Ramalan di Rumah Opa

Ratusan tahun yang lalu, mereka merantau dari Tiongkok daratan, menaklukkan ganasnya perjalanan laut yang mereka tempuh selama berminggu-minggu demi sebuah mimpi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di tanah rantau. Adat dan tradisi yang dibawa dari tanah lahir bercampur dengan budaya lokal secara perlahan, bahkan sebagian dari mereka menikah dengan pribumi atau penduduk asli di tanah rantau.

Percampuran suku ini diistilahkan dengan nama Peranakan atau golongan Babah Nyonya dimana mereka dianggap tidak lagi murni di mata golongan Totok, perantau gelombang akhir yang mendarat di Nusantara awal abad ke-20. Lambat laun mereka semua yang sudah menetap di Hindia Belanda (Indonesia) sudah tidak bisa mengklaim kemurnian mereka karena tradisi dan budaya sudah bercampur menjadi tradisi baru di tanah rantau yang kelak disebut secara global dengan sebutan Tionghoa.

gang Karangturi
gang Karangturi

Seusai tur singkat ke situs Leran dan Plawangan, saya kembali menelusuri gang-gang desa Karangturi dipandu oleh Mas Pop, pengelola akun @LasemHeritage sekaligus pemerhati heritage di Lasem. Perjalanan kami lanjtkan menuju rumah batik binaan Bu Sutra dan rumah batik Maranata. Rupanya saya tidak bisa menahan sedikit waktu untuk melihat para pengrajin batik tulis yang dengan sabar menorehkan canting-canting mereka di atas kain mori. Aktivitas mereka terlalu sayang untuk dilewatkan dan begitu indah untuk diabadikan dalam ingatan.

Dua jam kemudian sepeda motor yang saya tumpangi kembali melaju melewati jalan sempit yang minim kendaraan bermotor. Sesekali terlihat warga di sana mengayuh sepedanya melintasi jalan sepi itu. Mendadak Mas Pop menghentikan sepeda motornya persis di depan salah satu rumah kuno di Gang Karangturi IV. Pintu rumah bercat hijau itu terbuka lebar. Seorang kakek yang duduk di lantai melempar senyum, seolah memberi kode kepada kami berdua supaya mampir dan berbincang dengannya.

smile from Lasem
smile from Lasem

Senyum ramah kakek bernama Lo Khing Gwan (selanjutnya saya sebut Opa) menyambut kedatangan kami berdua. Tak selang lama muncul seorang ibu paruh baya yang kemudian saya ketahui namanya Mbak Menuk, asisten rumah tangga yang sudah mengabdi selama puluhan tahun di rumah tersebut. Mengetahui niat kami bertamu di rumahnya, Opa berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang terlihat lemah.

Kaki Opa pernah mengalami cedera, sehingga membuatnya harus berjalan pelan, bahkan kadang merangkak saat mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumahnya, Tak ada senyum kecut terlihat di wajahnya. Yang ada hanyalah sebuah senyum tulus menyambut tamu tak diundang yang tertarik mendengar kisahnya.

Ruang tamu di rumah Opa terlihat minimalis. Sebuah meja teh diletakkan di antara tiga kursi rotan berusia puluhan tahun. Meja kayu besar untuk makan dikelilingi kursi yang samar terlihat berdebu. Barang-barang tak terpakai menumpuk di sudut-sudut ruangan. Dua buah pigura foto berukuran besar menjadi pemandangan yang mendominasi ruang. Selain foto-foto hitam putih seorang wanita berbusana encim dengan senyum merekah di bibirnya, terdapat pula foto keluarga saat menghadiri sebuah upacara pernikahan dan lainnya. Entah siapa mereka.

Rumah Opa
Rumah Opa

Mengetahui minat saya terhadap arsitektur bangunan tua yang tersebar di Gang Karangturi, Opa mempersilakan saya untuk berkeliling rumah ditemani Mbak Menuk. Tawaran yang tidak saya lewatkan mengingat pondasi rumah tua itu masih terjaga keasliannya. Uniknya rumah ini masih memiliki lubang angin di bawah bangunan utama yang sering disebut dengan tipe rumah panggung. Lubang angin itu berukuran cukup besar. Opa menjelaskan bahwa lubang itulah yang membuat sirkulasi lantai rumah terasa adem.

