Loyalitas di Balik Keindahan Batik Lasem

Semenjak batik disahkan sebagai salah satu benda pusaka asli Indonesia, penggiat batik di pesisir selatan maupun pesisir utara kembali bersemangat dalam mengembangkan bisnis mereka. Penggemar batik sudah tidak harus terpaku pada pilihan batik keraton milik Solo dan Yogya atau batik pesisir ala Pekalongan saja, sekarang semua orang bisa dengan mudah memiliki koleksi beragam motif dari seluruh penjuru tanah air untuk memuaskan rasa cintanya terhadap batik tulis.

Lasem yang terletak di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di pesisir utara Jawa bagian tengah yang masih berbenah dalam memajukan wisata batiknya. Kualitas dan keindahan batik Laseman sudah tidak diragukan lagi, bahkan motif bledak, tiga negeri, pagi-sore sudah mulai populer dan mulai diburu oleh penggemar batik.

Rumah Batik Bu Sutra Lasem
rumah batik di Lasem
tempat menjemur kain
tempat menjemur kain

Sambutan rumah batik di Lasem belum sehangat sambutan rumah batik di Solo atau Yogya yang terlihat sigap menyodorkan koleksi-koleksinya dengan setengah memaksa agar pembeli ujungnya merasa sungkan dan berakhir dengan membayar di kasir. Terlihat sedikit kecanggungan juragan batik dalam menyambut tamu yang datang. Seolah mereka hanya terbiasa dengan kedatangan bakul langganan mereka yang rutin datang mengambil pesanan dalam jumlah banyak untuk kemudian dipasarkan ke kota lain. Melihat sikap kaku juragan batik, saya memutuskan melipir ke belakang setelah Mas Pop mendapatkan izin dari juragan batik untuk mempersilakan saya mengabadikan gambar para pengrajin batik binaan Bu Sutra.

pembatik Batik Lasem
pembatik di rumah Bu Sutra
pembatik Batik Lasem
pembatik

Wajah serius berubah menjadi sedikit tersipu-sipu saat saya mendekatkan kamera ke wajah pengrajin batik yang duduk manis dengan canting tulis di tangan kanannya. Selang beberapa waktu keadaan menjadi sedikit relax. Saya yang datang tanpa rombongan malah jadi bahan guyonan mereka, beberapa pertanyaan seperti “Sudah punya pacar belum?”, “Kok nggak bawa pacar ke sini?” meluncur dari bibir ibu-ibu berusia empat puluh sampai enam puluhan tersebut. Ahh ibu ini tahu aja kalo saya jomblo #makjlep. Guyonan diselingi dengan penjelasan singkat dari mereka tentang proses membatik dan motif-motif khas di Lasem tanpa mengabaikan gerakan tangan saat menorehkan lilin cair panas di atas kain mori.

Ong's Art - Maranata
Ong’s Art – Maranata

Lain cerita dengan rumah batik Maranata yang terletak di Jalan Karangturi no 1 yang dikelola oleh Reni. Setelah ibunya meninggal dunia beberapa waktu lalu, rumah batik ini tetap berproduksi seperti sebelumnya di bawah binaannya. Masih banyak motif langka khas Lasem masih diproduksi di rumah batik Maranata, sehingga tak heran harga selembar kain batiknya mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ruang kerja pembatik tidak terlalu luas membuat atmosfer hubungan kerja antara juragan dengan pekerja terlihat akrab seolah tanpa bayangan pagar tinggi di antara mereka.

generation
generation

Tidak ada kata-kata yang mengungkapkan perasaan “bosan jadi pegawai” saat saya melontarkan pertanyaan “Sudah berapa lama kerja di sini?”. Mereka bahagia dengan cara hidup mereka sekarang yang masih setia bekerja dengan pemilik rumah batik yang telah menampung mereka selama bertahun-tahun. Ada yang menjawab puluhan tahun, ada yang menjawab sudah bekerja sejak zaman nenek mbak Reni, ada juga yang semangat bercerita bahwa mereka sudah belajar membatik sejak umur belasan tahun. Nenek ikut nenek, ibu ikut ibu, saya ikut ibu, saya ikut anak ibu. Lalu anak ibu?

