
Rumah dengan dua lapis gerbang masuk yang khas dikelilingi tembok tinggi itu menutupi bangunan mewah di dalamnya. Bayangan puluhan atau mungkin ratusan pekerja yang dulu hilir mudik memenuhi halaman belakang hanya tinggal kenangan. Banyak rumah batik di Lasem sudah menutup usahanya sejak puluhan tahun yang lalu.
Hanya menyisakan pelataran luas di halaman belakang yang tidak lagi penuh dengan lembaran kain yang dianginkan. Sumur besar yang dulu digunakan sebagai sumber air untuk mengelontorkan sisa malam yang tertoreh di atas lembaran kain mori sudah tergeletak begitu saja.

Lebih dari seratus tahun yang lalu saudagar-saudagar batik di Lasem memperoleh kekayaan yang cukup dari perdagangan dan usaha batik yang mereka kerjakan. Setelah mendapat rejeki yang melimpah, mereka mulai disibukkan dengan rancangan hunian yang dirasa mampu mengangkat martabat keluarga.
Tak segan menghamburkan banyak uang demi menciptakan sebuah rumah mewah agar tidak dipandang rendah oleh saudagar lain di kampungnya. Bahan baku untuk membangun rumah pun ada yang sebagian didatangkan dari luar negeri.

Atap dengan ujung melengkung khas Tiongkok menjadi ciri dari kompleks perumahan di Desa Karangturi dan Desa Babagan. Sesekali terlihat gambar dewa-dewi Tiongkok di sela pecahan kecil porselen putih biru tertempel di tembok pembatas atap. Entah apa maksudnya. Kayu jati berkualitas tinggi digunakan sebagai tiang penopang rumah, ada pula yang menggunakan pohon nangka karena dianggap lebih murah.
Ada beberapa hunian yang tidak memiliki pembatas tembok berlapis semen, mereka menggantinya dengan lapisan tebal kayu jati atau kayu pohon nangka sebagai pembatas antar ruang. Langitan yang dibangun tinggi pun berbahan serupa.

Lantai tidak langsung menempel tanah, disisakan lubang angin setinggi 15 sentimeter agar angin segar menerobos masuk ke setiap ruangan. Tak perlu lagi pendingin ruang buatan mesin. Sebagai alasnya diberikan tegel terakota tebal berwarna merah bata. Tak jarang pula ada yang mengganti tegelnya dengan ubin bercorak warna-warni yang disusun sesuai kenyamanan pandang penghuni. Konon sebagian besar bahan bangunan dikirim langsung dari negeri Tiongkok nun jauh di sana. Membuat hunian ini terlihat megah di masanya.


Lambat tapi pasti, anak yang beranjak dewasa mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap sepinya desa yang mereka tinggali. Satu-persatu mulai hengkang dan meninggalkan tempat kelahirannya, merantau ke kota yang lebih besar dan ramai, siap menghadapi tantangan yang lebih berat bahkan terkadang lebih kejam dibanding kehidupan di daerah asalnya.
Canda tawa yang memenuhi lorong rumah ratusan tahun silam berangsur lenyap, digantikan oleh suara tetesan air hujan musim penghujan. Pigura demi pigura yang tertempel di dinding menjadi saksi bisu tiap perjalanan hidup sebuah keluarga. Kelahiran, pernikahan, perpisahan, kedukaan… Siklus kehidupan yang akan dijalani oleh setiap manusia di muka bumi ini.

Menyisakan sekelompok orang tua yang bersikukuh tinggal di rumah, tempat di mana mereka menunggu ajal, tempat di mana mereka memberikan segalanya demi kebahagiaan anak-anak mereka. Sebagian bergantung pada uang bulanan yang diberikan oleh anak-cucu yang telah sukses. Sebagian yang tidak beruntung dalam masalah finansial hanya bisa bertahan hidup dengan bantuan BLT yang diberikan oleh pemerintah.


