Half Day in Krankzinnigengesticht Kramat

Ada banyak bekas bangunan peninggalan warga kebangsaan Belanda yang menetap lama di Hindia Belanda sudah dimiliki perorangan dan perusahaan yang mempunyai nasib kian tak jelas di masa depan. Menunggu ajal untuk dihancurkan generasi penerusnya atau mungkin tetap bertahan hingga dunia kiamat.

Sebaliknya, bangunan kolonial yang sudah dikelola oleh badan usaha milik pemerintah dan angkatan militer setelah Belanda hengkang dari tanah air masih bertahan hingga sekarang. Sebagian sudah digunakan sebagai rumah dinas petinggi negara, perkantoran yang masih nyambung dengan bidang terdahulu, hingga mess para angkatan bersenjata.

Tapi jangan heran jika beberapa sudah tidak seperti sedia kala, dipreteli tegel kunonya dan diganti dengan tegel lebih modern berwarna putih polos yang menurut mereka lebih bagus. Jangan heran juga jika menemukan bangunan yang sudah dilelang kemudian dibeli oleh pihak swasta, dihancurkan dan dibangun menjadi ruko. Misteri pola pikir warga Indonesia yang masih belum jeli dengan potensi menguntungkan dari bangunan-bangunan tua.

menggagumi arsitektur rumah dinas dokter dan perawat
menggagumi arsitektur rumah dinas dokter dan perawat

Tentu membutuhkan surat rekomendasi dan alasan yang kuat jika hendak masuk ke bangunan kolonial yang sudah dimiliki pemerintah. Tidak sembarang orang bisa masuk jika tidak memiliki keperluan di sana. Minggu lalu saya berkesempatan menghadiri kegiatan yang diadakan oleh komunitas Kota Toea Magelang ( KTM ). Obyek yang dituju kali ini bukan sembarang obyek, yaitu kompleks bangunan kolonial sarat sejarah di Magelang yang kini sudah diambil alih oleh Departemen Kesehatan. Bahkan bisa dibilang tempat tersebut merupakan salah satu rumah sakit ternama di Indonesia.

nomor rumah dinas dokter
nomor rumah dinas dokter

Meski sekarang separuh lahan sudah dimiliki oleh Armada Real Estate dan pihak militer, kompleks seluas empat puluh hektar ini masih digunakan sebagai rumah sakit untuk menampung pasien yang memerlukan perhatian khusus. Kompleks ini juga mudah ditemukan karena letaknya di tepi jalan raya yang menghubungkan Magelang – Semarang – Purworejo, tepatnya di Jalan Achmad Yani 169, Magelang. Tempat yang saya maksud adalah Rumah Sakit Jiwa Prof dr. Soerodjo atau sering disebut Rumah Sakit Jiwa Kramat Magelang.

Rumah sakit yang mampu menampung hingga seribu pasien yang membutuhkan perhatian khusus ini semula dinamakan Krankzinnigengsticht Kramat yang dibangun mulai tahun 1916 hingga tahun 1923 atas prakarsa Scholtens. Dikisahkan butuh waktu cukup lama bagi Scholtens untuk meyakinkan pemerintah Hindia Belanda mendirikan krankzinnigengsticht ( rumah sakit jiwa ) di Jawa Tengah. Hingga akhirnya 80 hektar tanah yang terletak sekitar empat kilometer dari kota Magelang ditetapkan sebagai lokasi yang memadai. Udara sejuk, berdekatan dengan Kali Progo guna memasok kebutuhan air pasien serta terletak di jalur lintas Magelang menuju Semarang yang menjadi alasannya.

gerbang masuk rumah sakit
gerbang masuk rumah sakit

Pagi itu, saya dan kawan lain yang tergabung di KTM dipandu oleh Bu Any, nara sumber sekaligus saksi hidup yang masa kecilnya dihabiskan di kompleks rumah sakit ( perlu diketahui bahwa Bu Any bukan mantan pasien yang memerlukan perhatian khusus ). Dari penjelasan beliau, kami jadi tahu bahwa rumah-rumah dinas dokter yang terletak di samping kiri dibangun sama persis ukuran dan bentuk seperti di samping kanan bangunan utama. Serta info tentang pembagian bangsal pasien, sebelah selatan untuk pria sedangkan sebelah utara untuk wanita.

