Mengenal Kearifan Lokal Suku Dayak Meratus

Tidak meluangkan waktu kunjungan yang cukup lama di suatu tempat, kadang mulut hanya bisa berucap kata-kata indah tanpa mengenal lebih jauh kearifan lokal. Hanya melihat sebagian kecil aktivitas sehari-hari warga, mengabadikan senyum manis mereka, kemudian pulang.

Rasanya kebaikan yang mereka berikan tidak bisa dibalas dengan sebagaimana mestinya. Tempat yang masih penuh dengan benih kebaikan itu pada akhirnya menjadi objek menarik sesaat yang kelak terlupakan seiring dengan waktu…

jembatan baru menuju Desa Lahung
jembatan baru menuju Desa Lahung

Senyum ramah Pak Kapau menyambut kedatangan saya dan kawan yang lain di depan sebuah jembatan dengan air jernih Sungai Amandit mengalir di bawahnya. Jembatan yang terletak tak jauh dari Terminal/ Pasar Loksado tersebut menjadi jalur menuju Air Terjun Riam Hanai, wisata alam unggulan Loksado yang lain selain balanting paring di Sungai Amandit. Bukan air terjun tujuan kami, melainkan hendak berkunjung ke Desa Lahung. Lahung adalah salah satu desa yang dihuni oleh Suku Dayak Meratus, salah satu suku di Kalimantan yang tinggal di kaki Pegunungan Meratus.

Jalan tidak beraspal dengan pemandangan ladang dan pepohonan hijau yang rimbun membawa kami menuju rumah tradisional yang disebut balai. Hamparan tanaman kacang tanah dengan latar belakang hutan Pegunungan Meratus mengintari Balai Adat Malaris. Siang itu pintu utama balai tertutup rapat, maklum karena rumah panggung tersebut tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal seperti balai yang lain. Balai Adat Malaris sudah difungsikan sebagai tempat pertemuan antara warga dan pemangku adat serta menjadi tempat penyelenggaraan upacara sesuai dengan kepercayaan mereka, Kaharingan. Salah satunya adalah ritual Aruh Ganal yang terdiri dari tiga tahapan, setelah tanam padi, musim panen dan penutupan musim panen.

Balai Adat Malaris
Balai Adat Malaris

Menyeruak aroma wangi kayu manis yang tengah dikeringkan di halaman depan balai. Tak jauh dari sana, terlihat seorang ibu sibuk menganyam lanjung, keranjang yang terbuat dari rotan, perempuan yang lain sibuk mengasuh anaknya. Ada ketegangan di wajah mereka saat corong lensa kamera didekatkan ke wajahnya. Untungnya suasana agak mencair saat mereka tertawa lepas melihat tingkah orang kota yang sibuk berfoto sembari memegang batang kayu manis, mengaitkan lanjung di atas kepala, semua berakting demi selembar gambar bukti sudah sampai di sini.

Mengolah rotan menjadi tikar dan keranjang berbagai ukuran menjadi aktivitas keseharian para wanita di Lahung sembari menunggu suami mereka pulang dari ladang. Mereka juga mengepul getah karet dan kulit kayu manis untuk kemudian dijual di Kandangan dan kota lain. Hutan memberikan semuanya bagi mereka dan mereka menyadari bahwa hasil alam tidak bisa diekploitasi besar-besaran hingga habis tak bersisa.

kerajinan anyaman di rumah Pak Ayal Kosal
kerajinan anyaman di rumah Pak Ayal Kosal

Kayu manis dikatakan layak panen ketika sudah berumur 10 tahun dengan ketebalan kulit mencapai satu sampai satu setengah sentimeter, selanjutnya dipanen dengan menebang pohon yang sudah tua atau dengan cara menguliti pohon yang masih tumbuh. Untuk berladang pun mereka tidak sembarangan melakukan sistem ladang berpindah. Harus meminta izin kepala adat terlebih dahulu, menunggu petunjuk dari alam hingga memberikan persembahan pada lahan terpilih agar semua berjalan dengan lancar demi kebutuhan hidup mereka.