Rantai seolah terputus di generasi ketiga, tanpa ada tenaga muda yang menggantikan langkah pengrajin batik tentu saja menjadi bahaya besar bagi industri batik di Lasem. Banyak cerita beredar bahwa anak muda di sana lebih suka tinggal di kota besar, lebih suka hidup di tengah keramaian. Mereka merasa bosan dengan rutinitas tanpa kemajuan di Lasem dan masalah-masalah sosial yang lain.

kesederhanaan hidup
kesederhanaan hidup

Memang anak muda selalu berpikir lebih maju dan kreatif dari pada orang tuanya. Tak jarang banyak yang berpikir bahwa hidup di kota lebih besar dari tempat tinggal mereka mampu memberikan kemapanan hidup yang mereka impikan. Mapan dalam arti masing-masing …

Sedikit lupa bahwa ada warisan yang harus mereka teruskan agar “hak waris” mereka tidak punah. Kurang menyadari bahwa kota kelahiran yang dianggap jadul memiliki kotak pandora yang justru lebih menguntungkan di masa depan daripada harus meratapi nasib tidak pastinya saat hidup di kota metropolitan.

Cheers and Peace.

53 Comments Add yours

  1. johanesjonaz says:

    ngko terke yo yen aku mrono…

    1. Halim Santoso says:

      Okeeyy… Barter karo keliling Suroboyo yo, Jo 😀

  2. dansapar says:

    pengin balik lagi ke lasem
    *buat keliling2*

    1. Halim Santoso says:

      Bareng yokk bro… Belom puas masuk rumah-rumah kuno di sana nih hehe

  3. Eh lasem ini berapa jauh emang dari Solo?

    1. Halim Santoso says:

      Via Semarang dulu, Semarang – Lasem sekitar 4 jam tergantung arus kendaraan jalur Pantura 🙂

    2. Halim Santoso says:

      Hehe kalo dari Jakarta bisa langsung ke Semarang lanjut Lasem – Rembang trus pulang lewat Surabaya, lbih efektif rute seperti ini biar nggak bolak balik 🙂

    3. Rembang – Surabaya emang berapa jam? Ada kereta-kah? *aduh maaf ya nanya2 terus*

    4. Halim Santoso says:

      Rembang – Surabaya nggak ada kereta, adanya bus jalur pantura hihi… Sekitar 4 jam perjalanan lagi kakak. Lumayan bikin badan pegel hihi

  4. yusmei says:

    Pertanyaan pembatiknya Bu Sutra jleb banget..hahaha,. Harusnya tanya balik Lim, mereka punya anak cewek gak? hihihi

    1. Halim Santoso says:

      Hahaha trus nanti disamber Bu Sutra ujungnya ngenalin anaknya juga kepriye noh >_<

    2. Olive B says:

      Hahahaah … teringat waktu ngobrol dengan ibu2 itu di belakang rumah bu Sutra
      mereka bicaranya open banget, segala diobrolin

      etapi berbunga2 dikirain anak sekolah lho 😉

    3. Rahasia wajah awet mudanya mbak Olip apa? Minta resepnya donk *siapin notes* 😀

  5. beneer! yang seperti ini memang harus dilestarikan! jangan sampai setelah diambil negara lain saja nanti baru koar – koar marah 😀 *pengen ke lasem juga ah, mau ditulis nantii :D*

    1. Halim Santoso says:

      Yukk bikin Lasem populer, biar nggak dianggap sebagai kota transit jalur pantura aja 🙂

  6. wow ini yg ditanya pacara dengan bu sutra…… langsung fokus membaca… berharap ada episode jodoh2in

    1. Halim Santoso says:

      Yang nanya mbok-mbok pembatik nya kak…
      Kalo beneran dikenalin sama anak Bu Sutra, kak Danan mau? *sodor kartu nama biro jodoh* haha