Setelah melewati gerbang masuk, saya terkejut dengan kondisi yang terpampang nyata di depan mata. Halaman di dalam rumah sakit kalau boleh saya bilang kondisinya sangat asri melebihi rumah sakit umum yang pernah saya kunjungi. Jajaran pepohonan seperti mahoni berumur puluhan tahun tumbuh besar dan rindang, taman luas dengan rumput dan bunga yang bermekaran. Bangsal atau wisma untuk pasien pun berbentuk loji dengan arsitektur Eropa yang kental, langitan tinggi, daun pintu dan jendela dari kayu berkualitas di masanya. Bukan kompleks rumah sakit jiwa dengan tingkat keamanan mirip penjara, melainkan nampak seperti sebuah resort!

Tempat yang lahannya sudah menyusut menjadi 40 hektar ini dibangun dengan tujuan awal yang mulia. Bukan mengucilkan pasien yang memiliki beban pikiran terlalu berat hingga membuatnya tidak bisa berpikir jernih lagi, melainkan memberinya perawatan dan pengobatan agar bisa kembali beraktifitas seperti sedia kala. Setelah diresmikan oleh direktur RSJ Kramat Magelang yang pertama, dr. Engelhard tercatat pada pertengahan tahun 1923, pasiennya mencapai lebih dari 1100 orang dan melonjak hingga lebih dari 1400 orang.

Diberi embel-embel “Kramat” oleh penduduk sekitar karena rumah sakit ini didirikan di lahan yang dulu sebagian daerahnya merupakan makam, salah satu yang terkenal adalah makam Kyai Ponggol. Meski makam sudah dipindahkan, hingga tahun ’70-an masih banyak orang yang menggangap bekas makam tersebut keramat, bahkan tak jarang ada yang rutin datang tiap malam Jumat demi mencari berkah.

bangsal W-10
bangsal W-10

Matahari yang semakin meninggi tidak menghalau kami untuk memutari kompleks rumah sakit. Saya dan kawan yang lain berkesempatan melihat bekas lumbung padi yang terletak di bagian belakang, bekas pabrik batik yang sudah tidak digunakan lagi ( dulu pernah diproduksi Batik Magelang di kompleks ini ) hingga ruang binatu. Ruang binatu yang masih dipenuhi mesin cuci dan pengering linen peninggalan Belanda menjadi kejutan berikutnya.

Rupanya pihak Belanda tidak hanya menyediakan tempat tinggal yang bersih dan hyginies untuk para pasien saja, tempat ini juga difasilitasi binatu yang bertugas mencuci dan mengeringkan baju, selimut, sprei di seluruh bangsal. Mesin-mesin berumur hampir seratus tahun tersebut masih dalam kondisi utuh dan terawat! Hingga sekarang masih digunakan untuk laundry harian rumah sakit. Setiap hari ada enam ratus kilogram linen yang harus dicuci atau kurang lebih 4000 lembar yang dijemur dan disetrika oleh petugas.

Sejak tahun 2001 RSJ Kramat Magelang sudah berganti nama menjadi RSJ Prof dr. Soerodjo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.1684/MENKES-KESSOS/SK/XI/2000. Beberapa tahun kemudian, pihak rumah sakit mendirikan sebuah tempat khusus untuk mengenang sejarah masa lalunya yang dinamakan Museum Pawiyatan Luhur. Menempati bekas gedung serba guna yang masih memiliki arsitektur kolonial, dipamerkan alat-alat pendukung rumah sakit dari masa ke masa yang sudah tersusun rapi sesuai kategorinya.

