Menguak Masa Lalu Pajang

Hujan abu akibat letusan Gunung Kelud membuat beberapa perayaan Hari Jadi Surakarta ke-269 yang sedianya diadakan tanggal 16 Februari 2014 seperti Festival Jenang dan Solo Carnaval ditunda menjadi tanggal 22-23 Februari 2014. Begitu pula dengan kegiatan komunitas Blusukan Solo yang bertajuk #MataRantai dengan terpaksa ikut delay satu minggu dari rencana awal. Tema blusukan kali ini bertujuan untuk mengenalkan bekas kerajaan-kerajaan pra dan pasca Mataram Islam yang lokasinya berada di sekitar Surakarta.

Dewasa ini banyak wisatawan yang salah paham dengan pernyataan bahwa Kesultanan Yogyakarta merupakan penerus satu-satunya kerajaan Mataram Islam di Nusantara. Kenyataannya justru Kesultanan Yogyakarta merupakan “adik” dari Kasunanan Surakarta. Perpecahan itu ditandai dengan perjanjian Giyanti disaksikan oleh pihak VOC pada tahun 1755. Wilayah dibagi dan disertai pemberian gelar SUNAN bagi raja Surakarta dan SULTAN bagi raja Yogyakarta, yang secara harafiah gelar SUNAN disandingkan dengan gelar para Wali Songo.

gowes
gowes

Jika sejarah ditarik ke belakang, pernah ada kerajaan pendahulu Surakarta yang sekarang terletak di wilayah Kabupaten Sukoharjo (berjarak sekitar 10 km dari Kota Solo) bernama Kasunanan Kartasura. Direntang lebih jauh lagi pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Kesultanan Pajang yang berdiri megah dan berjaya sebelum Mataram Islam berpusat di Kota Gede dan Pleret.

Dengan menggunakan sepeda onthel, peserta Blusukan Solo diajak gowes sekaligus menikmati pemandangan pagi hari Kota Solo meski sesekali menutup hidung agar abu vulkanik yang masih bertebaran di jalan raya tidak masuk ke rongga pernafasan. Jika ditanya adakah bekas peninggalan Pajang? Saya hanya bisa menjawab sudah tidak ada sama sekali.

Untungnya bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang bisa dilihat di Kampung Laweyan yang dulu menjadi bagian dari pemukimannya. Masih ada beberapa rumah tua memiliki arsitektur Jawa tempo dulu dengan batu bata yang masih kokoh sebagai pondasi rumah. Ada juga bunker atau ruang bawah tanah yang pernah berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga karena zaman dulu Laweyan terkenal sebagai tempat yang rawan kriminalitas. Salah satu bunker itu masih bisa ditemui di rumah milik Pak Muryadi, cerita lengkapnya bisa klik di sini.

rumah bunker di Laweyan
rumah bunker di Laweyan
Masjid Laweyan
Masjid Laweyan

Masjid Laweyan menjadi salah satu bekas peninggalan Kesultanan Pajang dengan catatan sejarah yang sangat penting. Masjid yang awalnya merupakan sebuah pura Hindu milik Ki Beluk, beralih fungsi menjadi sebuah tempat beribadat umat Islam setelah berpindah tangan ke Ki Ageng Henis (kakek dari Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram Islam).

Menjadi tokoh penting di Pajang membuat Ki Ageng Henis kelak memperoleh tanah Mataram yang berlokasi di Kota Gede dari Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Tanah Mataram itulah yang menjadi awal yang baru bagi dinasti baru yang dirintis oleh Ki Ageng Pamanahan (ayah dari Panembahan Senopati) sekaligus kehancuran dinasti Pajang.

Bingung? Mari membaca sekilas cerita tentang awal mula Kerajaan Pajang 

bekas Kesultanan Pajang
perjalanan menuju bekas Kesultanan Pajang

Kesultanan Pajang merupakan sebuah kerajaan kecil yang berdiri pada abad ke-14 di bawah kekuasaan Majapahit. Memiliki letak di pedalaman dan berbatasan langsung dengan sungai Bengawan Solo membuat Pajang menguasai jalur perniagaan yang menguntungkan. Itulah sebab Demak berambisi ingin menduduki wilayah Pajang. Selanjutnya Pajang menjadi kadipaten di bawah kekuasaan Kesultanan Demak setelah dinasti Majapahit dinyatakan hancur.