Menghargai alam ciptaan-Nya bukan hanya menggagumi keindahan air terjun, menyusuri sungai dengan bamboo rafting saja, kekayaan alam Loksado bisa dinikmati lebih dari itu. Hal itu disadari oleh Pak Ayal Kosal selaku demang tetua Desa Lahung yang sosoknya disegani oleh warga Loksado.

Pak Ayal Kosal
Pak Ayal Kosal

Pak Ayal berbagi kisah bagaimana Masyarakat Dayak Meratus membagi hutannya menjadi dua, yaitu hutan budidaya atau produksi, dan hutan lindung. Hutan lindungpun dibagi lagi menjadi dua, yaitu hutan lindung yang masih bisa dimanfaatkan kayu-kayunya, tapi hanya untuk keperluan pribadi seperti pembangunan rumah atau keperluan adat, dan dilarang keras untuk diperjualbelikan. Hutan lindung yang kedua adalah zona larangan, hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hukum ini diberlakukan kepada semua masyarakat, dan jika melanggar akan dikenakan denda yang cukup besar.

Saat ini masyarakat Dayak Meratus sedang melakukan pemetaan hutan lindungnya. Saat ini telah terdata seluas 8 ribu hektar. Beliau juga menceritakan bahwa selain kayu-kayuan, hutan mereka juga menyediakan berbagai macam tanaman obat-obatan yang telah diwariskan pengetahuannya secara turun temurun dari zaman keturunan Dayak Meratus. Hasil bumi dan ladang seperti kayu manis, tanaman karet, padi, sangat mencukupi kebutuhan mereka, sehingga tidak pernah ada kisah kelaparan atau gagal panen melanda Loksado. Pernah suatu ketika ada investor ingin masuk membuka tambang di daerah tersebut, namun melihat dampak kerusakan yang diakibatkan pertambangan seperti di daerah tetangga mereka Tanah Bumbu, rencana pembukaan tambang seketika ditolak masyarakat dan akhirnya tidak pernah terwujud. ( dikutip dari sini )

Lereng pegunungan banyak ditumbuhi tanaman obat-obatan yang memiliki beragam khasiat bagi kesehatan. Racikannya bisa digunakan sebagai obat pegal dan rematik, obat luka luar, hingga ramuan khusus yang mampu mempererat hubungan suami istri. Sejauh ini hanya peneliti dan wisatawan asing saja yang tertarik mempelajari khasiat tanaman obat dan menggagumi tumbuhan endemik Borneo di Loksado seperti kantung semar dan anggrek Meratus.

Muncul harapan dari mereka agar kelak anak muda Loksado mendapatkan pembinaan khusus supaya mereka bisa mengenalkan potensi hutan Meratus dari sudut pandang lokal ke pengunjung yang berdatangan. Dengan usaha dan kegigihan niscaya tidak lagi bergantung pada operator tertentu untuk mempromosikan Loksado, melainkan ada kelompok sadar wisata yang diisi oleh pemuda-pemudi setempat dengan ide-ide yang selalu segar.

Jika harapan terpenuhi tentu menjadi kemudahan bagi pengunjung untuk berinteraksi dengan penduduk lokal tanpa takut kendala komunikasi. Tidak lagi menganggap mereka objek tanpa perasaan melainkan sebagai keluarga baru.

Sudah bukan waktunya lagi berjalan ke suatu tempat hanya sekedar meninggalkan jejak, mengambil gambar sebanyak-banyaknya, mengucapkan terima kasih lalu pulang.

Cheers and peace...