Mulai dari alat pasung yang pernah digunakan saat awal rumah sakit berdiri, alat kejut listrik, hingga dokumentasi gambar pasien yang disebutkan ciri-cirinya di belakang foto dengan maksud agar mereka bisa dikenali saat mencoba kabur dari rumah sakit. Sayangnya tidak ditampilkan potrait dr. Engelhard selaku direktur RSJ Kramat Magelang yang pertama. Catatan sejarah seolah dimulai dari gambar dr. Soerodjo selaku direktur pribumi yang menjabat saat masa pendudukan Jepang tahun 1942 hingga pasca kemerdekaan tahun 1953.

Selain bangunan kolonial yang megah dan mesin binatu yang memukau, pasien yang berada di bangsal juga menarik perhatian saya. Di awal perjalanan, kami diberi peringatan agar tidak mengambil gambar pasien dengan maksud untuk menjaga privacy mereka, jadi tidak ada gambar pasien yang sempat saya abadikan. Senyum manis yang terlempar dari balik teralis jendela harus diabaikan mata kamera. Hanya bisa membalas lambaian tangan dengan lambaian tangan, senyuman dengan senyuman. Membalas sapaan dengan kata-kata halus yang tidak menyinggung perasaan.

Mengingatkan saya pada kisah yang pernah saya baca beberapa hari sebelumnya tentang mbak Clara Sumarwati yang pernah menjalani perawatan di RSJ Kramat Magelang. Clara Sumarwati adalah pendaki wanita asal Indonesia yang berulang kali berusaha menaklukan Everest sejak tahun 1994. Hingga akhirnya beliau berhasil mencapai puncak pada tahun 1996. Boleh dikata bahwa mbak Clara merupakan pendaki wanita Indonesia pertama yang berhasil menaklukan Everest!

Bukti sebagai penakluk puncak Everest ke-836 yang tercatat di EverestHistory.com ( klik di sini ) dengan urutan nomor 88 di daftar Summits by Year 1996 sepertinya belum mendapat sorotan yang besar di tanah air pada masanya. Malang nasibnya, hingga beliau pernah menjalani perawatan di RSJ Kramat Magelang pada tahun 1997 dan tahun 2000, terakhir 2009. Pengorbanannya yang sudah membawa harum nama bangsa seolah tidak dihargai oleh masyarakat dan pemerintah.


Note : Hidup cuma sekali. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan yang mungkin terus dibicarakan banyak orang, kekurangan yang kadang dicemooh dan diberi predikat “tidak sehat”. Hargai pilihan hidup sesamamu.

Cheers and peace…

Djelajah RSJ Kramat - Kota Toea Magelang
Djelajah RSJ Kramat – Kota Toea Magelang

35 Comments Add yours

  1. monda says:

    kejutan ya rumah sakit ini mash menghargai heritage
    mesin cuci masih berfugsi, ini jenis mesin cuci manual atau pakai bahan bakar apa?
    perlu dapat penghargaan

    1. Mesin cucinya sudah bertenaga listrik, hanya saja ada tali yang dikaitkan dengan roda di atas guna memutar cucian di dalam mesin. Lalu ada drum khusus yang terus dialiri air panas untuk proses pembilasan. Takjub saat melihat langsung sehingga terdengar ruwet kalau mau menjelaskannya hehe

  2. mawi wijna says:

    Wow, bukan bangunannya aja ya yang masih bertahan, tapi juga peralatan cuci-mencuci era kolonial masih digunakan sampai sekarang. Gimana itu perawatannya ya? Terutama nyari suku cadangnya? Istimewa sekali lah Lim. Semoga semua-semuanya di RSJ Prof dr. Soerodjo ini tetap terawat dan tidak berubah dimakan jaman.

    Eh, pasien-pasiennya itu masih pakai seragam oranye Lim?