Tidak selang lama, terjadi perebutan tahta antara keturunan pewaris tahta Pajang dengan penguasa Demak. Pertumpahan darah perang abad ke -16 itu akhirnya dimenangkan oleh Mas Karebet atau Hadiwijaya. Nama Hadiwijaya lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir disebut memiliki garis keturunan raja Brawijaya dari kerajaan Majapahit.

Setelah menggulingkan kekuasaan kerajaan Demak, Jaka Tingkir secara tidak langsung meneruskan tata negara dan menguasai bekas wilayah ekspansi kerajaan Demak. Pusat pemerintahan yang semula terletak di pesisir dipindahkan ke pedalaman yang tak lain adalah Pajang, tempat di mana Jaka Tingkir mengawali itu semua.

Jaka Tingkir mulai memerintah tahun 1546 dengan gelar adipati hingga menjadi raja di tahun 1549. Beliau mangkat pada tahun 1582 dengan kekuasaan meliputi wilayah Pajang (kini bagian dari Kabupaten Sukoharjo), Madiun, hingga Blora. Pertikaian tidak berhenti sampai di situ, Arya Pangiri yang merupakan keturunan Demak melakukan aksi balas dendam dengan menyingkirkan adik iparnya Pangeran Benawa atau Sultan Prabuwijaya (anak dari Jaka Tingkir) dari Kesultanan Pajang.

Akhirnya Sultan Prabuwijaya dibantu Sutawijaya (Panembahan Senopati) berhasil merebut kembali Pajang. Sayang Sultan Prabuwijaya hanya memerintah Pajang mulai tahun 1587 hingga 1588 saja, selanjutnya kerajaan mengalami kemunduran dan kemudian menjadi bagian dari kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.

Meski dinasti Pajang yang berkuasa relatif singkat itu kemudian musnah, garis keturunan kerajaan Pajang tidak berakhir sampai di situ saja. Trah Ronggowarsito dan Yosodipuro merupakan cucu-cucu Sultan Prabuwijaya yang menjadi pujangga tersohor di Nusantara. Dan perlu diketahui bahwa perebutan tahta di Nusantara tetap berakhir dengan garis keturunan Ken Arok – Ken Dedes (Tumampel – Singosari – Majapahit).

Baca juga: Sakralnya Malam Satu Suro

Seorang putri dari Sultan Prabuwijaya yang menikah dengan anak dari Panembahan Senopati kelak memiliki keturunan bernama Sultan Agung (1613 – 1645), raja Mataram yang melakukan ekspansi besar-besaran untuk Mataram Islam. Semoga sampai di sini mampu dipahami dan nggak perlu mengerenyitkan dahi untuk membaca cerita sejarah singkat di atas. 😀

Nyaris tidak ada sisa bangunan apalagi pondasi sebuah keraton membuat cerita Kesultanan Pajang seolah hanya tinggal nama besarnya saja. Menurut cerita yang beredar, keraton Pajang dikisahkan tidak pernah memiliki tembok tinggi untuk melindungi istananya, hanya ada parit mengelilingi kompleks istana yang dihuni oleh puluhan buaya rawa.

Parit yang terhubung sampai sungai Bengawan Solo masih bisa dijumpai di belakang pendopo baru Yayasan Kasultanan Karaton Pajang. Meskipun pihak yayasan mengakui bahwa lahan tersebut merupakan bekas istana yang dibangun oleh Jaka Tingkir, masih ada banyak fakta yang harus digali berdasarkan cerita yang beredar. Hingga kini para ahli sejarah pun masih mempertanyakan di mana letak alun-alun, pendopo agung, sampai ruang kebesaran si raja.

narsis dulu...
narsis dulu…

Ada cerita yang berkembang bahwa semua peninggalan kerajaan Pajang berupa perhiasan dan beberapa perabot di dalam istana hingga arca peninggalan kerajaan Hindu-Buddha sebelumnya sudah dipindahkan ke Mataram semasa pemerintahan Panembahan Senopati. Maka dari itu tidak ada satupun sisa benda pusaka yang bisa dilihat di petilasan tersebut.

