batu-batuan berdasarkan warna dan ukuran sesuai permintaan penyalur yang mengekspornya sampai mancanegara.

para penambang batu warna
para penambang batu warna

Gembar-gembor keindahan batu warna-warni Pantai Kolbano yang pernah saya baca di media sudah tidak terasa menarik lagi. Muncul harapan agar suatu hari kreativitas penduduk setempat terpacu. Mampu memanfaatkan batu warna sebagai sebuah hiasan bernilai tinggi, tidak lagi harus menyetor karung demi karung kepada penyalur.

Rasanya itu terdengar lebih baik.

Selagi alam masih berbaik hati melimpahi Pantai Kolbano dengan batu warna-warni.

55 Comments Add yours

  1. MS says:

    lebih baikkah hasil yg didapat dari jadi penambang batu dibanding melaut?
    untuk apa batu batu ini?

    1. Aktivitas “hanya” memunggut batu saja bisa mendapat uang, jika berkebun ada kemungkinan gagal panen, jika melaut ada kemungkinan membawa pulang sedikit ikan saat ombak besar. Rasa putus asa terhadap mata pencaharian utama yang kadang menyesatkan. 🙂

      Menurut beberapa sumber, pasir warnanya dibawa ke kota sebagai bahan bangunan sedangkan batu warna dikirim luar Pulau Timor hingga luar negeri sebagai batu hias ( akuarium ), mbak Monda.

    2. MS says:

      oh.,, jadi tanpa resiko besar ya.. kerja gampang sudah menghasilkan buat mereka

  2. Gara says:

    Cerita sedih lagi dari sepotong dunia yang dulunya berwarna tapi kini mulai bergerak menjadi monotone… :haduh. Urusan perut memang akan selalu menang dari apa pun, bahkan konservasi apalagi preservasi. Mau menyalahkan siapa pun saya juga rasanya salah, tak punya solusi apalagi kuasa untuk menjadikan solusi itu nyata, jadi mungkin yang saya bisa buat adalah sama dengan Masnya, sebatas berdoa :hehe.

    Ombaknya tjuy, ombaknya ganas! Sepertinya tebing itu bisa didaki untuk sensasi foto dari ketinggian, ya? Dan apakah Mas mengunjungi makam Belanda itu? Atau itu makam Belanda yang ada di postingan terdahulu? Eh itu mah yang di Kupang, ya :hehe.

    1. Sempat melipir ke kuburan Belanda-nya, Gara. Mungkin akan saya tulis terpisah di lain waktu hehehe. Di situ ada sebuah tugu bertuliskan nama-nama serdadu Belanda yang tewas saat masyarakat Kolbano melakukan perlawanan yang disebut Perang Kolbano pada tahun 1907. 🙂

      Mau mencoba olah batu-batu yang saya bawa dari Kolbano sebagai hiasan yang bernilai. Mudah-mudahan bisa menerapkan di depan penduduk saat saya ada kesempatan balik lagi ke Timor 😉

    2. Gara says:

      Tulisan tentang kuburan itu ditunggu :hehe.
      Wah, ide yang sangat bagus dan mulia :)). Semoga berhasil, Mas :hehe. Jangan lupa ajak-ajak kalau mau jalan ke sana lagi *laaah? :haha*.

  3. jadi timbul pertanyaan, itu batunya berasal dari mana ya?
    ada kemungkinan habis kah kalo diambil terus menerus?

    btw, narasinya keren koh 😀

    1. Thank u, Gallant 🙂
      Bentuk batu Kolbano bulat-bulat unyu, kalo beruntung ada yang bentuk lope lope hehe. Pun jg pnasaran darimana asal batunya. Mungkin ada palung di dasar laut yang dipenuhi pecahan karang bentuk bulat, mungkin… 🙂

  4. BaRTZap says:

    Aku kok sedih ya baca postingan ini, terlebih dirimu mengolah foto-fotonya dalam tone yang dramatis. Secara personal, aku termasuk yang kurang sreg sama penambangan batu. Termasuk dengan trend-trend perbatuan yang sedang marak sekarang ini. Karena masalahnya bebatuan tersebut adalah barang-barang yang tak terbarukan. Dan beberapa aktivitas penambangan bebatuan -di luar Kolbano ini- cenderung merusak alam.

    Btw, di luar isi posting mu yang membuat sedih ini. Aku suka tulisan ini, karena menunjukkan bahwa tak hanya keindahan saja yang bisa dijadikan pelajaran dari sebuah perjalanan.

    Nice post Lim, tetap jalan dan tetap berbagi ya.