Di halaman samping dan belakang rumah masih menyisakan sumur yang salah satunya sudah dipasang alat pompa mesin untuk memenuhi kebutuhan air di kamar mandi yang terletak di luar rumah. Dulu air dari sumur digunakan untuk pencucian kain batik yang pernah dibuat di rumah ini, jelas Opa. Ketika saya masuk lebih dalam, dari beranda di halaman belakang samar-samar terlihat sosok nenek tua duduk tertunduk dengan mata setengah terpejam. “Tuhan berkati…” sahutnya lirih setelah beliau menyadari kehadiran saya di sampingnya. Beliau adalah Oma Sri, bukan istri dari Opa melainkan sepupu dari pihak ibu yang memutuskan hidup menua bersama di Lasem.

Altar sembahyang yang diletakkan menghadap pintu utama, kamar samping dengan sebuah ranjang besar minim penerangan, beberapa kamar kosong dengan tumpukan barang tak terpakai menjadi pemandangan yang cukup miris bagi saya. Keseharian Oma banyak dihabiskan di ruang belakang, sedangkan Opa menghabiskan waktunya di depan pintu sembari menyapa tetangga dan menebar senyum kepada orang asing yang melintas depan rumahnya. Ahh, beginikah bentuk kesepian yang dialami oleh sebagian besar warga yang menua di Lasem?

halaman belakang rumah Opa
halaman belakang rumah Opa
artikel Go Tiek Swan
artikel Go Tiek Swan

Hujan tidak merata sore itu membuat saya punya cukup banyak waktu untuk mendengarkan kisah kehidupan dari Opa. Beliau sempat bercerita salah satu pekerjaan yang pernah dilakoninya, yaitu menjadi sopir. Pun cerita profesi lain yang pernah dilakukannya. Saya kembali melihat dengan seksama sosok di pigura yang tertempel di dinding dan menanyakan siapa dia kepada Opa untuk mencairkan suasana.

Tak selang lama tumpukan majalah lawas terbitan tahun ’70-an yang tergeletak di pojok ruangan tiba-tiba saja mengundang hasrat saya untuk membukanya. Tanpa berpikir panjang, lembaran majalah penuh debu tebal saya buka secara asal dan menemukan sebuah artikel bertajuk “Raden Tumenggung Go Tiek Swan Tiada Rasdiskriminasi Di Keraton SURAKARTA” yang langsung membuat saya bertanya dalam hati.

Siapa itu Go Tiek Swan? Dituliskan bahwa ras-diskriminasi yang melahirkan rasialisme adalah lambang kerapuhan dari penghuni sesuatu negara yang kurang memahami hak-hak manusia… Pengangkatan Go Tiek Swan sebagai WNI dan menjadi bupati anom dalam Keraton Kasunanan Surakarta tertanggal 11 September 1972 menjadi salah satu bukti bahwa sikap demikian sudah lenyap di kalangan keraton…. Keluwesan dan pengetahuan ke-Jawaan Go Tiek Swan serta peran penting dalam pendirian Yayasan Museum Radya Pustaka membuat beliau diberi gelar Raden Tumenggung Hardjo Nagoro oleh Sunan Pakubuwana XII… 

Warga Solo, keturunan Tionghoa, cinta budaya Jawa hingga menciptakan motif batik baru atas usulan Bung Karno yang diberi nama Batik Indonesia, poin-poin yang rasanya membuat jantung berdebar tanpa sebab. Deg! Saya membolak-balik halaman yang lain, tidak ada lagi artikel yang menarik perhatian bahkan terkesan hambar, tidak semenarik yang saya temukan di awal. Kode untuk mengenal lebih jauh tentang Go Tik Swan? Kebetulan yang tak terduga di rumah Opa? Entahlah.

kehangatan di balik kesunyian
kehangatan di balik kesunyian

Usai hujan reda, saya berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas sambutan Opa yang ramah. Nama Go Tik Swan yang baca dari majalah lawasan itu terus terngiang-ngiang di dalam kepala. Keramahan Opa, Oma, dan mbak Menuk langsung melekat di hati. Hanya bisa berjanji bahwa kunjungan saya kali ini bukan yang terakhir, akan ada kunjungan lain yang membawa angin segar untuk menghapus kesunyian Lasem.