  7. winnymarch says:

    asik juga yah nulis tentang batik

    1. Halim Santoso says:

      Masih banyak potensi wisata di Lasem selain batik tulis, Win… Tunggu episode berikutnya #malahpromosi 😀

    2. winnymarch says:

      Siapppp, ntar kalau aku ke Solo temanin ya

  8. farizalfa says:

    Batik itu selalu keren buat diceritain..
    btw, kenalin nih.. farizalfa Blogger dari Bukittinggi. hehe

    1. Halim Santoso says:

      Salam kenal Fariz… Kalo saya mau ke Bukittinggi bisa dibantu kliling kota nggak? hehe

  9. Ooohhh take me there Oom … Mau batiknya :9

    Trus abis pulang dari Lasem dapet anak atau cucunya Ibu pengrajin batik ndak?

    1. Halim Santoso says:

      Hahaha blom dikenalin woii… Ntar kalo uda dikenalin, aku bawa kliling ketemu dirimu deh… *emang barang* 🙂 😀

  10. muiz says:

    wah, batik lasem.. kalo boleh tau pasarny kmna aja mas? g ada niatan explore batik bakaran-juwana kab.pati? motifnya khas pantura bngt lho.. 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Solo, Jakarta, Surabaya termasuk kota yg menerima pasokan batik Lasem. Kalau kota lain kurang tahu 🙂

      Baru sempat melihat batik Tuban, mungkin lain waktu akan melipir ke Juwana – Pati 🙂

  11. Alid Abdul says:

    Beberapa kali baca tulisan tentang Lasem jadi semakin mupeng pengen ke sana 🙂

    1. Halim Santoso says:

      Waa ada seleb komen di sini hehe… Lasem nggak cuma punya batik, kota tua nya juga menarik buat ditelusuri…
      Yuk ke Lasem 😀

  12. aritunsa says:

    produk Lasem ini sudah meluas ya, di Pekalongan juga ada motif yang mirip2 batik lasem sepertinya

    1. Halim Santoso says:

      Lasem dan Pekalongan banyak motif perpaduan Indonesia – China yang dikembangkan oleh etnis Tionghoa zaman dulu, jadi ada sedikit kemiripan 🙂

  13. Aku mau ke lasem.. lasem.. lasem.. ga jadi2 hiks.. Siapa tau ditanyain ttg pacar juga koh :p

    1. Jadi kapan mau ke Lasem Bob? 😀

  14. adieriyanto says:

    Lasem sepertinya menarik. Tapi mau ke Solo dulu lah. Siji2 wae hehehe. Pengen banget nulis batik Danarhadi dan Laweyan karena dari dulu emang seneng banget pakai, bikin, dan koleksi batik 🙂

    Tulisanku tentang batik nih -> http://adiedoes.blogspot.com/2012/05/tampil-menarik-dengan-mbatik.html

    1. Halim Santoso says:

      Danar hadi bisa lihat proses mbatik pas hari biasa di museumnya. Kalo Laweyan susah gampang nemu rumah batik yg welcome 🙂

  15. Fahmi Anhar says:

    lasem emang gak ada matinya ya! begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang kita dapatkan dari sini. hidden treasure!

    1. Yappp right! Hayok bantu gerakkan roda wisata di Lasem yok 😉

  16. indrijuwono says:

    mas, kalau masih jomblo, boleh loh beliin batiknya buat saya aja.. *ngarep*

    1. Huahahaha anuuh batiknya belum sesuai dompet si jomblo, terpaksa gigit kacut ibu pembatik dulu #halah >.<

  17. sutiknyo says:

    Lasem memang layak untuk di jelajahi. Sejarah budayanya sungguh mempesona

    1. Agree 🙂
      *seduh kopi panas buat om Bolang*

  18. udah baca tulisan ini beberapa kali tapi tetep senyum baca paragraph halim dimodusin tante2 , eh ibu… kamu mau jadi pacar anak aku?

    1. Huahahaha terus setelah dibawa keluar ternyata anaknya masih eS De… *tepok jidat* 😀 😀

    2. Yah nanti om bantu pupuk….

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.