    1. Sempat nanya petugasnya, mereka rutin memeriksa kondisi mesin tiap minggunya. Kalo ada kerusakan mesin, mungkin sparepartnya kudu pesan di Belanda hehe. Seragamnya warna-warni sesuai penempatan bangsal masing-masing. Ada juga yg model terusan untuk pasien wanita. Sudah nggak sekolot dulu serahgamnya 🙂

    2. Avant Garde says:

      mas mawi, gmn cara follow blognya yah 🙂 suwun…

    3. mawi wijna says:

      Saya jawab langsung di blogmu Bang, hehehe

  3. Serinf nih ngelewatin bangunan ini, tapi nggak kepikiran buat mampir. Serem sama penghuninya hehe
    Btw, itu kalau mau keliling gitu gimana caranya tuh? Asik kayaknya bangunannya, apa lagi koleksi museumnya. Perorangan pribadi boleh kah?

    1. Kemarin berkunjung rame-rame dengan komunitas Kota Toea Magelang jadi surat izin masuknya diproses mereka. Kalo untuk umum hanya bisa masuk sebatas museum saja di hari kerja setelah lapor tujuan kunjungan di kantor depan dulu. 🙂

  4. Gara says:

    Wow, salut betul saya, rumah sakit ini masih mempertahankan bentuknya sebagai sebuah kompleks kesehatan dengan denyut yang masih terasa dari awetnya perkakas lama seperti lubang angin dan mesin binatu. Keren sekali. Semoga bangunan-bangunan di sana tetap bertahan, memberi manfaat tidak hanya bagi kesehatan tapi juga sebagai kenangan bernilai sejarah tinggi :amin.

    Ah, saya iri, andai saja CBZ yang tersohor itu tidak tertempeli bangunan artifisial, mungkin kemegahan dari balik Metropole dan kampus baru STOVIA itu masih ikut bertahan hingga sekarang. Apalagi kalau seandainya rumah sakit sebagai pengganti Istana Weltevreden dan kampus lama STOVIA itu masih tetap asli, itu juga akan sangat megah :huhu.

    Kadang pemerintah, sorry to say, juga kurang bisa diandalkan dalam menjaga bangunan tua… bahkan meskipun bangunan tua itu adalah istana Daendels yang termashyur itu *masih trauma dengan sayap selatan istana yang ditopang besi supaya tidak roboh padahal retakannya memanjang dari atas ke bawah :huhu*.

    1. CBZ ( Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting ) itu yang sekarang ganti nama jadi RSAD Gatot Subroto Jakarta ya? Terus saya juga penasaran dengan kebenaran bahwa Masjid Istiqal dulu adalah rumah sakit juga, yang konon masih menyisakan lorong bawah tanahnya. Betul nggak, Gara? Masih banyak sejarah Batavia yang belum kupelajari nih hehehe.

      Sedih kalau lihat bangunan yang sudah dimiliki pihak pemerintah justru tidak terawat. Seolah menjadi contoh kepribadian negara yang kurang menghargai sejarah masa lalu negerinya. Padahal nggak semua warga negaranya berpikiran seperti itu >.<

    2. Avant Garde says:

      pernah baca kalo istiqlal dulunya bekas benteng belanda, jadi sengaja bangun benteng, istana (istana presiden sekarang), alun-alun(monas) dan gereja (kathedral) dalam satu area ….

    3. lost in science says:

      Istiqlal dulunya kalo gak salah Benteng Prins Frederik Hendrik di Taman Wilhelmina.. didalamnya ada monumen Waterloo dan Aceh.. sayangnya semua dibonkar ya.. emang kita doyannya lupa sejarah.. haha.. Padahal pas pembangunan Masjid Istiqlal Bung Hatta mengusulkan dibangun deket MH Thamrin karena dekat pemukiman masyarakat Islam dan tanahnya kosong, dibandingkan usulan Bung Karno sebelahan dengan Kathedral. Kayaknya Bung Karno lebih suka simbolism sebelahan dengan katedral daripada estetika.. cmiiw.. nice post mas..