Save our heritage. Cheers and Peace.

34 Comments Add yours

  1. mawi wijna says:

    Hmmm, dari foto-fotomu saya bisa menangkap semacam aura kesepian yang menguar dari para “penghuni tua” kota Lasem. Saya jadi makin paham keresahan yang dirimu rasakan. Bilamana para “penghuni tua” ini berangsur-angsur tiada, bisa jadi kota Lasem akan kehilangan ruhnya bila para generasi penerus penghuni Lasem tidak mewarisi pengetahuan akan sejarah dan budaya kota Lasem.

    Memang harus segera dibentuk dan digiatkan semacam pusat penyelamatan kota Lasem yang berkoordinasi dengan instasi pemerintah yang terkait sebelum foto-foto di atas hanya tinggal kenangan.

    1. Halim Santoso says:

      Mawi sungguh memahami pesan terselubungku hehe. Bener banget timbul kekhawatiran akan kelangsungan bangunan ini jika penghuninya satu-persatu meninggalkan raga. Hanya muncul bayangan keserakahan para ahli waris yg menjualnya ke orang asing demi segepok uang tanpa mempedulikan sejarah dan kenangan dari moyang mereka…

  2. Dian Rustya says:

    oopaaaa, oomaaaa 😦

    1. Halim Santoso says:

      Ayoo telusur sungai ama cari spot antimentrem di Lasem, mbak 🙂

  3. yusmei says:

    Brati kamu harus gantian ke rumah Go Tik Swan lim…harus 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Sepulang dari Lasem terus cari info dan waktu buat ke sana tapi belum kesampaian terus. Smoga dalam waktu dekat bisa mlipir ke rumah Go Tik Swan buat cari pencerahan dari hasil ramalan “Lasem” 🙂

  4. Messa says:

    Mas Halim, sudah tiga kali saya baca dari atas sampai bawah, tapi ramalannya nggak ketemu. Do i miss something here? 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Seharusnya ramalan dalam tanda kutip karena bukan ramalan yang sering dilontarkan oleh peramal 🙂
      Bentuk “dibaca” yang saya temukan adalah artikel tentang Go Tiek Swan di rumah Opa yang seolah menggambarkan saya sendiri, “thionghoa”, “anti diskriminasi”, “orang Solo” hehehe

  5. noerazhka says:

    Selalu nggrentes setiap kali mendengar atau membaca kabar tentang Opa dan Oma. Semoga keikhlasan mereka menjalani hidup kesepian di masa tua, kelak diganti dengan kemeriahan di rumah Tuhan .. 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Aminnn 🙂

  6. Alid Abdul says:

    Btw kemana turunan turunan mereka yg lebih muda??? apa pada minggat semua gitu???

    1. Halim Santoso says:

      Sebagian besar arek enom e nggak betah urip ning ndeso, pilih meniti karir di kota besar kaya Surabaya, Semarang 😐

  7. Fahmi Anhar says:

    aku malah belum sempet nulis lagi tentang lasem hahaha, yaawoh jadi kangen lasem !!

    1. Halim Santoso says:

      Kadang nggak semua cerita bisa diceritakan, Mi. Simpanlah kenangan indahmu bareng Mbak Menuk di situ *tunjuk dada* hahaha

    2. Halim Santoso says:

      Peaceee 😀

  8. Sandy Eggi says:

    Foto2nya indah. Membuat merasa kembali ke masa-masa dulu sering bermain ke rumah kakek dan nenek.

    1. Halim Santoso says:

      Thanks Eggi 🙂
      Lebaran tahun ini mudik ke Indonesia kah?