Lambat laun hunian yang dulu didominasi oleh juragan batik berubah menjadi bangunan kosong tanpa isi. Akta tanah pindah tangan ke pemilik yang baru. Pasrah menunggu buldozer menghancurkan tembok kenangan yang telah terpatri di dalamnya.
Lupa akan jutaan kenangan indah sebuah rumah…
Save our heritage! Cheers and Peace.
Jossssss mas bro 😀 http://cicakkreatip.com/2014/07/06/yamaha-r15-dan-yamaha-r25-motor-sport-racing-dan-kencang-menjadikan-warga-surabaya-sebagai-boneka-mainan-sesaat/
🙂
Waduh? Masak nasib rumah Tiongkok Lasem ini jadi mirip sama nasibnya rumah-rumah joglo di Kotagede? Padahal klo aku pikir, warga keturunan Tiongkok umumnya lebih memiliki kesadaran dan dana untuk merawat bangunan peninggalan lama seperti ini.
Warga Indonesia tanpa memandang suku dan etnis yang kurang beruntung dalam masalah finansial banyak, jd sebagian yang nggak mampu menyisihkan dana perawatan dan tidak bisa kelola bisnisnya dengan baik akan berakhir dengan menjual rumah warisan ke orang asing karena butuh uang untuk bertahan hidup.
Jalanan di Lasem lebih lebar dibanding Kotagede, harusnya bisa dikelola menjadi desa wisata yg mumpuni 🙂
Yeah, save our heritage! Pemerintah daerah kita memang belum memiliki kesadaran tinggi akan potensi pariwisata. Padahal kawasan historis seperti itu sangat menarik untuk menjadi sebuah objek wisata. Yuk promosiin 🙂
Potensi wisata selain batik di Lasem itu buesaaaarrr dan menarikkkk banget. Tahu sendiri kan kalo Melaka, Penang di negeri jiran aja mampu menarik perhatian ratusan wisatawan tiap harinya… Lasem pun seharusnya mampu diolah seperti itu.
Menunggu menterinya ganti dulu bro, siapa tahu surga alam berpindah bisa dialihkan ke wisata heritage ama menteri berikutnya 😀
Setuju, mas! Waktu Kementerian Pariwisata datang di sebuah acara workshop travelwriting, beliau mengatakan langkah kementerian terkendala karena dibutuhkan kerjasama dari kementerian yg lain, misalnya Kementerian Perhubungan untuk membuat jalur transportasi yg layak.
Nah, pandangannya masih sempit. Masih berpikir bahwa wisata itu ya objek alam. Padahal, kenapa nggak memulai dengan objek wisata heritage dan objek wisata lain yg ada di dalam kota-kota Indonesia? Aksesnya udah ada, tinggal dirawat dan dipromosikan.
Kirim surat terbuka ke tante Mari yuk #ehh #sebutmerk 😀
Hayuk hayuk 😀 *serius*
harusnya dilestarikan mas bro… dicat lagi yang bagus, terus ada paket wisatanya… oh ya paket wisatanya pakai andong atau sepeda onthel..
Dulu pernah ada salah seorang teman yang telusur sungai sampai ke rumah opium menggunakan jung ( perahu ). Ada banyak andong bertebaran di jalan raya, kalau sepeda onthel banyak digunakan pengrajin batik untuk menuju tempat kerja mereka.
Ide bagus banget nih menggunakan andong untuk paket keliling desa di Lasem biar lebih menarik perhatian wisatawan yg singgah. Ntar saya sampaikan ke Lasem Heritage ya biar mereka bisa memaksimalkan moda tradisional yang ada 🙂
Berasa waktu berhenti berputar…. Menunggu kematian dan kemusnahan
Jalan di gang-gang desa masih bisa menemui keramahan dan sapaan dari warga. Selebihnya hanya terlihat jalanan yang lenggang, deretan rumah kosong, rumah besar dengan sedikit penghuni… Seolah salah masuk mesin waktunya Doraemon #yakale
Berarti nggak ada gadis gadis desa donk
Gadis desa apalagi kembang desanya udah merantau ke kota mencari kumbang kota 😀
Mungkin yg masih ada gadis desa era 50an
mau nanyaa , batik lasemnya sekarang masih ada kah ? trus perumahannya itu masih dipake buat produksi batik lasem apa udah pindah tempat ?
Jangan khawatir, masih ada banyak rumah batik yang masih memproduksi batik khas Lasem kok 🙂
Rumah batik Bu Sutra, rumah batik Ong, dll masih bisa ditemui di sela deretan rumah-rumah tua Desa Karangturi dan Desa Babagan.
Lebih lanjut bisa baca di sini –> http://jejak-bocahilang.com/2014/01/09/loyalitas-di-balik-keindahan-batik-lasem/ 🙂
Reblogged this on Agung Pramudyanto.
Itu lasem deket ama pati. Baru tahu ada tempat kayak gt gan
Betul Lasem yang terletak di kabupaten Rembang, nggak jauh dari Pati dan Tuban.
Banyak objek bangunan tua menarik tersebar di sana, cuma sayangnya banyak yang kurang terawat karena masalah ekonomi empunya rumah. Butuh perhatian yang lebih dari badan pemerintah terkait dan juga promosi dari kita selaku blogger 🙂