    1. Dian Rustya says:

      Komentarku sama dengan komentar ini Lim 😆
      #NebengKomen

      Tulisanmu makin ke sini makin asyik Lim. Dapet banget “gong”nya dan sudah menarik sejak paragraf pertama #iniseriuslho

    2. Rasanya jiwaku tertambat oleh Timor jadi banyak bahan yang bisa diceritakan secara mendalam. Matur nuwun loh buat pujiannya, mbak Dian. Ehmm ini pujiannya nggak php kan? 😀

    3. Terima kasih atas pujiannya, Bart… Jadi malu hehehe. Saat melanjutkan perjalanan ke bagian lain Timor Tengah Selatan banyak menemukan bekas galian tambang, beberapa sudah terlanjur bolong dimana-mana, ada pula yang berhenti digarap karena ditentang oleh warga sekitar. Salut dengan warga yang berani mengatakan “tidak” kepada mereka mereka yang hanya mementingkan kepuasan diri sendiri namun lupa dengan peranan alam terhadap kelangsungan dunia. 🙂

    4. BaRTZap says:

      Sama-sama Halim.

      Ah iya saluuut, semoga makin banyak warga yg berani bersikap begitu. Para pemodal yg tak mempunyai hati dan cuma berpikir tentang keuntungan mereka pribadi tanpa mempedulikan pihak lain, harus dilawan.

  5. winnymarch says:

    masih banyak kambing gk disana halim?

    1. Nggak nemu kambing sama sekali pas ke sana, Win. Antara sudah dijual atau diletakkan di tempat lain kali ya hehe

    2. winnymarch says:

      hahaha aku malah lihat kambing ditas gunung

  6. Dita says:

    Batunya bagus ya kak, tapi sampe kapan ya mereka menggantungkan kehidupan dg menambang batu? Bakalan habis kan kalo ditambang terus 😦

    1. Dilema pertambangan yang belum banyak solusi penyelesaian masalah. Biasanya memanfaatkan lingkungan dengan warga yang tidak berpendidikan tinggi, ahh begitulah. Kalau ada ide mengolah batu jadi hiasan yang bisa diolah oleh mereka secara mandiri kasih tahu ya kak Dit 😉

  7. ombaknya terlihat luarbiasa, sekeras kehidupan masyarakat pantainya…
    entah kapan, tetapi semoga kehidupan mereka membaik…
    Terima kasih sharingnya mas Halim…

    1. Terima kasih kembali, mbak Yanti.
      Semoga dengan tulisan ini ada yang sudah tergugah untuk melatih kreativitas warga Kolbano sehingga mereka bisa meninggalkan aktivitas pertambangan. 🙂

  8. tulisannya sangat menarik, keren.
    batu-batunya mirip sama Pantai Pintu Kota di Ambon. 🙂

    1. Thank you Yuki. Rupanya ada pantai di Ambon punya batu pantai juga yah. Oh iya kmrn pas ke Jayapura sempat ke Pantai Tablanusu nggak? Di sana pantainya malah penuh batu hitam bulat pipih mirip batu sungai yg biasa dipakai buat stone spa hehehe.

    2. iyaaa, yg di Ambon jauh bener paling ujungnya Ambon.
      iya, mampir ke Tablanusu unik banget ya satu kampung batu semua, udah nyobain jalan tanpa sendal jg kayak anak2 situ, tapi lama2 sakit hahaha…

    3. Ahh jadi kangen Tablanusu >.<

  9. alrisblog says:

    Batu pantainya bagus tuh buat hiasan, ornamen dan batu aquarium.
    Prihatin juga saya dengan kehidupan masyarakatnya.
    Bikin pelabuhan tapi gak berfungsi, siapa yang salah?

    1. Selama ini batau-batu yang dipunggut dari Kolbano sudah dikirim ke luar Timor sebagai batu aquarium. Sudah diimpor sampai luar negeri juga. Belum marak diolah jadi cincin batu akik sepertinya hehe

  10. Irham says:

    Itulah bedanya org pendidikan dan org yg kurang pendidikan, semoga indonesia ini semakin banyak orang yang berpendidikan, minimal berfikiran terbuka, sehingga bisa memajukan Indonesia 🙂

    1. Agree! Dengan tingkat pendidikan lebih tinggi niscaya akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap daerah-daerah yang belum dijamah pihak berwajib. 😉

  11. Rifqy Faiza Rahman says:

    Menjadi berdaya memang sulit, apalagi nelayan dan petani itu bergantung pada alam. Sampai sekarang saya masih sedih dan marah atas ketidakmerataan pembangunan yang terlalu terpusat di Jawasentris 😦

    1. Cerita miring Indonesia cuma di Jawa rasanya nggak miring tapi betul adanya. Jalan menuju beberapa tempat yang seharusnya bisa jadi tempat wisata yang mampu menarik perhatian banyak wisatawan pun masih belum diaspal, berbatu, kadang berlumpur, ah Indonesiaku.