    2. Sandy Eggi says:

      Mudik kali ini. Sedang ingin pulang. Mudik juga?

    3. Halim Santoso says:

      Enggak mudik, karena tinggal dan aslinya Solo juga hehehe

  9. walley says:

    Seru ya, padahal klo sepintas dilihat cuma wilayah tua aja. Hebat ih, risetnya bisa mendalam.

    1. Halim Santoso says:

      Lasem memberikan kenangan tersendiri, sehingga mendapatkan emosi perjalanan dan sedikit perasaan warga yang tinggal di sana 🙂

  10. Anita Dwi Mulyati says:

    Jadi kangen kampung. Rumah Mbah Kakung mirip seperti itu suasananya. Enak buat liburan, udara adem, suasana lengang, seharian main sepeda onthel keliling kampung dan sawah, pulang makan dan tidur siang 🙂 heaven!!

    Ayokk bikin agent tour independent untuk ajak turis keliling Lasem. Ada pesona batik dan rumah tua Opa yang adem, bagi para penggemar pariwisata, jalan-jalan dan photographi, pasti Lasem punya magnet tersendiri. Oh ya Nia Dinata juga pernah bikin film dokumenter tentang batik Lasem. Pernah lihat di metro tv, bagus!!

    1. Halim Santoso says:

      Gara-gara film dokumenter Nia Dinata juga, saya jadi sedikit tahu tentang Lasem hehehe. Kalau nggak salah disponsori Attack ya?

      Ada niat untuk membuat acara keliling semacam itu, mungkin saya akan bekerja sama dengan @Lasemheritage 🙂

    2. Anita Dwi Mulyati says:

      Ok..kabar2i ya klo ada trip ke sana..gw daftar deh

    3. Halim Santoso says:

      Siappp 😀

  11. Avant Garde says:

    oh ini ‘prekuel’ dari kisah go tik swan di blog ini 🙂

    1. Cerita lengkap Go Tik Swan baru digodok secara tajam dan terpercaya. Coming soon. Harap sabar menunggu hahaha

  12. Avant Garde says:

    udah baca kisahnya dari mata dan hati mbak yus, semoga ada sudut pandang baru dari pandangan mas halim penguasa ndalem halimah :p

  13. BaRTZap says:

    Halim, foto-foto ini mengingatkanku pada suasana Kudus waktu jamanku kecil. Dan kebetulan letak Kudus gak terlalu jauh dari Lasem ini. Auranya tenang tapi penuh kesepian gitu ya, membayangkan masa tua yang dihabiskan di tempat seperti itu.

    1. Kudus banyak bangunan tua juga yah. Kemarin sempat mau berlama-lama tapi nggak jadi, hasilnya cuma gigit jari belum ekslpore tuntas kompleks Kauman dekat Masjid Menara. Bulan lalu ke sana, suasana di Kudus sudah sedikit ramai dibanding beberapa tahun silam pas main ke sana dengan keluarga.

    2. BaRTZap says:

      Dulu sih banyak, sekarang mungkin semakin berkurang. Rumah keluarga kakekku yang dulu berupa bangunan yang didominasi ukiran jati pun sekarang sudah berubah jadi rumah modern.

      Saranku mungkin bisa eksplore daerah Kauman Menara, Damaran dan Langgar Dalem untuk area yang banyak mempunyai bangunan-bangunan tua, seandainya main ke Kudus lagi. Desa-desa tersebut berdekatan satu sama lain.

  14. Vina says:

    salam kenal mas halim. saya sangat kagum sekali dengan postingan anda. begitu peduli dengan kota kelahiran saya, saya sebagai orang Lasem sangat berterimakasih atas ketertarikannya dengan kota tua ini. semoga suatu saat saya juga bisa mendalami dan melestarikan sejarah lasem 🙂

    1. Terima kasih sudah mampir ke blog ini, Vina. Ayo bersama-sama mengenalkan dan mempertahankan kekunoan di Lasem agar bisa terkenal sampai mancanegara 🙂

Leave a reply to Alid Abdul Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.