selalu pengen kesini tapi belum kesampaian 😦
Dari Solo mnuju Lasem butuh perjuangan bokong selama 8 jam… dari Surabaya lebih deket kan? *kedip kedip* 🙂
Gaya berceritamu ciamik, mas halim. Tulisan & foto-fotonya padu, sama-sama bercerita. Ini menarik. Saya juga perlu coba nanti…
Terima kasih atas pujiannya, kawan 🙂
catatan yang manis. jadi ingat pas ke Lasem.
Wahhh ada pakar sejarah mampir *seduh kopi* hehehe
Jadi kangen lasem lim. Nice post 🙂
Sama mbak… Makanya menuangkan kerinduan Lasem lewat tulisan dulu 😀
ayo ke lasem lagiiii !!
Iyooo ayo jelajah bareng… belum puas jelajah Lasem 😀
Mas Halim.. saya respect dengan kepedulian Mas sama heritage.. Sayang banget liat bangunan yg seharusnya bisa dijaga dibiarkan runtuh perlahan..
Makasih Dion, harapan ke depannya generasi penerus nggak lupa dengan segala sesuatu yang dibangun dengan susah payah orang tua untuk kebahagiaan keluarganya 🙂
sangat menarik liem..
lembang&lasem selain terkenal sebagai kota santri juga dikenal sebagai little tiongkok karena keangunan komunitasnya yang mampu menjaga eksistensi bersama kehidupan muslim yang religius disana.
Hal yang sama juga dapat kita temui dipasuruan&bangil jawa timur bahkan eksistensi komunitas tionghoa terkesan lebih semarak dari klenteng tertua,bong terindah dijawa(waktu itu)istana para saudagar arab&cina sampai masjid cina chengho pasuruan
hal menarik lain dari kota rembang adalah tempat dilahirkannya KH.Abdul Hamid&pasuruan adalah tempat peristirahatan terakhir beliau.kyai Hamid adalah kyai yang cukup dikenal dikalangan NU..
jadi kapan nih liem ngilang di pasuruan
Kerukunan antar agama sudah terjalin sejak dulu, saya belum tuntas explore Lasem dan Rembang jadi belum menuliskan interaksi antara dua agama yang sudah ada sejak dulu tersebut. Mungkin kali kedua akan saya telusuri sejarah penyebaran agama di sana 🙂
Anyway baru tahu ternyata ada keterkaitan antara Rembang dan Pasuruan… ahh ini kode berat buat ngilang ke Pasuruan banget. Guiding saya ya, Eky hehehe
Kalau dijadikan desa wisata, rumah2 tua itu dibeli pemda dan dijadikan museum, Lasem akan megah sekali. Sayang, kita kebanyakan warisan, yang beginian tak terlihat.
Kebanyakan warisan jadi nggak fokus kelola satu-satu ya 🙂
Kebayang kalau Lasem jadi sebuah desa wisata pasti akan menarik minat banyak wisatawan seperti halnya Melaka dan Penang di Malaysia 🙂
Sayang kebanyakan orang dan pemerintah memandang rumah2 tua ini cuma sbg perusak pemandangan ato sesuatu yg ga penring padahal sedikit sentuhan aja bisa jd potensi wisata yg besar ya mas 😦
Ironisnya orang Indonesia yang tengah berlibur ke Eropa malah dimanjakan pemandangan bangunan tua, dan mereka berdecak kagum. Ahh padahal nggak usah traveling jauh dari kota sendiri saja ada banyak yang bisa menjadi “luar negeri” 🙂
Lasem, tahun lalu saya bertandang ke kota ini dalam perjalanan menuju Bali. Tak lama.. tapi singgah meskipun sesaat di kota ini membuat saya merasa betah. Jalanan yang lengang, dihiasi delman.. pintu – pintu rumah kuno.. seakan waktu berhenti di Lasem.. nanti pasti saya kembali.. semoga Lasem masih menyisakan sedikit ruang bagi orang – orang seperti saya, hidup di jaman kini namun mencintai masa lalu.. semoga Lasem bisa menjelma serupa Hoi An, kota di Vietnam yang ditetapkan sebagai world heritage dan menginjak kaki kesana, seperti baru keluar dari mesin waktu.
Halo mas Halim Santoso. Perkenalkan saya Indra. Asli warga Lasem sejak kecil, Meski orang tua saya bukan orang Lasem asli. Terimakasih sudah bikin tulisan kayak gini. Rasanya jadi pengen pulang. Hehe.
Monggo kalau mau keliling Lasem bisa mampir ke tempat saya.
Halo Indra, salam kenal. Asik nih ada pemuda Lasem yang baca tulisan ini. Semoga lain waktu bisa singgah ke rumah orang tua Indra dan mendengarkan cerita lebih dalam tentang Lasem 🙂
keren, suasana klasik banget, benar2 kaya di tiongkok. serasa kembali ke 100 tahun terakhir 🙂 hehe….
dan yang lebih kerennya ini ada di indonesia
makasih Halim, udah berbagi info
Terima kasih sudah mampir ke blog ini. Semoga bermanfaat infonya 🙂
beli rumah disana berapa ya… hehehhehe