    4. Gara says:

      Sepertinya balasan saya kemarin tidak sampai ya, Mas? :haha.
      Setahu saya CBZ itu sekarang menjadi RSCM, Mas. Kalau RSPAD itu Groot Militair Hospital. Yap, Istiqlal sebelum jadi Citadel Prins Frederik memang Buiten Hospitaal (rumah sakit di luar tembok kota), jadi pendamping buat rumah sakit di dalam tembok kota (yang kalau tidak salah sekarang Museum BI).
      Yah, demikianlah Mas, semoga kepedulian untuk bangunan kolonial makin terbangun, karena cerita yang ada di dalamnya terlalu berharga untuk dilupakan :)).

    5. Kali ini sudah masuk komentarnya hehehe. Noted untuk tambahan info sejarahnya, bli. Jadi sedikit belajar ttg Batavia, dan tambah penasaran ttg Batavia dulu dan sekarang 😉

  5. Wah senang bacanya…jarang2 ada bangunan lama terawat..salut sama pengelolanya…

    1. Untungnya krankzinnigengesticht ini terletak di kota tidak terlalu besar seperti Magelang, jadi “pembantaian” bangunan kolonial belum sedrastis kota metropolit 🙂

  6. lost in science says:

    Bagus nih om, sayang banyak bagian aslinya sudah dipretelin. Saya sempet mampir ke salah satu rumah tuan tanah di Cililitan Jakarta yang lokasinya saya dapatkan dr salah satu buku Sejarah Jakarta karya Adolf Heukeun, dimana di fotonya edan bagus bgt nih rumah dikelilingi tanah lapang yang luas banget. Lalu iseng saya mampir kesana pas tahun 2008 (buku saya beli pas SMP) dan JRENG parah masih ada sih bangunannya, tapi disekat2 jadi perumahan padat (now you can feel how big it is). Tangganya yang anggun masih ada.. Suka sedih kalau melihat hal2 kayak gini, padahal masuk kategori bangunan yang dilindungi…

    1. Waduhhh sedih banget kalo lihat kondisi bangunan tua kayak gitu. Lalu kondisi sekarang bagaimana? Lebih parah atau malah sudah rata dengan tanah?

      Andai bangunan-bangunan di Batavia atau Jakarta dan kota besar lain di Nusantara dibiarkan seperti sebelum kemerdekaan pasti akan terlihat sebagai kota dengan peradaban maju, sasaran turis untuk melihat bangunan berarsitektur Eropa tanpa perlu beli tiket yang mahal untuk menyeberangi benua yah…

    2. Avant Garde says:

      halo mas … belum kenalan tho? hehehe…itulah indonesia, sukanya merusak dan membangun lagi, tapi susah kalo diajak memelihara dan memakmurkan

  7. Avant Garde says:

    dua sisi kolonial yah mas, kadang mereka kejam, kadang mereka ‘memanusiakan’ jajahannya dgn bikin RSJ di kota yang adem n sejuk kayak magelang, berasa kayak di resort yah, tertarik nginap disitu? (#lalu disiram kuah :p)
    aku malah baru dengar ada museum di rumah sakit itu mas… jadi pengen ngulik juga suatu saat nanti

    jadi ingat dua rumah sakit yang ada di jambi, satu bekas rumah sakit milik pertamina di bajubang, di pinggiran jambi dan rumah sakit milik ptpn kayu aro di tengah2 perkebunan teh di kaki gunung kerinci, aku tau rumah sakit itu justru dari mr.tukul (halan2) -_- aku dulu di kerinci kebanyakan fokus di bangunan / situs prasejarah n islam, justru yg peninggalan kolonial kurang dieskplor

    1. Jujur waktu keliling kompleks, rasanya nggak mau pulang mas hahahaha
      Betahhh banget tinggal lama di sana, rasanya seperti bukan di rumah sakit 😀

      Museumnya menarik untuk dikunjungi, di artikel ini sengaja nggak kuposting banyak gambar biar penasaran dan datang langsung ke sana 🙂

