Loh Buaya Yang Gersang Turis Lokal

24 July 2009,

Hi, my name Andrew and he is my friend, Matthew” “ And you?”.
“My name is Halim” “Ergg…where do you come from?” tanya saya dengan bahasa inggris yang terbata-bata.
“We are from Swizterland. Are you from Japan?” Itu awal percakapan saya dengan kawan baru yang saya kenal di perahu menuju perairan Komodo.

Pulau Rinca dari kejauhan
Pulau Rinca dari kejauhan

Saya memutuskan mengambil tur keliling pulau setelah mengetahui bahwa sewa kapal di pelabuhan sangatlah susah dan mahal sekali bagi saya yang jalan sendirian. Banyak sekali travel agent di sepanjang jalan kota Labuan Bajo seperti yang saya ceritakan singkat di artikel Pantai Pede, mereka menawarkan rencana perjalanan keliling pulau dengan beragam harga. Pilihan saya jatuh kepada Go Komodo Tour karena penawaran tournya lebih menarik perhatian saya dengan membayar 800 ribu waktu itu untuk perjalanan selama 2 hari 1 malam.

Sempat iseng mengajukan penawaran kerja sama dengan agen tersebut, siapa tahu saja tur tersebut bisa dijual kembali di travel agent Solo, tetapi saya mendapat jawaban aneh, bahwa tur di sana tidak bisa dibuking lewat Jawa. Lho? Hanya bisa di-booking di Labuan Bajo sendiri atau di Bali. Tidak heran turis asing banyak berdatangan ke sini, karena mereka justru mendengar promosi dari agent Bali tentang keindahan Komodo, bukan dari promosi pelaku wisata di Nusa Tenggara Timur sendiri atau bahkan travel agent di pulau Jawa. Dan kabar baiknya saya jadi satu-satunya orang Indonesia yang mendaftar tur keliling pulau ini. Malahan saya dianggap turis dari Jepang.

Jadi saya yang jadi turis asing di negeri sendiri ya?

Saya dan kawan baru saya yang berkumpul di depan kantor Go Komodo Tour pukul 9 pagi dibawa menuju pelabuhan. Saat tiba di pelabuhan, makin bikin canggung lagi… ini mana turis lokalnya? Sejauh mata memandang hanya terlihat turis asing. Oh, mungkin turis lokalnya sudah sampai di pulau semua, batin saya. Perjalanan mengarungi lautan ditempuh selama dua jam menggunakan perahu klotok. Perahu ini memiliki ruangan yang lumayan luas yang setidaknya bisa diisi maksimal 8 orang. Jangan takut memikirkan kebelet kencing atau pup di tengah laut, perahu ini terdapat toilet di dalamnya.

dermaga Loh Buaya
dermaga Loh Buaya
post jaga para ranger
post jaga para ranger

Tepat pukul 11 siang, perahu menurunkan jangkarnya di dermaga Loh Buaya, yang terletak di Pulau Rinca. Pulau ini merupakan rumah kedua bagi para komodo setelah Pulau Komodo sendiri. Sebelum memasuki loket, kami sudah disambut dengan satu Komodo yang sedari tadi berjalan pelan menuju pantai untuk mencari minum. Sebelum kami berlari ketakutan, para ranger yang duduk di gerbang Loh Buaya mewanti-wanti kami supaya tetap tenang dan tidak menimbulkan suara. Dan Komodo pun berjalan melewati kami tanpa menoleh sedikitpun.

Rupanya Komodo sensitif terhadap gerakan yang terkesan tiba-tiba dan suara berisik dari langkah seretan kaki, ayunan botol berisi air atau bahkan bunyi gesekan kantong plastik. Memang gigitan Komodo tidak semengerikan gigitan buaya atau hiu yang sering dilihat di televisi, tapi yang mengerikan adalah air liurnya yang mengandung racun yang bisa membuat kita tewas tanpa sempat mendapat pertolongan intensif.  Jadi biar tidak dikejar dan digigit Komodo, sebisa mungkin harus tenang dan diam di tempat bila menemukan Komodo di dekat kita.

me time... :-)
me time… 🙂

Untuk memasuki wilayah konservasi yang merupakan The World Heritage Site UNESCO, diwajibkan membayar biaya konservasi sebesar 75.000 rupiah ditambah karcis masuk Loh Buaya 2.000 rupiah. Nah, untuk melanjutkan perjalanan trekking kami harus didampingi oleh seorang ranger yang akan mengawal perjalanan kami menemukan Komodo Dragon. Trekking di tengah terik matahari yang menyengat membuat saya berpeluh keringat sebelum menemukan seekor Komodo, sampai akhirnya si ranger menunjuk pelan ke arah kanan saya dan berbisik bahwa di situ ada Komodo yang sedang berjalan. Wah betul juga, sang Komodo berjalan pelan dan sesekali menoleh ke arah kami dengan tatapan matanya yang tajam.