Petilasan hanya menyisakan pohon beringin tua yang menyambut setiap pengunjung yang masuk. Tidak ketinggalan sebuah patung macan putih di samping pohon sebagai simbol dari kekuatan Jaka Tingkir. Persis di bagian belakang petilasan dibangun sebuah ruang kecil untuk meletakkan sebuah batu yang lagi lagi diduga merupakan sisa bangunan inti Keraton Pajang. Namun benda yang diragukan keabsahannya tersebut sering digunakan sebagai sarana semedi oleh kalangan tertentu. Bahkan terdapat peraturan yang memperbolehkan pengunjung menginap selama 3 x 24 jam (baca : semedi). Haduh!

Setelah puas mendengar cerita dari juru kunci dan melihat langsung beberapa jejak kerajaan Pajang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju bekas kerajaan Mataram Islam sebelum berdirinya Kasunanan Surakarta, yaitu bekas keraton Kartasura di wilayah Kasunanan Kartasura.

34 Comments Add yours

  1. unidzalika says:

    belum pernah ke sana. doakan suatu hari nanti ada kesempatan untuk ke sana langsung!

    1. Halim Santoso says:

      Yuk singgah ke Pajang, belajar sejarah nggak membosankan kok 😀

  2. Baktiar says:

    Cerita jatuh bangunnya Majapahit memang seru… bahan pustaka cerita2 ini bertebaran dengan berbagai versi yang berbeda… pengen juga blusukan ke Solo nih

    1. Halim Santoso says:

      Banyak versi yang kadang bikin bingung merangkum dan menulisnya hehe.
      Monggo ke Solo, nti aku antar keliling tempat-tempat baru 🙂

    2. Moekiyo moekidi says:

      “Seorang putri dari Sultan Prabuwijaya yang menikah dengan anak dari Panembahan Senopati kelak memiliki keturunan bernama Sultan Agung (1613 – 1645), raja Mataram yang melakukan ekspansi besar-besaran untuk Mataram Islam. Di sisi lain, Sultan Agung juga terkenal dengan kearoganan dan kebengisan yang sering dinilai kurang manusiawi oleh rakyatnya”

      Maaf om paragraf itu dasarnya dr mana ya om? Setahu saya yg berbuat bengis dan sewenang wenang itu Amangkurat I putera beliau. Mohon penjelasannya. Maturnuwun

    3. Wah iya sepertinya saya ada salah rangkum di paragraf tersebut. Kebetulan ini tulisan lama dan belum sempat saya editing ulang lagi setelah baca-baca buku sejarah. Dulu hanya menulis ulang yang diceritakan oleh pemandu jelajahnya saja. Saya ralat ya. Terima kasih. 🙂

  3. tulisan ini mengingatkan saya beberapa tahun lalu saat mengunjungi kampung laweyan….hum berburu batik di kampung batik laweyan

    1. Halim Santoso says:

      Laweyan punya sisi sejarah yang menarik selain dari batik sendiri loh. Kalo ke Solo lagi, info aja biar bisa kutemenin 😀

    2. siappppp,,,,sekarang aja saya belum sempet nulis tentang kampung batik laweyan,,ya neh ada bahan referensi ttg laweyan

  4. yusmei says:

    Blusukan edisi ini penjelasannya sama sekali gak masuk ke otak…kecapekan ngontel hahaha

    1. Halim Santoso says:

      Pas juru kunci petilasan Pajang cerita detil keraton Pajang, malah kutinggal hunting foto hahaha…
      Paling berkesan malah penjelasan masuk akal dari Pak Surya di Kartosuro ne 😀

  5. Ceritanya kumplit lim. Ini yang dekat laweyan yang kita pernah kesana kan ya, tapi ga ada orang yang jaga disitu. Kasian bentuknya udh ga kerawat ya.