  12. Itu orang sebanyak itu pana nyari batu sama pasir mas? Saya kira pada nikmatin pantainya hehehehe

    1. Yang nikmatin pantai pilih berdiri dekat batu tinggi tak ketinggalan mereka pakai celana panjang dan jaket biar nggak tambah gosong katanya, sementara yang meringkuk seharian adalah penambang batu warna hehehe

  13. Noe says:

    Barangkali begitulah hidup, selalu ada dua sisi berbeda, kontras, dan selalubada pelajaran yang bisa dipetik, hanya bagi mereka yg mai berfikir. Tsaelaah… Komenkuuuu, berat amat!

    1. Hahaha mbak Noe salam super! 😀

  14. Yasir Yafiat says:

    Tulisannya keren bang.

    1. Terima kasih, Yasir 🙂

  15. Sadam says:

    saya sedih :(, mengurungkan niat mengunjungi tempat ini 😦

    1. Dari Kolbano bisa langsung ke Boti lihat salah satu suku asli di Timor. Kemarin belum sempet ke Boti, mungkin next trip Kupang mo mlipir sana. #kode 😀

  16. kata ändai” seakan tiada habisnya melihat pemandangan ini 😦

    1. Cuma bisa mencoba berpikir untuk melakukan aksi nyata agar nasib mereka jauh lebih baik 🙂

  17. Itu memang mendung atau memang teknik fotonya seperti itu ya? 😀
    *ketahuan banget cuma scroll gambar*

    1. Hahaha ketahuan kalau nggak baca judul dengan seksama juga 😉

    2. Judulnya sih baca, mas. Cuma mungkin akunya aja yg nggak paham. Maklum, udah tenaga penghabisan blogwalking 😀

  18. Aku sedih Kak bacanya. Kalau setiap hari batunya diambil, habis dong. Beberapa tahun lagi jadi tidak ada wisatawan yang tertarik datang ke Kolbano 😦 Tidak adakah penyuluhan bagi masyarakat lokal tentang pengembangan pariwisata dan manfaat jangka panjangnya bagi mereka?

    1. Menurut info ekploitasi semacam ini sudah berlangsung lama, puluhan tahun mungkin. Penting banget kasih penyuluhan tentang ekploitasi keliru Pantai Kolbano di depan mereka sedini mungkin. Semoga jangan ada lagi dilema saat berkunjung ke sana seperti yang pernah kualami…

  19. Jevon L says:

    Foto-fotonya sedap, gan! 😀

    1. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak di blog sederhana ini, Jevon 🙂

  20. Dyah says:

    Wah … fotonya keren! Tapi harus cepat-cepat ke sana sebelum batu-batunya habis yah?

    1. Timor banyak menyimpan keindahan alam nggk kalah dengan Flores ataupun Sumba. Yuk ke Timor, Dyah 😉

  21. imamalavi says:

    pas aku kesana ditawarin satu kresek penuh batu-batu trus aku gak beli, takutnya kalo beli malah ngedukung eksploitasi batu unyunya 😦

    1. Ketemu anak-anak yang mendadak jadi tukang parkir nggak? Ternyata kebiasaan kasih uang ke anak-anak berakibat demikian, entah dimulai sejak kapan. Memang butuh penyuluhan secepatnya agar Kolbano bisa jadi sebuah desa wisata yang meninggalkan kesan baik, bukan menyedihkan. 🙂

  22. annosmile says:

    dolane adoh mas hihihi

    1. Sesekali lah ngilang sing adoh. Kurang adoh jan e, pingine sih dolan ning Fiji. Hahaha.

  23. TOTO Timor says:

    Batu adalah tulang, tanah itu daging(tubuh), hutan itu rambut, air adalah darah, sebuah filosofi Atoin Meto yang dipegang sampai hari ini namun keserakahan “manusia” serta kemalasannya yang membuat mereka merusak batu tersebut,mereka menjual tulang mereka sendiri … Saya berdoa semoga pengusaha batu ini mendapat pemahaman dari sang Pencipta, saya doakan para penambang ini mendapat hikmat agar mereka dapat berpikir lebih bijaksana serta dapat keluar dari belenggu kemalasan, semoga mereka beralih ke pertanian,peternak,nelayan profesi warisan yg ditinggalkan para leluhur,

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.