      Eksplore peninggalan Belanda di Jambi donk, siapa tahu tahun ini saya bisa melipir ke sana dan mendapat banyak petunjuk dan pencerahan sejarahnya hehehe

    2. Avant Garde says:

      iyah…museum ini sepertinya luput dari list “magelang’s museum”nya mas fahmi anhar… 🙂

      kalo peninggalan kolonial kebanyakan di kota jambi mas, sayang empunya udah pindah ke batam… beberapa udah kudatangi kayak bekas benteng yang jadi masjid 1000 tiang, kerkhof, menara air.. entar sekalian ke candi muaro jambi 🙂
      selain di kota ada di bajubang (bekas komplek minyak yang dinasionalisasi sama pertamina), sama di ptpn kayu aro (perkebunan teh), yang di kayu aro rumah2 kuno, gereja, rumah sakit, kerkhof relatif lebih terawat soalnya masih dipake sampe sekarang…

      kalo waktunya pas entar aku temanin pas maen di jambi 🙂 dijapri mawon hehe

  8. Avant Garde says:

    ohya….satu lagi, yg dirawat disitu khusus orang belanda apa dulu semua bisa mas?

    1. Dari dulu rumah sakit ini diperuntukkan untuk umum, baik warga Belanda maupun pribumi yang membutuhkan perawatan dan perhatian khusus. Sekarang masih jadi rujukan beberapa rumah sakit yang lebih kecil jika mereka mendapat pasien yang tidak mampu mereka tangani. 🙂

    2. Avant Garde says:

      yups….jadi inget anekdot waktu kecil, “kalo nakal entar dimagelang-in” hahaha…

  9. Hamid Anwar says:

    Untungnya… Sampeyan ikut event ini jadi saya ada bacaan lah.. Soalnya saya nggak ikut e 😀

    btw, selama ini Halim pake pocket kamera doang, tapi hasil bidikannya selalu oke. Suka 😀

    1. Iyo kih tiwas arep tak tagih traktiran e bar rabi hahaha… Bulan depan semoga bisa ramein pamerannya KTM di Magelang Tempo Doeloe 😀

      Matur nuwun pujiannya ttg foto, masih proses belajar jepret kok 🙂

  10. Hebat perawatannya ya. Sampai mesinnya masih bisa digunakan.
    Tadi lihat foto bangunannya sekilas kirain yang di KRB. Ternyata di Magelang.

    1. Dulu pas lewat kawasan ini juga mengira bangunan tersebut bekas benteng pertahanan atau bekas tempat peristirahatan gubernur jenderal, ternyata oh ternyata dari awal memang dibangun sebagai rumah sakit 😀

    2. Iya. Modelnya kayak bekas rumah GubJen.

  11. Agung Gidion says:

    RSJ ya Mas.. Jadi kembali ke masa kecil.. Tempat saya main sepeda Mas lewat lorong2nya.. Main bola dibelakang rumah sakitnya, di lapangan gintung.. Daridulu memang hijau asri..

    Btw kapan2 gabung ikutan pas KTM jalan.. 🙂

    1. Mas, kamu bukan mantan pasien di sana kan? Hahahaha… Ayolah sesekali ikut kegiatan Kota Toea Magelang, seru dan tambah kenal ama Magelang 😀

  12. Henry Rumeser says:

    Ayah saya kerja di RS Kramat Magelang pada saat saya lahir (1954), rumah yang di foto paling atas itu tempat saya tinggal, walaupun hanya sampai kelas dua SR/SD…

  13. Henry Rumeser says:

    Karena ayah saya Kepala Kantor (Administratuur), yang saya ingat, kalau kami lagi duduk-duduk di depan rumah, dan ada pegawai yang lewat di jalan raya naik sepeda, maka orang itu akan turun dan sepedanya di dorong sampai melewati rumah, baru naik sepeda lagi…. Bener-bener masih feodal… he he he…

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.