pup-nya si Komo
pup-nya si Komo

Di area trekking selain dilarang lari, kami juga dilarang berbicara terlalu keras. Selagi saya meneguk air mineral yang saya bawa dari perahu, si ranger kembali menunjuk pelan ke sebuah lubang yang ternyata adalah sarang telur Komodo. Tiba-tiba dia menunjuk lagi, kali ini dia menunjuk ke arah tumpukan hitam kecoklatan yang tidak lain adalah “sisa buangan makanan” alias pup si Komodo…yaikss…

Di sepanjang jalan sering ditemukan beberapa rusa yang merupakan makanan pokok bagi para Komodo. Selain rusa, kerbau juga menjadi makanan komodo yang sayangnya tidak saya lihat siang itu. Saya hanya melihat bangkai tengkorak kerbau yang terdapat di sepanjang jalan menuju bukit. Bila tidak punya nyali trekking bukit dengan resiko dikejar Komodo, beberapa turis bisa melihat para Komodo yang berleha-leha di bawah pos jaga dekat loket masuk Loh Buaya. Banyak Komodo nongkrong di bawah pondok dengan alasan menunggu jatah makanan yang akan diberikan oleh ranger saat jam makan mereka. Hal ini otomatis membuat mereka kehilangan naluri berburunya, tapi di tengah maraknya perburuan liar rusa hutan di pulau ini membuat Komodo hanya bisa pasrah.

National Park...not Theme Park!!
National Park…not Theme Park!!

Selesai trekking selama satu setengah jam membuat saya kembali sadar, bahwa tidak pernah saya lihat orang Indonesia di pulau ini kecuali para ranger dan saya dan para Komodo yang made in Indonesia. Saya merasa bangga sekaligus miris bahwa saya seakan-akan menjadi turis negeri sendiri di sebuah pulau yang didominasi pengunjung asing.

to be continued…

siap menuju pulau berikutnya...
siap menuju pulau berikutnya…
World Heritage Site
World Heritage Site

Note: Perjalanan ke Pulau Rinca saya lakukan di tahun 2009 dan masih terlihat kebersihannya yang betul-betul dijaga oleh wisatawan maupun para ranger yang bertugas disana. Sejauh mata memandang tidak terlihat sampah berserakan, bahkan sayapun ikut membawa sampah yang tertinggal di Pulau untuk dibuang sementara ke dalam perahu. Di tahun 2011 saat Komodo dijadikan aset ‘main-main’ sebagai New7Wonders, saya sempat menentang habis-habisan. Bukannya negative thinking, tapi seandainya Komodo tetap dibiarkan keperawanannya alangkah lebih baik ketimbang dikotori oleh sampah yang dibawa oleh orang lokal maupun para pejabat yang ‘sok’ berkunjung ke Pulau ini saat baru dinobatkan sebagai New7Wonder.

Di mana pariwisata Indonesia saat Komodo mulai dinobatkan sebagai The World Heritage Site sejak tahun 1991?

3 Comments Add yours

  1. Rifqy Faiza Rahman says:

    Saya dulu juga sendirian, sempat pasrah tidak bisa ke komodo karena biaya tur yang mahal ditanggung sendirian, lagian juga lagi sepi. Akhirnya di TPI nemu pelabuhan rakyat, bisa numpang bareng warga kampung Komodo deh haha.

    Tapi selama di Komodo, dan sempat main ke taman nasionalnya,saya seharian ga nemu turis lokal blas. Yang lokal ya cuma kita, ranger, tukang perahu, warga kampung yang jualan suvenir dan mamin, sudah 😀

    1. Rasanya bahagia melihat obyek wisata sekeren itu masih sepi dari turis lokal dan kita yang jadi turis lokal ya Qy? Tapi kok jadi menyedihkan masa sepulau dikuasai turis asing semua. Jadi kudu tetep bahagia atau sedih? Hihihi

    2. Rifqy Faiza Rahman says:

      Iya, kalau soal banyaknya pulau di Flores disewa asing puluhan tahun lamanya ya sedih, makanya di Labuan Bajo serba mahal, karena banyak tanah komersial.

      Tapi soal New7Wonders, ada dampak positifnya kok Mas. Waktu itu kan saya datang tepat saat dua capres sedang bersengketa di MK, menunggu pemenang. Mereka all out dukung Jokowi-JK, tapi lebih karena faktor ada JK, karena beliau sering datang ke Komodo buat support pembangunan fasilitas taman nasional dan kampung, khususnya soal penyulingan air laut jadi air tawar. Bupati Manggarai Barat saja katanya seolah gak peduli sama Kampung Komodo dan sekitarnya..

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.