    1. Halim Santoso says:

      Bobby udah pernah kuajak masuk ke rumah Bunker belum ya? Lupa hehe… Next time ulang lagi aja Bob 😀

    2. Ke bunker bapak itu sudah lim, sudah pernah masuk koq.. Pengen ke solo lagi ke tempat lain. Masih bersedia nemenin kan hehe

    3. Halim Santoso says:

      Ayoo aja, siap anter keliling lagi deh… Masih banyak objek yg belum dimasuki kan? 🙂

  6. mawi wijna says:

    Weh? Sepengetahuan saya kerajaan Pajang itu letaknya ya dekat Demak, kan suksesi dari kerajaan Demak. Ternyata letaknya di deket Solo toh… baru tahu. Sayang ya bangunan fisik kratonnya udah tak berbekas. Di Kartasura pun hanya tersisa temboknya saja. Sayang banget…

    1. Halim Santoso says:

      Dari Demak langsung dipindah Jaka Tingkir ke Pajang karena memiliki jalur perniagaan yang menguntungkan dan konon kerajaan yang sudah dibobol musuh dirasa hilang aura kejayaannya maka dari itu harus dipindah 🙂

  7. OpensTrip says:

    asik juga nih kang

    1. Halim Santoso says:

      😀

  8. Danan says:

    Seru juga blusukan pake onthel….

    1. Halim Santoso says:

      Keliling Lampung bisa pake onthel nggak? Mupeng ama heritage di Lampung nih 🙂

  9. Hamid Anwar says:

    ini cerita keren sekali kawan 😉

    1. Halim Santoso says:

      Makasih kawan… Yuk kapan ke Solo, nti kuantar keliling Solo dan sekitarnya 🙂

  10. noerazhka says:

    Menarik, ternyata Laweyan justru masih menyimpan bukti konkret keberadaan Kerajaan Pajang. Yuuuhuuu .. 😀

    1. Halim Santoso says:

      Iya kampung Laweyan justru merupakan bekas nyata yg masih trsisa dari kerajaan Pajang, selebihnya bekas kerajaan sudah rata dengan tanah 🙂

  11. mysukmana says:

    Kpn ada a car a seperti INI, mbok saya dikabari Mas 🙂

    1. Bisa pantau di lini masa komunitasnya langsung, mas Adi. Kegiatannya rutin diadakan tiap satu bulan sekali 🙂

    2. mysukmana says:

      apakah namanya lakulampah itu ya 🙂

  12. Mukhsin Pro says:

    Cocok banget buat jalan-jalan.

    1. Jalan-jalan di Solo Raya sekaligus belajar sejarah yang asyik 🙂

  13. Gara says:

    Kadang-kadang masih suka bingung dengan linimasa Demak, Pajang, Mataram, sampai ke keadaan hari ini. Tapi paling nggak melalui tulisan ini sudah ada beberapa petak yang mulai terhubung. Perebutan kekuasaan dan intrik kerajaan di masa Mataram Islam memang jauh lebih lengkap karena banyak arsip sejarahnya, beda dengan zaman Hindu Buddha di mana bukti sejarah tertulisnya masih sangat kurang, belum lagi kalau ada bercampur dengan banyak fantasi sehingga susah diterima akal sehat. Kalau ke Solo lagi pingin deh napak tilas di beberapa daerah ini; apa dekat dengan makam dekat sungai yang kita lewat malam dulu itu?

    1. Lalu baru baca dan balas komen Gara yang ini. Maafken daku hehehe.Akhirnya Gara udah kesampaian belum sih melipir ke bekas keraton Kartasura dan keraton Pajang?

    2. Gara says:

      Tentu saja belum Mas, haha. Nantilah, kapan-kapan. Yang ada dulu diselesaikan ditulisnya, hihi.

  14. ra says:

    dekat rumah saya.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.