18 Comments Add yours

  1. Setuju banget Mas, pejalan selayaknya memberi kontribusi terhadap kemajuan madyarakat yg dikunjunginya. Membeli produk membantu meningkatkan taraf ekonomi mereka. Tapi ini tentu saja bukan solusi. Perlu kajian mendalam kayaknya bahwa dibukanya suatu daerah menjadi destinasi wisata akan banyak yang berubah di sana

    1. Tempat wisata sejatinya bukan hanya proyek baru bagi dinas terkait saja, melainkan juga harus memperhitungkan kesiapan penduduk lokal. Pembinaan dan pengarahan tentang kebersihan, keamanan, keramahan perlu diberikan kepada mereka agar kelak tidak ada miskomunikasi dan kesenjangan antara beberapa pihak 🙂

  2. tadinya pengen ikutan lho ini tapi apa daya bulan desember penuh godaan

    1. Godaan jinjing hermes di negeri seberang lebih aduhay ya om? Hihihi

  3. JKT Brad says:

    well said, mas bro. Kadang saya juga merasa sudah waktunya kita tidak lagi menyebut “objek wisata”, karena kita sejatinya cuma numpang lewat dan harus bersopan-santun pada tuan rumah.

    1. Mencari keluarga baru di tempat baru yuk 🙂

  4. prih says:

    Mengikuti perjalanan Uni Evi dan Mbak Donna bersama Mas Halim
    Kearifan lokal bertani, bagian dari memelihara berkah kelestarian alam
    Kayu manis yang ditanam saat anak lahir bagaikan deposito beasiswa pendidikan anak pada saatnya.
    Terima kasih, boleh ikutan belajar kearifan lokal suku Dayak Meratus disini.

    1. Terima kasih sudah sudi mampir ke blog ini 🙂

  5. Rifqy Faiza Rahman says:

    Hmmm, takjub… tulisan ini mengajak menggugah respek. Benefit trip mas Halim 🙂

    1. Masih belajar memahami cara bertamu yang baik setiap jalan ke suatu tempat. Inginnya sih menemukan yang pas dan menetap lama di sana biar menjadi seperti mereka dan menuliskannya dari hati 🙂

    2. Rifqy Faiza Rahman says:

      Suatu saat, entah kapan, kita punya tuan rumah masing2 🙂

  6. teringat kawasan hutan di daerah bayan, Lombok yang masih terjaga karena adanya awik-awik atau aturan adat yang wajib dipatuhi..melanggar akan ada sanksi adat yang membuatnya jera

    1. Sampai sekarang masih berlaku hukum adat tersebut atau justru hutan sudah dijual dan berpindah tangan? Kadang dilema juga dengan campur tangan pemerintah perihal hutan yang niatnya ingin dipertahankan tapi di sisi lain malah tidak menyamankan penduduk asli.

  7. tagantar says:

    Suka bgt sama foto dan tulisannya, keraifan lokal lah yg mampu mnjga dan melestarikan hutan itu ! dan ini terbukti.. salah satu nya di Loksado ini, kbupaten Hulu Sungai Selatan, dan ada juga di wilayah hutan Meratus yg masuk daerah kabupaten Hulu Sungai Tengah, yaitu ketika hendak mnju puncak Halau-Halau lewat jalur Kiyu, sejuk dan indah nian hutan disini.. dan akan dijumpai plang bertuliskan “Ini Hutan Adat Kami, Bukan Hutan Negara” ,.. tersirat banyak makna dlm kalimat tersebut ! Hehe.. Salam dari saya mas dari Kaki Pegunungan Meratus .. hehe

    1. Senang sekali dikunjungi oleh Tagatar yang asal dari kaki Pegunungan Meratus. Terima kasih sudah mampir kemari. Kalau ada salah kata mohon ralatnya juga ya hehe

      Plang bertuliskan “Ini Hutan Adat Kami, Bukan Hutan Negara” kebetulan waktu itu tidak saya lihat, tapi Pak Ayal sempat berkata demikian saat sesi tanya jawab. Beliau menegaskan berulang kali tentang keberadaan hutan adat Loksado dan bangga dengan kekayaan alamnya. Semoga kelak saya bisa berkesempatan bertemu dengan beliau lagi 🙂

  8. Gara says:

    Sudah sepatutnya manusia sebagai makhluk yang paling sempurna menggunakan “kesempurnaannya” demi kebaikan semesta alam, sampai semua berjalan dalam harmoninya yang paling apik :))
    Respect :))

    1. Komen ini jadi terasa filsuf sekali hehehe. Nice comment 😀 😀

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.